KĀRAṆḌIYA-JĀTAKA
Koraṇḍiyajātaka (Ja 356)
“Mengapa di dalam hutan, dan seterusnya.” Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang Panglima Dhamma (Sāriputta).
Dikatakan bahwasanya sang thera akan memberikan wejangan Dhamma kepada siapa saja yang datang kepadanya, bahkan kepada pemburu, nelayan dan lain sebagainya yang berakhlak bejat, dengan mengatakan, “Ambillah sila.”
Dikarenakan rasa hormat kepada beliau, mereka tidak bisa tidak mematuhi kata-kata beliau dan akan mengambil sila, tetapi mereka tidak menjalankannya (menjaganya), mereka tetap menjalankan apa yang telah menjadi usaha mereka sendiri.
Sang thera berkonsultasi dengan para bhikkhu lainnya dan berkata, “Āvuso, orang-orang ini mengambil sila dari saya, tetapi tidak menjalankannya.” [171] Mereka menjawab, “Bhante, Anda meminta mereka mengambil sila di luar keinginan mereka, dan mereka menerimanya karena tidak berani menentangmu. Mulai sekarang, janganlah memberikan sila kepada orang-orang seperti mereka lagi.” Sang thera dipenuhi dengan rasa penyesalan.
Ketika mendengar kejadian ini, para bhikkhu memulai sebuah pembicaraan di dalam balai kebenaran tentang Thera Sariputta yang memberikan wejangan Dhamma kepada siapa saja yang dijumpainya (datang kepadanya). Sang Guru datang dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan, dan setelah mendengar jawabannya, Beliau berkata, “Bukan hanya kali ini, para Bhikkhu, tetapi di masa lampau juga ia memberikan wejangan (Dhamma) kepada siapa saja yang dijumpainya walaupun mereka tidak memintanya.”
Dan berikut ini Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir dan tumbuh dewasa di dalam sebuah keluarga brahmana, dan menjadi siswa utama dari seorang guru yang sangat terkemuka di Takkasila, bernama Kāraṇḍiya (Karandiya).
Pada waktu itu, sang guru selalu memberikan wejangan (Dhamma) kepada siapa saja yang dijumpainya, para nelayan dan lain sebagainya, walauupun mereka tidak memintanya, dan secara terus-menerus meminta mereka untuk mengambil sila. Dan meskipun mereka menerimanya, tetapi mereka tidak menjalankannya.
Sang guru membicarakan hal ini dengan para siswanya. Mereka berkata, “Bhante, Anda memberikan wejangan kepada mereka di luar keinginan mereka, oleh sebab itu mereka tidak menjalankannya. Makanya mulai saat ini, berikanlah wejangan kepada orang-orang yang menginginkannya, jangan memberikan wejangan kepada orang-orang yang tidak menginginkannya.” Sang guru dipenuhi dengan rasa penyesalan. Walaupun demikian, ia tetap memberikan wejangan kepada setiap orang yang dijumpainya.
Pada suatu hari, beberapa orang datang dari suatu perkampungan dan mengundang sang guru untuk menerima dana makanan yang dipersembahkan kepada para brahmana. Ia memanggil siswanya yang bernama Karandiya dan berkata, “Siswaku, saya tidak pergi. Anda yang pergi ke sana dengan lima ratus orang siswa lainnya, dan terimalah dana makanannya, kemudian bawakan bagian saya ke sini.” Demikian ia meminta siswanya pergi.
Karandiya pun berangkat, dan dalam perjalanannya kembali, ia melihat sebuah gua, kemudian terpikir olehnya, “Guru kami memberikan wejangan kepada setiap orang yang dijumpainya meskipun mereka tidak memintanya. Mulai saat ini, saya akan membuatnya memberikan wejangan hanya kepada orang-orang yang ingin mendengarkannya.” [172] Dan ketika siswa-siswa lainnya sedang duduk dengan tenang, ia bangkit dari duduknya dan mengambil sebongkah batu besar, memukulkannya ke gua secara berulang-ulang.
Kemudian siswa lainnya berdiri dan berkata, “Guru, apa yang sedang Anda lakukan?” Karandiya tidak menjawab sepatah kata pun. Kemudian mereka bergegas menjumpai sang guru dan memberitahukannya kepada beliau. Sang guru datang dan berbicara dengannya dalam bait pertama berikut:
Mengapa di dalam hutan, seorang diri,
dengan memegang sebongkah batu besar,
Anda memukulkannya secara berulang-ulang,
untuk mengisi gua gunung?
Mendengar kata-kata ini, Karandiya mengucapkan bait kedua berikut untuk menyadarkan gurunya:
Saya akan membuat daratan yang dikelilingi laut ini
menjadi rata seperti telapak tangan manusia:
Demikian saya akan meratakan bukit ini,
memukulnya secara berulang-ulang dengan batu.
Brahmana itu, mengucapkan bait ketiga berikut setelah mendengarkan perkataannya:—
Tidak ada seorang manusia pun
yang mempunyai kekuatan untuk meratakan bumi.
Jangan terlalu berharap, Karandiya,
untuk meratakan sebuah gua.
[173] Siswanya mengucapkan bait keempat ini setelah mendengar perkataan gurunya:—
Jika seorang manusia tidak mempunyai
kekuatan untuk meratakan bumi,
maka, Brahmana, para titthiya juga bisa
menolak untuk menerima ajaran Anda.
Mendengar perkataan siswanya ini, sang guru membalas dengan jawaban yang tepat. Karena pada saat itu ia baru menyadari bahwa orang lain mungkin saja berbeda dengannya, dan ia berpikir, “Saya tidak akan bertindak seperti itu lagi,” kemudian mengucapkan bait kelima berikut:—
Teman Karandiya, singkatnya,
Anda melakukan semua ini untuk kebaikanku:
Bumi tidak dapat diratakan,
demikian pula halnya bahwa tidak semua orang
dapat setuju dengan hal yang sama.
Demikian sang guru memberikan pujian terhadap siswanya. Dan siswanya itu, setelah memberikan nasihat kepada sang guru, pulang kembali bersamanya.
____________________
[174] Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka setelah menyampaikan uraian ini: “Pada masa itu, Sāriputta adalah brahmana, dan saya sendiri adalah Kāraṇḍiya (Karandiya).”
Dikatakan bahwasanya sang thera akan memberikan wejangan Dhamma kepada siapa saja yang datang kepadanya, bahkan kepada pemburu, nelayan dan lain sebagainya yang berakhlak bejat, dengan mengatakan, “Ambillah sila.”
Dikarenakan rasa hormat kepada beliau, mereka tidak bisa tidak mematuhi kata-kata beliau dan akan mengambil sila, tetapi mereka tidak menjalankannya (menjaganya), mereka tetap menjalankan apa yang telah menjadi usaha mereka sendiri.
Sang thera berkonsultasi dengan para bhikkhu lainnya dan berkata, “Āvuso, orang-orang ini mengambil sila dari saya, tetapi tidak menjalankannya.” [171] Mereka menjawab, “Bhante, Anda meminta mereka mengambil sila di luar keinginan mereka, dan mereka menerimanya karena tidak berani menentangmu. Mulai sekarang, janganlah memberikan sila kepada orang-orang seperti mereka lagi.” Sang thera dipenuhi dengan rasa penyesalan.
Ketika mendengar kejadian ini, para bhikkhu memulai sebuah pembicaraan di dalam balai kebenaran tentang Thera Sariputta yang memberikan wejangan Dhamma kepada siapa saja yang dijumpainya (datang kepadanya). Sang Guru datang dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan, dan setelah mendengar jawabannya, Beliau berkata, “Bukan hanya kali ini, para Bhikkhu, tetapi di masa lampau juga ia memberikan wejangan (Dhamma) kepada siapa saja yang dijumpainya walaupun mereka tidak memintanya.”
Dan berikut ini Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir dan tumbuh dewasa di dalam sebuah keluarga brahmana, dan menjadi siswa utama dari seorang guru yang sangat terkemuka di Takkasila, bernama Kāraṇḍiya (Karandiya).
Pada waktu itu, sang guru selalu memberikan wejangan (Dhamma) kepada siapa saja yang dijumpainya, para nelayan dan lain sebagainya, walauupun mereka tidak memintanya, dan secara terus-menerus meminta mereka untuk mengambil sila. Dan meskipun mereka menerimanya, tetapi mereka tidak menjalankannya.
Sang guru membicarakan hal ini dengan para siswanya. Mereka berkata, “Bhante, Anda memberikan wejangan kepada mereka di luar keinginan mereka, oleh sebab itu mereka tidak menjalankannya. Makanya mulai saat ini, berikanlah wejangan kepada orang-orang yang menginginkannya, jangan memberikan wejangan kepada orang-orang yang tidak menginginkannya.” Sang guru dipenuhi dengan rasa penyesalan. Walaupun demikian, ia tetap memberikan wejangan kepada setiap orang yang dijumpainya.
Pada suatu hari, beberapa orang datang dari suatu perkampungan dan mengundang sang guru untuk menerima dana makanan yang dipersembahkan kepada para brahmana. Ia memanggil siswanya yang bernama Karandiya dan berkata, “Siswaku, saya tidak pergi. Anda yang pergi ke sana dengan lima ratus orang siswa lainnya, dan terimalah dana makanannya, kemudian bawakan bagian saya ke sini.” Demikian ia meminta siswanya pergi.
Karandiya pun berangkat, dan dalam perjalanannya kembali, ia melihat sebuah gua, kemudian terpikir olehnya, “Guru kami memberikan wejangan kepada setiap orang yang dijumpainya meskipun mereka tidak memintanya. Mulai saat ini, saya akan membuatnya memberikan wejangan hanya kepada orang-orang yang ingin mendengarkannya.” [172] Dan ketika siswa-siswa lainnya sedang duduk dengan tenang, ia bangkit dari duduknya dan mengambil sebongkah batu besar, memukulkannya ke gua secara berulang-ulang.
Kemudian siswa lainnya berdiri dan berkata, “Guru, apa yang sedang Anda lakukan?” Karandiya tidak menjawab sepatah kata pun. Kemudian mereka bergegas menjumpai sang guru dan memberitahukannya kepada beliau. Sang guru datang dan berbicara dengannya dalam bait pertama berikut:
Mengapa di dalam hutan, seorang diri,
dengan memegang sebongkah batu besar,
Anda memukulkannya secara berulang-ulang,
untuk mengisi gua gunung?
Mendengar kata-kata ini, Karandiya mengucapkan bait kedua berikut untuk menyadarkan gurunya:
Saya akan membuat daratan yang dikelilingi laut ini
menjadi rata seperti telapak tangan manusia:
Demikian saya akan meratakan bukit ini,
memukulnya secara berulang-ulang dengan batu.
Brahmana itu, mengucapkan bait ketiga berikut setelah mendengarkan perkataannya:—
Tidak ada seorang manusia pun
yang mempunyai kekuatan untuk meratakan bumi.
Jangan terlalu berharap, Karandiya,
untuk meratakan sebuah gua.
[173] Siswanya mengucapkan bait keempat ini setelah mendengar perkataan gurunya:—
Jika seorang manusia tidak mempunyai
kekuatan untuk meratakan bumi,
maka, Brahmana, para titthiya juga bisa
menolak untuk menerima ajaran Anda.
Mendengar perkataan siswanya ini, sang guru membalas dengan jawaban yang tepat. Karena pada saat itu ia baru menyadari bahwa orang lain mungkin saja berbeda dengannya, dan ia berpikir, “Saya tidak akan bertindak seperti itu lagi,” kemudian mengucapkan bait kelima berikut:—
Teman Karandiya, singkatnya,
Anda melakukan semua ini untuk kebaikanku:
Bumi tidak dapat diratakan,
demikian pula halnya bahwa tidak semua orang
dapat setuju dengan hal yang sama.
Demikian sang guru memberikan pujian terhadap siswanya. Dan siswanya itu, setelah memberikan nasihat kepada sang guru, pulang kembali bersamanya.
____________________
[174] Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka setelah menyampaikan uraian ini: “Pada masa itu, Sāriputta adalah brahmana, dan saya sendiri adalah Kāraṇḍiya (Karandiya).”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com