Sariputta | Suttapitaka | AVĀRIYA-JĀTAKA Sariputta

AVĀRIYA-JĀTAKA

Avāriyajātaka (Ja 376)

[228] “Janganlah marah, raja kesatria, dan seterusnya.” Sang Guru menceritakan kisah ini ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang tukang perahu.
Dikatakan bahwasanya laki-laki ini adalah orang yang dungu dan tidak tahu apa-apa. Ia tidak tahu tentang tiga permata dan juga makhluk-makhluk suci lainnya: ia adalah orang yang cepat marah, kasar dan kejam.

Seorang bhikkhu desa yang ingin menjumpai Sang Buddha datang pada suatu sore menjelang malam ke perahunya di Aciravatī dan berkata kepadanya, “Upasaka, saya ingin menyeberang, tolong seberangkanlah saya dengan perahumu.”

“Bhante, ini sudah terlalu larut, tinggallah di sini saja.” “Upasaka, saya tidak bisa tinggal di sini, bawalah saya ke seberang sana.”

Tukang perahu itu berkata dengan marah, “Kalau begitu, ayolah, Bhante,” dan membawanya ke dalam perahu, tetapi ia mendayung perahunya dengan buruk dan membuat air masuk ke dalam perahu, membasahi jubah bhikkhu itu, dan hari pun malam sebelum akhirnya ia mendayung sampai di seberang tepi sungai.

Pada saat bhikkhu itu sampai di wihara, ia tidak bisa menjumpai Sang Buddha pada hari itu juga. Keesokan harinya, ia pergi menjumpai Sang Guru, memberi penghormatan kepada-Nya dan duduk di satu sisi.

Sang Guru beruluk salam dan menanyakan kapan ia tiba. “Kemarin.” “Kalau begitu, mengapa kemarin Anda tidak menjumpaiku, mengapa baru hari ini Anda datang?” Ketika mendengar alasannya, Beliau berkata, “Bukan hanya kali ini, tetapi juga di masa lampau, orang itu adalah orang yang kasar; ia membuat kesal orang bijak di masa lampau, seperti yang diperbuatnya kepadamu.”

Dan atas permintaan bhikkhu itu, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________

Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi Raja Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga brahmana. Ketika dewasa, ia diajari semua ilmu pengetahuan di Takkasila [229], dan menjadi seorang petapa.

Setelah bertahan hidup dalam waktu yang lama dengan memakan buah-buahan yang tumbuh liar di daerah pegunungan Himalaya, ia turun gunung ke Benares untuk memperoleh garam dan cuka: ia bermalam di taman kerajaan dan keesokan harinya pergi berkeliling ke kota untuk mendapatkan derma makanan.

Raja melihatnya di halaman kerajaan dan merasa senang dengan tingkah lakunya, raja mempersilakannya masuk dan memberinya derma makanan, kemudian ia membuat janji dan memintanya tinggal di dalam taman, dan raja selalu datang memberi penghormatan kepadanya setiap hari.

Bodhisatta berkata kepadanya, “Wahai Paduka, seorang raja haruslah memimpin kerajaannya dengan benar, menjauhkan diri dari empat sifat jahat, tidak lengah dan penuh dengan kesabaran, cinta kasih, dan belas kasih,” dan setelah selalu memberikan nasihat demikian, ia mengucapkan dua bait kalimat berikut:

Janganlah marah, raja kesatria,
janganlah pernah marah
Kemarahan tidak akan pernah berakhir
jika dibalas dengan kemarahan:
raja yang bertindak seperti inilah yang patut dipuja.
Di desa, di hutan, di laut maupun di darat,
jangan pernah marah, raja kesatria:
inilah nasihatku selamanya.
Bodhisatta mengucapkan bait-bait itu kepada raja setiap hari. Raja merasa senang dengannya dan mempersembahkan kepadanya sebuah desa yang pendapatan upetinya sebesar ratusan ribu keping uang, tetapi ia menolaknya.

Dengan kondisi seperti itu, Bodhisatta tinggal di sana selama dua belas tahun. Kemudian ia berpikir, “Saya sudah tinggal terlalu lama di sini, saya akan berjalan-jalan ke desa dan akan kembali ke sini lagi.” Maka tanpa memberitahukan raja dan hanya berkata kepada tukang kebun, “Teman, saya merasa bosan, saya akan berjalan-jalan ke desa dan kembali nanti, tolong Anda beritahukan kepada raja nanti.” [230] ia pun pergi ke Sungai Gangga dan melihat sebuah perahu.

Di sana tinggallah seorang tukang perahu yang dungu yang bernama Avāriyapitā (Avariyapita): ia tidak mengetahui tentang jasa-jasa kebajikan ataupun manfaat yang akan didapatkan atau tidak didapatkannya: ketika orang hendak menyeberangi Sungai Gangga, pertama-tama ia akan menyeberangkan mereka dan kemudian meminta ongkosnya; ketika mereka tidak memberikannya, ia akan bertengkar dengan mereka, ia selalu mendapatkan perlakuan kasar dari mereka dan juga pukulan tetapi mendapatkan pendapatan yang sedikit: ia adalah orang yang demikian dungu.

Mengenai keadaan dirinya, Sang Guru dengan kebijaksanaan-Nya yang sempurna mengucapkan bait ketiga berikut:

Avāriyapitā, mendayung perahu di arus Sungai Gangga:
Pertama ia selalu menyeberangkan penumpangnya,
kemudian baru meminta ongkosnya:
Dan itulah sebabnya kebanyakan yang didapatkannya adalah pertengkaran,
orang dungu yang selalu lalai dan tak beruntung.
Bodhisatta menghampiri tukang perahu itu dan berkata, “Teman, seberangkanlah saya ke tepi sungai sana.” Ia berkata, “Petapa, Anda akan membayarku dengan apa?” “Teman, saya akan memberitahukanmu cara meningkatkan kekayaan, kesejahteraan, dan kualitas dirimu.” Tukang perahu itu berpikir, “Ia pasti akan memberikanku sesuatu,” jadi ia membawanya ke seberang dan berkata, “Bayarlah ongkosnya.” Bodhisatta berkata, “Baiklah, Teman,” dan memberitahukan bagaimana caranya meningkatkan kekayaannya, ia mengucapkan bait berikut:

Mintalah ongkos penumpangmu
sebelum menyeberangkan mereka,
jangan pernah meminta setelah tiba di tempat seberang:
Perlakuan yang berbeda akan dialami,
berbeda sebelum dan sesudahnya.
[231] Tukang perahu itu berpikir, “Ini hanyalah merupakan nasihatnya kepadaku, sekarang ia akan memberikanku sesuatu.” Tetapi Bodhisatta berkata, “Teman, Anda telah mendapatkan cara meningkatkan kekayaan, sekarang dengarlah bagaimana caranya meningkatkan kesejahteraan dan kualitas dirimu,” maka ia mengucapkan satu bait nasihat untuknya:
Di desa, di hutan, di laut, dan di darat,
jangan pernah marah,
tukang perahuku yang baik;
inilah nasihatku selamanya.
Setelah memberitahukan caranya meningkatkan kekayaan, kesejahteraan dan kualitas diri, ia berkata, “Dengan itu Anda telah memiliki cara untuk meningkatkan kekayaan, kesejahteraan, dan kualitas diri.” Kemudian orang dungu ini tidak menganggap nasihat ini sebagai sesuatu yang berharga, berkata, “Petapa, apakah ini yang Anda berikan kepadaku sebagai ongkosnya?” “Ya, Teman.” “Ini tidak berguna bagiku, berikan saya yang lainnya saja.” “Teman, selain ini saya tidak memiliki apa-apa lagi.” “Kalau begitu mengapa Anda naik perahuku?” katanya, dan menjatuhkan petapa itu di tepi sungai, duduk di atas dadanya dan memukul wajahnya.

Sang Guru berkata, “Anda lihat, ketika petapa ini memberikan nasihat tersebut kepada raja, ia mendapatkan tawaran anugerah berupa sebuah desa. Tetapi, ketika ia memberikan nasihat tersebut kepada seorang tukang perahu yang dungu, ia mendapatkan pukulan di wajahnya: oleh sebab itu, jika ingin memberikan nasihat, haruslah diberikan kepada orang yang tepat, jangan berikan kepada orang yang tidak tepat,” dan dalam kebijaksanaan-Nya yang sempurna, ia mengucapkan satu bait berikut:

Atas nasihat yang baik itu
raja menganugerahkan pendapatan upeti dari sebuah desa;
sedangkan seorang tukang perahu yang mendengar nasihat yang sama
malah memukul sang pemberinya.
Ketika istri tukang perahu itu datang membawakan nasi untuknya, ia sedang memukul sang petapa. Dan ketika melihat petapa itu, istrinya berkata, “Suamiku, ini adalah petapa yang berasal dari kerajaan, jangan memukulinya.” Ia malah menjadi semakin marah, dengan berkata, “Kamu melarangku memukul petapa gadungan ini!” ia menyerang istrinya dan membuatnya terjatuh. Piring nasinya jatuh dan pecah, dan bayi di dalam rahim istrinya pun keguguran.

Orang-orang mengerumuninya dan [232] berteriak, “Pembunuh yang jahat!” kemudian mengikat dan membawanya ke hadapan raja. Raja mengadilinya dan menghukumnya.

Sang Guru dalam kebijaksanaan-Nya yang sempurna menjelaskan masalahnya dengan mengucapkan bait terakhir ini:

Nasinya tumpah, istrinya dipukul,
anaknya mati sebelum lahir;
Baginya, nasihat tidak ada harganya,
bagaikan emas murni yang diberikan kepada seekor hewan.
____________________

Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru memaklumkan kebenarannya:—Di akhir kebenarannya, bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna—kemudian mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, tukang perahu adalah orang yang sama dengan tukang perahu dalam kisah ini, raja adalah Ānanda, dan petapa adalah saya sendiri.”

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com