Sariputta | Suttapitaka | DHONASĀKHA-JĀTAKA Sariputta

DHONASĀKHA-JĀTAKA

Vena­sā­kha­jātaka (Ja 353)

“Walaupun sekarang Anda,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Bhesakalāvana dekat Suṁsumāragiri di negeri Bhagga, tentang Pangeran Bodhi.

Pangeran itu adalah putra dari Udena dan pada saat itu bertempat tinggal di Suṁsumāragiri. Ia memerintahkan seorang tukang bangunan yang sangat ahli untuk membangun sebuah istana yang diberi nama Kokanada, memintanya untuk membuat istana itu tidak sama dengan istana raja-raja lainnya. [158] Dan kemudian ia berpikir, “Tukang ini mungkin akan membangun istana yang sama untuk raja yang lain nantinya.” Dikuasai oleh rasa iri, ia pun mencungkil matanya keluar.

Kejadian ini pun tersebar sampai kepada para bhikkhu, kemudian mereka mulai membicarakannya di dalam balai kebenaran, dengan berkata, “Āvuso, Pangeran Bodhi mencungkil keluar mata dari seorang tukang bangunan anu. Pastilah ia orang yang kasar, kejam, dan bengis.” Sang Guru datang dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan, setelah mendengar jawabannya, Beliau berkata, “Bukan hanya kali ini, para Bhikkhu, tetapi juga di masa lampau, ia memiliki sifat yang sama, dan di masa lampau, ia mencungkil keluar mata dari seribu kesatria dan setelah membunuh mereka, ia memberikan daging mereka sebagai korban persembahan.”

Dan setelah berkata demikian, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

____________________

Dahulu kala ketika Brahmadatta berkuasa di Benares, Bohisatta terlahir sebagai seorang guru yang sangat terkemuka di Takkasila, dan anak-anak dari kaum kesatria dan brahmana datang dari seluruh India untuk mendapatkan pendidikan darinya. Putra Raja Benares juga, Pangeran Brahmadatta, diajarkan tiga kitab Weda olehnya.

Pada saat itu sifat dari pangeran ini adalah kasar, kejam, dan bengis. Dengan kemampuannya meramal dengan melihat tanda-tanda dari penampilan luar seseorang, Bodhisatta mengetahui sifatnya ini dan berkata, “Temanku, Anda adalah orang yang kasar, kejam, dan bengis. Dan kekuasaan yang diperoleh seseorang dengan menggunakan kekerasan tidaklah bertahan lama: di saat kekuasaannya menghilang (dari dirinya), ia akan sama seperti sebuah kapal yang karam di tengah samudra. Ia tidak akan pernah mendapatkan tempat perlindungan. Oleh karenanya, janganlah menjadi orang yang memiliki sifat demikian.”

Dan untuk memberinya nasihat, ia mengucapkan dua bait berikut:

Walaupun sekarang Anda dipenuhi
dengan segala ketenangan dan kecukupan,
hidup yang demikian menyenangkan ini
mungkin hanya berlangsung singkat.
Jika kekayaanmu habis,
janganlah terlalu bersedih,
hadapilah seperti pelaut yang menghadapi badai di tengah lautan.
Setiap orang akan memperoleh hasil
sesuai perbuatannya masing-masing,
menuai hasil sesuai dengan apa yang ditaburnya,
apakah berupa tanaman yang bagus atau tanaman yang tidak bagus.
[159] Kemudian ia berpamitan dengan gurunya dan pulang kembali ke Benares. Setelah menunjukkan keahliannya dalam segala ilmu pengetahuan kepada ayahnya, ia diberikan jabatan sebagai wakil raja, dan sepeninggal ayahnya, ia pun mewarisi kerajaan itu. Pendeta kerajaannya, yang bernama Piṅgiya (Pingiya), adalah orang yang kasar dan kejam. Dipenuhi dengan rasa serakah atas ketenaran, ia berpikir, “Bagaimana jika saya membuat semua pemimpin di India ditangkap oleh raja ini, dan jika ia melakukannya, ia akan menjadi raja tunggal dan saya akan menjadi pendeta kerajaan tunggal?” Dan ia pun (berhasil) membuat raja mendengarkan kata-katanya.
Raja bergerak maju dengan sejumlah besar bala tentara dan menyerang kota, kemudian menawan rajanya. Dengan cara yang sama, ia mendapatkan kekuasaan di seluruh India, dan setelah menawan seribu raja, ia pun pergi untuk menaklukkan Takkasila.

Bodhisatta membangun benteng kotanya dan membuatnya tidak dapat dilewati oleh musuh-musuhnya. Dan Raja Benares memerintahkan pengawalnya untuk membuat pelindung (kanopi) dan memasang kain penutup (tirai), di bawah sebuah pohon beringin yang besar di tepi Sungai Gangga. Dan setelah ranjang dipersiapkan untuknya, ia pun beristirahat di sana. Karena telah berperang di seluruh India dan berhasil menawan seribu orang raja, dan gagal sewaktu menyerang Takkasila, ia kemudian bertanya kepada pendeta kerajaannya, “Guru, walaupun kita tiba di sini dengan terlebih dahulu telah menawan seribu orang raja, tetapi kita tidak berhasil mendapatkan Takkasila. Apa yang harus kita lakukan?’

“Paduka,” jawabnya, “cungkillah mata dari seribu orang raja itu [160] dan ambil daging mereka dengan membelah perut mereka memasaknya sebagai lima jenis daging yang lezat dan membuatnya menjadi korban persembahan untuk dipersembahkan kepada dewa pohon beringin ini, kemudian kelilingi pohon ini dengan menggunakan darah yang dibuat sedalam lima aṅgula. Dengan demikian, kemenangan pasti segera menjadi milik kita.”

Raja pun menyetujuinya dan menyembunyikan para algojo di belakang tirai. Ia memanggil tawanannya satu per satu, dan setelah para algojo itu meremas tangan raja-raja itu sampai mereka tidak menyadarkan diri, ia pun mengeluarkan mata mereka.

Setelah mereka mati, ia mengambil daging mereka dan membuang mayat mereka di Sungai Gangga. Kemudian ia pun mempersiapkan kurban persembahan seperti yang diuraikan di atas, menabuh genderang dan pergi untuk bertempur kembali.

Sesosok yaksa yang datang dari menara pengawas mencungkil keluar mata kanan raja itu. Ia merasa sangat kesakitan, dan dilanda dengan rasa sakit yang amat menyakitkan, ia berbaring di tempat duduknya yang ada di bawah kaki pohon beringin. Kala itu, seekor burung hering sedang membawa sepotong daging yang memiliki tulang yang berujung tajam di mulutnya dan bertengger di puncak pohon beringin itu. Setelah memakan daging dari tulang itu, ia menjatuhkan tulangnya dan ujung tajam dari tulang itu, seperti tombak besi, mengenai mata kiri raja, dan membuatnya menjadi hancur juga.

Saat itu, raja teringat akan kata-kata Bodhisatta, dan berkata, “Guru kami berkata, ‘Setiap orang akan memperoleh hasil sesuai dengan perbuatannya, menuai apa yang ditaburnya’. Menurutku, ia mengetahui semua ini dari pengetahuannya sendiri.”

Dan dalam ratapannya, ia berkata kepada Pingiya dalam dua bait kalimat berikut:

Akhirnya sekarang saya mengetahui kebenaran
yang diajarkan oleh sang guru di saat diriku
masih muda dan lengah:
‘Janganlah melakukan kejahatan,’ ia berpesan,
‘kalau tidak, perbuatan itu akan membuahkan hasil
yang buruk bagimu suatu hari nanti.’
Di bawah dahan-dahan dan daun-daun dari pohon yang rindang ini,
kuberikan kurban persembahan ditambah dengan wewangian cendana.
Di sini jugalah kubunuh seribu orang kesatria (raja),
dan penderitaan yang dialami oleh mereka harus kualami sendiri sekarang.
[161] Sewaktu demikian meratap, ia teringat kepada permaisurinya dan mengulangi bait berikut:
Wahai Ubbarī, ratuku yang tubuhnya berwarna gelap,
lentur seperti pohon moringa103 yang menawan,
yang tubuhmu selalu diolesi dengan cendana,
bagaimana saya hidup menderita karena tidak bisa lagi melihat dirimu?
Kematian lebih tidak menderita dibandingkan dengan keadaan ini.
Sewaktu sedang meratap demikian, ia pun menemui ajalnya dan terlahir kembali di alam neraka. Pendeta kerajaannya yang sangat berambisi dengan kekuasaan itu tidak dapat menyelamatkannya, ia juga tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Setelah ia meninggal, semua bala tentara itu terpecah dan kabur melarikan diri.

____________________

Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, Pangeran Bodhi adalah raja perampas, Devadatta adalah Piṅgiya (Pingiya), dan saya sendiri adalah guru yang terkemuka.”

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com