ĀSAṄKA-JĀTAKA
Āsaṅkajātaka (Ja 380)
“Di taman dewa,” dan seterusnya. Sang Guru menceritakan kisah ini ketika berdiam di Jetavana, tentang godaan terhadap seorang bhikkhu oleh mantan istrinya (dalam kehidupan rumah tangga).
Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam Indriya-Jātaka150.
Sang Guru mengetahui bahwa bhikkhu itu menyesal disebabkan oleh mantan istrinya, jadi Beliau berkata, “Bhikkhu, wanita ini membuatmu celaka: Di masa lampau juga, demi dirinya, Anda mengorbankan empat kelompok pengawal dan tinggal di Himalaya selama tiga tahun dalam penderitaan.”
Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi raja di Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga brahmana di sebuah desa.
Ketika dewasa, ia mempelajari ilmu pengetahuan [249] di Takkasila, kemudian menjadi seorang petapa dan memperoleh kesaktian dan pencapaian meditasi, hidup dengan memakan akar-akaran dan buah-buahan di pegunungan Himalaya.
Pada waktu itu, seorang mahkluk yang sempurna kebajikannya turun dari Alam Dewa Tāvatiṃsā dan terlahir menjadi seorang anak perempuan di dalam kuncup bunga teratai di sebuah kolam: ketika bunga-bunga teratai lainnya menjadi tua dan gugur, teratai yang satu itu tetap tumbuh kokoh dan tegak.
Petapa itu yang datang untuk mandi di sana melihat teratai tersebut dan berpikir, “Teratai yang lainnya berguguran, tetapi yang satu ini tetap tumbuh kokoh dan tegak; mengapa begini?” Maka ia mengenakan pakaiannya, menyeberang ke sana, kemudian membuka bunga teratai itu dan melihat seorang anak perempuan di dalamnya. Menganggap ia sebagai putrinya, petapa itu membawanya pulang ke gubuknya dan membesarkannya.
Ketika berusia enam belas tahun, anak perempuan itu tumbuh menjadi seorang wanita yang cantik, kecantikannya melebihi yang ada pada manusia, tetapi seperti yang ada pada dewa. Dewa Sakka datang untuk memberikan pelayanan kepada Bodhisatta, ia melihat wanita itu dan bertanya tentang asalnya. Setelah diberitahukan asal muasalnya, ia kemudian bertanya, “Apa yang seharusnya didapatkannya?” “Sebuah tempat tinggal dan persediaan pakaian, perhiasan dan makanan, Mārisa.” Ia menjawab, “Baiklah, Bhante,” dan menciptakan sebuah istana kaca sebagai tempat tinggalnya, merapikan tempat tidurnya, menyediakan pakaian, perhiasan, makanan dan minuman surgawi. Istananya itu berada di tanah ketika ia hendak memasukinya dan melayang di udara ketika ia telah memasukinya. Wanita itu melayani segala keperluan Bodhisatta ketika ia tinggal di dalam istana itu.
Seorang penjaga hutan melihat kejadian ini dan bertanya, “Apa hubungannya dengan Anda, Bhante?” “Ia adalah putriku.” Kemudian penjaga hutan tersebut pergi ke Benares dan memberi tahu raja, “Paduka, di daerah pegunungan Himalaya saya melihat seorang putri petapa yang sangat cantik.” Raja tertarik mendengar ini dan pergi ke tempat itu dengan dikawal oleh empat kelompok pengawal dan dituntun oleh penjaga hutan itu.
Setelah membuat perkemahan, raja membawa penjaga hutan dan para menterinya menuju ke tempat pertapaan tersebut. [250] Raja memberi penghormatan kepada Bodhisatta dan berkata, “Bhante, wanita adalah noda dalam kehidupan suci; saya akan merawat putrimu.”
Saat itu, Bodhisatta telah memberi nama Āsaṅkā (Asanka) kepada putrinya karena ia dipertemukan dengannya dengan cara menyeberangi air kolam yang dipicu oleh keraguannya, ‘Ada apa di dalam teratai ini?’ sehingga ia tidak langsung mengiyakan permintaan raja, melainkan berkata, “Jika Anda mengetahui nama wanita ini, Paduka, maka Anda boleh membawanya pergi.” “Bhante, jika Anda memberitahukan namanya, saya pasti akan tahu.” “Saya tidak akan memberitahukannya kepadamu. Di saat Anda mengetahuinya, Anda boleh membawanya pergi.” Raja menyetujuinya, dan sejak saat itu berdiskusi dengan para menterinya, “Apa yang mungkin menjadi namanya?” Ia mengutarakan semua nama yang sulit ditebak dan berbicara dengan Bodhisatta, berkata, ‘Namanya adalah anu.’ Tetapi Bodhisatta (selalu) mengatakan bukan dan menolaknya.
Satu tahun pun berlalu selagi raja masih memikirkan namanya. Singa dan hewan buas lainnya memakan gajah, kuda, dan anak buahnya, ada bahaya yang mengancam dari ular, lalat, dan banyak lagi yang lain mati karena kedinginan. Raja kemudian berkata kepada Bodhisatta, “Apa yang saya perlukan dari dirinya?” dan beranjak pergi. Asanka berdiri di depan jendela kacanya yang terbuka. Raja yang melihatnya, berkata, “Kami tidak dapat menebak namamu, tetaplah Anda tinggal di sini, di Himalaya, dan kami akan pergi.” “Paduka, jika Anda pergi, Anda tidak akan pernah menemukan seorang istri seperti diriku ini. Di Alam Tāvatiṁsā, di Taman Cittalatā, ada sebuah tanaman yang bernama Āsāvatī yang di dalam buahnya terdapat minuman dewa, dan yang meminumnya akan merasakan kebahagiaan selama empat bulan dan berbaring di ranjang surgawi. Tanaman itu hanya berbuah satu kali dalam seribu tahun dan putra-putra dari para dewa, walaupun diberikan minuman keras lainnya, [251] tetap menginginkan minuman dewa ini dan berkata, ‘Kami akan mendapatkan buah dari tanaman ini,’ dan terus-menerus datang selama ribuan tahun untuk mengawasi tanaman ini dan berkata, ‘Apakah tanaman ini sehat?’ Sedangkan Anda putus asa hanya dalam satu tahun; ia yang mendapatkan buah dari harapannya akan menjadi bahagia, janganlah putus asa,” dan ia mengucapkan tiga bait kalimat berikut:
Di taman dewa tumbuhlah Āsāvatī;
sekali dalam ribuan tahun, tidak lebih, pohon ini berbuah,
Para dewa terus menantinya dengan sabar.
Teruslah berharap, wahai raja,
buah dari harapan adalah hal yang menyenangkan (manis):
Seekor burung terus berharap dan
tidak pernah dikalahkan.
Keinginannya, walaupun jauh sekali,
ia mampu mendapatkannya.
Teruslah berharap, wahai raja:
Buah dari harapan adalah hal yang menyenangkan (manis).
Raja menjadi tertarik kembali setelah mendengar kata-katanya, ia kemudian mengumpulkan para menterinya kembali dan menebak namanya, membuat sepuluh tebakan dalam satu hari, sampai satu tahun berikutnya pun berlalu. Tetapi nama yang disebutkan dalam sepuluh-sepuluh itu selalu salah dan ditolak oleh Bodhisatta.
Kembali raja berkata, “Apa yang saya perlukan dari dirinya?” dan beranjak pergi. Wanita itu menampakkan dirinya di jendela, dan raja berkata, “Anda tetap tinggal di sini, kami akan pergi.” [252] “Mengapa kalian pergi, Paduka?” “Saya tidak dapat menebak namamu.” “Raja yang agung, mengapa Anda tidak dapat menebaknya? Harapan pastilah selalu terpenuhi; seekor burung bangau yang tinggal di atas puncak bukit saja mampu memenuhi harapannya: ia tinggal di sana pada waktu itu dan keesokan harinya berpikir, ‘Saya merasa senang tinggal di sini, di atas puncak bukit ini, seandainya saja tanpa harus turun ke bawah, dengan tetap berada di atas sini, tetap dapat kutemukan makanan dan minuman dan tinggal menetap di sini dengan keadaan demikian, itu akan menjadi hal yang sangat menyenangkan.’
Pada hari yang itu juga, Dewa Sakka yang telah mengalahkan para asura dan menjadi raja dewa di Alam Tāvatiṁsā, berpikir, ‘Keinginanku telah mencapai puncaknya, apakah ada mahkluk yang keinginannya belum terpenuhi?’ Maka dengan kekuatannya memindai, ia melihat burung bangau itu dan berpikir, ‘Saya akan mengabulkan harapan bangau ini: Tidak jauh dari tempat bangau itu bertengger, terdapat sebuah sungai kecil, dan Sakka membuat sungai itu penuh dengan air sampai ke puncaknya. Maka bangau itu, tanpa harus turun, dapat memakan ikan dan meminum air dan tinggal menetap di sana waktu itu: kemudian airnya turun kembali dan pergi. Jadi, Raja yang agung, burung bangau itu mendapatkan buah dari harapannya, dan mengapa Anda tidak mendapatkannya? Bertahanlah,” katanya. Raja yang mendengar ceritanya itu menjadi tertarik kembali oleh kecantikannya dan kata-katanya, ia pun tidak jadi pergi. Ia mengumpulkan para menterinya kembali dan mendapatkan seratus buah nama, [253] menghabiskan waktu satu tahun lagi untuk menebak namanya.
Di akhir tahun ketiga, ia mendatangi Bodhisatta dan bertanya, “Apakah namanya ada di antara seratus nama itu, Bhante?” “Anda masih tidak tahu namanya, Paduka.” Ia memberi penghormatan kepada Bodhisatta dan berkata, “Kami akan pergi sekarang,” ia pun berangkat pergi. Asanka kembali berdiri di jendela kacanya yang terbuka. Raja melihatnya dan berkata, “Anda tetap tinggal di sini, kami akan pergi.” “Mengapa demikian, Raja yang agung?” “Anda membuatku merasa puas dengan kata-kata, bukan dengan cinta; tertarik dengan kata-kata manismu, saya telah menghabiskan waktu tiga tahun di sini, sekarang saya akan pergi,” dan raja mengucapkan bait-bait berikut:
Anda membuatku senang
dengan kata-kata, bukan perbuatan:
Bunga yang tidak berbau, meskipun cantik,
hanyalah merupakan tanaman liar.
Menjanjikan sesuatu tanpa berbuat,
orang akan memusuhi temannya,
tidak pernah memberi, selalu menerima:
Persahabatan seperti ini akan pasti hancur.
Orang seharusnya berbicara di saat ia akan berbuat,
bukan berjanji atas hal yang tidak dapat dilakukannya:
Jika ia hanya bicara tanpa berbuat,
orang bijak akan menganggapnya berbohong.
Pasukanku habis sia-sia, persediaanku pun sudah habis,
Saya meragukan kehidupanku telah hancur;
kali ini saya benar-benar akan pergi.
[254] Asanka yang mendengar perkataan raja tersebut, berkata, “Paduka, Anda sudah tahu nama saya, Anda baru saja menyebutnya; Beritahukanlah nama itu kepada ayahku, kemudian bawa saya pergi,” dengan berbicara demikian kepada raja, ia mengatakan:
Kesatria, Anda telah mengucapkan
kata yang merupakan namaku:
Ayo, Raja, ayahku akan mengabulkan harapanmu.
Raja pergi menjumpai Bodhisatta, memberi penghormatan kepadanya dan berkata, “Bhante, nama putri Anda adalah Āsaṅkā (Asanka).” “Setelah mengetahui namanya, Anda boleh membawanya pergi, Raja yang agung.”
Ia kembali memberi penghormatan kepada Bodhisatta dan mendatangi istana kaca itu, kemudian berkata, “Nona, ayahmu telah memperbolehkanku membawamu, mari kita pergi sekarang.” “Mari, Paduka, saya akan meminta izin kepada ayahku,” katanya.
Setelah turun dari istananya, ia memberi penghormatan kepada Bodhisatta, mendapatkan izinnya dan kembali menjumpai raja. Raja membawanya ke Benares dan hidup bahagia bersamanya, dikaruniai dengan banyak putra dan putri. Bodhisatta melanjutkan meditasi jhananya tanpa henti dan terlahir kembali di alam brahma.
____________________
Setelah uraian-Nya berakhir, Sang Guru memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:— Setelah kebenarannya dimaklumkan, bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—“Āsaṅkā (Asanka) adalah mantan istrinya, raja adalah bhikkhu yang tadinya menyesal, dan petapa itu adalah saya sendiri.”
Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam Indriya-Jātaka150.
Sang Guru mengetahui bahwa bhikkhu itu menyesal disebabkan oleh mantan istrinya, jadi Beliau berkata, “Bhikkhu, wanita ini membuatmu celaka: Di masa lampau juga, demi dirinya, Anda mengorbankan empat kelompok pengawal dan tinggal di Himalaya selama tiga tahun dalam penderitaan.”
Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi raja di Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga brahmana di sebuah desa.
Ketika dewasa, ia mempelajari ilmu pengetahuan [249] di Takkasila, kemudian menjadi seorang petapa dan memperoleh kesaktian dan pencapaian meditasi, hidup dengan memakan akar-akaran dan buah-buahan di pegunungan Himalaya.
Pada waktu itu, seorang mahkluk yang sempurna kebajikannya turun dari Alam Dewa Tāvatiṃsā dan terlahir menjadi seorang anak perempuan di dalam kuncup bunga teratai di sebuah kolam: ketika bunga-bunga teratai lainnya menjadi tua dan gugur, teratai yang satu itu tetap tumbuh kokoh dan tegak.
Petapa itu yang datang untuk mandi di sana melihat teratai tersebut dan berpikir, “Teratai yang lainnya berguguran, tetapi yang satu ini tetap tumbuh kokoh dan tegak; mengapa begini?” Maka ia mengenakan pakaiannya, menyeberang ke sana, kemudian membuka bunga teratai itu dan melihat seorang anak perempuan di dalamnya. Menganggap ia sebagai putrinya, petapa itu membawanya pulang ke gubuknya dan membesarkannya.
Ketika berusia enam belas tahun, anak perempuan itu tumbuh menjadi seorang wanita yang cantik, kecantikannya melebihi yang ada pada manusia, tetapi seperti yang ada pada dewa. Dewa Sakka datang untuk memberikan pelayanan kepada Bodhisatta, ia melihat wanita itu dan bertanya tentang asalnya. Setelah diberitahukan asal muasalnya, ia kemudian bertanya, “Apa yang seharusnya didapatkannya?” “Sebuah tempat tinggal dan persediaan pakaian, perhiasan dan makanan, Mārisa.” Ia menjawab, “Baiklah, Bhante,” dan menciptakan sebuah istana kaca sebagai tempat tinggalnya, merapikan tempat tidurnya, menyediakan pakaian, perhiasan, makanan dan minuman surgawi. Istananya itu berada di tanah ketika ia hendak memasukinya dan melayang di udara ketika ia telah memasukinya. Wanita itu melayani segala keperluan Bodhisatta ketika ia tinggal di dalam istana itu.
Seorang penjaga hutan melihat kejadian ini dan bertanya, “Apa hubungannya dengan Anda, Bhante?” “Ia adalah putriku.” Kemudian penjaga hutan tersebut pergi ke Benares dan memberi tahu raja, “Paduka, di daerah pegunungan Himalaya saya melihat seorang putri petapa yang sangat cantik.” Raja tertarik mendengar ini dan pergi ke tempat itu dengan dikawal oleh empat kelompok pengawal dan dituntun oleh penjaga hutan itu.
Setelah membuat perkemahan, raja membawa penjaga hutan dan para menterinya menuju ke tempat pertapaan tersebut. [250] Raja memberi penghormatan kepada Bodhisatta dan berkata, “Bhante, wanita adalah noda dalam kehidupan suci; saya akan merawat putrimu.”
Saat itu, Bodhisatta telah memberi nama Āsaṅkā (Asanka) kepada putrinya karena ia dipertemukan dengannya dengan cara menyeberangi air kolam yang dipicu oleh keraguannya, ‘Ada apa di dalam teratai ini?’ sehingga ia tidak langsung mengiyakan permintaan raja, melainkan berkata, “Jika Anda mengetahui nama wanita ini, Paduka, maka Anda boleh membawanya pergi.” “Bhante, jika Anda memberitahukan namanya, saya pasti akan tahu.” “Saya tidak akan memberitahukannya kepadamu. Di saat Anda mengetahuinya, Anda boleh membawanya pergi.” Raja menyetujuinya, dan sejak saat itu berdiskusi dengan para menterinya, “Apa yang mungkin menjadi namanya?” Ia mengutarakan semua nama yang sulit ditebak dan berbicara dengan Bodhisatta, berkata, ‘Namanya adalah anu.’ Tetapi Bodhisatta (selalu) mengatakan bukan dan menolaknya.
Satu tahun pun berlalu selagi raja masih memikirkan namanya. Singa dan hewan buas lainnya memakan gajah, kuda, dan anak buahnya, ada bahaya yang mengancam dari ular, lalat, dan banyak lagi yang lain mati karena kedinginan. Raja kemudian berkata kepada Bodhisatta, “Apa yang saya perlukan dari dirinya?” dan beranjak pergi. Asanka berdiri di depan jendela kacanya yang terbuka. Raja yang melihatnya, berkata, “Kami tidak dapat menebak namamu, tetaplah Anda tinggal di sini, di Himalaya, dan kami akan pergi.” “Paduka, jika Anda pergi, Anda tidak akan pernah menemukan seorang istri seperti diriku ini. Di Alam Tāvatiṁsā, di Taman Cittalatā, ada sebuah tanaman yang bernama Āsāvatī yang di dalam buahnya terdapat minuman dewa, dan yang meminumnya akan merasakan kebahagiaan selama empat bulan dan berbaring di ranjang surgawi. Tanaman itu hanya berbuah satu kali dalam seribu tahun dan putra-putra dari para dewa, walaupun diberikan minuman keras lainnya, [251] tetap menginginkan minuman dewa ini dan berkata, ‘Kami akan mendapatkan buah dari tanaman ini,’ dan terus-menerus datang selama ribuan tahun untuk mengawasi tanaman ini dan berkata, ‘Apakah tanaman ini sehat?’ Sedangkan Anda putus asa hanya dalam satu tahun; ia yang mendapatkan buah dari harapannya akan menjadi bahagia, janganlah putus asa,” dan ia mengucapkan tiga bait kalimat berikut:
Di taman dewa tumbuhlah Āsāvatī;
sekali dalam ribuan tahun, tidak lebih, pohon ini berbuah,
Para dewa terus menantinya dengan sabar.
Teruslah berharap, wahai raja,
buah dari harapan adalah hal yang menyenangkan (manis):
Seekor burung terus berharap dan
tidak pernah dikalahkan.
Keinginannya, walaupun jauh sekali,
ia mampu mendapatkannya.
Teruslah berharap, wahai raja:
Buah dari harapan adalah hal yang menyenangkan (manis).
Raja menjadi tertarik kembali setelah mendengar kata-katanya, ia kemudian mengumpulkan para menterinya kembali dan menebak namanya, membuat sepuluh tebakan dalam satu hari, sampai satu tahun berikutnya pun berlalu. Tetapi nama yang disebutkan dalam sepuluh-sepuluh itu selalu salah dan ditolak oleh Bodhisatta.
Kembali raja berkata, “Apa yang saya perlukan dari dirinya?” dan beranjak pergi. Wanita itu menampakkan dirinya di jendela, dan raja berkata, “Anda tetap tinggal di sini, kami akan pergi.” [252] “Mengapa kalian pergi, Paduka?” “Saya tidak dapat menebak namamu.” “Raja yang agung, mengapa Anda tidak dapat menebaknya? Harapan pastilah selalu terpenuhi; seekor burung bangau yang tinggal di atas puncak bukit saja mampu memenuhi harapannya: ia tinggal di sana pada waktu itu dan keesokan harinya berpikir, ‘Saya merasa senang tinggal di sini, di atas puncak bukit ini, seandainya saja tanpa harus turun ke bawah, dengan tetap berada di atas sini, tetap dapat kutemukan makanan dan minuman dan tinggal menetap di sini dengan keadaan demikian, itu akan menjadi hal yang sangat menyenangkan.’
Pada hari yang itu juga, Dewa Sakka yang telah mengalahkan para asura dan menjadi raja dewa di Alam Tāvatiṁsā, berpikir, ‘Keinginanku telah mencapai puncaknya, apakah ada mahkluk yang keinginannya belum terpenuhi?’ Maka dengan kekuatannya memindai, ia melihat burung bangau itu dan berpikir, ‘Saya akan mengabulkan harapan bangau ini: Tidak jauh dari tempat bangau itu bertengger, terdapat sebuah sungai kecil, dan Sakka membuat sungai itu penuh dengan air sampai ke puncaknya. Maka bangau itu, tanpa harus turun, dapat memakan ikan dan meminum air dan tinggal menetap di sana waktu itu: kemudian airnya turun kembali dan pergi. Jadi, Raja yang agung, burung bangau itu mendapatkan buah dari harapannya, dan mengapa Anda tidak mendapatkannya? Bertahanlah,” katanya. Raja yang mendengar ceritanya itu menjadi tertarik kembali oleh kecantikannya dan kata-katanya, ia pun tidak jadi pergi. Ia mengumpulkan para menterinya kembali dan mendapatkan seratus buah nama, [253] menghabiskan waktu satu tahun lagi untuk menebak namanya.
Di akhir tahun ketiga, ia mendatangi Bodhisatta dan bertanya, “Apakah namanya ada di antara seratus nama itu, Bhante?” “Anda masih tidak tahu namanya, Paduka.” Ia memberi penghormatan kepada Bodhisatta dan berkata, “Kami akan pergi sekarang,” ia pun berangkat pergi. Asanka kembali berdiri di jendela kacanya yang terbuka. Raja melihatnya dan berkata, “Anda tetap tinggal di sini, kami akan pergi.” “Mengapa demikian, Raja yang agung?” “Anda membuatku merasa puas dengan kata-kata, bukan dengan cinta; tertarik dengan kata-kata manismu, saya telah menghabiskan waktu tiga tahun di sini, sekarang saya akan pergi,” dan raja mengucapkan bait-bait berikut:
Anda membuatku senang
dengan kata-kata, bukan perbuatan:
Bunga yang tidak berbau, meskipun cantik,
hanyalah merupakan tanaman liar.
Menjanjikan sesuatu tanpa berbuat,
orang akan memusuhi temannya,
tidak pernah memberi, selalu menerima:
Persahabatan seperti ini akan pasti hancur.
Orang seharusnya berbicara di saat ia akan berbuat,
bukan berjanji atas hal yang tidak dapat dilakukannya:
Jika ia hanya bicara tanpa berbuat,
orang bijak akan menganggapnya berbohong.
Pasukanku habis sia-sia, persediaanku pun sudah habis,
Saya meragukan kehidupanku telah hancur;
kali ini saya benar-benar akan pergi.
[254] Asanka yang mendengar perkataan raja tersebut, berkata, “Paduka, Anda sudah tahu nama saya, Anda baru saja menyebutnya; Beritahukanlah nama itu kepada ayahku, kemudian bawa saya pergi,” dengan berbicara demikian kepada raja, ia mengatakan:
Kesatria, Anda telah mengucapkan
kata yang merupakan namaku:
Ayo, Raja, ayahku akan mengabulkan harapanmu.
Raja pergi menjumpai Bodhisatta, memberi penghormatan kepadanya dan berkata, “Bhante, nama putri Anda adalah Āsaṅkā (Asanka).” “Setelah mengetahui namanya, Anda boleh membawanya pergi, Raja yang agung.”
Ia kembali memberi penghormatan kepada Bodhisatta dan mendatangi istana kaca itu, kemudian berkata, “Nona, ayahmu telah memperbolehkanku membawamu, mari kita pergi sekarang.” “Mari, Paduka, saya akan meminta izin kepada ayahku,” katanya.
Setelah turun dari istananya, ia memberi penghormatan kepada Bodhisatta, mendapatkan izinnya dan kembali menjumpai raja. Raja membawanya ke Benares dan hidup bahagia bersamanya, dikaruniai dengan banyak putra dan putri. Bodhisatta melanjutkan meditasi jhananya tanpa henti dan terlahir kembali di alam brahma.
____________________
Setelah uraian-Nya berakhir, Sang Guru memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:— Setelah kebenarannya dimaklumkan, bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—“Āsaṅkā (Asanka) adalah mantan istrinya, raja adalah bhikkhu yang tadinya menyesal, dan petapa itu adalah saya sendiri.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com