SĪLAVĪMAṀSA-JĀTAKA
Sīlavīmaṃsajātaka (Ja 362)
“Moralitas dan pembelajaran,” dan seterusnya.
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang brahmana yang menguji kekuatan dari moralitas. Dikatakan, disebabkan oleh ketenarannya akan moralitas, raja menganugerahkan kehormatan istimewa kepadanya, di luar dari yang biasa diberikan kepada brahmana lainnya. Ia berpikir, “Apakah raja menganugerahkan kehormatan istimewa ini. kepadaku disebabkan oleh moralitasku atau pembelajaranku?
Saya akan menguji perbedaan kepentingan di antara moralitas dan pembelajaran.”
Maka pada suatu hari, ia mengambil uang dari tempat penyimpanan harta kerajaan. Bendahara, yang begitu menghormatinya, tidak mengatakan apa-apa. Hal ini terjadi lagi
untuk kedua kalinya, dan lagi bendahara itu tidak mengatakan apa pun. Tetapi pada kali ketiganya, bendahara itu menyuruh pengawal menangkapnya atas tindakannya sebagai pencuri, dan membawanya ke hadapan raja. Ketika raja menanyakan apa kesalahannya, bendahara itu mengatakan bahwa ia telah mencuri uang milik kerajaan.
[194] “Apakah itu benar, Brahmana?” kata raja.
“Saya tidak mempunyai kebiasaan untuk mencuri barang-barang milik Anda, Paduka,” jawabnya, “tetapi saya memiliki sebuah keraguan tentang perbedaan kepentingan di
antara moralitas dan pembelajaran, dan untuk menguji yang mana lebih besar kepentingannya, saya mengambil uangmu sebanyak tiga kali dan saya ditangkap, dibawa ke hadapan Anda. Sekarang saya tahu manfaat dari moralitas lebih besar dibandingkan dengan pembelajaran, saya tidak ingin menjalani kehidupan sebagai orang awam lagi. Saya akan menjadi seorang petapa.
”Setelah mendapatkan izin untuk melakukan hal yang diinginkannya, tanpa menoleh ke belakang melihat pintu rumahnya, ia langsung menuju ke Jetavana dan meminta Sang
Guru untuk menahbiskannya. Sang Guru menerima dan menahbiskannya menjadi seorang bhikkhu. Tidak lama menjalankan segala kewajibannya, ia pun memperoleh pandangan terang dan pencapaian tertinggi. Kejadian ini dibicarakan oleh para bhikkhu lainnya di dalam balai kebenaran, tentang bagaimana seorang brahmana setelah membuktikan kekuatan dari moralitas, ditahbiskan menjadi seorang bhikkhu dan memperoleh pandangan terang serta pencapaian tertinggi. Ketika Sang Guru datang dan menanyakan apa yang sedang
mereka bicarakan, setelah mendengar jawabannya, Beliau berkata, “Bukan hanya laki-laki ini, tetapi juga orang bijak di masa lampau mencoba untuk membuktikan kekuatan dari
moralitas, dan dengan menjadi seorang petapa mendapatkan jalan pembebasannya.” Dan kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga brahmana. Dan ketika dewasa, ia mempelajari semua ilmu pengetahuan di
Takkasila, dan sekembalinya dari sana ia pun menjumpai raja. Raja menawarkannya jabatan sebagai pendeta kerajaan, dan karena ia menjalankan lima latihan moralitas (sila), raja melihat dirinya sebagai orang yang bajik. Ia berpikir, “Apakah raja menghargai saya dengan hormat karena saya adalah orang yang bajik, atau karena saya berhasil dalam pembelajaran?” Dan cerita selanjutnya sama dengan cerita pembuka sebelumnya di atas, tetapi dalam kisah ini, brahmana berkata, “Sekarang saya mengetahui besarnya manfaat dari moralitas dibandingkan dengan pembelajaran.” Dan berikut ia mengucapkan lima bait kalimat berikut:
Moralitas dan pembelajaran saya coba uji;
Mulai saat itu saya tidak ragu lagi bahwa
moralitaslah yang terbaik.
Moralitas menghasilkan bentuk dan kelahiran,
dibandingkan pembelajaran yang tidak menghasilkan
apa-apa.
Seorang pangeran ataupun petani,
jika diperbudak kejahatan, tidak akan terselamatkan dari
penderitaan.
Orang yang berkasta tinggi ataupun berkasta rendah,
jika melakukan kebajikan, akan mendapatkan hal yang
sama di alam surga.
[195] Kelahiran, pengetahuan, ataupun persahabatan apa pun itu tidak berpengaruh,
sama-sama akan mendapatkan kebahagiaan.
Demikianlah Sang Mahasatwa mengumandangkan pujian-pujian tentang kebajikan, dan setelah mendapatkan izin dari raja, pada hari itu juga, ia pergi ke daerah pegunungan
Himalaya menjalankan kehidupan sebagai seorang petapa, ia mengembangkan kesaktian dan pencapaian meditasi, kemudian terlahir kembali di alam brahma.
Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, saya sendiri yang menguji kekuatan dari moralitas dan kemudian
menjalankan kehidupan suci sebagai seorang petapa.”
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang brahmana yang menguji kekuatan dari moralitas. Dikatakan, disebabkan oleh ketenarannya akan moralitas, raja menganugerahkan kehormatan istimewa kepadanya, di luar dari yang biasa diberikan kepada brahmana lainnya. Ia berpikir, “Apakah raja menganugerahkan kehormatan istimewa ini. kepadaku disebabkan oleh moralitasku atau pembelajaranku?
Saya akan menguji perbedaan kepentingan di antara moralitas dan pembelajaran.”
Maka pada suatu hari, ia mengambil uang dari tempat penyimpanan harta kerajaan. Bendahara, yang begitu menghormatinya, tidak mengatakan apa-apa. Hal ini terjadi lagi
untuk kedua kalinya, dan lagi bendahara itu tidak mengatakan apa pun. Tetapi pada kali ketiganya, bendahara itu menyuruh pengawal menangkapnya atas tindakannya sebagai pencuri, dan membawanya ke hadapan raja. Ketika raja menanyakan apa kesalahannya, bendahara itu mengatakan bahwa ia telah mencuri uang milik kerajaan.
[194] “Apakah itu benar, Brahmana?” kata raja.
“Saya tidak mempunyai kebiasaan untuk mencuri barang-barang milik Anda, Paduka,” jawabnya, “tetapi saya memiliki sebuah keraguan tentang perbedaan kepentingan di
antara moralitas dan pembelajaran, dan untuk menguji yang mana lebih besar kepentingannya, saya mengambil uangmu sebanyak tiga kali dan saya ditangkap, dibawa ke hadapan Anda. Sekarang saya tahu manfaat dari moralitas lebih besar dibandingkan dengan pembelajaran, saya tidak ingin menjalani kehidupan sebagai orang awam lagi. Saya akan menjadi seorang petapa.
”Setelah mendapatkan izin untuk melakukan hal yang diinginkannya, tanpa menoleh ke belakang melihat pintu rumahnya, ia langsung menuju ke Jetavana dan meminta Sang
Guru untuk menahbiskannya. Sang Guru menerima dan menahbiskannya menjadi seorang bhikkhu. Tidak lama menjalankan segala kewajibannya, ia pun memperoleh pandangan terang dan pencapaian tertinggi. Kejadian ini dibicarakan oleh para bhikkhu lainnya di dalam balai kebenaran, tentang bagaimana seorang brahmana setelah membuktikan kekuatan dari moralitas, ditahbiskan menjadi seorang bhikkhu dan memperoleh pandangan terang serta pencapaian tertinggi. Ketika Sang Guru datang dan menanyakan apa yang sedang
mereka bicarakan, setelah mendengar jawabannya, Beliau berkata, “Bukan hanya laki-laki ini, tetapi juga orang bijak di masa lampau mencoba untuk membuktikan kekuatan dari
moralitas, dan dengan menjadi seorang petapa mendapatkan jalan pembebasannya.” Dan kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga brahmana. Dan ketika dewasa, ia mempelajari semua ilmu pengetahuan di
Takkasila, dan sekembalinya dari sana ia pun menjumpai raja. Raja menawarkannya jabatan sebagai pendeta kerajaan, dan karena ia menjalankan lima latihan moralitas (sila), raja melihat dirinya sebagai orang yang bajik. Ia berpikir, “Apakah raja menghargai saya dengan hormat karena saya adalah orang yang bajik, atau karena saya berhasil dalam pembelajaran?” Dan cerita selanjutnya sama dengan cerita pembuka sebelumnya di atas, tetapi dalam kisah ini, brahmana berkata, “Sekarang saya mengetahui besarnya manfaat dari moralitas dibandingkan dengan pembelajaran.” Dan berikut ia mengucapkan lima bait kalimat berikut:
Moralitas dan pembelajaran saya coba uji;
Mulai saat itu saya tidak ragu lagi bahwa
moralitaslah yang terbaik.
Moralitas menghasilkan bentuk dan kelahiran,
dibandingkan pembelajaran yang tidak menghasilkan
apa-apa.
Seorang pangeran ataupun petani,
jika diperbudak kejahatan, tidak akan terselamatkan dari
penderitaan.
Orang yang berkasta tinggi ataupun berkasta rendah,
jika melakukan kebajikan, akan mendapatkan hal yang
sama di alam surga.
[195] Kelahiran, pengetahuan, ataupun persahabatan apa pun itu tidak berpengaruh,
sama-sama akan mendapatkan kebahagiaan.
Demikianlah Sang Mahasatwa mengumandangkan pujian-pujian tentang kebajikan, dan setelah mendapatkan izin dari raja, pada hari itu juga, ia pergi ke daerah pegunungan
Himalaya menjalankan kehidupan sebagai seorang petapa, ia mengembangkan kesaktian dan pencapaian meditasi, kemudian terlahir kembali di alam brahma.
Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, saya sendiri yang menguji kekuatan dari moralitas dan kemudian
menjalankan kehidupan suci sebagai seorang petapa.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com