SETAKETU-JĀTAKA
Setaketujātaka (Ja 377)
“Teman, janganlah marah,” dan seterusnya. Sang Guru menceritakan kisah ini ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang curang.
Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam Uddālaka-Jātaka138.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi raja di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang guru yang terkemuka, yang mengajarkan ajaran-ajaran agama (kitab Weda) kepada lima ratus orang siswa.
Siswa yang senior di antara mereka, bernama Setaketu, yang terlahir di dalam sebuah keluarga brahmana, merasa sangat bangga dengan kastanya itu.
Pada suatu hari, ia pergi ke luar kota dengan siswa lainnya, dan ketika kembali ia melihat seorang [233] candala139. “Siapa kamu?” “Saya adalah seorang candala.” Ia takut kalau-kalau setelah menghembus badan si candala, angin akan menyentuh badannya, jadi ia berkata dengan keras, “Enyahlah, kaum candala yang membawa pertanda buruk, janganlah (berdiri) berlawanan dengan arah angin,” dan kemudian dengan cepat berdiri searah dengan arah angin berhembus, tetapi si candala terlalu cepat baginya dan berdiri berlawan arah dengannya.
Kemudian ia memarahi dan mencelanya lagi, “Enyahlah, candala yang membawa pertanda buruk.” Candala itu bertanya, “Siapa kamu?” “Saya adalah seorang siswa brahmana.” “Baiklah, jika kamu memang adalah seorang siswa brahmana, kamu pasti bisa menjawab sebuah pertanyaan dariku.” “Ya.” “Jika kamu tidak bisa menjawabnya, kamu harus merangkak melewati kedua kakiku.” Brahmana itu dengan percaya diri berkata, “Baiklah.”
Candala itu, setelah membuat teman-temannya yang lain mengerti permasalahannya, kemudian menanyakan sebuah pertanyaan, “Brahmana muda, apa itu disā ?” “Disā itu adalah empat penjuru, Timur dan sebagainya.” Candala itu berkata, “Bukan disā itu yang kutanyakan: dan Anda, yang tidak mengetahui hal ini, tidak menyukai angin yang berhembus dari arah tubuhku,” kemudian ia memegang bahunya dan memaksanya untuk turun ke bawah, merangkak melewati kedua kakinya.
Siswa-siswa lainnya memberitahukan kejadian ini kepada guru mereka. Sang guru bertanya, “Setaketu, apakah Anda dipaksa turun ke bawah, merangkak melewati kedua kaki dari seorang candala?” “Ya, Guru: putra dari seorang candala membuatku tunduk di antara kakinya dengan mengatakan ‘Ia bahkan tidak tahu apa itu ‘disā’, tetapi sekarang saya tahu apa yang harus dilakukan terhadap dirinya,” dan demikian ia mencerca candala dengan marah.
Sang guru menasihatinya, “Setaketu, jangan marah dengan dirinya, ia adalah orang yang bijak; ia menanyakan tentang makna dari disā yang lainnya, bukan yang ini. Apa yang belum Anda lihat, atau dengar, atau mengerti, bernilai lebih daripada yang Anda lihat, atau dengar, atau mengerti.”
Dan ia mengucapkan dua bait kalimat berikut dengan cara seperti memberikan nasihat:
Teman, janganlah marah,
kemarahan bukanlah sesuatu yang baik:
Kebijaksanaan adalah melebihi
apa yang telah Anda lihat atau dengar:
[234] Dengan kata ‘disā’, yang mungkin dimaksudkannya
adalah makna sebagai orang tua, dan juga mungkin sebagai guru.
Perumah tangga yang memberikan derma makanan,
pakaian, minuman, yang rumahnya terbuka, ia juga adalah ‘disā’:
Dan kata ‘disā’ dalam maknanya yang tertinggi
adalah suatu keadaan di mana penderitaan berubah menjadi kebahagiaan.140
[225] Demikian Bodhisatta menjelaskan tentang ‘disā’ kepada brahmana muda itu.
Tetapi dengan terus berpikiran, ‘Saya dipaksa tunduk ke bawah, merangkak di antara kedua kaki seorang candala,’ ia kemudian meninggalkan tempat itu dan pergi ke Takkasila untuk mempelajari semua ilmu pengetahuan dari seorang guru yang terkemuka juga. Atas izin dari gurunya itu, ia pun kemudian meninggalkan Takkasila dan mengembara untuk mempelajari semua ajaran.
Sesampainya di sebuah desa perbatasan, ia bertemu dengan lima ratus petapa yang bertempat tinggal di dekat sana dan ditabhiskan oleh mereka. Semua ilmu pengetahuan, ajaran agama, dan latihan mereka dipelajarinya, dan mereka ikut bersama dengannya ke Benares.
Keesokan harinya, ia pergi ke halaman istana untuk meminta derma makanan. Raja yang senang dengan kelakuan para petapa itu memberikan mereka makan di dalam istana dan tempat tinggal di tamannya.
Pada suatu hari, raja berkata, di saat hendak mempersembahkan makanan kepada mereka, “Saya akan memberikan pelayanan kepada para petapa petang ini di taman.”
Setaketu pergi ke taman dan mengumpulkan para petapa tersebut, kemudian berkata, “Mārisa, raja akan datang hari ini; Bila dapat bersahabat dengan raja, seseorang akan hidup bahagia selamanya. Oleh karenanya, saya ingin sebagian dari kalian bergelantungan terbalik, sebagian berbaring di atas (ranjang) berduri, sebagian melakukan lima jenis penyiksaan diri, sebagian melakukan pertapaan dengan posisi setengah jongkok, sebagian dengan posisi menyelam, dan sebagian lagi melafalkan mantra (syair-syair suci).”
Setelah memberikan perintah ini, ia mengatur duduknya di depan tempat pertapaannya di atas sebuah kursi bertumpu dengan kepala, meletakkan buku yang berwarna sangat cerah dalam posisi berdiri, dan memberikan penjelasan tentang ajarannya ketika ditanya oleh empat atau lima orang siswanya yang pintar. Kemudian raja tiba [236] dan ketika melihat mereka melakukan semua praktik pertapaan yang salah itu, ia merasa senang. Ia menghampiri Setaketu, memberi penghormatan dan duduk di satu sisi, kemudian ia berbicara kepada pendeta kerajaannya dalam bait ketiga berikut:
Dengan gigi yang tidak dibersihkan
dan pakaian dari kulit kambing,
dan rambut yang semuanya dikucir,
mereka melafalkan kata-kata suci dalam kedamaian.
Pastilah mereka tidak melakukan hal yang tidak baik,
Mereka tahu akan kebenaran,
dan mereka telah mendapatkan pembebasan.
Pendeta kerajaan yang mendengarkan perkataan raja, mengucapkan bait keempat berikut:
Seorang bijak yang terpelajar
bisa saja melakukan perbuatan yang buruk (salah),
wahai raja: Seorang bijak yang terpelajar bisa saja
tidak mengikuti kebenaran:
Seribu Weda bukanlah jaminan
dalam memberikan keselamatan
atau pembebasan dari perbuatan buruk.
Ketika raja mendengar ini, ia tidak jadi memberikan hadiahnya kepada para petapa itu.
Setaketu berpikir, “Tadinya raja menyukai para petapa itu, tetapi sekarang pendeta kerajaan itu telah menghancurkannya, seperti memotong-motongnya dengan kapak: saya harus berbicara dengannya.”
Maka ia mengucapkan bait kelima berikut untuk berbicara dengannya:
[237] ‘Seorang bijak yang terpelajar
bisa saja melakukan perbuatan yang buruk (salah),
wahai raja: Seorang bijak yang terpelajar bisa saja
tidak mengikuti kebenaran,’
Anda katakan ini:
Dengan kata lain, Weda adalah sesuatu yang tidak ada gunanya,
yang diperlukan hanyalah pengendalian diri.
Pendeta kerajaan mengucapkan bait keenam berikut setelah mendengar perkataan Setaketu:
Tidak, Weda bukanlah sesuatu yang tidak ada gunanya:
Walaupun pengendalian diri adalah ajaran yang benar:
Dengan mempelajari Weda, ia dapat meninggikan nama seseorang,
dan dengan tindakan demikian (pengendalian diri dan perbuatan benar)
ia bisa memperoleh kebahagiaan.
Demikian pendeta kerajaan itu mematahkan ajaran Setaketu. Ia juga menjadikan para petapa yang lain kembali sebagai umat awam, memberikan perisai dan senjata kepada mereka, mengangkat mereka menjadi pengawal raja sebagai pejabat tinggi kerajaan: dan mulai saat itu muncullah wangsa pejabat tinggi kerajaan141.
____________________
Setelah menyampaikan uraian-Nya, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, Setaketu adalah bhikkhu yang curang itu, si candala adalah Sāriputta, dan pendeta kerajaan adalah saya sendiri.”
Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam Uddālaka-Jātaka138.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi raja di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang guru yang terkemuka, yang mengajarkan ajaran-ajaran agama (kitab Weda) kepada lima ratus orang siswa.
Siswa yang senior di antara mereka, bernama Setaketu, yang terlahir di dalam sebuah keluarga brahmana, merasa sangat bangga dengan kastanya itu.
Pada suatu hari, ia pergi ke luar kota dengan siswa lainnya, dan ketika kembali ia melihat seorang [233] candala139. “Siapa kamu?” “Saya adalah seorang candala.” Ia takut kalau-kalau setelah menghembus badan si candala, angin akan menyentuh badannya, jadi ia berkata dengan keras, “Enyahlah, kaum candala yang membawa pertanda buruk, janganlah (berdiri) berlawanan dengan arah angin,” dan kemudian dengan cepat berdiri searah dengan arah angin berhembus, tetapi si candala terlalu cepat baginya dan berdiri berlawan arah dengannya.
Kemudian ia memarahi dan mencelanya lagi, “Enyahlah, candala yang membawa pertanda buruk.” Candala itu bertanya, “Siapa kamu?” “Saya adalah seorang siswa brahmana.” “Baiklah, jika kamu memang adalah seorang siswa brahmana, kamu pasti bisa menjawab sebuah pertanyaan dariku.” “Ya.” “Jika kamu tidak bisa menjawabnya, kamu harus merangkak melewati kedua kakiku.” Brahmana itu dengan percaya diri berkata, “Baiklah.”
Candala itu, setelah membuat teman-temannya yang lain mengerti permasalahannya, kemudian menanyakan sebuah pertanyaan, “Brahmana muda, apa itu disā ?” “Disā itu adalah empat penjuru, Timur dan sebagainya.” Candala itu berkata, “Bukan disā itu yang kutanyakan: dan Anda, yang tidak mengetahui hal ini, tidak menyukai angin yang berhembus dari arah tubuhku,” kemudian ia memegang bahunya dan memaksanya untuk turun ke bawah, merangkak melewati kedua kakinya.
Siswa-siswa lainnya memberitahukan kejadian ini kepada guru mereka. Sang guru bertanya, “Setaketu, apakah Anda dipaksa turun ke bawah, merangkak melewati kedua kaki dari seorang candala?” “Ya, Guru: putra dari seorang candala membuatku tunduk di antara kakinya dengan mengatakan ‘Ia bahkan tidak tahu apa itu ‘disā’, tetapi sekarang saya tahu apa yang harus dilakukan terhadap dirinya,” dan demikian ia mencerca candala dengan marah.
Sang guru menasihatinya, “Setaketu, jangan marah dengan dirinya, ia adalah orang yang bijak; ia menanyakan tentang makna dari disā yang lainnya, bukan yang ini. Apa yang belum Anda lihat, atau dengar, atau mengerti, bernilai lebih daripada yang Anda lihat, atau dengar, atau mengerti.”
Dan ia mengucapkan dua bait kalimat berikut dengan cara seperti memberikan nasihat:
Teman, janganlah marah,
kemarahan bukanlah sesuatu yang baik:
Kebijaksanaan adalah melebihi
apa yang telah Anda lihat atau dengar:
[234] Dengan kata ‘disā’, yang mungkin dimaksudkannya
adalah makna sebagai orang tua, dan juga mungkin sebagai guru.
Perumah tangga yang memberikan derma makanan,
pakaian, minuman, yang rumahnya terbuka, ia juga adalah ‘disā’:
Dan kata ‘disā’ dalam maknanya yang tertinggi
adalah suatu keadaan di mana penderitaan berubah menjadi kebahagiaan.140
[225] Demikian Bodhisatta menjelaskan tentang ‘disā’ kepada brahmana muda itu.
Tetapi dengan terus berpikiran, ‘Saya dipaksa tunduk ke bawah, merangkak di antara kedua kaki seorang candala,’ ia kemudian meninggalkan tempat itu dan pergi ke Takkasila untuk mempelajari semua ilmu pengetahuan dari seorang guru yang terkemuka juga. Atas izin dari gurunya itu, ia pun kemudian meninggalkan Takkasila dan mengembara untuk mempelajari semua ajaran.
Sesampainya di sebuah desa perbatasan, ia bertemu dengan lima ratus petapa yang bertempat tinggal di dekat sana dan ditabhiskan oleh mereka. Semua ilmu pengetahuan, ajaran agama, dan latihan mereka dipelajarinya, dan mereka ikut bersama dengannya ke Benares.
Keesokan harinya, ia pergi ke halaman istana untuk meminta derma makanan. Raja yang senang dengan kelakuan para petapa itu memberikan mereka makan di dalam istana dan tempat tinggal di tamannya.
Pada suatu hari, raja berkata, di saat hendak mempersembahkan makanan kepada mereka, “Saya akan memberikan pelayanan kepada para petapa petang ini di taman.”
Setaketu pergi ke taman dan mengumpulkan para petapa tersebut, kemudian berkata, “Mārisa, raja akan datang hari ini; Bila dapat bersahabat dengan raja, seseorang akan hidup bahagia selamanya. Oleh karenanya, saya ingin sebagian dari kalian bergelantungan terbalik, sebagian berbaring di atas (ranjang) berduri, sebagian melakukan lima jenis penyiksaan diri, sebagian melakukan pertapaan dengan posisi setengah jongkok, sebagian dengan posisi menyelam, dan sebagian lagi melafalkan mantra (syair-syair suci).”
Setelah memberikan perintah ini, ia mengatur duduknya di depan tempat pertapaannya di atas sebuah kursi bertumpu dengan kepala, meletakkan buku yang berwarna sangat cerah dalam posisi berdiri, dan memberikan penjelasan tentang ajarannya ketika ditanya oleh empat atau lima orang siswanya yang pintar. Kemudian raja tiba [236] dan ketika melihat mereka melakukan semua praktik pertapaan yang salah itu, ia merasa senang. Ia menghampiri Setaketu, memberi penghormatan dan duduk di satu sisi, kemudian ia berbicara kepada pendeta kerajaannya dalam bait ketiga berikut:
Dengan gigi yang tidak dibersihkan
dan pakaian dari kulit kambing,
dan rambut yang semuanya dikucir,
mereka melafalkan kata-kata suci dalam kedamaian.
Pastilah mereka tidak melakukan hal yang tidak baik,
Mereka tahu akan kebenaran,
dan mereka telah mendapatkan pembebasan.
Pendeta kerajaan yang mendengarkan perkataan raja, mengucapkan bait keempat berikut:
Seorang bijak yang terpelajar
bisa saja melakukan perbuatan yang buruk (salah),
wahai raja: Seorang bijak yang terpelajar bisa saja
tidak mengikuti kebenaran:
Seribu Weda bukanlah jaminan
dalam memberikan keselamatan
atau pembebasan dari perbuatan buruk.
Ketika raja mendengar ini, ia tidak jadi memberikan hadiahnya kepada para petapa itu.
Setaketu berpikir, “Tadinya raja menyukai para petapa itu, tetapi sekarang pendeta kerajaan itu telah menghancurkannya, seperti memotong-motongnya dengan kapak: saya harus berbicara dengannya.”
Maka ia mengucapkan bait kelima berikut untuk berbicara dengannya:
[237] ‘Seorang bijak yang terpelajar
bisa saja melakukan perbuatan yang buruk (salah),
wahai raja: Seorang bijak yang terpelajar bisa saja
tidak mengikuti kebenaran,’
Anda katakan ini:
Dengan kata lain, Weda adalah sesuatu yang tidak ada gunanya,
yang diperlukan hanyalah pengendalian diri.
Pendeta kerajaan mengucapkan bait keenam berikut setelah mendengar perkataan Setaketu:
Tidak, Weda bukanlah sesuatu yang tidak ada gunanya:
Walaupun pengendalian diri adalah ajaran yang benar:
Dengan mempelajari Weda, ia dapat meninggikan nama seseorang,
dan dengan tindakan demikian (pengendalian diri dan perbuatan benar)
ia bisa memperoleh kebahagiaan.
Demikian pendeta kerajaan itu mematahkan ajaran Setaketu. Ia juga menjadikan para petapa yang lain kembali sebagai umat awam, memberikan perisai dan senjata kepada mereka, mengangkat mereka menjadi pengawal raja sebagai pejabat tinggi kerajaan: dan mulai saat itu muncullah wangsa pejabat tinggi kerajaan141.
____________________
Setelah menyampaikan uraian-Nya, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, Setaketu adalah bhikkhu yang curang itu, si candala adalah Sāriputta, dan pendeta kerajaan adalah saya sendiri.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com