ANANUSOCIYA-JĀTAKA
Ananusociyajātaka (Ja 328)
“Mengapa saya harus meneteskan air mata,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang tuan tanah yang kehilangan istrinya.
Dikatakan, sepeninggal istrinya ia tidak mandi maupun makan, dan mengabaikan pekerjaan ladangnya. Dirundung oleh perasaan duka, ia berkeliaran di daerah pekuburan dan meratap tangis, sedangkan kamma masa lampaunya untuk mencapai tingkat kesucian Sotāpanna (Sotapanna) bersinar keluar dari kepalanya layaknya sebuah lingkaran cahaya.
Pada suatu pagi, sewaktu memeriksa keadaan dunia, Sang Guru yang melihat laki-laki ini berkata, “Tidak ada orang lain yang dapat menghilangkan kesedihan laki-laki ini dan memberikan kekuatan kepadanya untuk mencapai tingkat kesucian Sotapanna, kecuali diriku. Saya akan menjadi tempatnya bernaung.”
Jadi sekembali dari berpindapata dan selesai bersantap, Beliau membawa seorang bhikkhu junior dan pergi ke rumah tuan tanah tersebut.
[93] Ketika mendengar Sang Guru datang, ia keluar untuk menjumpai Beliau, mempersilakan Beliau duduk di tempat yang sudah disiapkan, memberi penghormatan dan duduk di satu sisi.
Sang Guru bertanya, “Upasaka, mengapa Anda berdiam diri?”
“Bhante,” jawabnya, “saya sedang berduka atas istriku.” Sang Guru berkata, “Upasaka, apa yang harus rusak pasti akan rusak, dan ketika ini terjadi, seseorang tidak seharusnya bersedih. Ketika orang bijak di masa lampau kehilangan seorang istri, karena mengetahui akan kebenaran ini, tidak bersedih.” Dan atas permintaannya, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Kisah masa lampau ini diceritakan di dalam kelahiran Cullabodhi-Jātaka68 di buku kesepuluh. Berikut ini adalah ringkasan kisahnya.
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga brahmana. Ketika dewasa, ia mempelajari semua cabang ilmu pengetahuan di Takkasila dan, sesudahnya, kembali kepada orang tuanya. Dalam kelahirannya kali ini, Sang Mahasatwa menjadi seorang pemuda yang mengamalkan kehidupan suci. Kemudian orang tuanya mengatakan akan mencarikan seorang istri untuknya.
“Saya tidak ingin menikah,” kata Bodhisatta. “Bila ayah dan ibu meninggal nanti, saya akan menjalani kehidupan suci sebagai seorang petapa.”
Karena terus didesak oleh mereka, ia membuat sebuah patung emas69 dan berkata, “Jika Anda bisa mendapatkan seorang wanita seperti patung ini, saya akan menikah dengannya.” Orang tuanya mengirim beberapa utusan dengan kawalan orang banyak, meminta mereka meletakkan patung emas itu di dalam kereta yang tertutup dan pergi mencari di seluruh daratan India sampai mereka menemukan wanita yang dimaksud, kemudian membawa wanita kembali bersama mereka dan memberikan patung tersebut sebagai gantinya.
Kala itu, seorang makhluk bajik yang turun dari alam brahma terlahir menjadi seorang wanita di sebuah kota kecil di dalam Kerajaan Kāsi, di rumah seorang brahmana yang memiliki harta sebesar delapan ratus juta, dan nama yang diberikan kepadanya adalah Sammillabhāsinī (Sammillabhasini).
Pada usia enam belas tahun, ia tumbuh menjadi seorang wanita yang cantik nan anggun, seperti seorang bidadari dewa (apsara), yang memiliki semua kecantikan wanita. Karena pikiran buruk yang dipicu oleh nafsu (kotoran batin) tidak pernah ada dalam dirinya, ia menjadi seorang yang benar-benar suci. [94] Para utusan itu berkelana membawa patung emas itu sampai akhirnya tiba di kota itu. Para penduduk yang melihat patung itu berkata, “Mengapa Sammillabhasini, putri brahmana anu, berada di sana?”
Para utusan yang mendengar ini mencari keluarga brahmana tersebut dan memilih Sammillabhasini sebagai pendamping pangeran. Sammillabhasini mengirim pesan kepada orang tuanya dengan mengatakan, “Bila ayah dan ibu meninggal nanti, saya akan menjalani kehidupan suci sebagai seorang petapa; saya tidak ingin menjalani kehidupan rumah tangga.”
Mereka berkata, “Apa yang sedang kamu pikirkan, Putriku?” Dan mereka menerima patung emas itu, kemudian mengirim putrinya yang diikuti dengan rombongan besar. Pernikahan itu dilangsungkan diluar kehendak dari Bodhisatta dan Sammillabhasini. Meskipun berada di dalam satu kamar dan tempat tidur, mereka tidak saling melihat satu sama lain dengan pandangan penuh nafsu, melainkan tinggal bersama layaknya dua orang petapa suci atau dua makhluk suci.
Waktu pun berlalu dan kedua orang tua Bohisatta meninggal. Setelah melakukan upacara pemakaman mereka, Bodhisatta berkata kepada Sammillabhasini, “Istriku, harta keluargaku ada sebesar delapan ratus juta, dan harta keluargamu juga ada sebesar delapan ratus juta. Ambillah ini semua dan jalanilah kehidupan rumah tangga. Saya sendiri akan menjadi seorang petapa.”
“Tuan,” jawabnya, “jika Anda menjadi seorang petapa, saya juga akan menjadi seorang petapa. Saya tidak boleh meninggalkanmu.”
“Kalau begitu ikutlah denganku,” katanya. Jadi setelah mendermakan semua harta kekayaan duniawi, mereka pergi ke daerah pegunungan Himalaya dan menjalankan kehidupan suci. Di sana setelah bertahan hidup dengan akar-akaran dan buah-buahan untuk waktu yang cukup lama, akhirnya mereka turun dari pegunungan untuk mendapatkan garam dan cuka.
Mereka menemukan jalannya menuju ke Benares dan bertempat tinggal di taman milik raja. Ketika mereka tinggal di sana, petapa wanita muda nan lembut ini terserang penyakit sakit perut (diare) karena memakan makanan campuran. Karena tidak bisa mendapatkan obatnya, ia terus-menerus menjadi sangat lemah.
Kala itu, sewaktu pergi berkeliling untuk mendapatkan derma makanan, Bodhisatta menggendongnya dan membawanya ke gerbang kota. Di sana ia membaringkannya pada sebuah papan di dalam sebuah balai dan pergi berkeliling untuk mendapatkan derma makanan. Tak lama setelah Bodhisatta pergi, ia pun akhirnya menghembuskan napas terakhir.
Orang-orang yang melihat kecantikan dari petapa wanita ini, [95] berdesak-desakan mengerumuninya, kemudian meratap tangis. Sekembalinya dari mendapatkan derma makanan dan mendengar kematiannya, Bodhisatta berkata, “Apa yang harus rusak pasti akan rusak. Segala yang terkondisi selalu berubah (tidak kekal).
Setelah mengucapkan kata-kata ini, ia duduk di papan tempat petapa wanita itu berbaring dan memakan makanan campuran itu, kemudian mencuci mulutnya. Orang-orang yang berada di sekelilingnya berkata, “Bhante, apa hubungan petapa wanita ini denganmu?”
“Ketika saya masih menjadi orang awam,” jawabnya, “ia adalah istriku.”
“Bhante,” kata mereka, “di saat kami meratap tangis dan tidak bisa mengendalikan perasaan kami, mengapa Bhante tidak menangis?”
Bodhisatta berkata, “Sewaktu masih hidup, ia adalah milikku. Tidak ada yang memiliki dirinya lagi setelah pergi ke dunia lain: ia telah meninggal. Oleh karena itu, mengapa saya harus menangis?” Dan untuk mengajarkan kebenaran kepada orang-orang tersebut, ia melafalkan bait-bait berikut:
Mengapa saya harus meneteskan air mata untukmu,
Sammillabhasini yang cantik?
Yang telah pergi ke tempat orang-orang mati,
sejak saat ini Anda bukan milikku lagi.
Mengapa orang-orang lemah harus meratap tangis
atas apa yang dipinjamkan (sementara) kepada mereka?
Mereka juga akan menghadapi kematian,
yang dapat datang sewaktu-waktu.
Apakah ia sedang berdiri, sedang duduk tak bergerak,
sedang bergerak, sedang beristirahat,
melakukan apa pun yang ia inginkan,
dalam sekejap mata saja, dalam waktu yang cepat,
kematian datang mendekat.
Hidup adalah suatu hal yang tidak tetap,
kehilangan teman adalah hal yang tidak terelakkan.
Bergembiralah wahai yang masih hidup,
janganlah bersedih di saat masih hidup.
[97] Demikianlah Sang Mahasatwa mengajarkan kebenaran, tentang perubahan (anicca) dalam empat bait kalimat. Orang-orang melakukan upacara pemakaman untuk petapa wanita itu. Dan Bodhisatta kembali ke Himalaya, mengembangkan kesaktian dan pencapaian meditasi melalui jhana, dan terlahir kembali di alam brahma.
____________________
Sang Guru memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka setelah menyampaikan uraian ini:—Di akhir kebenarannya, tuan tanah itu mencapai tingkat kesucian Sotapanna:—“Pada masa itu, ibu dari Rahula adalah Sammillabhāsinī (Sammillabhasini), dan saya sendiri adalah petapa.”
Dikatakan, sepeninggal istrinya ia tidak mandi maupun makan, dan mengabaikan pekerjaan ladangnya. Dirundung oleh perasaan duka, ia berkeliaran di daerah pekuburan dan meratap tangis, sedangkan kamma masa lampaunya untuk mencapai tingkat kesucian Sotāpanna (Sotapanna) bersinar keluar dari kepalanya layaknya sebuah lingkaran cahaya.
Pada suatu pagi, sewaktu memeriksa keadaan dunia, Sang Guru yang melihat laki-laki ini berkata, “Tidak ada orang lain yang dapat menghilangkan kesedihan laki-laki ini dan memberikan kekuatan kepadanya untuk mencapai tingkat kesucian Sotapanna, kecuali diriku. Saya akan menjadi tempatnya bernaung.”
Jadi sekembali dari berpindapata dan selesai bersantap, Beliau membawa seorang bhikkhu junior dan pergi ke rumah tuan tanah tersebut.
[93] Ketika mendengar Sang Guru datang, ia keluar untuk menjumpai Beliau, mempersilakan Beliau duduk di tempat yang sudah disiapkan, memberi penghormatan dan duduk di satu sisi.
Sang Guru bertanya, “Upasaka, mengapa Anda berdiam diri?”
“Bhante,” jawabnya, “saya sedang berduka atas istriku.” Sang Guru berkata, “Upasaka, apa yang harus rusak pasti akan rusak, dan ketika ini terjadi, seseorang tidak seharusnya bersedih. Ketika orang bijak di masa lampau kehilangan seorang istri, karena mengetahui akan kebenaran ini, tidak bersedih.” Dan atas permintaannya, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Kisah masa lampau ini diceritakan di dalam kelahiran Cullabodhi-Jātaka68 di buku kesepuluh. Berikut ini adalah ringkasan kisahnya.
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga brahmana. Ketika dewasa, ia mempelajari semua cabang ilmu pengetahuan di Takkasila dan, sesudahnya, kembali kepada orang tuanya. Dalam kelahirannya kali ini, Sang Mahasatwa menjadi seorang pemuda yang mengamalkan kehidupan suci. Kemudian orang tuanya mengatakan akan mencarikan seorang istri untuknya.
“Saya tidak ingin menikah,” kata Bodhisatta. “Bila ayah dan ibu meninggal nanti, saya akan menjalani kehidupan suci sebagai seorang petapa.”
Karena terus didesak oleh mereka, ia membuat sebuah patung emas69 dan berkata, “Jika Anda bisa mendapatkan seorang wanita seperti patung ini, saya akan menikah dengannya.” Orang tuanya mengirim beberapa utusan dengan kawalan orang banyak, meminta mereka meletakkan patung emas itu di dalam kereta yang tertutup dan pergi mencari di seluruh daratan India sampai mereka menemukan wanita yang dimaksud, kemudian membawa wanita kembali bersama mereka dan memberikan patung tersebut sebagai gantinya.
Kala itu, seorang makhluk bajik yang turun dari alam brahma terlahir menjadi seorang wanita di sebuah kota kecil di dalam Kerajaan Kāsi, di rumah seorang brahmana yang memiliki harta sebesar delapan ratus juta, dan nama yang diberikan kepadanya adalah Sammillabhāsinī (Sammillabhasini).
Pada usia enam belas tahun, ia tumbuh menjadi seorang wanita yang cantik nan anggun, seperti seorang bidadari dewa (apsara), yang memiliki semua kecantikan wanita. Karena pikiran buruk yang dipicu oleh nafsu (kotoran batin) tidak pernah ada dalam dirinya, ia menjadi seorang yang benar-benar suci. [94] Para utusan itu berkelana membawa patung emas itu sampai akhirnya tiba di kota itu. Para penduduk yang melihat patung itu berkata, “Mengapa Sammillabhasini, putri brahmana anu, berada di sana?”
Para utusan yang mendengar ini mencari keluarga brahmana tersebut dan memilih Sammillabhasini sebagai pendamping pangeran. Sammillabhasini mengirim pesan kepada orang tuanya dengan mengatakan, “Bila ayah dan ibu meninggal nanti, saya akan menjalani kehidupan suci sebagai seorang petapa; saya tidak ingin menjalani kehidupan rumah tangga.”
Mereka berkata, “Apa yang sedang kamu pikirkan, Putriku?” Dan mereka menerima patung emas itu, kemudian mengirim putrinya yang diikuti dengan rombongan besar. Pernikahan itu dilangsungkan diluar kehendak dari Bodhisatta dan Sammillabhasini. Meskipun berada di dalam satu kamar dan tempat tidur, mereka tidak saling melihat satu sama lain dengan pandangan penuh nafsu, melainkan tinggal bersama layaknya dua orang petapa suci atau dua makhluk suci.
Waktu pun berlalu dan kedua orang tua Bohisatta meninggal. Setelah melakukan upacara pemakaman mereka, Bodhisatta berkata kepada Sammillabhasini, “Istriku, harta keluargaku ada sebesar delapan ratus juta, dan harta keluargamu juga ada sebesar delapan ratus juta. Ambillah ini semua dan jalanilah kehidupan rumah tangga. Saya sendiri akan menjadi seorang petapa.”
“Tuan,” jawabnya, “jika Anda menjadi seorang petapa, saya juga akan menjadi seorang petapa. Saya tidak boleh meninggalkanmu.”
“Kalau begitu ikutlah denganku,” katanya. Jadi setelah mendermakan semua harta kekayaan duniawi, mereka pergi ke daerah pegunungan Himalaya dan menjalankan kehidupan suci. Di sana setelah bertahan hidup dengan akar-akaran dan buah-buahan untuk waktu yang cukup lama, akhirnya mereka turun dari pegunungan untuk mendapatkan garam dan cuka.
Mereka menemukan jalannya menuju ke Benares dan bertempat tinggal di taman milik raja. Ketika mereka tinggal di sana, petapa wanita muda nan lembut ini terserang penyakit sakit perut (diare) karena memakan makanan campuran. Karena tidak bisa mendapatkan obatnya, ia terus-menerus menjadi sangat lemah.
Kala itu, sewaktu pergi berkeliling untuk mendapatkan derma makanan, Bodhisatta menggendongnya dan membawanya ke gerbang kota. Di sana ia membaringkannya pada sebuah papan di dalam sebuah balai dan pergi berkeliling untuk mendapatkan derma makanan. Tak lama setelah Bodhisatta pergi, ia pun akhirnya menghembuskan napas terakhir.
Orang-orang yang melihat kecantikan dari petapa wanita ini, [95] berdesak-desakan mengerumuninya, kemudian meratap tangis. Sekembalinya dari mendapatkan derma makanan dan mendengar kematiannya, Bodhisatta berkata, “Apa yang harus rusak pasti akan rusak. Segala yang terkondisi selalu berubah (tidak kekal).
Setelah mengucapkan kata-kata ini, ia duduk di papan tempat petapa wanita itu berbaring dan memakan makanan campuran itu, kemudian mencuci mulutnya. Orang-orang yang berada di sekelilingnya berkata, “Bhante, apa hubungan petapa wanita ini denganmu?”
“Ketika saya masih menjadi orang awam,” jawabnya, “ia adalah istriku.”
“Bhante,” kata mereka, “di saat kami meratap tangis dan tidak bisa mengendalikan perasaan kami, mengapa Bhante tidak menangis?”
Bodhisatta berkata, “Sewaktu masih hidup, ia adalah milikku. Tidak ada yang memiliki dirinya lagi setelah pergi ke dunia lain: ia telah meninggal. Oleh karena itu, mengapa saya harus menangis?” Dan untuk mengajarkan kebenaran kepada orang-orang tersebut, ia melafalkan bait-bait berikut:
Mengapa saya harus meneteskan air mata untukmu,
Sammillabhasini yang cantik?
Yang telah pergi ke tempat orang-orang mati,
sejak saat ini Anda bukan milikku lagi.
Mengapa orang-orang lemah harus meratap tangis
atas apa yang dipinjamkan (sementara) kepada mereka?
Mereka juga akan menghadapi kematian,
yang dapat datang sewaktu-waktu.
Apakah ia sedang berdiri, sedang duduk tak bergerak,
sedang bergerak, sedang beristirahat,
melakukan apa pun yang ia inginkan,
dalam sekejap mata saja, dalam waktu yang cepat,
kematian datang mendekat.
Hidup adalah suatu hal yang tidak tetap,
kehilangan teman adalah hal yang tidak terelakkan.
Bergembiralah wahai yang masih hidup,
janganlah bersedih di saat masih hidup.
[97] Demikianlah Sang Mahasatwa mengajarkan kebenaran, tentang perubahan (anicca) dalam empat bait kalimat. Orang-orang melakukan upacara pemakaman untuk petapa wanita itu. Dan Bodhisatta kembali ke Himalaya, mengembangkan kesaktian dan pencapaian meditasi melalui jhana, dan terlahir kembali di alam brahma.
____________________
Sang Guru memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka setelah menyampaikan uraian ini:—Di akhir kebenarannya, tuan tanah itu mencapai tingkat kesucian Sotapanna:—“Pada masa itu, ibu dari Rahula adalah Sammillabhāsinī (Sammillabhasini), dan saya sendiri adalah petapa.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com