MŪSIKA-JĀTAKA
Mūsikajātaka (Ja 373)
“Orang-orang berkata, ‘Ke mana ia pergi,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Veluvana, tentang Ajātasattu (Ajatasattu).
Cerita pembukanya telah dikemukakan di dalam Thusa-Jātaka130.
Di sini juga Sang Guru memerhatikan pada saat bersamaan raja bermain dengan putranya dan mendengarkan khotbah Dhamma.
Dan mengetahui bahwa bahaya akan menimpa raja melalui putranya, Beliau berkata, “Paduka, raja di masa lampau mencurigai apa yang patut dicurigai dan mengurung ahli warisnya, kemudian berkata, ‘Setelah tubuhku dibakar di atas tumpukan kayu, barulah ia boleh dinobatkan menjadi penggantiku’.”
Dan dengan ini Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Di bawah pemerintahan Brahmadatta, Raja Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga brahmana, dan menjadi seorang guru yang terkemuka.
Putra dari Raja Benares, yang bernama Pangeran Yava, setelah mempelajari dan memperoleh semua ilmu pengetahuan darinya, ingin segera pulang, dan berpamitan kepadanya. Sang Guru, dengan kemampuannya yang dapat meramal dengan melihat tanda-tanda dari penampilan luar seseorang, mengetahui bahwa bahaya akan menimpa pangeran melalui putranya. Ia mempertimbangkan bagaimana cara menghilangkan bahaya itu darinya. Ia pun mulai mencari ilustrasi yang tepat untuk itu.
[216] Pada waktu itu, ada seekor kuda yang terluka di bagian bawah kakinya. Dikarenakan perawatan terhadap kakinya, kuda itu harus tetap berada di dalam kandangnya. Di dekat kandangnya terdapat sebuah sumur. Dan seekor tikus biasanya memberanikan diri keluar dari lubang sumur dan menggigiti bagian kaki kuda yang luka itu.
Kuda tidak dapat menghentikannya, dan pada suatu hari, disebabkan karena tidak dapat menahan rasa sakitnya lagi, ketika tikus datang menggigitinya, kuda menginjaknya mati dengan tapaknya dan menendangnya masuk ke dalam sumur.
Karena tidak melihat tikus itu, tukang-tukang kuda berkata, “Biasanya tikus itu selalu datang dan menggigiti bagian yang luka di kaki kuda, tetapi sekarang ia tidak terlihat lagi. Apa yang telah terjadi dengannya?”
Bodhisatta melihat semua kejadian itu dan berkata, “Dikarenakan ketidaktahuannya, orang-orang (tukang kuda) bertanya, ‘Dimana tikus itu?’ sedangkan saya tahu bahwa tikus itu telah dibunuh oleh kuda dan ditendang masuk ke dalam sumur.” Dan setelah menggunakan kejadian ini sebagai sebuah ilustrasi, Bodhisatta membuat bait pertama dan memberikannya kepada pangeran.
Kemudian sewaktu mencari ilustrasi yang lainnya lagi, Bohisatta melihat kuda yang sama itu keluar dari kandangnya menuju ke lapangan gandum ketika luka di kakinya sembuh untuk memakan gandum, dengan cara mendorong kepalanya lewat dari lubang pagar yang ada di lapangan itu. Dengan mengambil kejadian ini sebagai ilustrasi berikutnya, Bodhisatta membuat bait kedua dan memberikannya kepada pangeran.
Untuk bait yang ketiga, ia membuatnya sendiri dengan kebijaksanaannya dan juga memberikannya kepada pangeran itu. Kemudian Bodhisatta berkata, “Teman, ketika Anda naik takhta menjadi raja, pada malam hari di saat Anda hendak mandi dengan menggunakan bak mandi, jalanlah sampai ke depan anak tangga dan ucapkanlah bait pertama ini. Dan pada saat Anda memasuki kamarmu, jalanlah sampai ke bawah anak tangga dan ucapkanlah bait kedua ini. Kemudian ketika dari sana Anda naik kembali ke atas tangga, ucapkanlah bait ketiga ini.” Setelah berpesan kepadanya untuk menggunakan bait-bait tersebut, Bodhisatta pun melepas kepergiannya.
Pangeran pulang kembali ke rumahnya dan menjabat sebagai wakil raja, dan setelah ayahnya meninggal, ia naik takhta menjadi raja. Ia hanya memiliki seorang putra, dan ketika berusia enam belas tahun, putranya sangat ingin menjadi seorang raja. Dipenuhi dengan pikiran untuk membunuh ayahnya, ia berkata kepada pelayannya, “Ayahku sekarang masih muda. Di saat saya datang untuk melihat kayu pemakamannya, saya sudah akan menjadi orang yang tua renta. Kalau sudah begitu, apa gunanya takhta bagi diriku?”
“Tuanku,” kata mereka, “tidak mungkin bagimu untuk menyerang secara terang-terangan di garis depan sebagai pemberontak. Anda harus mencari suatu cara untuk membunuh ayahmu dan mengambil alih kerajaannya.” [217] Pangeran langsung menyetujuinya, dan di saat hari menjelang malam ia datang dengan membawa pedang dan berdiri di dekat bak mandi raja, bersiap-siap untuk membunuhnya.
Raja memberikan perintah kepada seorang pelayan wanitanya yang bernama Mūsikā (Musika), “Pergi dan bersihkan bak mandinya. Saya mau mandi.” Musika pun pergi ke sana dan melihat pangeran sewaktu ia sedang membersihkan bak itu.
Karena takut dirinya ketahuan oleh raja, pangeran memotong Musika menjadi dua dengan pedangnya dan memasukkan tubuhnya ke dalam bak mandi. Kemudian raja datang untuk mandi. Semua orang berkata, “Hari ini Musika si pelayan belum kembali. Di mana dan ke mana ia pergi?”
Raja berjalan menuju ke sisi bak mandi itu, sambil mengucapkan bait pertama berikut:
Orang-orang berkata, ‘Ke mana ia pergi?
Mūsikā, di manakah kamu berada?’
Hal ini hanya diketahui oleh diriku sendiri:
Di dalam sumur ia berbaring tak bernyawa.
Pangeran berpikir, “Ayahku mengetahui apa yang telah kulakukan.” Dan diliputi dengan rasa panik, ia melarikan diri dan memberitahukan semuanya kepada para pelayannya.
Setelah tujuh atau delapan hari berlalu, mereka kemudian berbincang kembali dengannya, “Tuanku, jika raja memang tahu, ia pasti tidak akan tinggal diam saja. Apa yang dikatakannya kemarin pasti hanya tebakan saja. Bunuhlah raja.” Maka pada hari lainnya, pangeran berdiri di bawah tangga dengan pedang di tangannya bermaksud menusuknya ketika raja datang.
Raja datang dan mengucapkan bait kedua berikut:
Seperti hewan yang masih memiliki beban,
Anda berkeliling ke sana ke sini,
Anda yang telah membunuh Musika,
masih ingin memakan Yava131.
[218] Pangeran itu berpikir sendiri, “Ayah telah melihatku,” dan ia kabur dalam ketakutannya.
Tetapi setelah dua minggu berlalu, ia kembali berpikir, “Saya akan membunuh raja dengan menggunakan sebuah sekop.” Maka ia mengambil alat yang berbentuk sendok besar itu dengan pegangan yang panjang, dan berdiri menyeimbangkannya.
Raja berjalan naik ke atas tangga sembari mengucapkan bait ketiga berikut:
Anda adalah seorang dungu yang malang,
seperti bayi dengan mainannya,
memegang alat panjang yang menyerupai sendok ini.
Saya yang akan membunuhmu, anak yang jahat.
Hari itu, dikarenakan tidak bisa melarikan diri, pangeran bersembah sujud di kaki raja dan berkata, “Ayah, ampunilah nyawaku.” Setelah memarahinya, raja kemudian memerintahkan pengawal untuk merantainya dan memasukkannya ke dalam penjara.
Dengan duduk di atas takhtanya yang megah dan dinaungi oleh payung putih, raja berkata, “Guru kita, seorang brahmana yang sangat terkemuka, telah meramalkan bahaya ini kepada kita dan memberikan tiga bait kalimat tersebut.”
Dengan perasaan yang amat bahagia, raja melanjutkan sisa bait kalimat tersebut:
Saya tidaklah bebas dengan tinggal di langit,
tidak juga dengan baktiku.
Ketika nyawaku diincar oleh putraku sendiri,
diriku dapat bebas dari maut
dikarenakan kekuatan dari bait-bait kalimat itu.
Pengetahuan tentang apa pun patut dipelajari,
dan pahamilah semua yang disampaikan:
Meskipun (sekarang) kalian tidak menggunakannya,
tetapi ini akan sangat bermanfaat bagimu nantinya.
[219] Akhirnya setelah raja meninggal dunia, pangeran muda pun naik takhta.
____________________
Sang Guru selesai menyampaikan uraian-Nya dan mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, guru yang terkemuka adalah saya sendiri.”
Cerita pembukanya telah dikemukakan di dalam Thusa-Jātaka130.
Di sini juga Sang Guru memerhatikan pada saat bersamaan raja bermain dengan putranya dan mendengarkan khotbah Dhamma.
Dan mengetahui bahwa bahaya akan menimpa raja melalui putranya, Beliau berkata, “Paduka, raja di masa lampau mencurigai apa yang patut dicurigai dan mengurung ahli warisnya, kemudian berkata, ‘Setelah tubuhku dibakar di atas tumpukan kayu, barulah ia boleh dinobatkan menjadi penggantiku’.”
Dan dengan ini Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Di bawah pemerintahan Brahmadatta, Raja Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga brahmana, dan menjadi seorang guru yang terkemuka.
Putra dari Raja Benares, yang bernama Pangeran Yava, setelah mempelajari dan memperoleh semua ilmu pengetahuan darinya, ingin segera pulang, dan berpamitan kepadanya. Sang Guru, dengan kemampuannya yang dapat meramal dengan melihat tanda-tanda dari penampilan luar seseorang, mengetahui bahwa bahaya akan menimpa pangeran melalui putranya. Ia mempertimbangkan bagaimana cara menghilangkan bahaya itu darinya. Ia pun mulai mencari ilustrasi yang tepat untuk itu.
[216] Pada waktu itu, ada seekor kuda yang terluka di bagian bawah kakinya. Dikarenakan perawatan terhadap kakinya, kuda itu harus tetap berada di dalam kandangnya. Di dekat kandangnya terdapat sebuah sumur. Dan seekor tikus biasanya memberanikan diri keluar dari lubang sumur dan menggigiti bagian kaki kuda yang luka itu.
Kuda tidak dapat menghentikannya, dan pada suatu hari, disebabkan karena tidak dapat menahan rasa sakitnya lagi, ketika tikus datang menggigitinya, kuda menginjaknya mati dengan tapaknya dan menendangnya masuk ke dalam sumur.
Karena tidak melihat tikus itu, tukang-tukang kuda berkata, “Biasanya tikus itu selalu datang dan menggigiti bagian yang luka di kaki kuda, tetapi sekarang ia tidak terlihat lagi. Apa yang telah terjadi dengannya?”
Bodhisatta melihat semua kejadian itu dan berkata, “Dikarenakan ketidaktahuannya, orang-orang (tukang kuda) bertanya, ‘Dimana tikus itu?’ sedangkan saya tahu bahwa tikus itu telah dibunuh oleh kuda dan ditendang masuk ke dalam sumur.” Dan setelah menggunakan kejadian ini sebagai sebuah ilustrasi, Bodhisatta membuat bait pertama dan memberikannya kepada pangeran.
Kemudian sewaktu mencari ilustrasi yang lainnya lagi, Bohisatta melihat kuda yang sama itu keluar dari kandangnya menuju ke lapangan gandum ketika luka di kakinya sembuh untuk memakan gandum, dengan cara mendorong kepalanya lewat dari lubang pagar yang ada di lapangan itu. Dengan mengambil kejadian ini sebagai ilustrasi berikutnya, Bodhisatta membuat bait kedua dan memberikannya kepada pangeran.
Untuk bait yang ketiga, ia membuatnya sendiri dengan kebijaksanaannya dan juga memberikannya kepada pangeran itu. Kemudian Bodhisatta berkata, “Teman, ketika Anda naik takhta menjadi raja, pada malam hari di saat Anda hendak mandi dengan menggunakan bak mandi, jalanlah sampai ke depan anak tangga dan ucapkanlah bait pertama ini. Dan pada saat Anda memasuki kamarmu, jalanlah sampai ke bawah anak tangga dan ucapkanlah bait kedua ini. Kemudian ketika dari sana Anda naik kembali ke atas tangga, ucapkanlah bait ketiga ini.” Setelah berpesan kepadanya untuk menggunakan bait-bait tersebut, Bodhisatta pun melepas kepergiannya.
Pangeran pulang kembali ke rumahnya dan menjabat sebagai wakil raja, dan setelah ayahnya meninggal, ia naik takhta menjadi raja. Ia hanya memiliki seorang putra, dan ketika berusia enam belas tahun, putranya sangat ingin menjadi seorang raja. Dipenuhi dengan pikiran untuk membunuh ayahnya, ia berkata kepada pelayannya, “Ayahku sekarang masih muda. Di saat saya datang untuk melihat kayu pemakamannya, saya sudah akan menjadi orang yang tua renta. Kalau sudah begitu, apa gunanya takhta bagi diriku?”
“Tuanku,” kata mereka, “tidak mungkin bagimu untuk menyerang secara terang-terangan di garis depan sebagai pemberontak. Anda harus mencari suatu cara untuk membunuh ayahmu dan mengambil alih kerajaannya.” [217] Pangeran langsung menyetujuinya, dan di saat hari menjelang malam ia datang dengan membawa pedang dan berdiri di dekat bak mandi raja, bersiap-siap untuk membunuhnya.
Raja memberikan perintah kepada seorang pelayan wanitanya yang bernama Mūsikā (Musika), “Pergi dan bersihkan bak mandinya. Saya mau mandi.” Musika pun pergi ke sana dan melihat pangeran sewaktu ia sedang membersihkan bak itu.
Karena takut dirinya ketahuan oleh raja, pangeran memotong Musika menjadi dua dengan pedangnya dan memasukkan tubuhnya ke dalam bak mandi. Kemudian raja datang untuk mandi. Semua orang berkata, “Hari ini Musika si pelayan belum kembali. Di mana dan ke mana ia pergi?”
Raja berjalan menuju ke sisi bak mandi itu, sambil mengucapkan bait pertama berikut:
Orang-orang berkata, ‘Ke mana ia pergi?
Mūsikā, di manakah kamu berada?’
Hal ini hanya diketahui oleh diriku sendiri:
Di dalam sumur ia berbaring tak bernyawa.
Pangeran berpikir, “Ayahku mengetahui apa yang telah kulakukan.” Dan diliputi dengan rasa panik, ia melarikan diri dan memberitahukan semuanya kepada para pelayannya.
Setelah tujuh atau delapan hari berlalu, mereka kemudian berbincang kembali dengannya, “Tuanku, jika raja memang tahu, ia pasti tidak akan tinggal diam saja. Apa yang dikatakannya kemarin pasti hanya tebakan saja. Bunuhlah raja.” Maka pada hari lainnya, pangeran berdiri di bawah tangga dengan pedang di tangannya bermaksud menusuknya ketika raja datang.
Raja datang dan mengucapkan bait kedua berikut:
Seperti hewan yang masih memiliki beban,
Anda berkeliling ke sana ke sini,
Anda yang telah membunuh Musika,
masih ingin memakan Yava131.
[218] Pangeran itu berpikir sendiri, “Ayah telah melihatku,” dan ia kabur dalam ketakutannya.
Tetapi setelah dua minggu berlalu, ia kembali berpikir, “Saya akan membunuh raja dengan menggunakan sebuah sekop.” Maka ia mengambil alat yang berbentuk sendok besar itu dengan pegangan yang panjang, dan berdiri menyeimbangkannya.
Raja berjalan naik ke atas tangga sembari mengucapkan bait ketiga berikut:
Anda adalah seorang dungu yang malang,
seperti bayi dengan mainannya,
memegang alat panjang yang menyerupai sendok ini.
Saya yang akan membunuhmu, anak yang jahat.
Hari itu, dikarenakan tidak bisa melarikan diri, pangeran bersembah sujud di kaki raja dan berkata, “Ayah, ampunilah nyawaku.” Setelah memarahinya, raja kemudian memerintahkan pengawal untuk merantainya dan memasukkannya ke dalam penjara.
Dengan duduk di atas takhtanya yang megah dan dinaungi oleh payung putih, raja berkata, “Guru kita, seorang brahmana yang sangat terkemuka, telah meramalkan bahaya ini kepada kita dan memberikan tiga bait kalimat tersebut.”
Dengan perasaan yang amat bahagia, raja melanjutkan sisa bait kalimat tersebut:
Saya tidaklah bebas dengan tinggal di langit,
tidak juga dengan baktiku.
Ketika nyawaku diincar oleh putraku sendiri,
diriku dapat bebas dari maut
dikarenakan kekuatan dari bait-bait kalimat itu.
Pengetahuan tentang apa pun patut dipelajari,
dan pahamilah semua yang disampaikan:
Meskipun (sekarang) kalian tidak menggunakannya,
tetapi ini akan sangat bermanfaat bagimu nantinya.
[219] Akhirnya setelah raja meninggal dunia, pangeran muda pun naik takhta.
____________________
Sang Guru selesai menyampaikan uraian-Nya dan mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, guru yang terkemuka adalah saya sendiri.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com