Sariputta | Suttapitaka | SUPATTA-JĀTAKA Sariputta

SUPATTA-JĀTAKA

Supattajātaka (Ja 292)

[433] “Di sini, di Kota Benares,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang makanan berupa nasi yang dicampur dengan mentega cair segar, ditambah rasanya dengan ikan merah, yang diberikan oleh Thera Sāriputta kepada Bimbādevī 275.
Di dalam kisah ini, sang theri juga terserang sakit perut. Rāhula memberi tahu sang thera. Sang thera memintanya untuk duduk di ruang tunggu, dan pergi menemui raja untuk mendapatkan nasi, ikan merah dan mentega cair segar. Samanera itu memberikannya kepada sang theri, ibunya sendiri. Tak lama setelah dia menyantapnya, rasa sakitnya pun terobati. Raja mengutus pengawal untuk menyelidiki ini, dan sesudah itu, selalu mengirimkan makanan jenis itu kepada sang theri.

Pada suatu hari, para bhikkhu mulai membicarakan ini di dalam balai kebenaran, “Āvuso, sang Panglima Dhamma memuaskan keinginan theri itu dengan makanan anu.” Sang Guru berjalan masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan. Mereka memberi tahu Beliau. Beliau kemudian berkata, “Ini bukan pertama kalinya, Para Bhikkhu, Sāriputta memberikan kepada ibunya Rāhula apa yang diinginkannya, tetapi di sama lampau dia juga melakukan hal yang sama.”

Setelah berkata demikian, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________

Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah raja di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor burung gagak. Dia tumbuh dewasa, dan menjadi pemimpin dari delapan puluh ribu ekor gagak lainnya, seekor raja burung gagak, dengan nama Supatta, dan pasangannya bernama Suphassā (Suphassa), panglimanya bernama Sumukha. Dengan delapan puluh ribu pengikutnya, dia tinggal di dekat Benares.

Pada suatu hari, dia dan pasangannya melewati dapur raja ketika sedang mencari makanan. Tukang masak kerajaan telah menyiapkan sekelompok hidangan, beragam jenis daging, dan kala itu tidak menutupi hidangannya, dengan tujuan untuk mendinginkannya terlebih dahulu. Ratu gagak mencium aroma makanan ini dan memiliki keinginan untuk mencicipinya. Akan tetapi, dia tidak mengatakan apa pun pada hari itu.

Pada keesookan harinya ketika raja gagak mengajaknya untuk pergi mencari makanan, dia berkata, “Pergilah sendiri. Ada sesuatu yang amat kudambakan.” “Apa itu?” tanyanya. “Saya ingin mencicipi makanan raja; [434] jika saya tidak bisa mendapatkannya, saya akan mati.”

Raja gagak duduk dan berpikir. Sumukha menghampirinya dan menanyakan apakah ada yang membuatnya tidak senang. Supatta memberitahukannya. “Oh, itu tidak apa-apa,” kata Sumukha, dan menambahkan, untuk menghibur mereka berdua, “Anda berdua diam di sini saja, saya yang akan mengambil daging itu.”

Jadi dia mengumpulkan burung-burung gagak dan memberitahukan masalahnya kepada mereka. “Ayo mari kita pergi sekarang dan mengambilnya!” katanya. Dan mereka semua pun terbang bersama ke Benares. Dia menempatkan mereka dalam kelompok-kelompok di sini dan di sana, dekat dapur untuk mengawasi. Sedangkan dirinya beserta delapan gagak yang hebat duduk di atap dapur.

Selagi menunggu makanan raja siap disajikan, dia memberikan petunjuk berikut, “Ketika makanan siap diantar, saya akan membuat orang itu menjatuhkan makanannya. Sewaktu ini terjadi, selesailah tugasku. Maka keempat dari kalian isilah mulut-mulut kalian dengan nasi, dan keempat sisanya dengan ikan, kemudian bawalah makanan itu kepada raja dan ratu kita. Jika mereka menanyakan di mana saya berada, katakan saja bahwa saya akan segera datang.”

Tukang masak itu selesai memasak beragam jenis hidangan makanan, membawa mereka dengan satu wadah, dan berjalan ke arah tempat raja. Ketika dia sedang berjalan ke tempat tersebut, Sumukha dengan satu sinyal kepada teman-temannya terbang dan hinggap di dada tukang masak itu, menyerangnya dengan cakar, dengan paruh yang tajam seperti ujung tombak, mematuk pangkal hidungnya, dan dengan kedua kakinya menyerang bagian rahangnya.

Raja sedang mondar-mandir di lantai atas ketika melihat melalui sebuah jendela apa yang dilakukan oleh burung gagak itu. Dia berteriak kepada yang membawa makanan itu, “He, letakkanlah makanan itu di bawah dan tangkap gagak itu!” Maka dia pun meletakkan makanan itu ke bawah dan menangkap gagak tersebut. “Ke sinilah,” kata raja.

Kemudian burung-burung gagak itu memakan apa yang mereka inginkan, [435] dan mengambil seperti apa yang telah diberitahukan sebelumnya, kemudian terbang pergi. Berikutnya, burung-burung gagak lainnya berkumpul bersama dan memakan sisa-sisa makanannya. Delapan ekor gagak tersebut memberikan makanan itu kepada raja dan ratu mereka untuk dimakan. Keinginan Suphassa pun terpuaskan.

Pelayan yang membawa makan malam itu membawa gagak yang ditangkapnya itu ke hadapan raja. “Wahai Gagak,” kata raja, “kamu tidak menunjukkan rasa hormat kepadaku! Kamu telah mematahkan hidung pelayanku! Kamu telah menghancurkan makananku! Kamu telah mengakhiri hidupmu dengan lalainya! Apa yang membuatmu melakukan hal ini?” Gagak itu menjawab, “Wahai Paduka, raja kami tinggal di dekat Benares, dan saya adalah panglimanya. Istrinya, Suphassa, memiliki satu keinginan, yaitu ingin mencicipi makananmu. Raja kami memberi tahu apa yang diinginkannya itu. Seketika itu juga kupersembahkan hidupku kepada mereka. Sekarang makanan itu telah kukirimkan kepadanya, tugasku telah selesai. Inilah alasannya mengapa saya melakukannya.” Dan untuk menjelaskan masalahnya, dia kemudian mengucapkan,

Di sini di Kota Benares, wahai Paduka,
hiduplah seekor raja gagak dengan ratunya, Suphassa;
yang diikuti oleh sekelompok gagak
yang berjumlah delapan puluh ribu ekor.
Suphassa, pasangannya, memiliki keinginan dalam dirinya:
dia mendambakan daging dari makanan raja,
yang baru ditangkap dan dimasak di dapur—
makanan yang disajikan di meja raja.
Sekarang Anda sedang berhadapan dengan panglima mereka:
rajaku yang membuatku datang ke sini;
dan untuk itu saya menghormati pemimpinku,
sampai saya harus melukai hidung orang ini.
[436] Ketika mendengar ini, raja berkata, “Kami juga memberikan kehormatan kepada orang-orang. Meskipun kami memberikan hadiah berupa sebuah desa, tetapi kami tidak bisa mendapatkan seorang pun yang bersedia mengorbankan hidupnya untuk kami. Akan tetapi, makhluk ini, yang merupakan seekor gagak, mengorbankan hidupnya untuk sang raja. Dia adalah makhluk mulia, yang berbicara manis dan baik.”
Raja begitu senang dengan kualitas baik dari gagak itu sehingga dia memberikan kehormatan kepadanya berupa payung putih. Tetapi gagak itu (menolaknya) dengan memberi tahu raja akan hadiahnya sendiri, dan melantunkan pujian terhadap moralitas dari Supatta. Raja kemudian memintanya untuk memanggil Supatta, mendengar ajarannya, dan mengirimkan makanan kepada mereka, makanan yang sama dengan makanan yang disantap olehnya sendiri.

Sedangkan untuk gagak-gagak lainnya, raja memerintahkan tukang masak untuk memasakkan makanan dalam jumlah yang banyak. Raja kemudian hidup dengan mengikuti nasihat dari Bodhisatta, menjaga seluruh makhluk hidup, mempraktikkan moraltias. Wejangan Supatta ini terus diingat sampai tujuh ratus tahun.
____________________

Ketika uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, raja adalah Ānanda, Panglima gagak adalah Sāriputta, dan Supatta adalah diri-ku sendiri.”

____________________

Catatan kaki :

274 Folk-lore Journal, 3. 360.

275 No. 281, di atas.

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com