KACCHAPA JATAKA
Kacchapajātaka (Ja 273)
[359] “Brahmana mana yang datang,” dan seterusnya.
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana,tentang pertengkaran di antara dua pejabat kerajaan di Kosala243. Cerita pembukanya telah dikemukakan di Buku II.
Ketika Brahmadatta sedang memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang brahmana di Kerajaan Kāsi.
Ketika tumbuh dewasa, dia pergi ke Takkasilā untuk mendapatkan pendidikannya. Setelah itu, dia melepaskan kesenangan indriawi dan menjalankan kehidupan suci sebagai petapa di daerah pegunungan Himalaya. Dengan ranting dan dedaunan dia membangun gubuknya di tepi Sungai Gangga, tempat dia kemudian mengembangkan kesakitan, pencapaian meditasi, dan hidup berhibur diri di dalam meditasi (jhana). Di dalam kelahiran ini, Bodhisatta melatih keseimbangan batin244.
Ketika dia duduk di depan gubuknya, seekor kera yang tidak tahu malu dan bermoral bejat (selalu) datang dan bersanggama di lubang telinga Bodhisatta. Bodhisatta, dalam keadaan yang hampir tidak terasa terganggu, duduk di sana dalam batin yang seimbang.
Suatu hari, seekor kura-kura keluar dari Sungai Gangga dan, ketika berjemur di bawah sinar matahari, tertidur dengan mulutnya yang terbuka lebar. Ketika melihatnya demikian, kera yang penuh nafsu itu pun langsung bersanggama di lubang mulutnya. Ketika bangun, kura-kura itu menggigitnya, menyegelnya seperti berada di dalam sebuah kotak. Rasa sakit yang besar menyerang kera itu. Karena tidak mampu menahannya, dia berteriak, “Kepada siapakah saya harus pergi agar bisa terbebas dari penderitaan ini?” Setelah berpikir, “Tidak
ada yang lainnya, selain petapa itu yang dapat membebaskanku dari sakit ini; saya harus pergi menjumpainya,” kera itu membawa kura-kura tersebut dengan kedua tangannya dan pergi menjumpai Bodhisatta untuk mendapatkan pembebasan. Bodhisatta mengolok-olok kera yang bermoral bejat itu dalam bait pertama berikut:
Brahmana mana yang datang untuk mendapatkan makanan, atau petapa mana yang datang mencari derma, dengan tangan terjulur dan sebuah mangkuk?
Ketika mendengar ini, kera itu mengucapkan bait kedua:
Saya adalah makhluk dungu, makhluk yang bodoh, bebaskanlah diriku, Yang Mulia, sehingga saya bisa pergi dengan bebas.
Bodhisatta, berbicara kepada kura-kura, mengucapkan bait ketiga berikut:
Kura-kura adalah keluarga dari Kassapa, kera adalah keluarga dari Koṇḍañña; Kassapa dan Koṇḍañña berhubungan keluarga, Anda boleh membebaskannya sekarang.
Kura-kura itu, yang merasa senang dihibur demikian oleh Bodhisatta, membebaskannya. Setelah dibebaskan, kera itu dengan penuh hormat berpamitan kepada Bodhisatta dan lari
pergi, tidak pernah lagi mengunjungi tempat itu, bahkan tidak untuk melihatnya kembali. Kura-kura pun pergi kembali ke kediamannya dengan memberikan hormat. Dengan tidak pernah
terputus dari meditasi (jhana), Bodhisatta akhirnya terlahir kembali di alam brahma.
Ketika uraian ini berakhir, Sang Guru memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Kedua pejabat kerajaan itu adalah sang kera dan kura-kura, dan Aku
sendiri adalah petapa itu.”
243 Bandingkan No. 154, 165.
244 majjhata.
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana,tentang pertengkaran di antara dua pejabat kerajaan di Kosala243. Cerita pembukanya telah dikemukakan di Buku II.
Ketika Brahmadatta sedang memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang brahmana di Kerajaan Kāsi.
Ketika tumbuh dewasa, dia pergi ke Takkasilā untuk mendapatkan pendidikannya. Setelah itu, dia melepaskan kesenangan indriawi dan menjalankan kehidupan suci sebagai petapa di daerah pegunungan Himalaya. Dengan ranting dan dedaunan dia membangun gubuknya di tepi Sungai Gangga, tempat dia kemudian mengembangkan kesakitan, pencapaian meditasi, dan hidup berhibur diri di dalam meditasi (jhana). Di dalam kelahiran ini, Bodhisatta melatih keseimbangan batin244.
Ketika dia duduk di depan gubuknya, seekor kera yang tidak tahu malu dan bermoral bejat (selalu) datang dan bersanggama di lubang telinga Bodhisatta. Bodhisatta, dalam keadaan yang hampir tidak terasa terganggu, duduk di sana dalam batin yang seimbang.
Suatu hari, seekor kura-kura keluar dari Sungai Gangga dan, ketika berjemur di bawah sinar matahari, tertidur dengan mulutnya yang terbuka lebar. Ketika melihatnya demikian, kera yang penuh nafsu itu pun langsung bersanggama di lubang mulutnya. Ketika bangun, kura-kura itu menggigitnya, menyegelnya seperti berada di dalam sebuah kotak. Rasa sakit yang besar menyerang kera itu. Karena tidak mampu menahannya, dia berteriak, “Kepada siapakah saya harus pergi agar bisa terbebas dari penderitaan ini?” Setelah berpikir, “Tidak
ada yang lainnya, selain petapa itu yang dapat membebaskanku dari sakit ini; saya harus pergi menjumpainya,” kera itu membawa kura-kura tersebut dengan kedua tangannya dan pergi menjumpai Bodhisatta untuk mendapatkan pembebasan. Bodhisatta mengolok-olok kera yang bermoral bejat itu dalam bait pertama berikut:
Brahmana mana yang datang untuk mendapatkan makanan, atau petapa mana yang datang mencari derma, dengan tangan terjulur dan sebuah mangkuk?
Ketika mendengar ini, kera itu mengucapkan bait kedua:
Saya adalah makhluk dungu, makhluk yang bodoh, bebaskanlah diriku, Yang Mulia, sehingga saya bisa pergi dengan bebas.
Bodhisatta, berbicara kepada kura-kura, mengucapkan bait ketiga berikut:
Kura-kura adalah keluarga dari Kassapa, kera adalah keluarga dari Koṇḍañña; Kassapa dan Koṇḍañña berhubungan keluarga, Anda boleh membebaskannya sekarang.
Kura-kura itu, yang merasa senang dihibur demikian oleh Bodhisatta, membebaskannya. Setelah dibebaskan, kera itu dengan penuh hormat berpamitan kepada Bodhisatta dan lari
pergi, tidak pernah lagi mengunjungi tempat itu, bahkan tidak untuk melihatnya kembali. Kura-kura pun pergi kembali ke kediamannya dengan memberikan hormat. Dengan tidak pernah
terputus dari meditasi (jhana), Bodhisatta akhirnya terlahir kembali di alam brahma.
Ketika uraian ini berakhir, Sang Guru memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Kedua pejabat kerajaan itu adalah sang kera dan kura-kura, dan Aku
sendiri adalah petapa itu.”
243 Bandingkan No. 154, 165.
244 majjhata.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com