MITTAVINDA-JĀTAKA
Mittavindakajātaka (Ja 369)
“Perbuatan buruk apa yang,” dan seterusnya.
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru sewaktu berdiam di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang sulit dinasihati. Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam MahāmittavindaJātaka126.
Kala itu, Mittavindaka menunjukkan keserakahan dirinya ketika dibuang ke tengah samudra, dan terus-menerus mendayung sampai memasuki tempat penyiksaan yang dihuni
oleh para makhluk di alam neraka. Ia terus melaju sampai akhirnya tiba di Alam Neraka Ussada, ia menganggapnya sebagai sebuah kota, dan di sana ia mendapatkan sebuah roda
berpisau yang tajam tepat berada di atas kepalanya. Kemudian Bodhisatta, yang kala itu dalam wujud seorang dewa, datang berkeliling di Neraka Ussada. Sewaktu melihatnya, Mittavindika mengucapkan bait pertama berikut dalam bentuk pertanyaan:—
Perbuatan buruk apa yang telah kuperbuat sampai
mendapatkan hukuman demikian,
kepalaku yang malang ini harus ditusuk dengan roda
berpisau?
[207] Bodhisatta mengucapkan bait kedua berikut setelah mendengar pertanyaannya:
Meninggalkan tempat tinggal yang memiliki kesenangan
dan kebahagiaan,
yang dihiasi dengan mutiara itu, dan batu kristal ini,
dan ruangan dengan kilauan emas dan perak,
apa yang membuat Anda melakukan perjalanan sampai
ke tempat yang menyedihkan ini?
Kemudian Mittavindika membalas dalam bait ketiga berikut:
‘Kesenangan yang jauh lebih besar dapat kuperoleh di
sana dibandingkan dengan kesenangan yang diperoleh
di alam ini,’
inilah pemikiranku sebelumnya yang sekarang
menyebabkan penderitaan dan membawaku ke tempat
yang menyedihkan ini.
Bodhisatta kemudian mengucapkan dua bait kalimat berikutnya:
Dari empat ke delapan, delapan ke enam belas,
dan terus berlanjut sampai ke tiga puluh dua,
keserakahan pun kian bertambah besar.
Demikianlah dirimu, wahai jiwa serakah, dibawa sampai
berakhir dengan mendapatkan roda ini di atas kepalamu.
Begitu pula dengan semuanya, yang mengikuti nafsu
keserakahan, tidak pernah merasa puas, selalu ingin dan
terus ingin mendapatkan yang lebih:
Mereka yang melewati jalan untuk selalu memenuhi
nafsu keinginan yang demikian besar,
akan berakhir seperti dirimu, menahan roda ini di atas
kepala mereka.
Selagi Mittavindika sedang berbicara, roda itu jatuh menimpanya dan menghancurkannya sehingga ia tidak bisa berkata apa pun lagi. Kemudian mahkluk dewa itu pun kembali
menuju ke kediamannya.
[208] Sang Guru, setelah uraian ini selesai, mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, bhikkhu yang sulit dinasihati itu adalah Mittavindika dan saya sendiri
adalah mahkluk dewa tersebut.”
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru sewaktu berdiam di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang sulit dinasihati. Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam MahāmittavindaJātaka126.
Kala itu, Mittavindaka menunjukkan keserakahan dirinya ketika dibuang ke tengah samudra, dan terus-menerus mendayung sampai memasuki tempat penyiksaan yang dihuni
oleh para makhluk di alam neraka. Ia terus melaju sampai akhirnya tiba di Alam Neraka Ussada, ia menganggapnya sebagai sebuah kota, dan di sana ia mendapatkan sebuah roda
berpisau yang tajam tepat berada di atas kepalanya. Kemudian Bodhisatta, yang kala itu dalam wujud seorang dewa, datang berkeliling di Neraka Ussada. Sewaktu melihatnya, Mittavindika mengucapkan bait pertama berikut dalam bentuk pertanyaan:—
Perbuatan buruk apa yang telah kuperbuat sampai
mendapatkan hukuman demikian,
kepalaku yang malang ini harus ditusuk dengan roda
berpisau?
[207] Bodhisatta mengucapkan bait kedua berikut setelah mendengar pertanyaannya:
Meninggalkan tempat tinggal yang memiliki kesenangan
dan kebahagiaan,
yang dihiasi dengan mutiara itu, dan batu kristal ini,
dan ruangan dengan kilauan emas dan perak,
apa yang membuat Anda melakukan perjalanan sampai
ke tempat yang menyedihkan ini?
Kemudian Mittavindika membalas dalam bait ketiga berikut:
‘Kesenangan yang jauh lebih besar dapat kuperoleh di
sana dibandingkan dengan kesenangan yang diperoleh
di alam ini,’
inilah pemikiranku sebelumnya yang sekarang
menyebabkan penderitaan dan membawaku ke tempat
yang menyedihkan ini.
Bodhisatta kemudian mengucapkan dua bait kalimat berikutnya:
Dari empat ke delapan, delapan ke enam belas,
dan terus berlanjut sampai ke tiga puluh dua,
keserakahan pun kian bertambah besar.
Demikianlah dirimu, wahai jiwa serakah, dibawa sampai
berakhir dengan mendapatkan roda ini di atas kepalamu.
Begitu pula dengan semuanya, yang mengikuti nafsu
keserakahan, tidak pernah merasa puas, selalu ingin dan
terus ingin mendapatkan yang lebih:
Mereka yang melewati jalan untuk selalu memenuhi
nafsu keinginan yang demikian besar,
akan berakhir seperti dirimu, menahan roda ini di atas
kepala mereka.
Selagi Mittavindika sedang berbicara, roda itu jatuh menimpanya dan menghancurkannya sehingga ia tidak bisa berkata apa pun lagi. Kemudian mahkluk dewa itu pun kembali
menuju ke kediamannya.
[208] Sang Guru, setelah uraian ini selesai, mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, bhikkhu yang sulit dinasihati itu adalah Mittavindika dan saya sendiri
adalah mahkluk dewa tersebut.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com