NERU-JĀTAKA
Nerujātaka (Ja 379)
“Burung dendang dan burung gagak,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang bhikkhu.
Ceritanya dimulai ketika ia telah memperoleh objek meditasi berupa perbuatan (kammaṭṭhāna) dari Sang Guru dan kemudian pergi ke sebuah desa perbatasan.
Orang-orang di sana, yang merasa senang dengan kelakuannya, memberinya makanan, membuatkan gubuk di dalam hutan dan mengucapkan suatu tekad, memintanya untuk tinggal di sana dan memberikannya kehormatan yang besar.
Tetapi kemudian mereka meninggalkannya sebagai guru untuk menganut paham keabadian, kemudian beralih ke paham pemusnahan, dan kemudian beralih lagi kepada orang-orang yang dari aliran petapa telanjang: karena para guru dari aliran-aliran ini datang secara bergiliran.
Oleh karenanya ia merasa tidak bahagia berada di antara orang-orang yang tidak tahu mana yang baik dan buruk.
Setelah melewati masa vassa dan perayaan pavāraṇā149, ia kembali kepada Sang Guru, dan untuk menjawab pertanyaan Beliau, ia memberitahukan tempat ia tinggal selama vassa dan memberitahukan bahwa ia merasa tidak bahagia berada di antara orang-orang yang tidak tahu mana yang baik dan buruk.
Sang Guru berkata, “Orang bijak di masa lampau, bahkan ketika terlahir sebagai hewan, tidak mau tinggal dengan mereka yang tidak tahu mana baik dan buruk meskipun hanya satu hari, mengapa Anda melakukannya?” dan kemudian Beliau menceritakan kisah tersebut.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi raja di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor angsa emas. Bersama dengan adiknya, [247] ia tinggal di Gunung Cittakūṭa dan hidup dengan memakan padi di daerah pegunungan Himalaya.
Suatu hari di dalam perjalanan kembali ke Cittakūṭa, mereka melihat Gunung Neru yang berwarna keemasan dan hinggap di puncaknya. Di sekitar gunung itu terdapat berbagai jenis burung dan hewan lain yang mencari makanannya di sana: dikarenakan kedatangan mereka yang sering ke tempat itu, badan mereka menjadi berwarna keemasan.
Adik Bodhisatta yang melihat semuanya itu tetapi tidak mengetahui penyebabnya, berkata, “Ada apa di sini?” dan dengan berbicara demikian kepada saudaranya, ia mengucapkan dua bait berikut:
Burung dendang dan burung gagak, dan kita,
burung yang terbaik,
ketika berada di gunung ini,
semuanya kelihatan sama.
Serigala yang ganas, harimau yang buas
dan raja mereka, singa:
apakah nama gunung ini?
Bodhisatta yang mendengar ini, mengucapkan bait ketiga berikut:
Gunung yang paling mulia,
Neru adalah puncaknya,
semua hewan akan kelihatan sama di sini.
Angsa yang lebih muda itu kemudian mengucapkan sisa dari bait ketiga tersebut:
Tempat di mana yang berbuat baik
mendapatkan kehormatan yang kecil atau tidak sama sekali,
ataupun lebih sedikit dibandingkan yang lain,
janganlah tinggal di sana, pergilah dari sana.
Yang bodoh dan yang pintar, pemberani dan penakut,
semuanya dihormati dengan cara yang sama:
Gunung yang tidak membeda-bedakan,
yang bijak tidak akan menetap di tempatmu ini!
[248] Yang terbaik, yang acuh,
yang kejam tidak dipisahkan oleh Neru,
Neru yang tidak membeda-bedakan,
kami harus segera pergi meninggalkanmu.
Dengan kata-kata ini, mereka berdua terbang pergi kembali ke Cittakūṭa.
____________________
Setelah uraian ini selesai, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:— bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna—“Pada masa itu, angsa yang lebih muda adalah Ānanda, dan angsa yang lebih tua adalah saya sendiri.”
Ceritanya dimulai ketika ia telah memperoleh objek meditasi berupa perbuatan (kammaṭṭhāna) dari Sang Guru dan kemudian pergi ke sebuah desa perbatasan.
Orang-orang di sana, yang merasa senang dengan kelakuannya, memberinya makanan, membuatkan gubuk di dalam hutan dan mengucapkan suatu tekad, memintanya untuk tinggal di sana dan memberikannya kehormatan yang besar.
Tetapi kemudian mereka meninggalkannya sebagai guru untuk menganut paham keabadian, kemudian beralih ke paham pemusnahan, dan kemudian beralih lagi kepada orang-orang yang dari aliran petapa telanjang: karena para guru dari aliran-aliran ini datang secara bergiliran.
Oleh karenanya ia merasa tidak bahagia berada di antara orang-orang yang tidak tahu mana yang baik dan buruk.
Setelah melewati masa vassa dan perayaan pavāraṇā149, ia kembali kepada Sang Guru, dan untuk menjawab pertanyaan Beliau, ia memberitahukan tempat ia tinggal selama vassa dan memberitahukan bahwa ia merasa tidak bahagia berada di antara orang-orang yang tidak tahu mana yang baik dan buruk.
Sang Guru berkata, “Orang bijak di masa lampau, bahkan ketika terlahir sebagai hewan, tidak mau tinggal dengan mereka yang tidak tahu mana baik dan buruk meskipun hanya satu hari, mengapa Anda melakukannya?” dan kemudian Beliau menceritakan kisah tersebut.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi raja di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor angsa emas. Bersama dengan adiknya, [247] ia tinggal di Gunung Cittakūṭa dan hidup dengan memakan padi di daerah pegunungan Himalaya.
Suatu hari di dalam perjalanan kembali ke Cittakūṭa, mereka melihat Gunung Neru yang berwarna keemasan dan hinggap di puncaknya. Di sekitar gunung itu terdapat berbagai jenis burung dan hewan lain yang mencari makanannya di sana: dikarenakan kedatangan mereka yang sering ke tempat itu, badan mereka menjadi berwarna keemasan.
Adik Bodhisatta yang melihat semuanya itu tetapi tidak mengetahui penyebabnya, berkata, “Ada apa di sini?” dan dengan berbicara demikian kepada saudaranya, ia mengucapkan dua bait berikut:
Burung dendang dan burung gagak, dan kita,
burung yang terbaik,
ketika berada di gunung ini,
semuanya kelihatan sama.
Serigala yang ganas, harimau yang buas
dan raja mereka, singa:
apakah nama gunung ini?
Bodhisatta yang mendengar ini, mengucapkan bait ketiga berikut:
Gunung yang paling mulia,
Neru adalah puncaknya,
semua hewan akan kelihatan sama di sini.
Angsa yang lebih muda itu kemudian mengucapkan sisa dari bait ketiga tersebut:
Tempat di mana yang berbuat baik
mendapatkan kehormatan yang kecil atau tidak sama sekali,
ataupun lebih sedikit dibandingkan yang lain,
janganlah tinggal di sana, pergilah dari sana.
Yang bodoh dan yang pintar, pemberani dan penakut,
semuanya dihormati dengan cara yang sama:
Gunung yang tidak membeda-bedakan,
yang bijak tidak akan menetap di tempatmu ini!
[248] Yang terbaik, yang acuh,
yang kejam tidak dipisahkan oleh Neru,
Neru yang tidak membeda-bedakan,
kami harus segera pergi meninggalkanmu.
Dengan kata-kata ini, mereka berdua terbang pergi kembali ke Cittakūṭa.
____________________
Setelah uraian ini selesai, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:— bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna—“Pada masa itu, angsa yang lebih muda adalah Ānanda, dan angsa yang lebih tua adalah saya sendiri.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com