MACCHUDDĀNA-JĀTAKA
Macchuddānajātaka (Ja 288)
“Siapa yang akan memercayai ceritanya,” dan seterusnya.—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang seorang saudagar yang tidak jujur.
Cerita pembukanya telah dikemukakan sebelumnya di atas.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir di dalam keluarga seorang tuan tanah. Ketika dewasa, dia menjadi seorang laki-laki kaya. Dia memiliki seorang adik. Sepeninggal ayahnya, mereka harus melanjutkan usaha ayahnya. Ini membuat mereka pergi ke suatu desa, tempat mereka mendapatkan (tagihan) bayaran sebesar seribu keping uang.
Dalam perjalanan pulang, ketika sedang menunggu perahu di tepi sungai, mereka menyantap makanan yang dibawa dengan keranjang daun. Bodhisatta melemparkan makanan sisanya ke Sungai Gangga untuk ikan-ikan, memberikan jasa kebajikan kepada makhluk dewata penghuni sungai. Dewi sungai menerimanya dengan perasaan puas, yang kemudian meningkatkan kemampuan gaibnya. Ketika merenungkan peningkatan kemampuannya ini, dia pun mengetahui apa yang telah terjadi sebenarnya.
[424] Bodhisatta meletakkan pakaian luarnya di atas tanah dan berbaring di atasnya, kemudian tertidur. Adiknya itu adalah seorang yang memiliki sedikit sifat mencuri. Dia ingin mengambil uang dari Bodhisatta dan menyimpannya untuk dirinya sendiri.
Maka dia membuat satu bungkusan batu yang menyerupai bungkusan uang, dan mengambil bungkusan uang yang sebenarnya. Setelah mereka naik ke perahu dan berada di tengah sungai, adiknya ini menggoyangkan sisi perahu dan menjatuhkan bungkusan batu yang dianggap sebagai bungkusan uang. “Saudaraku, uangnya jatuh dari perahu!” teriaknya. “Apa yang harus dilakukan?” “Apa yang bisa kita lakukan? Yang sudah hilang tidak dapat ditemukan lagi. Jangan mengkhawatirkannya,” balas saudaranya itu.
Akan tetapi, dewi sungai yang tadi merenungkan betapa gembiranya dia dikarenakan jasa kebajikan yang diterimanya dan bagaimana kemampuannya meningkat, memutuskan untuk menjaga barang-barang milik Bodhisatta. Maka dengan kekuatannya, dewi sungai membuat seekor ikan bermulut besar menelan bungkusan itu dan dia sendiri yang menjaganya kemudian.
Ketika si pencuri itu sampai di rumah, dia tertawa atas tipuan yang dilakukannya terhadap abangnya, dan kemudian membuka bungkusan itu. Yang terlihat adalah batu. Jantungnya (seperti ) mengering; dia terbaring di ranjang, berpegangan pada sisi ranjangnya itu.
Kala itu, beberapa nelayan melemparkan jala untuk menangkap ikan. Dengan kekuatan dari dewi sungai, ikan tersebut masuk ke dalam jala nelayan itu. Para nelayan membawanya ke kota untuk dijual. Orang-orang menanyakan berapa harganya. “Seribu keping uang dan tujuh keping uang logam271,” kata para nelayan. Semua orang menertawakannya. “Kami baru melihat seekor ikan yang ditawarkan dengan harga seribu keping uang!” tawa mereka.
Para nelayan kemudian membawa ikan mereka tersebut ke rumah Bodhisatta dan memintanya untuk membelinya. “Berapa harganya?” tanyanya. “Anda bisa mendapatkannya dengan tujuh keping uang logam,” kata mereka. “Berapa yang Anda tawarkan kepada orang lain?” “Kepada orang lain, kami tawarkan seribu keping uang dan tujuh keping uang logam. Tetapi Anda bisa mendapatkannya dengan harga tujuh keping uang logam saja,” kata mereka.
Dia kemudian membayarkan tujuh keping uang logam, dan memberikannya kepada istrinya. Sang istri membelah ikan itu dan menemukan bungkusan uang tersebut. [425] Dia memanggil Bodhisatta. Bodhisatta melihat, dan mengetahui bahwa itu adalah miliknya sewaktu mengenali tandanya.
Dia berpikir, “Para nelayan itu menawarkan kepada orang lain seharga seribu keping uang dan tujuh keping uang logam, tetapi karena seribu keping uang itu adalah milikku, mereka menjualnya kepadaku seharga tujuh keping uang logam saja. Jika orang tidak mengetahui ini, maka tidak ada yang dapat membuat orang itu memahaminya.”
Kemudian dia mengulangi bait pertama berikut:
Siapa yang akan memercayai ceritanya
jika dia diberitahu bahwa ikan ini dijual
seharga seribu keping uang?
Ikan ini dijual kepadaku seharga
tujuh keping uang logam;
betapa inginnya diriku membeli seikat ikan ini!
Setelah mengucapkan ini, dia bertanya-tanya bagaimana caranya dia bisa mendapatkan uang tersebut kembali. Pada saat itu, sang dewi sungai berada di udara tanpa terlihat (olehnya) dan berkata, “Saya adalah dewi sungai dari Gangga. Anda tadi memberikan sisa-sisa makananmu kepada ikan-ikan dan membuatku mendapatkan jasa kebajikannya. Oleh karena itu, saya menjaga barang-barang milikmu,” dan mengulangi satu bait kalimat berikut:
Anda berikan makanan kepada ikan-ikan
dan hadiah kepadaku.
Perbuatan ini dan kebajikanmu selalu kuingat.
[426] Kemudian makhluk dewata itu menceritakan tentang tipuan jahat yang dilakukan oleh adiknya. Dan dia menambahkan, “Dia terbaring di sana, dengan jantungnya yang mengering. Tidak ada barang-barang berharga di dalam bungkusannya. Saya telah membawakan barang-barang milikmu, dan kuingatkan kepadamu untuk tidak menghilangkannya. Jangan berikan itu kepada adikmu yang mencuri itu, simpanlah uang itu sendiri!” Kemudian dia mengulangi bait ketiga berikut:
Tidak ada kekayaan bagi yang berhati jahat,
dan dalam hormat para makhluk dewata,
dia tidak memiliki bagiannya;
dia yang menipu saudara kandungnya atas kekayaannya
dan melakukan perbuatan buruk dengan tipuan dan pencurian.
Demikian dewi sungai itu berkata, dengan keinginan agar orang jahat yang mencuri itu tidak mendapatkan uangnya. Akan tetapi, Bodhisatta berkata, “Itu adalah hal yang tidak mungkin,” dan memberikan bagian yang sama rata kepada adiknya, lima ratus keping uang.
____________________
Setelah uraian ini berakhir, Sang Guru memaparkan kebenaran:—Di akhir kebenaran, saudagar itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—kemudian mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Adiknya adalah saudagar yang tidak jujur itu, dan abangnya adalah diri-Ku sendiri.”
____________________
Catatan kaki :
270 Folk-lore Journal, III. 364.
271 māsaka.
Cerita pembukanya telah dikemukakan sebelumnya di atas.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir di dalam keluarga seorang tuan tanah. Ketika dewasa, dia menjadi seorang laki-laki kaya. Dia memiliki seorang adik. Sepeninggal ayahnya, mereka harus melanjutkan usaha ayahnya. Ini membuat mereka pergi ke suatu desa, tempat mereka mendapatkan (tagihan) bayaran sebesar seribu keping uang.
Dalam perjalanan pulang, ketika sedang menunggu perahu di tepi sungai, mereka menyantap makanan yang dibawa dengan keranjang daun. Bodhisatta melemparkan makanan sisanya ke Sungai Gangga untuk ikan-ikan, memberikan jasa kebajikan kepada makhluk dewata penghuni sungai. Dewi sungai menerimanya dengan perasaan puas, yang kemudian meningkatkan kemampuan gaibnya. Ketika merenungkan peningkatan kemampuannya ini, dia pun mengetahui apa yang telah terjadi sebenarnya.
[424] Bodhisatta meletakkan pakaian luarnya di atas tanah dan berbaring di atasnya, kemudian tertidur. Adiknya itu adalah seorang yang memiliki sedikit sifat mencuri. Dia ingin mengambil uang dari Bodhisatta dan menyimpannya untuk dirinya sendiri.
Maka dia membuat satu bungkusan batu yang menyerupai bungkusan uang, dan mengambil bungkusan uang yang sebenarnya. Setelah mereka naik ke perahu dan berada di tengah sungai, adiknya ini menggoyangkan sisi perahu dan menjatuhkan bungkusan batu yang dianggap sebagai bungkusan uang. “Saudaraku, uangnya jatuh dari perahu!” teriaknya. “Apa yang harus dilakukan?” “Apa yang bisa kita lakukan? Yang sudah hilang tidak dapat ditemukan lagi. Jangan mengkhawatirkannya,” balas saudaranya itu.
Akan tetapi, dewi sungai yang tadi merenungkan betapa gembiranya dia dikarenakan jasa kebajikan yang diterimanya dan bagaimana kemampuannya meningkat, memutuskan untuk menjaga barang-barang milik Bodhisatta. Maka dengan kekuatannya, dewi sungai membuat seekor ikan bermulut besar menelan bungkusan itu dan dia sendiri yang menjaganya kemudian.
Ketika si pencuri itu sampai di rumah, dia tertawa atas tipuan yang dilakukannya terhadap abangnya, dan kemudian membuka bungkusan itu. Yang terlihat adalah batu. Jantungnya (seperti ) mengering; dia terbaring di ranjang, berpegangan pada sisi ranjangnya itu.
Kala itu, beberapa nelayan melemparkan jala untuk menangkap ikan. Dengan kekuatan dari dewi sungai, ikan tersebut masuk ke dalam jala nelayan itu. Para nelayan membawanya ke kota untuk dijual. Orang-orang menanyakan berapa harganya. “Seribu keping uang dan tujuh keping uang logam271,” kata para nelayan. Semua orang menertawakannya. “Kami baru melihat seekor ikan yang ditawarkan dengan harga seribu keping uang!” tawa mereka.
Para nelayan kemudian membawa ikan mereka tersebut ke rumah Bodhisatta dan memintanya untuk membelinya. “Berapa harganya?” tanyanya. “Anda bisa mendapatkannya dengan tujuh keping uang logam,” kata mereka. “Berapa yang Anda tawarkan kepada orang lain?” “Kepada orang lain, kami tawarkan seribu keping uang dan tujuh keping uang logam. Tetapi Anda bisa mendapatkannya dengan harga tujuh keping uang logam saja,” kata mereka.
Dia kemudian membayarkan tujuh keping uang logam, dan memberikannya kepada istrinya. Sang istri membelah ikan itu dan menemukan bungkusan uang tersebut. [425] Dia memanggil Bodhisatta. Bodhisatta melihat, dan mengetahui bahwa itu adalah miliknya sewaktu mengenali tandanya.
Dia berpikir, “Para nelayan itu menawarkan kepada orang lain seharga seribu keping uang dan tujuh keping uang logam, tetapi karena seribu keping uang itu adalah milikku, mereka menjualnya kepadaku seharga tujuh keping uang logam saja. Jika orang tidak mengetahui ini, maka tidak ada yang dapat membuat orang itu memahaminya.”
Kemudian dia mengulangi bait pertama berikut:
Siapa yang akan memercayai ceritanya
jika dia diberitahu bahwa ikan ini dijual
seharga seribu keping uang?
Ikan ini dijual kepadaku seharga
tujuh keping uang logam;
betapa inginnya diriku membeli seikat ikan ini!
Setelah mengucapkan ini, dia bertanya-tanya bagaimana caranya dia bisa mendapatkan uang tersebut kembali. Pada saat itu, sang dewi sungai berada di udara tanpa terlihat (olehnya) dan berkata, “Saya adalah dewi sungai dari Gangga. Anda tadi memberikan sisa-sisa makananmu kepada ikan-ikan dan membuatku mendapatkan jasa kebajikannya. Oleh karena itu, saya menjaga barang-barang milikmu,” dan mengulangi satu bait kalimat berikut:
Anda berikan makanan kepada ikan-ikan
dan hadiah kepadaku.
Perbuatan ini dan kebajikanmu selalu kuingat.
[426] Kemudian makhluk dewata itu menceritakan tentang tipuan jahat yang dilakukan oleh adiknya. Dan dia menambahkan, “Dia terbaring di sana, dengan jantungnya yang mengering. Tidak ada barang-barang berharga di dalam bungkusannya. Saya telah membawakan barang-barang milikmu, dan kuingatkan kepadamu untuk tidak menghilangkannya. Jangan berikan itu kepada adikmu yang mencuri itu, simpanlah uang itu sendiri!” Kemudian dia mengulangi bait ketiga berikut:
Tidak ada kekayaan bagi yang berhati jahat,
dan dalam hormat para makhluk dewata,
dia tidak memiliki bagiannya;
dia yang menipu saudara kandungnya atas kekayaannya
dan melakukan perbuatan buruk dengan tipuan dan pencurian.
Demikian dewi sungai itu berkata, dengan keinginan agar orang jahat yang mencuri itu tidak mendapatkan uangnya. Akan tetapi, Bodhisatta berkata, “Itu adalah hal yang tidak mungkin,” dan memberikan bagian yang sama rata kepada adiknya, lima ratus keping uang.
____________________
Setelah uraian ini berakhir, Sang Guru memaparkan kebenaran:—Di akhir kebenaran, saudagar itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—kemudian mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Adiknya adalah saudagar yang tidak jujur itu, dan abangnya adalah diri-Ku sendiri.”
____________________
Catatan kaki :
270 Folk-lore Journal, III. 364.
271 māsaka.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com