RĀJOVĀDA-JĀTAKA
Rājovādajātaka (Ja 334)
[110] “Sapi yang mengambil jalan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang nasihat kepada seorang raja. Cerita pembukanya dikemukakan secara lengkap dalam Tesakuṇa-Jātaka75.
Dalam kisah ini, Sang Guru berkata, “Paduka, seorang raja di masa lampau, dengan mendengarkan kata-kata orang bijak, menjalankan pemerintahan dengan benar dan terlahir kembali di alam dewa.”
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga brahmana. Ketika dewasa, setelah mempelajari semua cabang ilmu pengetahuan, ia menjalankan kehidupan suci sebagai seorang pabbajita, mengembangkan kesaktian dan pencapaian meditasi, dan berdiam di suatu tempat yang menyenangkan di daerah pegunungan Himalaya, bertahan hidup dengan memakan akar-akaran dan buah-buahan yang tumbuh liar.
Pada waktu itu, dikarenakan rasa ingin tahu untuk menemukan keburukannya, raja pun berkeliling ke sana ke sini menanyakan orang-orang mengenai keburukannya. Karena tidak menemukan seorang pun yang mengatakan keburukannya, baik di dalam maupun di luar istana, baik di dalam maupun luar kota, raja berkeliling ke daerah perkampungan dengan samaran, sambil berpikir, “Bagaimana dengan daerah perkampungan?”
Dan karena tidak menemukan seorang pun di sana yang mengatakan tentang keburukannya, hanya mengatakan tentang kebaikannya, raja pun berpikir kembali, “Bagaimana dengan daerah pegunungan Himalaya?” Dan ia masuk ke dalam hutan, berkeliling sampai akhirnya tiba di pertapaan Bodhisatta, kemudian ia duduk di satu sisi setelah memberi penghormatan kepadanya dan beruluk salam kepadanya.
Pada waktu itu, Bodhisatta sedang memakan buah ara76 yang didapatkannya dari dalam hutan. Buah itu terasa enak dan manis, seperti gula bubuk. Ia menyapa raja dan berkata, “Yang Bajik77, silakan cicipi buah ara ini dan minum air.”
Raja memakan buah ara tersebut dan meminum airnya, kemudian bertanya kepada Bodhisatta, “Yang Mulia, mengapa buah ara ini sangat manis rasanya?”
“Yang Bajik,” balasnya, “sekarang ini raja memerintah kerajaannya berlandaskan kebenaran dan persamaan. Itulah sebabnya buah ini terasa sangat manis.”
[111] “Di bawah pemerintahan seorang raja yang buruk, apakah buah ini akan kehilangan rasa manisnya?”
“Ya, Yang Bajik, di bawah pemerintahan seorang raja yang buruk, minyak, madu, air tebu dan sebagainya, akar-akaran dan buah-buahan, akan kehilangan rasa enak dan manisnya, dan bukan hanya ini saja, tetapi juga semua bagian kerajaan ini akan menjadi buruk dan hambar. Akan tetapi, ketika raja memerintah dengan benar, benda-benda ini semuanya akan menjadi enak dan manis, dan semua bagian kerajaan ini akan menjadi baik dan penuh dengan rasa kembali.”
Raja berkata, “Saya mengerti sekarang, Yang Mulia” dan tanpa memberi tahu Bodhisatta bahwa ia adalah raja, ia memberi penghormatan kepadanya dan pulang kembali ke Benares. Berpikir untuk membuktikan perkataan petapa itu, raja memerintah kerajaannya dengan tidak benar, kemudian berkata kepada dirinya sendiri, “Sekarang akan kulihat hasilnya,” dan setelah beberapa waktu, ia kembali ke pertapaan Bodhisatta dan memberi penghormatan kepadanya, duduk dengan hormat di satu sisi.
Bodhisatta mengucapkan kata-kata yang sama, menawarkannya buah ara yang rasanya berubah menjadi masam. Karena buah itu terasa masam, raja memuntahkannya keluar dan berkata, “Rasanya masam, Yang Mulia.”
Bodhisatta berkata, “Yang Bajik, raja pasti sedang menjalankan pemerintahannya dengan tidak benar. Karena ketika para pemimpin menjalankan pemerintahan dengan tidak benar, semuanya dimulai dari buah-buahan yang tumbuh liar di dalam hutan akan kehilangan rasa enak dan manisnya.”
Kemudian Bodhisatta melafalkan bait-bait berikut:
Sapi yang mengambil jalan yang berliku-liku melewati banjir,
maka kawanan sapinya semua akan berserakan dalam penjagaannya (di belakang).
Jika seorang pemimpin berjalan di jalan yang berliku-liku,
maka ia akan menuntun pengikutnya yang kacau balau ke jalan tak berujung,
dan dalam satu masa itu akan menyesali tak adanya pengendalian diri.
Akan tetapi jika sapi itu mengambil jalan yang lurus,
maka kawanan sapinya akan tetap lurus mengikutinya di belakang;
Demikian jugalah seharusnya seorang pemimpin bertindak benar dalam cara yang benar pula, pengikutnya juga akan menjauhkan diri dari ketidakbenaran,
dan di seluruh kerajaan akan terdapat kedamaian78.
[112] Setelah mendengar pemaparan kebenaran dari Bodhisatta, ia memberitahukan beliau bahwa ia adalah raja dan berkata, “Bhante, disebabkan oleh diriku sendirilah buah ara ini memiliki rasa manis, dan kemudian menjadi masam, tetapi sekarang akan kubuat buah ara ini menjadi manis kembali.”
Kemudian ia memberi penghormatan kepada Bodhisatta, kembali ke istana, dan memerintah kerajaan dengan cara yang benar, mengembalikan semuanya seperti sediakala.
____________________
Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka setelah menyelesaikan uraian ini: “Pada masa itu, Ānanda adalah raja, dan saya sendiri adalah petapa.”
Dalam kisah ini, Sang Guru berkata, “Paduka, seorang raja di masa lampau, dengan mendengarkan kata-kata orang bijak, menjalankan pemerintahan dengan benar dan terlahir kembali di alam dewa.”
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga brahmana. Ketika dewasa, setelah mempelajari semua cabang ilmu pengetahuan, ia menjalankan kehidupan suci sebagai seorang pabbajita, mengembangkan kesaktian dan pencapaian meditasi, dan berdiam di suatu tempat yang menyenangkan di daerah pegunungan Himalaya, bertahan hidup dengan memakan akar-akaran dan buah-buahan yang tumbuh liar.
Pada waktu itu, dikarenakan rasa ingin tahu untuk menemukan keburukannya, raja pun berkeliling ke sana ke sini menanyakan orang-orang mengenai keburukannya. Karena tidak menemukan seorang pun yang mengatakan keburukannya, baik di dalam maupun di luar istana, baik di dalam maupun luar kota, raja berkeliling ke daerah perkampungan dengan samaran, sambil berpikir, “Bagaimana dengan daerah perkampungan?”
Dan karena tidak menemukan seorang pun di sana yang mengatakan tentang keburukannya, hanya mengatakan tentang kebaikannya, raja pun berpikir kembali, “Bagaimana dengan daerah pegunungan Himalaya?” Dan ia masuk ke dalam hutan, berkeliling sampai akhirnya tiba di pertapaan Bodhisatta, kemudian ia duduk di satu sisi setelah memberi penghormatan kepadanya dan beruluk salam kepadanya.
Pada waktu itu, Bodhisatta sedang memakan buah ara76 yang didapatkannya dari dalam hutan. Buah itu terasa enak dan manis, seperti gula bubuk. Ia menyapa raja dan berkata, “Yang Bajik77, silakan cicipi buah ara ini dan minum air.”
Raja memakan buah ara tersebut dan meminum airnya, kemudian bertanya kepada Bodhisatta, “Yang Mulia, mengapa buah ara ini sangat manis rasanya?”
“Yang Bajik,” balasnya, “sekarang ini raja memerintah kerajaannya berlandaskan kebenaran dan persamaan. Itulah sebabnya buah ini terasa sangat manis.”
[111] “Di bawah pemerintahan seorang raja yang buruk, apakah buah ini akan kehilangan rasa manisnya?”
“Ya, Yang Bajik, di bawah pemerintahan seorang raja yang buruk, minyak, madu, air tebu dan sebagainya, akar-akaran dan buah-buahan, akan kehilangan rasa enak dan manisnya, dan bukan hanya ini saja, tetapi juga semua bagian kerajaan ini akan menjadi buruk dan hambar. Akan tetapi, ketika raja memerintah dengan benar, benda-benda ini semuanya akan menjadi enak dan manis, dan semua bagian kerajaan ini akan menjadi baik dan penuh dengan rasa kembali.”
Raja berkata, “Saya mengerti sekarang, Yang Mulia” dan tanpa memberi tahu Bodhisatta bahwa ia adalah raja, ia memberi penghormatan kepadanya dan pulang kembali ke Benares. Berpikir untuk membuktikan perkataan petapa itu, raja memerintah kerajaannya dengan tidak benar, kemudian berkata kepada dirinya sendiri, “Sekarang akan kulihat hasilnya,” dan setelah beberapa waktu, ia kembali ke pertapaan Bodhisatta dan memberi penghormatan kepadanya, duduk dengan hormat di satu sisi.
Bodhisatta mengucapkan kata-kata yang sama, menawarkannya buah ara yang rasanya berubah menjadi masam. Karena buah itu terasa masam, raja memuntahkannya keluar dan berkata, “Rasanya masam, Yang Mulia.”
Bodhisatta berkata, “Yang Bajik, raja pasti sedang menjalankan pemerintahannya dengan tidak benar. Karena ketika para pemimpin menjalankan pemerintahan dengan tidak benar, semuanya dimulai dari buah-buahan yang tumbuh liar di dalam hutan akan kehilangan rasa enak dan manisnya.”
Kemudian Bodhisatta melafalkan bait-bait berikut:
Sapi yang mengambil jalan yang berliku-liku melewati banjir,
maka kawanan sapinya semua akan berserakan dalam penjagaannya (di belakang).
Jika seorang pemimpin berjalan di jalan yang berliku-liku,
maka ia akan menuntun pengikutnya yang kacau balau ke jalan tak berujung,
dan dalam satu masa itu akan menyesali tak adanya pengendalian diri.
Akan tetapi jika sapi itu mengambil jalan yang lurus,
maka kawanan sapinya akan tetap lurus mengikutinya di belakang;
Demikian jugalah seharusnya seorang pemimpin bertindak benar dalam cara yang benar pula, pengikutnya juga akan menjauhkan diri dari ketidakbenaran,
dan di seluruh kerajaan akan terdapat kedamaian78.
[112] Setelah mendengar pemaparan kebenaran dari Bodhisatta, ia memberitahukan beliau bahwa ia adalah raja dan berkata, “Bhante, disebabkan oleh diriku sendirilah buah ara ini memiliki rasa manis, dan kemudian menjadi masam, tetapi sekarang akan kubuat buah ara ini menjadi manis kembali.”
Kemudian ia memberi penghormatan kepada Bodhisatta, kembali ke istana, dan memerintah kerajaan dengan cara yang benar, mengembalikan semuanya seperti sediakala.
____________________
Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka setelah menyelesaikan uraian ini: “Pada masa itu, Ānanda adalah raja, dan saya sendiri adalah petapa.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com