Sariputta | Suttapitaka | SIRIKĀLAKAṆṆI-JĀTAKA Sariputta

SIRIKĀLAKAṆṆI-JĀTAKA

Siri­kāḷakaṇ­ṇi­jātaka (Ja 382)

[257] “Siapakah itu,” dan seterusnya. Sang Guru menceritakan kisah ini ketika berada di Jetavana, mengenai Anāthapiṇḍika (Anathapindika).
Sejak mencapai tingkat kesucian Sotāpanna, Anathapindika selalu menjaga lima latihan moralitas (sila), begitu juga dengan istri, putra-putri, para pelayan dan pekerjanya.

Suatu hari di dalam balai kebenaran para bhikkhu mulai membicarakan tentang Anathapindika yang menjalankan kehidupan yang suci, dan begitu juga dengan semua yang ada di dalam keluarganya.

Sang Guru datang dan, setelah diberitahukan pokok pembicaraannya, Beliau berkata, “Para Bhikkhu, orang bijak di masa lampau juga memiliki keluarga yang seluruh anggotanya menjalankan kehidupan yang suci,” dan Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________

Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang saudagar yang selalu berdana, menjaga sila, dan melaksanakan laku Uposatha. Istri, putra-putri, para pelayan dan pekerjanya juga menjalankan kehidupan dengan cara yang sama. Oleh karenanya, ia dipanggil dengan nama Suciparivāra (keluarga yang suci).

Ia berpikir, “Jika ada orang yang moralitasnya lebih baik dibandingkan diriku datang ke sini, maka tempat duduk dan ranjangku ini tidaklah cocok diberikan kepadanya untuk duduk atau berbaring. Saya harus memberikannya yang bersih dan yang belum pernah digunakan.” Maka ia menyiapkan tempat duduk dan tempat tidur yang belum pernah digunakan sebelumnya, diletakkan di kamar utama.

Kala itu, di Alam Cātummahārājikā153, Kālakaṇṇī, putri dari Virūpakkha, dan Sirī, putri dari Dhataraṭṭha, keduanya mengambil wewangian dan untaian bunga, pergi ke Danau Anotatta untuk bermain di sana. Pada waktu itu, di danau tersebut ada banyak tempat untuk mandi: para Buddha mandi di tempat para Buddha, para Pacceka Buddha mandi di tempat para Pacceka Buddha, [258] para bhikkhu di para bhikkhu, para petapa mandi di tempat para petapa, para dewa dari enam alam dewa154 mandi di tempat para dewa, para dewi mandi di tempat para dewi.

Dua putri dewa itu tiba di sana dan mulai bertengkar untuk menentukan siapa yang harus mandi terlebih dahulu. Kālakaṇṇī (Kalakanni) berkata, “Saya yang memimpin (keadaan) dunia. Oleh karenanya, saya pantas untuk mandi terlebih dahulu.” Sirī (Siri) berkata, “Saya yang menentukan jenis kelakuan yang memberikan kepemimpinan bagi umat manusia. Oleh karenanya, saya pantas untuk mandi terlebih dahulu.” Kemudian keduanya berkata, “Keempat raja dewa pasti tahu siapa dari kita berdua yang berhak untuk mandi terlebih dahulu,” maka mereka berdua pergi menjumpai keempat raja dan menanyakan siapa di antara mereka berdua yang berhak untuk mandi terlebih dahulu di Anotatta.

Dhataraṭṭha dan Virūpakkha berkata, “Kami tidak bisa memutuskannya,” dan memberikan pertanyaan ini kepada Virūḷha dan Vessavaṇa. Mereka juga berkata, “Kami tidak bisa memutuskannya, kami akan menanyakan pertanyaan ini kepada raja dewa kami,” maka mereka menanyakannya kepada Dewa Sakka.

Ia mendengar cerita mereka dan berpikir, “Kedua-duanya adalah putri dari pengikutku. Saya tidak bisa memutuskan masalah ini,” jadi ia berkata kepada mereka, “Di Benares ada seorang saudagar yang bernama Suciparivāra (Suciparivara), di rumahnya telah disiapkan sebuah tempat duduk dan tempat tidur yang belum pernah digunakan. Ia yang dapat duduk atau berbaring di sana untuk pertama kalinya adalah orang yang berhak untuk mandi terlebih dahulu.”

Kalakanni yang mendengar ini langsung mengenakan pakaian berwarna biru tua155 dan wewangian biru tua, menghiasi dirinya dengan permata biru tua; ia turun dari alam surga seperti sebuah batu yang dilontarkan, pada penggal tengah malam hari, ia berdiri melayang di udara, mengeluarkan sinar biru, tidak jauh dari tempat saudagar itu yang sedang berbaring di tempat tidur di dalam kamar utama. Saudagar itu [253] menoleh dan melihatnya, tetapi dewi itu tidaklah terlihat anggun dan cantik di matanya.

Untuk berbicara dengannya, ia mengucapkan bait pertama berikut:

Siapakah itu yang begitu gelap warnanya,
yang terlihat sangat tidak cantik?
Katakan siapakah Anda, putri siapa,
bagaimana saya mengenalmu?
Mendengarnya mengatakan itu, Kalakanni mengucapkan bait kedua berikut:

Maharaja Dewa Virūpakkha adalah ayahku:
Saya adalah yang malang, dikenal dengan Kālakaṇṇī:
Berikanlah kepadaku tempat yang ada di dekatmu.
Kemudian Bodhisatta mengucapkan bait ketiga berikut:

Bagaimana kelakuan, jalan hidup,
dari orang-orang yang tinggal bersamamu?
Ini adalah pertanyaan dariku;
Saya akan mendengarkan jawabannya dengan baik.
Kemudian Kalakanni, untuk menjelaskan sifatnya, mengucapkan bait keempat berikut:

Orang-orang yang menutupi keburukan mereka,
orang yang tidak memiliki rasa kasihan,
orang yang suka marah, orang yang iri,
orang yang kikir, dan orang yang berkhianat:
Orang-orang demikian yang kusuka:
dan saya menghilangkan pencapaian yang membuat mereka
dapat mati dengan cara yang baik.
[260] Kalakanni juga mengucapkan bait kelima, keenam, dan ketujuh berikut:
Yang saya senangi adalah kemarahan dan kebencian,
Fitnah dan perselisihan, pencemaran nama baik dan kekejaman.
Orang-orang malas yang tidak tahu kebaikan sendiri,
yang tidak menyukai nasihat, yang kasar terhadap
orang-orang yang lebih baik darinya:
Orang-orang yang dikuasai oleh kebodohan,
orang-orang yang dibenci teman-teman mereka,
Mereka adalah temanku,
dalam diri mereka terdapat kebahagianku.
[261] Kemudian Sang Mahasatwa, untuk mengecamnya, mengucapkan bait kedelapan berikut:
Pergilah, Kāli: tidak ada apa pun
yang dapat membuatmu senang di sini:
Pergilah ke daratan atau kerajaan lainnya.
Kalakanni, yang mendengar ini, menjadi sedih dan mengucapkan satu bait kalimat berikut:

Saya mengenalmu dengan baik;
tidak ada yang dapat membuatku senang di sini.
Di tempat lain masih ada yang tidak beruntung,
mereka yang memupuk sifat-sifat itu;
Saya akan pergi dari sini.
Ketika ia pergi, Sirī (Siri) datang di pintu kamar utama, dengan mengenakan pakaian dan wewangian berwarna emas dan perhiasan berwarna emas terang, mengeluarkan sinar keemasan, berdiri dengan kaki menyentuh dasar (lantai) dan penuh hormat. Bodhisatta yang melihatnya, mengucapkan bait pertama berikut:

Siapakah itu yang begitu terang warnanya,
yang berdiri di atas tanah,
begitu kokoh dan nyata?
Katakan siapakah Anda, putri siapa,
bagaimana saya mengenalmu?
[262] Siri, yang mendengarnya, mengucapkan bait kedua berikut:
Maharaja Dhataraṭṭha adalah ayahku:
Harta dan keberuntungan adalah diriku,
dan kebijaksanaan yang dipuja orang:
Berikanlah kepadaku tempat yang ada di dekatmu.
Kemudian Bodhisatta mengucapkan bait berikut:

Bagaimana kelakuan, jalan hidup,
dari orang-orang yang tinggal bersamamu?
Ini adalah pertanyaan dariku;
Saya akan mendengarkan jawabannya dengan baik.
Demikian jawaban dari Siri ketika ditanya oleh saudagar itu:

Ia yang dalam dingin dan panas,
cuaca buruk dan baik, kehausan dan kelaparan,
ular dan lalat beracun,
melaksanakan kewajibannya siang dan malam;
Dengan merekalah saya tinggal
dan saya merasa senang.
Lemah lembut dan ramah,
sesuai dengan kebenaran,
bebas, terus terang dan jujur,
tulus, pemenang, sopan,
rendah hati dan sabar di tempat teratas;
Kuwarnai harta mereka semua,
seperti gelombang laut yang memberikan
warnanya ke seluruh samudra.
Kepada kawan atau lawan, yang lebih baik,
yang sama atau yang lebih buruk,
penolong atau musuh,
di siang atau malam hari,
siapa pun yang baik,
[263] tanpa kata-kata kasar atau buruk,
Saya adalah teman mereka,
baik hidup maupun mati.
Tetapi jika seorang dungu yang
telah mendapatkan cinta dari diriku,
kemudian menjadi semakin sombong,
maka jalan ke depannya akan menjadi buruk,
seperti noda yang kotor.
Setiap keberuntungan dan ketidakberuntungan seseorang adalah hasil dari perbuatannya sendiri, bukan perbuatan orang lain: Tidak ada keberuntungan dan ketidakberuntungan yang dapat dibuat oleh seseorang untuk saudara-saudaranya.

[264] Bodhisatta menjadi bersukacita setelah mendengar jawaban dari Siri dan berkata, “Tempat duduk dan ranjang yang suci ini cocok untuk Anda; silakan duduk dan berbaringlah di sana.” Siri pun bermalam di sana dan pagi harinya kembali ke Alam Cātummahārājikā dan mendapatkan giliran pertama untuk mandi di Danau Anotatta. Ranjang yang digunakan oleh Siri disebut sirisaya. Sejak saat itu, munculah yang namanya sirisayana, yang digunakan sampai sekarang.
____________________
Setelah menyelesaikan uraian-Nya, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, Dewi Sirī (Siri) adalah Uppalavaṇṇā, Saudagar Suciparivāra (Suciparivara) adalah saya sendiri.”

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com