CULLADHAMMAPĀLA-JĀTAKA
Cūḷadhammapālajātaka (Ja 358)
“Ratu Mahapatapa yang malang,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Veluvana, tentang percobaan Devadatta untuk membunuh Bodhisatta.
Dalam semua kelahirannya, Devadatta selalu tidak berhasil menimbulkan ketakutan sekecil apa pun di dalam diri Bodhisatta.
[178] Dalam Culladhammapalā-Jātaka ini, ketika Bodhisatta hanya berusia tujuh bulan, Devadatta menyuruh orang untuk memotong tangan, kaki, dan kepalanya, dan badannya dikelilingi dengan bekas tusukan pedang, seolah-olah seperti lingkaran untaian bunga.
Dalam Daddara-Jātaka109, ia membunuhnya dengan mematahkan lehernya dan memanggang dagingnya dengan sebuah pemanggang dan memakannya. Dalam Khantivādi-Jātaka110 ia menyuruh orang untuk mencambuknya sebanyak dua ribu kali dan memerintahkan orang itu untuk memotong tangan, kaki, telinga dan hidungnya, kemudian menyeretnya dengan menjambak rambutnya, dan ketika ia telah dibaringkan dengan bersandar pada punggungnya, ia menendang perut Beliau dan pergi, dan Bodhisatta meninggal pada hari itu juga. Dalam Cullanandaka-Jātaka dan Vevaṭiyakapi-Jātaka111 ia menyuruh orang untuk langsung membunuhnya.
Demikianlah dalam kurun waktu yang lama Devadatta tetap mencoba untuk membunuhnya dan selalu melakukannya, bahkan setelah beliau menjadi seorang Buddha. Maka pada suatu hari para bhikkhu memulai sebuah pembicaraan di dalam balai kebenaran, dengan berkata, “Āvuso, Devadatta terus-menerus berusaha untuk membunuh Sang Buddha. Dipenuhi dengan pikiran untuk membunuh Yang Tercerahkan Sempurna, ia menyuruh pemanah untuk memanah Beliau, ia menggulingkan batu untuk membunuh Beliau, dan melepaskan Gajah Nālāgiri untuk menyerang Beliau.”
Ketika Sang Guru datang dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan, dan setelah mendengar jawabannya, Beliau berkata, “Para Bhikkhu, bukan hanya kali ini, tetapi di masa lampau juga ia selalu berusaha untuk membunuhku. Akan tetapi, ia tidak berhasil menimbulkan ketakutan sekecil apa pun di dalam diriku, walaupun di masa lampau ketika saya terlahir sebagai Pangeran Dhammapāla, ia membunuhku meskipun saya adalah anak kandungnya sendiri, badanku dikelilinginya dengan bekas tusukan pedang, seolaholah seperti lingkaran untaian bunga.” Dan setelah berkata demikian, Beliau menghubungkannya dengan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika Mahāpatāpa (Mahapatapa) memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai putranya dari permaisurinya yang bernama Candā (Canda), dan mereka memberinya nama Dhammapāla (Dhammapala).
Ketika ia berusia tujuh bulan, ibunya meminta pelayan untuk memandikannya dengan air yang wangi, memakaikan pakaian yang mewah dan duduk bermain bersama (di pangkuannya). Raja mengunjungi istana tempat ratu berada. Karena sedang asyik bermain dengannya dan demikian dipenuhi dengan kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya, ratu lalai untuk berdiri menyambut kedatangan raja. Raja berpikir, “Bahkan sekarang saja wanita ini sudah dipenuhi keangkuhan disebabkan oleh keberadaan anaknya, dan tidak menghargai diriku. Nanti, setelah anak ini dewasa, ratu akan berpikir, ‘Saya sudah memiliki seorang laki-laki, putraku,’ dan tidak akan memedulikan diriku lagi. Saya akan segera menyuruh orang untuk membunuh anak itu.”
Maka raja kembali ke istananya, dan duduk di singgasananya. Ia memanggil seorang algojo untuk menghadap, dengan membawa semua peralatan yang ada di tempatnya. [179] Algojo itu mengenakan jubah kuning dan untaian bunga merah, membawa kapak dan pisau di bahunya dan pentungan di tangannya, datang dan berdiri di hadapan raja, seraya memberikan penghormatan berkata, “Ada perintah apa, Paduka?”
“Pergilah ke kamar ratu dan bawalah Dhammapala ke sini,” perintah raja.
Ratu yang mengetahui bahwa raja pergi dari tempatnya dalam keadaan marah, menimang Bodhisatta dan duduk sambil menangis. Algojo datang dan merampas anak itu dari pelukan sang ibu, kemudian membawanya ke hadapan raja seraya berkata, “Apa perintahmu selanjutnya, Paduka?” Raja memerintahkan pelayannya untuk membawakan sebuah papan, dan berkata, “Baringkanlah ia di sana (papan itu).” Algojo pun melakukannya. Kemudian Ratu Canda tiba dan berdiri persis di belakang putranya sambil menangis. Lagi algojo itu bertanya, “Apa perintahmu selanjutnya, Paduka?” “Potong kedua tangan Dhammapala,” perintah raja. Ratu Canda berkata, “Paduka, putraku masih kecil, baru berusia tujuh bulan. Ia tidak tahu apa-apa, ia tidak bersalah. Jika harus ada yang disalahkan, salahkanlah saya. Oleh sebab itu, janganlah memotong tangannya.”
Dan untuk menjelaskan maksudnya, ratu mengucapkan bait pertama berikut:
Ratu Mahapatapa yang malang,
saya sendirilah yang harus disalahkan.
Bebaskanlah Dhammapala, Paduka,
potong saja kedua tanganku yang malang ini.
Raja memandang ke arah algojonya. “Apa perintahmu, Paduka?” “Jangan tunda lagi, segeralah potong kedua tangannya,” jawab raja. Pada waktu itu algojo mengambil kapak yang tajam itu dan memotong kedua tangan bayi laki-laki tersebut, seolah-olah seperti terpotong oleh bambu. [180] Ketika tangannya terpotong, bayi laki-laki itu tidak menangis ataupun meratap, menerimanya dengan penuh kesabaran dan cinta kasih. Tetapi Ratu Canda meletakkan kedua tangan Bodhisatta di pangkuannya, berlumuran darah dan meratapinya. Algojo kemudian kembali bertanya, “Apa perintahmu selanjutnya, Paduka?” “Potong kedua kakinya,” kata raja.
Mendengar jawaban dari raja, Ratu Canda kemudian mengucapkan bait kedua berikut:
Ratu Mahapatapa yang malang,
saya sendirilah yang harus disalahkan.
Bebaskanlah Dhammapala, Paduka,
potong saja kedua kakiku yang malang ini.
Tetapi raja memberikan tanda kepada algojo dan ia pun memotong kedua kakinya. Ratu Canda juga meletakkan kedua kaki putranya di pangkuannya, berlumuran darah dan meratapinya, seraya berkata, “Raja Mahapatapa, kedua kaki dan tangannya telah terpotong. Seorang ibu sudah seharusnya melindungi anak-anaknya. Saya akan menghidupinya sendiri, kembalikanlah ia kepadaku.” Algojo kemudian bertanya lagi, Paduka, apakah ada perintah yang lain lagi? apakah tugasku sudah selesai?” “Belum,” kata raja. “Kalau begitu, apa perintahmu selanjutnya, Paduka?” “Penggal kepalanya,” kata raja.
Kemudian Ratu Canda mengucapkan bait ketiga berikut:
Ratu Mahapatapa yang malang,
saya sendirilah yang harus disalahkan.
Bebaskanlah Dhammapala, Paduka,
penggal saja kepalaku yang malang ini.
Setelah mengucapkan perkataan itu, Ratu Canda menyerahkan kepalanya. Kembali algojo bertanya, “Apa perintahmu, Paduka?” “Penggal kepala bayi itu,” kata raja. “Ada lagi yang harus saya lakukan, Paduka?” “Tusuklah ia dengan pedangmu,” kata raja, “lingkari badannya dengan tusukan pedanganmu, seolah-olah seperti lingkaran untaian bunga.” Kemudian algojo melemparkan tubuh bayi laki-laki itu ke atas dan menusuknya dengan ujung pedangnya, membuat lingkaran dengan tusukan pedangnya seperti lingkaran untaian bunga, dan menyebarkan potongan-potongan tubuhnya di pentas.
Ratu Canda kemudian meletakkan daging Bodhisatta di pangkuannya, dan duduk sambil meratapinya, mengucapkan bait-bait ini:
[181] Tidak ada menteri baik yang menasihati raja,
‘Jangan bunuh ahli waris dari darah dagingmu sendiri.’
Tidak ada sanak keluarga yang memohon pengampunan,
‘Jangan bunuh bayi yang berutang hidupnya kepadamu.’
Selanjutnya setelah mengucapkan dua bait kalimat di atas, Ratu Canda mengucapkan bait ketiga berikut dengan kedua tangannya diletakkan di depan dada:—
Kamu, Dhammapala, lahir di keluarga terpandang:
Lenganmu, yang tadinya bermandikan minyak cendana,
sekarang berlumuran darah:
Dera nafasku tidak menentu tersendat
oleh isak tangis yang tersedu-sedu.
Selagi demikian meratapinya, jantungnya berhenti berdetak, seperti batang bambu yang patah ketika hutan terbakar, dan ia pun terbaring tak bernyawa di tempat. Demikian juga halnya dengan raja, karena tidak bisa bertahan di takhtanya, terjatuh ke pentas. Lantainya terbelah, menimbulkan sebuah lubang yang dalam dan menyebabkan raja terjatuh ke dalamnya. Kemudian bumi yang tebalnya lebih dari dua ratus ribu yojana terus terbelah karena tidak dapat menahan kekejaman raja. Kobaran api muncul dari Neraka Avīci dan menangkapnya, menyelimutinya dengan ketat, seolah-olah seperti pakaian kerajaan yang terbuat dari wol, [182] dan memasukkannya ke dalam Neraka Avīci. Para pejabat kerajaannya kemudian melaksanakan upacara pemakaman untuk Ratu Canda dan Bodhisatta.
____________________
Setelah menyelesaikan uraian-Nya, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, Devadatta adalah raja, Mahāpajāpatī adalah Candā (Canda) dan saya sendiri adalah Pangeran Dhammapāla (Dhammapala).”
Dalam semua kelahirannya, Devadatta selalu tidak berhasil menimbulkan ketakutan sekecil apa pun di dalam diri Bodhisatta.
[178] Dalam Culladhammapalā-Jātaka ini, ketika Bodhisatta hanya berusia tujuh bulan, Devadatta menyuruh orang untuk memotong tangan, kaki, dan kepalanya, dan badannya dikelilingi dengan bekas tusukan pedang, seolah-olah seperti lingkaran untaian bunga.
Dalam Daddara-Jātaka109, ia membunuhnya dengan mematahkan lehernya dan memanggang dagingnya dengan sebuah pemanggang dan memakannya. Dalam Khantivādi-Jātaka110 ia menyuruh orang untuk mencambuknya sebanyak dua ribu kali dan memerintahkan orang itu untuk memotong tangan, kaki, telinga dan hidungnya, kemudian menyeretnya dengan menjambak rambutnya, dan ketika ia telah dibaringkan dengan bersandar pada punggungnya, ia menendang perut Beliau dan pergi, dan Bodhisatta meninggal pada hari itu juga. Dalam Cullanandaka-Jātaka dan Vevaṭiyakapi-Jātaka111 ia menyuruh orang untuk langsung membunuhnya.
Demikianlah dalam kurun waktu yang lama Devadatta tetap mencoba untuk membunuhnya dan selalu melakukannya, bahkan setelah beliau menjadi seorang Buddha. Maka pada suatu hari para bhikkhu memulai sebuah pembicaraan di dalam balai kebenaran, dengan berkata, “Āvuso, Devadatta terus-menerus berusaha untuk membunuh Sang Buddha. Dipenuhi dengan pikiran untuk membunuh Yang Tercerahkan Sempurna, ia menyuruh pemanah untuk memanah Beliau, ia menggulingkan batu untuk membunuh Beliau, dan melepaskan Gajah Nālāgiri untuk menyerang Beliau.”
Ketika Sang Guru datang dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan, dan setelah mendengar jawabannya, Beliau berkata, “Para Bhikkhu, bukan hanya kali ini, tetapi di masa lampau juga ia selalu berusaha untuk membunuhku. Akan tetapi, ia tidak berhasil menimbulkan ketakutan sekecil apa pun di dalam diriku, walaupun di masa lampau ketika saya terlahir sebagai Pangeran Dhammapāla, ia membunuhku meskipun saya adalah anak kandungnya sendiri, badanku dikelilinginya dengan bekas tusukan pedang, seolaholah seperti lingkaran untaian bunga.” Dan setelah berkata demikian, Beliau menghubungkannya dengan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika Mahāpatāpa (Mahapatapa) memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai putranya dari permaisurinya yang bernama Candā (Canda), dan mereka memberinya nama Dhammapāla (Dhammapala).
Ketika ia berusia tujuh bulan, ibunya meminta pelayan untuk memandikannya dengan air yang wangi, memakaikan pakaian yang mewah dan duduk bermain bersama (di pangkuannya). Raja mengunjungi istana tempat ratu berada. Karena sedang asyik bermain dengannya dan demikian dipenuhi dengan kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya, ratu lalai untuk berdiri menyambut kedatangan raja. Raja berpikir, “Bahkan sekarang saja wanita ini sudah dipenuhi keangkuhan disebabkan oleh keberadaan anaknya, dan tidak menghargai diriku. Nanti, setelah anak ini dewasa, ratu akan berpikir, ‘Saya sudah memiliki seorang laki-laki, putraku,’ dan tidak akan memedulikan diriku lagi. Saya akan segera menyuruh orang untuk membunuh anak itu.”
Maka raja kembali ke istananya, dan duduk di singgasananya. Ia memanggil seorang algojo untuk menghadap, dengan membawa semua peralatan yang ada di tempatnya. [179] Algojo itu mengenakan jubah kuning dan untaian bunga merah, membawa kapak dan pisau di bahunya dan pentungan di tangannya, datang dan berdiri di hadapan raja, seraya memberikan penghormatan berkata, “Ada perintah apa, Paduka?”
“Pergilah ke kamar ratu dan bawalah Dhammapala ke sini,” perintah raja.
Ratu yang mengetahui bahwa raja pergi dari tempatnya dalam keadaan marah, menimang Bodhisatta dan duduk sambil menangis. Algojo datang dan merampas anak itu dari pelukan sang ibu, kemudian membawanya ke hadapan raja seraya berkata, “Apa perintahmu selanjutnya, Paduka?” Raja memerintahkan pelayannya untuk membawakan sebuah papan, dan berkata, “Baringkanlah ia di sana (papan itu).” Algojo pun melakukannya. Kemudian Ratu Canda tiba dan berdiri persis di belakang putranya sambil menangis. Lagi algojo itu bertanya, “Apa perintahmu selanjutnya, Paduka?” “Potong kedua tangan Dhammapala,” perintah raja. Ratu Canda berkata, “Paduka, putraku masih kecil, baru berusia tujuh bulan. Ia tidak tahu apa-apa, ia tidak bersalah. Jika harus ada yang disalahkan, salahkanlah saya. Oleh sebab itu, janganlah memotong tangannya.”
Dan untuk menjelaskan maksudnya, ratu mengucapkan bait pertama berikut:
Ratu Mahapatapa yang malang,
saya sendirilah yang harus disalahkan.
Bebaskanlah Dhammapala, Paduka,
potong saja kedua tanganku yang malang ini.
Raja memandang ke arah algojonya. “Apa perintahmu, Paduka?” “Jangan tunda lagi, segeralah potong kedua tangannya,” jawab raja. Pada waktu itu algojo mengambil kapak yang tajam itu dan memotong kedua tangan bayi laki-laki tersebut, seolah-olah seperti terpotong oleh bambu. [180] Ketika tangannya terpotong, bayi laki-laki itu tidak menangis ataupun meratap, menerimanya dengan penuh kesabaran dan cinta kasih. Tetapi Ratu Canda meletakkan kedua tangan Bodhisatta di pangkuannya, berlumuran darah dan meratapinya. Algojo kemudian kembali bertanya, “Apa perintahmu selanjutnya, Paduka?” “Potong kedua kakinya,” kata raja.
Mendengar jawaban dari raja, Ratu Canda kemudian mengucapkan bait kedua berikut:
Ratu Mahapatapa yang malang,
saya sendirilah yang harus disalahkan.
Bebaskanlah Dhammapala, Paduka,
potong saja kedua kakiku yang malang ini.
Tetapi raja memberikan tanda kepada algojo dan ia pun memotong kedua kakinya. Ratu Canda juga meletakkan kedua kaki putranya di pangkuannya, berlumuran darah dan meratapinya, seraya berkata, “Raja Mahapatapa, kedua kaki dan tangannya telah terpotong. Seorang ibu sudah seharusnya melindungi anak-anaknya. Saya akan menghidupinya sendiri, kembalikanlah ia kepadaku.” Algojo kemudian bertanya lagi, Paduka, apakah ada perintah yang lain lagi? apakah tugasku sudah selesai?” “Belum,” kata raja. “Kalau begitu, apa perintahmu selanjutnya, Paduka?” “Penggal kepalanya,” kata raja.
Kemudian Ratu Canda mengucapkan bait ketiga berikut:
Ratu Mahapatapa yang malang,
saya sendirilah yang harus disalahkan.
Bebaskanlah Dhammapala, Paduka,
penggal saja kepalaku yang malang ini.
Setelah mengucapkan perkataan itu, Ratu Canda menyerahkan kepalanya. Kembali algojo bertanya, “Apa perintahmu, Paduka?” “Penggal kepala bayi itu,” kata raja. “Ada lagi yang harus saya lakukan, Paduka?” “Tusuklah ia dengan pedangmu,” kata raja, “lingkari badannya dengan tusukan pedanganmu, seolah-olah seperti lingkaran untaian bunga.” Kemudian algojo melemparkan tubuh bayi laki-laki itu ke atas dan menusuknya dengan ujung pedangnya, membuat lingkaran dengan tusukan pedangnya seperti lingkaran untaian bunga, dan menyebarkan potongan-potongan tubuhnya di pentas.
Ratu Canda kemudian meletakkan daging Bodhisatta di pangkuannya, dan duduk sambil meratapinya, mengucapkan bait-bait ini:
[181] Tidak ada menteri baik yang menasihati raja,
‘Jangan bunuh ahli waris dari darah dagingmu sendiri.’
Tidak ada sanak keluarga yang memohon pengampunan,
‘Jangan bunuh bayi yang berutang hidupnya kepadamu.’
Selanjutnya setelah mengucapkan dua bait kalimat di atas, Ratu Canda mengucapkan bait ketiga berikut dengan kedua tangannya diletakkan di depan dada:—
Kamu, Dhammapala, lahir di keluarga terpandang:
Lenganmu, yang tadinya bermandikan minyak cendana,
sekarang berlumuran darah:
Dera nafasku tidak menentu tersendat
oleh isak tangis yang tersedu-sedu.
Selagi demikian meratapinya, jantungnya berhenti berdetak, seperti batang bambu yang patah ketika hutan terbakar, dan ia pun terbaring tak bernyawa di tempat. Demikian juga halnya dengan raja, karena tidak bisa bertahan di takhtanya, terjatuh ke pentas. Lantainya terbelah, menimbulkan sebuah lubang yang dalam dan menyebabkan raja terjatuh ke dalamnya. Kemudian bumi yang tebalnya lebih dari dua ratus ribu yojana terus terbelah karena tidak dapat menahan kekejaman raja. Kobaran api muncul dari Neraka Avīci dan menangkapnya, menyelimutinya dengan ketat, seolah-olah seperti pakaian kerajaan yang terbuat dari wol, [182] dan memasukkannya ke dalam Neraka Avīci. Para pejabat kerajaannya kemudian melaksanakan upacara pemakaman untuk Ratu Canda dan Bodhisatta.
____________________
Setelah menyelesaikan uraian-Nya, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, Devadatta adalah raja, Mahāpajāpatī adalah Candā (Canda) dan saya sendiri adalah Pangeran Dhammapāla (Dhammapala).”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com