KOMĀYA-PUTTA-JĀTAKA
Komāraputtajātaka (Ja 299)
[447] “Tadinya kamu biasa,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Pubbārāma, tentang beberapa bhikkhu yang berkelakuan buruk dan kasar.
Bhikkhu-bhikkhu ini, yang tinggal di bawah kamar Sang Guru, membicarakan tentang apa yang telah mereka lihat dan dengar, kemudian mereka jadi bertengkar dan saling mencela. Sang Guru memanggil Mahāmoggallāna dan memintanya untuk membuat mereka terkejut.
Sang thera bangkit terbang di udara dan menyentuh fondasi bangunan itu dengan hanya menggunakan satu jari kakinya. Bangunan itu bergerak ke tepi laut yang paling ujung. Bhikkhu-bhikkhu itu terkejut setengah mati, keluar dan berdiri di luar.
Kelakukan kasar mereka pun kemudian diketahui oleh para bhikkhu lainnya. Suatu hari, para bhikkhu membicarakannya di dalam balai kebenaran, “Āvuso, terdapat beberapa bhikkhu, yang telah bertahbis di dalam ajaran yang memberikan pembebasan, kasar dan buruk. Mereka tidak memahami perubahan, penderitaan, dan keadaan tanpa diri, dan juga tidak melakukan hal yang seharusnya mereka lakukan.” Sang Guru berjalan masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan dengan duduk di sana. Mereka memberi tahu Beliau. “Ini bukan pertama kalinya, Para Bhikkhu,” kata Beliau, “mereka menjadi orang-orang yang buruk dan kasar, tetapi mereka juga sama sebelumnya.”
Dan Beliau menceritakan kisah masa lampau kepada mereka.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi raja di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang putra brahmana yang tinggal di suatu desa. Mereka memberinya nama Komāyaputta (Komayaputta). Waktu pun berlalu, dia meninggalkan kehidupan duniawi dan menjalankan kehidupan suci sebagai petapa di daerah pegunungan Himalaya.
Terdapat beberapa petapa yang berkelakukan buruk dan kasar yang membuat pertapaan mereka di tempat itu, dan tinggal di sana. Akan tetapi, para petapa ini tidaklah melatih meditasi; mereka mengumpulkan buah-buahan di dalam hutan untuk dimakan, mereka menghabiskan waktu dengan tawa dan canda bersama. Mereka memiliki seekor kera, yang berkelakukan kasar seperti mereka, yang memberi mereka hiburan dengan gerakan wajah dan tubuhnya.
Mereka tinggal di sana dalam kurun waktu yang lama, sampai akhirnya mereka harus pergi ke tempat tinggal penduduk untuk mendapatkan garam dan bumbu-bumbu lainnya. Setelah mereka pergi, Bodhisatta tinggal di dalam kediaman mereka. Kera itu memainkan gerakan-gerakan yang biasa dilakukannya untuk petapa-petapa lainnya tersebut.
Bodhisatta menjentikkan jarinya dan memberikan wejangan kepadanya, dengan berkata, “Seorang makhluk yang tinggal bersama dengan petapa yang terlatih dengan baik seharusnya berkelakuan yang baik, berbuat yang baik, dan melatih pemusatan pikiran.” Setelah mendengar wejangan ini, kera itu pun menjadi bajik dan berkelakuan baik.
Kemudian Bodhisatta pergi. Para petapa itu kembali dengan membawa garam dan bumbu-bumbu lainnya. Tetapi, kera itu tidak lagi memainkan gerakan-gerakan yang biasa dimainkan untuk mereka. “Ada apa ini, Teman?” tanya mereka, “mengapa tidak memainkan gerakan seperti yang biasa kamu lakukan?” Salah satu dari mereka kemudian mengucapkan bait pertama berikut:
Tadinya kamu biasa memainkan gerakan,
di tempat kami, para petapa ini, tinggal.
Wahai Kera, lakukanlah apa yang dilakukan kera;
ketika kamu menjadi baik, kami tidak menyukaimu.
Mendengar ini, kera itu mengulangi bait kedua berikut:
Semua kebijaksanaan yang sempurna
dari perkataan Yang Bijak Komāya telah kudengar.
Janganlah menganggap diriku sama seperti yang dahulu;
sekarang kesukaanku adalah melatih pemusatan pikiran.
Mendengar ini, petapa itu mengulangi bait ketiga berikut:
Jika biji ditabur di atas batu (karang),
meskipun turun hujan, biji itu tidak akan tumbuh.
Kamu mungkin telah mendengar kebijaksanaan sempurna,
tetapi kamu tidak akan pernah berhasil memusatkan pikiran.
____________________
Ketika uraian ini berakhir, Sang Guru memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, bhikkhu-bhikkhu (yang berkelakuan kasar dan buruk) ini adalah para petapa itu, sedangkan Komayaputta (Komāyaputta) adalah diri-Ku sendiri.”
Bhikkhu-bhikkhu ini, yang tinggal di bawah kamar Sang Guru, membicarakan tentang apa yang telah mereka lihat dan dengar, kemudian mereka jadi bertengkar dan saling mencela. Sang Guru memanggil Mahāmoggallāna dan memintanya untuk membuat mereka terkejut.
Sang thera bangkit terbang di udara dan menyentuh fondasi bangunan itu dengan hanya menggunakan satu jari kakinya. Bangunan itu bergerak ke tepi laut yang paling ujung. Bhikkhu-bhikkhu itu terkejut setengah mati, keluar dan berdiri di luar.
Kelakukan kasar mereka pun kemudian diketahui oleh para bhikkhu lainnya. Suatu hari, para bhikkhu membicarakannya di dalam balai kebenaran, “Āvuso, terdapat beberapa bhikkhu, yang telah bertahbis di dalam ajaran yang memberikan pembebasan, kasar dan buruk. Mereka tidak memahami perubahan, penderitaan, dan keadaan tanpa diri, dan juga tidak melakukan hal yang seharusnya mereka lakukan.” Sang Guru berjalan masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan dengan duduk di sana. Mereka memberi tahu Beliau. “Ini bukan pertama kalinya, Para Bhikkhu,” kata Beliau, “mereka menjadi orang-orang yang buruk dan kasar, tetapi mereka juga sama sebelumnya.”
Dan Beliau menceritakan kisah masa lampau kepada mereka.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi raja di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang putra brahmana yang tinggal di suatu desa. Mereka memberinya nama Komāyaputta (Komayaputta). Waktu pun berlalu, dia meninggalkan kehidupan duniawi dan menjalankan kehidupan suci sebagai petapa di daerah pegunungan Himalaya.
Terdapat beberapa petapa yang berkelakukan buruk dan kasar yang membuat pertapaan mereka di tempat itu, dan tinggal di sana. Akan tetapi, para petapa ini tidaklah melatih meditasi; mereka mengumpulkan buah-buahan di dalam hutan untuk dimakan, mereka menghabiskan waktu dengan tawa dan canda bersama. Mereka memiliki seekor kera, yang berkelakukan kasar seperti mereka, yang memberi mereka hiburan dengan gerakan wajah dan tubuhnya.
Mereka tinggal di sana dalam kurun waktu yang lama, sampai akhirnya mereka harus pergi ke tempat tinggal penduduk untuk mendapatkan garam dan bumbu-bumbu lainnya. Setelah mereka pergi, Bodhisatta tinggal di dalam kediaman mereka. Kera itu memainkan gerakan-gerakan yang biasa dilakukannya untuk petapa-petapa lainnya tersebut.
Bodhisatta menjentikkan jarinya dan memberikan wejangan kepadanya, dengan berkata, “Seorang makhluk yang tinggal bersama dengan petapa yang terlatih dengan baik seharusnya berkelakuan yang baik, berbuat yang baik, dan melatih pemusatan pikiran.” Setelah mendengar wejangan ini, kera itu pun menjadi bajik dan berkelakuan baik.
Kemudian Bodhisatta pergi. Para petapa itu kembali dengan membawa garam dan bumbu-bumbu lainnya. Tetapi, kera itu tidak lagi memainkan gerakan-gerakan yang biasa dimainkan untuk mereka. “Ada apa ini, Teman?” tanya mereka, “mengapa tidak memainkan gerakan seperti yang biasa kamu lakukan?” Salah satu dari mereka kemudian mengucapkan bait pertama berikut:
Tadinya kamu biasa memainkan gerakan,
di tempat kami, para petapa ini, tinggal.
Wahai Kera, lakukanlah apa yang dilakukan kera;
ketika kamu menjadi baik, kami tidak menyukaimu.
Mendengar ini, kera itu mengulangi bait kedua berikut:
Semua kebijaksanaan yang sempurna
dari perkataan Yang Bijak Komāya telah kudengar.
Janganlah menganggap diriku sama seperti yang dahulu;
sekarang kesukaanku adalah melatih pemusatan pikiran.
Mendengar ini, petapa itu mengulangi bait ketiga berikut:
Jika biji ditabur di atas batu (karang),
meskipun turun hujan, biji itu tidak akan tumbuh.
Kamu mungkin telah mendengar kebijaksanaan sempurna,
tetapi kamu tidak akan pernah berhasil memusatkan pikiran.
____________________
Ketika uraian ini berakhir, Sang Guru memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, bhikkhu-bhikkhu (yang berkelakuan kasar dan buruk) ini adalah para petapa itu, sedangkan Komayaputta (Komāyaputta) adalah diri-Ku sendiri.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com