GODHA-JĀTAKA
Pakkagodhajātaka (Ja 333)
“Anda adalah orang yang,” dan seterusnya.
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang tuan tanah. Cerita pembukanya telah diceritakan dengan lengkap sebelumnya74. Dalam kisah ini, ketika suami istri ini dalam perjalanan pulang ke rumah sehabis menagih hutang, mereka bertemu dengan pemburu yang memberikan mereka seekor kadal panggang, meminta mereka berdua untuk memakannya. Laki-laki ini meminta istrinya untuk mengambil air dan ia memakan habis kadal itu. Ketika istrinya kembali, ia berkata, “Istriku, kadalnya melarikan diri.” “Baiklah, Tuanku,” kata istrinya, “Apa yang bisa dilakukan orang dengan seekor kadal panggang yang melarikan diri?”
[107] Ia pun meminum airnya dan sesampainya di Jetavana, ketika duduk di hadapan Sang Guru, ia ditanya seperti ini: “Upasika, apakah laki-laki ini mengasihi, mencintai dan membantumu?” Ia menjawab, “Saya mengasihi dan mencintainya, tetapi ia tidak mengasihi dan mencintaiku.” Sang Guru berkata, “Baiklah, andaikan ia memang bersikap demikian kepadamu, janganlah bersedih. Ketika ia ingat akan kebajikanmu, ia akan memberikan kekuasaan tertinggi kepadamu.” Dan atas permintaan mereka, Beliau menghubungkannya dengan sebuah kisah masa lampau.
Kisah ini sama seperti kisah sebelumnya, tetapi kali ini ketika suami istri itu dalam perjalanan pulang ke rumah, pemburu melihat betapa lelahnya mereka dan memberikan seekor kadal
panggang untuk mereka makan berdua. Sang istri mengikatnya dengan sebatang tanaman menjalar yang digunakan sebagai tali, memegangnya di tangan, dan kembali melanjutkan perjalanan mereka. Mereka sampai di sebuah danau dan beristirahat disana, di bawah pohon bodhi. Suaminya berkata, “Istriku, pergilah ambil air di danau dengan daun teratai dan kita akan memakan daging ini.” Ia menggantung kadalnya di dahan pohon dan pergi mengambil air. Suaminya memakan habis kadal itu dan kemudian duduk dengan wajah tidak bersalah, sambil memegang ujung ekor kadal dengan tangannya. Ketika istrinya kembali dengan membawa air, ia berkata, “Istriku, kadalnya turun dari dahan pohon itu dan melompat. Saya berlari dan (hanya mampu) menangkap ujung ekornya. Kadal itu terbagi dua, dan yang tertangkap di tanganku adalah bagian ekornya, sedangkan bagian yang lainnya menghilang di dalam lubang.”
“Baiklah, Tuanku,” jawabnya, “apa yang bisa kita lakukan dengan seekor kadal panggang yang melarikan diri? Ayo, mari kita pergi.”
Setelah meminum airnya, mereka melanjutkan perjalanan ke Benares. Ketika naik takhta, sang suami memberikan kedudukan permaisuri kepada istrinya. Akan tetapi, kedudukan itu sekedar kedudukan saja, tidak ada penghormatan atau penghargaan yang diberikan kepadanya. Bodhisatta, yang ingin memberikan kehormatan baginya, dengan berdiri di hadapan raja, berkata, “Ratu, apakah tidak salah kami tidak menerima apa pun dari Anda? Mengapa Anda tidak menghiraukan kami?”
“Tuan,” katanya, “saya tidak mendapatkan apa pun dari raja. Bagaimana saya bisa memberikan hadiah kepadamu? Apa yang mungkin diberikan oleh raja kepadaku saat ini? Ketika kami berjalan pulang dari hutan, ia memakan habis seekor kadal panggang sendirian.”
[108] “Ratu,” katanya, “raja tidak akan bertindak seperti itu lagi. Jangan berkata demikian tentangnya.”
Kemudian ratu berkata kepadanya, “Tuan, masalah ini tidaklah jelas bagimu, tetapi bagiku dan bagi raja masalah ini sudah cukup jelas,” dan ia mengulangi bait pertama berikut:—
Anda adalah orang yang lebih tahu dibandingkan diriku,
ketika di dalam hutan, wahai Paduka, kadal panggang
melepaskan talinya dan bebas melarikan diri
dari dahan pohon bodhi,
meskipun dapat kulihat, di balik jubahmu,
terdapat pedang dan baju besi.
Demikianlah ratu itu berbicara, memberitahukan keburukan raja di tengah-tengah para menterinya. Setelah mendengar perkataan ratu, Bodhisatta berkata, “Ratu, karena suamimu sudah berhenti mencintaimu, mengapa Anda tetap tinggal di sini, membawa ketidakbahagiaan bagi keduanya?” dan mengulangi dua bait berikut:—
Berilah hormat kepada orang yang menghormatimu,
balaslah dengan memberikan pelayanan yang baik:
Janganlah melakukan hal demikian kepada orang yang
tidak menghormatimu, begitu juga dengan orang yang
mengabaikan keberadaanmu.
Tinggalkanlah orang yang telah meninggalkanmu,
jangan mencintai orang yang tidak mencintaimu,
bagaikan burung yang terbang pergi meninggalkan
pohon yang gundul, mencari tempat tinggal di dalam
hutan yang jauh.
[109] Di saat Bodhisatta berkata demikian, raja teringat kembali akan kebaikan ratunya, dan berkata, “Istriku, selama ini tidak kulihat kebajikanmu, tetapi melalui kata-kata orang bijak ini, saya telah melihatnya kembali. Maafkanlah perbuatan burukku. Seluruh kerajaanku ini kuberikan kepadamu sendiri.” Dan berikutia mengucapkan bait keempat ini:
Memiliki kekuasaan yang besar, seorang raja
seharusnyalah menunjukkan rasa terima kasihnya:
Seluruh daerah kekuasaan kuberikan kepadamu,
berikanlah hadiah kepada siapa pun yang Anda inginkan.
Setelah mengucapkan kata-kata ini, raja menganugerahkan kekuasaan tertinggi kepada ratunya, dan dengan berpikir, “Karena orang inilah saya teringat kembali akan kebajikannya,” ia juga memberikan kekuasaan yang besar kepada orang bijak itu.
Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka setelah menyelesaikan uraian-Nya:—“Di akhir kebenarannya, suami istri itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—
“Suami istri dalam kisah ini adalah orang yang sama dalam kisah sebelumnya, dan saya adalah menteri yang bijak.”
74 No. 320.
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang tuan tanah. Cerita pembukanya telah diceritakan dengan lengkap sebelumnya74. Dalam kisah ini, ketika suami istri ini dalam perjalanan pulang ke rumah sehabis menagih hutang, mereka bertemu dengan pemburu yang memberikan mereka seekor kadal panggang, meminta mereka berdua untuk memakannya. Laki-laki ini meminta istrinya untuk mengambil air dan ia memakan habis kadal itu. Ketika istrinya kembali, ia berkata, “Istriku, kadalnya melarikan diri.” “Baiklah, Tuanku,” kata istrinya, “Apa yang bisa dilakukan orang dengan seekor kadal panggang yang melarikan diri?”
[107] Ia pun meminum airnya dan sesampainya di Jetavana, ketika duduk di hadapan Sang Guru, ia ditanya seperti ini: “Upasika, apakah laki-laki ini mengasihi, mencintai dan membantumu?” Ia menjawab, “Saya mengasihi dan mencintainya, tetapi ia tidak mengasihi dan mencintaiku.” Sang Guru berkata, “Baiklah, andaikan ia memang bersikap demikian kepadamu, janganlah bersedih. Ketika ia ingat akan kebajikanmu, ia akan memberikan kekuasaan tertinggi kepadamu.” Dan atas permintaan mereka, Beliau menghubungkannya dengan sebuah kisah masa lampau.
Kisah ini sama seperti kisah sebelumnya, tetapi kali ini ketika suami istri itu dalam perjalanan pulang ke rumah, pemburu melihat betapa lelahnya mereka dan memberikan seekor kadal
panggang untuk mereka makan berdua. Sang istri mengikatnya dengan sebatang tanaman menjalar yang digunakan sebagai tali, memegangnya di tangan, dan kembali melanjutkan perjalanan mereka. Mereka sampai di sebuah danau dan beristirahat disana, di bawah pohon bodhi. Suaminya berkata, “Istriku, pergilah ambil air di danau dengan daun teratai dan kita akan memakan daging ini.” Ia menggantung kadalnya di dahan pohon dan pergi mengambil air. Suaminya memakan habis kadal itu dan kemudian duduk dengan wajah tidak bersalah, sambil memegang ujung ekor kadal dengan tangannya. Ketika istrinya kembali dengan membawa air, ia berkata, “Istriku, kadalnya turun dari dahan pohon itu dan melompat. Saya berlari dan (hanya mampu) menangkap ujung ekornya. Kadal itu terbagi dua, dan yang tertangkap di tanganku adalah bagian ekornya, sedangkan bagian yang lainnya menghilang di dalam lubang.”
“Baiklah, Tuanku,” jawabnya, “apa yang bisa kita lakukan dengan seekor kadal panggang yang melarikan diri? Ayo, mari kita pergi.”
Setelah meminum airnya, mereka melanjutkan perjalanan ke Benares. Ketika naik takhta, sang suami memberikan kedudukan permaisuri kepada istrinya. Akan tetapi, kedudukan itu sekedar kedudukan saja, tidak ada penghormatan atau penghargaan yang diberikan kepadanya. Bodhisatta, yang ingin memberikan kehormatan baginya, dengan berdiri di hadapan raja, berkata, “Ratu, apakah tidak salah kami tidak menerima apa pun dari Anda? Mengapa Anda tidak menghiraukan kami?”
“Tuan,” katanya, “saya tidak mendapatkan apa pun dari raja. Bagaimana saya bisa memberikan hadiah kepadamu? Apa yang mungkin diberikan oleh raja kepadaku saat ini? Ketika kami berjalan pulang dari hutan, ia memakan habis seekor kadal panggang sendirian.”
[108] “Ratu,” katanya, “raja tidak akan bertindak seperti itu lagi. Jangan berkata demikian tentangnya.”
Kemudian ratu berkata kepadanya, “Tuan, masalah ini tidaklah jelas bagimu, tetapi bagiku dan bagi raja masalah ini sudah cukup jelas,” dan ia mengulangi bait pertama berikut:—
Anda adalah orang yang lebih tahu dibandingkan diriku,
ketika di dalam hutan, wahai Paduka, kadal panggang
melepaskan talinya dan bebas melarikan diri
dari dahan pohon bodhi,
meskipun dapat kulihat, di balik jubahmu,
terdapat pedang dan baju besi.
Demikianlah ratu itu berbicara, memberitahukan keburukan raja di tengah-tengah para menterinya. Setelah mendengar perkataan ratu, Bodhisatta berkata, “Ratu, karena suamimu sudah berhenti mencintaimu, mengapa Anda tetap tinggal di sini, membawa ketidakbahagiaan bagi keduanya?” dan mengulangi dua bait berikut:—
Berilah hormat kepada orang yang menghormatimu,
balaslah dengan memberikan pelayanan yang baik:
Janganlah melakukan hal demikian kepada orang yang
tidak menghormatimu, begitu juga dengan orang yang
mengabaikan keberadaanmu.
Tinggalkanlah orang yang telah meninggalkanmu,
jangan mencintai orang yang tidak mencintaimu,
bagaikan burung yang terbang pergi meninggalkan
pohon yang gundul, mencari tempat tinggal di dalam
hutan yang jauh.
[109] Di saat Bodhisatta berkata demikian, raja teringat kembali akan kebaikan ratunya, dan berkata, “Istriku, selama ini tidak kulihat kebajikanmu, tetapi melalui kata-kata orang bijak ini, saya telah melihatnya kembali. Maafkanlah perbuatan burukku. Seluruh kerajaanku ini kuberikan kepadamu sendiri.” Dan berikutia mengucapkan bait keempat ini:
Memiliki kekuasaan yang besar, seorang raja
seharusnyalah menunjukkan rasa terima kasihnya:
Seluruh daerah kekuasaan kuberikan kepadamu,
berikanlah hadiah kepada siapa pun yang Anda inginkan.
Setelah mengucapkan kata-kata ini, raja menganugerahkan kekuasaan tertinggi kepada ratunya, dan dengan berpikir, “Karena orang inilah saya teringat kembali akan kebajikannya,” ia juga memberikan kekuasaan yang besar kepada orang bijak itu.
Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka setelah menyelesaikan uraian-Nya:—“Di akhir kebenarannya, suami istri itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—
“Suami istri dalam kisah ini adalah orang yang sama dalam kisah sebelumnya, dan saya adalah menteri yang bijak.”
74 No. 320.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com