SAYHA-JĀTAKA
Seyyajātaka (Ja 310)
“Tidak ada takhta di dunia ini,” dan seterusnya. Sang Guru menceritakan kisah ini ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang menyesal, yang ketika sedang berpindapata di kota Sāvatthi (Savatthi) melihat seorang wanita cantik, dan sejak saat itu menjadi merasa menyesal dan kehilangan segala kebahagiaan dalam Dhamma.
Maka para bhikkhu membawanya ke hadapan Yang Terberkahi (Sang Bhagava). Beliau berkata, “Apakah itu benar, Bhikkhu, apa yang kudengar bahwa Anda merasa tidak puas?” Ia mengakuinya. Beliau yang mengetahui alasan ketidakpuasannya berkata, “Bhikkhu, mengapa Anda masih memiliki nafsu terhadap keduniawian, setelah bertahbis menjadi bhikkhu dalam suatu keyakinan yang menuntunmu ke arah pembebasan? Orang bijak di masa lampau, ketika ditawarkan kedudukan sebagai seorang pendeta kerajaan (perumah tangga), menolaknya dan memilih menjalani kehidupan suci sebagai seorang pabbajita.”
Kemudian Beliaupun menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terkandung di dalam rahim istri seorang brahmana, pendeta kerajaan, [31] dan lahir pada hari yang sama dengan hari kelahiran putra raja. Ketika raja menanyakan kepada menterinya apakah ada anak yang lahir pada hari yang sama dengan anaknya, mereka berkata, “Ya, Paduka, seorang putra dari pendeta kerajaanmu.” Raja memerintahkan pengawalnya untuk membawa bayi itu dan memberikannya kepada perawat istana untuk dijaga dengan baik bersama dengan pangerannya. Mereka berdua memiliki perhiasan yang sama untuk dipakai, makan dan minum benda-benda yang sama pula. Dan ketika dewasa, mereka bersama pergi ke Takkasilā (Takkasila) dan setelah menyelesaikan pelajarannya, mereka pun pulang kembali ke rumah.
Raja mengangkat putranya menjadi raja muda dan melimpahkan kekuasaan yang besar kepadanya. Mulai saat itu Bodhisatta makan, minum dan tinggal bersama dengan pangeran dan terjalin persahabatan yang akrab di antara mereka. Sepeninggal ayahnya, pangeran mewarisi takhta kerajaan dan menikmati kehidupan yang penuh kemakmuran.
Bodhisatta berpikir, “Temanku sekarang memimpin sebuah kerajaan, dan di saat mendapat kesempatan, ia akan memberikan jabatan pendeta kerajaan kepadaku. Apalah gunanya semua itu bagiku? Saya akan menjadi seorang pabbajita dan menjalani hidup dengan menyendiri.”
Maka ia memberi hormat pada kedua orang tuanya dan setelah meminta izin dari mereka, ia meninggalkan kekayaan duniawinya dan tanpa ditemani oleh siapa pun, ia pergi ke daerah pegunungan Himalaya. Di sana, di satu tempat yang menyenangkan, ia membangun sebuah gubuk daun untuk dirinya sendiri. Dengan menjalani kehidupan kehidupan suci dari seorang petapa, ia mengembangkan kesaktian dan pencapaian meditasi, dan hidup dalam kebahagiaan jhana.
Pada waktu itu, raja teringat kepada temannya dan berkata, “Apa yang telah terjadi dengan temanku? Tak kutemukan ia di mana pun.” Para menterinya mengatakan bahwa ia telah bertabhis menjadi seorang petapa dan tinggal di dalam hutan. Raja menanyakan nama dari tempat tinggalnya dan berkata kepada menterinya yang bernama Sayha, “Pergi dan bawa kembali temanku. Akan kujadikan ia sebagai pendeta kerajaanku.”
Sayhapun menjalankan perintahnya dan berangkat dari Benares menuju desa di perbatasan. Setelah mendapatkan tempat tinggal di sana, ia pergi bersama beberapa penduduk menuju ke tempat tinggal Bodhisatta, dan menemukannya sedang duduk, laksana sebuah patung emas di depan gubuknya. Setelah memberi penghormatan kepadanya, Sayha duduk di satu sisi dan demikian menyapanya, “Bhante, raja menginginkan Anda kembali untuk dinobatkan sebagai pendeta kerajaan.” [32] Bodhisatta menjawab, “Jika saya harus menerima kedudukan sebagai pendeta kerajaannya, atau di Kerajaan Kasi dan Kosala, atau di seluruh India, atau bahkan di seluruh kerajaan di dunia ini, saya akan menolak untuk pergi. Orang bijak tidak akan mengambil kembali hal-hal buruk yang telah ditinggalkannya, karena itu sama saja dengan menelan kembali ludah yang telah dikeluarkan.”
Setelah berkata demikian, ia mengulangi bait-bait berikut:
32Tidak ada takhta di bumi ini yang mampu
menggodaku melakukan perbuatan buruk,
tidak ada negeri manapun yang aman di dalamnya;
Buruk sekali nafsu akan kekayaan dan ketenaran,
menyebabkan orang malang meratap tangis di alam penderitaannya.
Lebih baik di dunia ini menjadi orang yang
tak memiliki tempat tinggal dan hidup mengembara,
dengan mangkuk di tangan meminta derma dari rumah ke rumah,
daripada menjadi seorang raja, selalu dipenuhi nafsu,
menjalankan aturan tirani dan menyakiti orang miskin.
Dengan keyakinannya akan hal itu, Bodhisatta dengan tegas berkali-kali menolak permintaan dari Sayha. Karena tidak berhasil membujuknya, Sayha memberi hormat, pulang kembali dan memberitahukan tentang penolakannya kepada raja.
____________________
[33] Ketika Sang Guru menyelesaikan uraian ini, Beliau memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Di akhir kebenarannya, bhikkhu yang tadinya menyesal itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna. Banyak juga yang lainnya yang mencapai tingkat kesucian Sotāpanna.:—“Pada masa itu, Ānanda adalah raja, Sāriputta adalah Sayha dan saya sendiri adalah pendeta kerajaan.”
Maka para bhikkhu membawanya ke hadapan Yang Terberkahi (Sang Bhagava). Beliau berkata, “Apakah itu benar, Bhikkhu, apa yang kudengar bahwa Anda merasa tidak puas?” Ia mengakuinya. Beliau yang mengetahui alasan ketidakpuasannya berkata, “Bhikkhu, mengapa Anda masih memiliki nafsu terhadap keduniawian, setelah bertahbis menjadi bhikkhu dalam suatu keyakinan yang menuntunmu ke arah pembebasan? Orang bijak di masa lampau, ketika ditawarkan kedudukan sebagai seorang pendeta kerajaan (perumah tangga), menolaknya dan memilih menjalani kehidupan suci sebagai seorang pabbajita.”
Kemudian Beliaupun menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terkandung di dalam rahim istri seorang brahmana, pendeta kerajaan, [31] dan lahir pada hari yang sama dengan hari kelahiran putra raja. Ketika raja menanyakan kepada menterinya apakah ada anak yang lahir pada hari yang sama dengan anaknya, mereka berkata, “Ya, Paduka, seorang putra dari pendeta kerajaanmu.” Raja memerintahkan pengawalnya untuk membawa bayi itu dan memberikannya kepada perawat istana untuk dijaga dengan baik bersama dengan pangerannya. Mereka berdua memiliki perhiasan yang sama untuk dipakai, makan dan minum benda-benda yang sama pula. Dan ketika dewasa, mereka bersama pergi ke Takkasilā (Takkasila) dan setelah menyelesaikan pelajarannya, mereka pun pulang kembali ke rumah.
Raja mengangkat putranya menjadi raja muda dan melimpahkan kekuasaan yang besar kepadanya. Mulai saat itu Bodhisatta makan, minum dan tinggal bersama dengan pangeran dan terjalin persahabatan yang akrab di antara mereka. Sepeninggal ayahnya, pangeran mewarisi takhta kerajaan dan menikmati kehidupan yang penuh kemakmuran.
Bodhisatta berpikir, “Temanku sekarang memimpin sebuah kerajaan, dan di saat mendapat kesempatan, ia akan memberikan jabatan pendeta kerajaan kepadaku. Apalah gunanya semua itu bagiku? Saya akan menjadi seorang pabbajita dan menjalani hidup dengan menyendiri.”
Maka ia memberi hormat pada kedua orang tuanya dan setelah meminta izin dari mereka, ia meninggalkan kekayaan duniawinya dan tanpa ditemani oleh siapa pun, ia pergi ke daerah pegunungan Himalaya. Di sana, di satu tempat yang menyenangkan, ia membangun sebuah gubuk daun untuk dirinya sendiri. Dengan menjalani kehidupan kehidupan suci dari seorang petapa, ia mengembangkan kesaktian dan pencapaian meditasi, dan hidup dalam kebahagiaan jhana.
Pada waktu itu, raja teringat kepada temannya dan berkata, “Apa yang telah terjadi dengan temanku? Tak kutemukan ia di mana pun.” Para menterinya mengatakan bahwa ia telah bertabhis menjadi seorang petapa dan tinggal di dalam hutan. Raja menanyakan nama dari tempat tinggalnya dan berkata kepada menterinya yang bernama Sayha, “Pergi dan bawa kembali temanku. Akan kujadikan ia sebagai pendeta kerajaanku.”
Sayhapun menjalankan perintahnya dan berangkat dari Benares menuju desa di perbatasan. Setelah mendapatkan tempat tinggal di sana, ia pergi bersama beberapa penduduk menuju ke tempat tinggal Bodhisatta, dan menemukannya sedang duduk, laksana sebuah patung emas di depan gubuknya. Setelah memberi penghormatan kepadanya, Sayha duduk di satu sisi dan demikian menyapanya, “Bhante, raja menginginkan Anda kembali untuk dinobatkan sebagai pendeta kerajaan.” [32] Bodhisatta menjawab, “Jika saya harus menerima kedudukan sebagai pendeta kerajaannya, atau di Kerajaan Kasi dan Kosala, atau di seluruh India, atau bahkan di seluruh kerajaan di dunia ini, saya akan menolak untuk pergi. Orang bijak tidak akan mengambil kembali hal-hal buruk yang telah ditinggalkannya, karena itu sama saja dengan menelan kembali ludah yang telah dikeluarkan.”
Setelah berkata demikian, ia mengulangi bait-bait berikut:
32Tidak ada takhta di bumi ini yang mampu
menggodaku melakukan perbuatan buruk,
tidak ada negeri manapun yang aman di dalamnya;
Buruk sekali nafsu akan kekayaan dan ketenaran,
menyebabkan orang malang meratap tangis di alam penderitaannya.
Lebih baik di dunia ini menjadi orang yang
tak memiliki tempat tinggal dan hidup mengembara,
dengan mangkuk di tangan meminta derma dari rumah ke rumah,
daripada menjadi seorang raja, selalu dipenuhi nafsu,
menjalankan aturan tirani dan menyakiti orang miskin.
Dengan keyakinannya akan hal itu, Bodhisatta dengan tegas berkali-kali menolak permintaan dari Sayha. Karena tidak berhasil membujuknya, Sayha memberi hormat, pulang kembali dan memberitahukan tentang penolakannya kepada raja.
____________________
[33] Ketika Sang Guru menyelesaikan uraian ini, Beliau memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Di akhir kebenarannya, bhikkhu yang tadinya menyesal itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna. Banyak juga yang lainnya yang mencapai tingkat kesucian Sotāpanna.:—“Pada masa itu, Ānanda adalah raja, Sāriputta adalah Sayha dan saya sendiri adalah pendeta kerajaan.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com