MIGĀLOPA-JĀTAKA
Migālopajātaka (Ja 381)
[255] “Jalanmu, Anakku,” dan seterusnya. Sang Guru menceritakan kisah ini saat berada di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang sulit dinasihati.
Sang Guru bertanya kepada bhikkhu tersebut, “Apakah benar, Bhikkhu, bahwa Anda adalah orang yang sulit dinasihati?”
Ia menjawab, “Ya, Bhante.”
Dan Beliau berkata, “Bukan kali ini saja Anda sulit dinasihati, tetapi di masa lampau juga, dikarenakan sifatmu yang sulit dinasihati itu, Anda tidak mendengarkan kata-kata dari orang bijak dan meninggal dunia dihantam oleh angin verambha152,” kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi raja di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor burung hering yang bernama Aparaṇṇagijjha (Aparannagijjha) dan tinggal bersama dengan kawanan burung hering lainnya di Gunung Burung Hering (Gijjhapabbata).
Anaknya, yang bernama Migālopa (Migalopa), adalah seekor burung hering yang sangat kuat dan perkasa.
Suatu hari, ia terbang sangat tinggi, di luar jangkauan burung-burung hering lainnya. Mereka memberitahukan raja mereka bahwa anaknya terbang sangat tinggi. Ia memanggil Migalopa, dan berkata, “Anakku, mereka mengatakan bahwa kamu terbang terlalu tinggi. Jika kamu melakukan itu, kamu hanya akan membawa kematian bagi dirimu sendiri,” dan mengucapkan tiga bait kalimat berikut:
Jalanmu, Anakku, tidaklah aman,
Kamu terbang terlalu tinggi,
di luar batas jangkauan kita.
Ketika bumi terlihat berbentuk persegi bagimu,
kembalilah, Anakku,
dan jangan terbang lebih tinggi.
Burung-burung lain dengan kepakan sayap mereka
telah pernah mencobanya,
hasilnya mereka menemui ajal dalam kesombongan mereka,
dihantam oleh angin kencang nan ganas.
[256] Dikarenakan ketidakpatuhannya, Migalopa tidak mendengarkan peringatan ayahnya. Ia tetap terbang tinggi dan lebih tinggi sampai melewati batas yang telah diberitahukan oleh ayahnya, melewati angin hitam, terus terbang lebih tinggi lagi ke atas sampai akhirnya bertemu dengan angin verambha. Angin verambha itu menghantamnya, dan dengan sekali hantaman, ia pun hancur berkeping-keping dan menghilang di angkasa.
Nasihat bijak ayahnya tidak didengarkan,
melewati angin hitam, ia pun bertemu
dengan angin verambha.
Istrinya, anaknya, semua kawanan keluarganya,
menemui kehancuran mereka mengikuti burung itu.
Demikianlah ia yang tidak mendengarkan
apa yang dikatakan pemimpinnya,
seperti burung hering yang dengan sombongnya
terbang tinggi melampui batas,
menemui kehancurannya
ketika nasihat yang benar tidak dipatuhi.
____________________
Setelah menyelesaikan uraian-Nya, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, Migālopa (Migalopa) adalah bhikkhu yang sulit dinasihati, dan Aparaṇṇa (Aparanna) adalah saya sendiri.”
Sang Guru bertanya kepada bhikkhu tersebut, “Apakah benar, Bhikkhu, bahwa Anda adalah orang yang sulit dinasihati?”
Ia menjawab, “Ya, Bhante.”
Dan Beliau berkata, “Bukan kali ini saja Anda sulit dinasihati, tetapi di masa lampau juga, dikarenakan sifatmu yang sulit dinasihati itu, Anda tidak mendengarkan kata-kata dari orang bijak dan meninggal dunia dihantam oleh angin verambha152,” kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi raja di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor burung hering yang bernama Aparaṇṇagijjha (Aparannagijjha) dan tinggal bersama dengan kawanan burung hering lainnya di Gunung Burung Hering (Gijjhapabbata).
Anaknya, yang bernama Migālopa (Migalopa), adalah seekor burung hering yang sangat kuat dan perkasa.
Suatu hari, ia terbang sangat tinggi, di luar jangkauan burung-burung hering lainnya. Mereka memberitahukan raja mereka bahwa anaknya terbang sangat tinggi. Ia memanggil Migalopa, dan berkata, “Anakku, mereka mengatakan bahwa kamu terbang terlalu tinggi. Jika kamu melakukan itu, kamu hanya akan membawa kematian bagi dirimu sendiri,” dan mengucapkan tiga bait kalimat berikut:
Jalanmu, Anakku, tidaklah aman,
Kamu terbang terlalu tinggi,
di luar batas jangkauan kita.
Ketika bumi terlihat berbentuk persegi bagimu,
kembalilah, Anakku,
dan jangan terbang lebih tinggi.
Burung-burung lain dengan kepakan sayap mereka
telah pernah mencobanya,
hasilnya mereka menemui ajal dalam kesombongan mereka,
dihantam oleh angin kencang nan ganas.
[256] Dikarenakan ketidakpatuhannya, Migalopa tidak mendengarkan peringatan ayahnya. Ia tetap terbang tinggi dan lebih tinggi sampai melewati batas yang telah diberitahukan oleh ayahnya, melewati angin hitam, terus terbang lebih tinggi lagi ke atas sampai akhirnya bertemu dengan angin verambha. Angin verambha itu menghantamnya, dan dengan sekali hantaman, ia pun hancur berkeping-keping dan menghilang di angkasa.
Nasihat bijak ayahnya tidak didengarkan,
melewati angin hitam, ia pun bertemu
dengan angin verambha.
Istrinya, anaknya, semua kawanan keluarganya,
menemui kehancuran mereka mengikuti burung itu.
Demikianlah ia yang tidak mendengarkan
apa yang dikatakan pemimpinnya,
seperti burung hering yang dengan sombongnya
terbang tinggi melampui batas,
menemui kehancurannya
ketika nasihat yang benar tidak dipatuhi.
____________________
Setelah menyelesaikan uraian-Nya, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, Migālopa (Migalopa) adalah bhikkhu yang sulit dinasihati, dan Aparaṇṇa (Aparanna) adalah saya sendiri.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com