DHAMMADDHAJA JATAKA
Dhammadhajajātaka (Ja 384)
“Latihlah kebajikan,” dan seterusnya. Sang Guru menceritakan kisah ini ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang curang (menipu). Beliau berkata, “Para Bhikkhu, ini bukanlah pertama kalinya orang ini menipu.”
Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi raja di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor burung. Ketika dewasa, ia tinggal bersama dengan kawanan burung lainnya di sebuah
pulau di tengah laut. Para saudagar dari Kāsi (Kasi) membawa seekor burung gagak di dalam pelayaran mereka dan memulai perjalanan mereka berlayar di laut. Di tengah laut, kapal tersebut karam. Burung gagak dapat mencapai pulau tersebut dan berpikir, “Di sini terdapat banyak burung, adalah hal yang bagus untuk menipu mereka dan memakan telur berikut anak-anak mereka.” Maka ia pergi ke tengah-tengah mereka, berdiri dengan satu kaki dan mulut terbuka. “Siapakah Anda, Tuan?” tanya mereka. “Saya adalah makhluk yang suci.” “Mengapa Anda berdiri dengan satu kaki?” “Jika saya menurunkan kakiku yang satu lagi, [268] bumi ini tidak akan sanggup menahanku.”
“Kemudian mengapa Anda berdiri dengan mulut terbuka?” “Kami tidak memakan makanan apa pun, kecuali angin,” dan setelah mengatakan ini, ia mengumpulkan kawanan burung itu dan berkata, “Saya akan memberikan wejangan kepada kalian, dengarkanlah,” ia mengucapkan bait pertama ini dengan cara layaknya seperti sedang memberikan wejangan:
Latihlah kebajikan, Saudara-saudaraku, semoga kalian diberkati! latihlah kebajikan, saya ulangi:
Baik di kehidupan ini maupun di kehidupan yang akan datang, makhluk yang bajik akan mendapatkan kebahagiaan.
Burung-burung tersebut, yang tidak tahu bahwa gagak menipu mereka dengan mengatakan semua itu untuk dapat memakan telur-telur mereka, memuji dirinya dan mengucapkan
bait kedua berikut:
Pastinya ia adalah unggas yang bijak,
seekor burung yang suci,
ia mewejang dengan berdiri pada satu kaki.
Burung-burung tersebut, yang mempercayai burung jahat itu, berkata, “Tuan, Anda tidak memakan makanan lain, kecuali angin, jadi tolong jaga telur-telur dan anak-anak kami,” dan
terbang pergi ke tempat mereka biasanya mencari makanan. Gagak yang jahat itu, ketika mereka semua pergi, memakan telur dan anak-anak mereka sampai perutnya kenyang, dan di saat mereka kembali, ia berdiri tenang dengan satu kaki dan mulut terbuka.
Ketika pulang dan tidak melihat anak-anak mereka, mereka berteriak dengan keras, “Siapa yang telah memakan mereka? Burung gagak ini adalah unggas yang suci,” mereka tidak mencurigainya. Kemudian suatu hari Bodhisatta berpikir, “Tidak ada masalah seperti itu sebelumnya di sini, ini mulai terjadi sejak burung yang satu ini datang. Adalah hal yang baik
untuk mengujinya,” jadi ia bersikap seolah-olah akan pergi mencari makanan dengan burung-burung lainnya, kemudian berputar arah kembali dan berdiri di tempat yang tersembunyi.
[269] Gagak, yang merasa yakin bahwa kawanan burung itu telah pergi, bangkit dan pergi memakan telur-telur dan anak-anak burung itu, kemudian kembali ke tempatnya, berdiri dengan satu kaki dan mulut terbuka. Ketika kawanan burung itu kembali, raja mereka mengumpulkan mereka semua dan berkata, “Hari ini saya menyelidiki bahaya yang menimpa anak-anak kita, dan saya melihat gagak jahat ini memakan mereka. Kita harus menangkapnya,” maka setelah mengumpulkan semua kawanan burung dan mengepung gagak, ia berkata, “Jika ia lari, kita harus menangkapnya,” dan mengucapkan sisa bait kalimat berikut:
Kalian tidak tahu rencananya, ketika burung ini kalian puji, kalian mengatakannya dengan lidah yang bodoh:
ia membalas, ‘Latihlah kebajikan, latihlah kebajikan,’
tetapi kemudian ia memakan telur dan anak-anak kita.
Wejangan yang diucapkan olehnya tidak pernah dilakukan olehnya:
Kebajikannya adalah suara yang hampa,
kelakukannya tidak jujur.
Di dalam hatinya munafik, bahasanya memikat,
seperti seekor ular hitam yang menyelinap masuk
ke dalam sarangnya:
Dengan penampilan luarnya, ia menipu burung-burung lain yang polos.
Serang ia dengan paruh dan sayap kalian,
cabik ia dengan cakar kalian:
Kematian cocok bagi pengecut yang kejam, pengkhianat kaum kita.
Dengan kata-kata ini, raja burung itu bangkit dan menyerang kepala burung gagak dengan paruhnya, dan burung burung yang lain menyerangnya dengan paruh, kaki dan sayap
mereka; maka burung gagak itu pun mati.
Setelah uraian-Nya selesai, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:
“Pada masa itu, burung gagak adalah bhikkhu yang curang, dan raja burung adalah saya sendiri.”
Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi raja di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor burung. Ketika dewasa, ia tinggal bersama dengan kawanan burung lainnya di sebuah
pulau di tengah laut. Para saudagar dari Kāsi (Kasi) membawa seekor burung gagak di dalam pelayaran mereka dan memulai perjalanan mereka berlayar di laut. Di tengah laut, kapal tersebut karam. Burung gagak dapat mencapai pulau tersebut dan berpikir, “Di sini terdapat banyak burung, adalah hal yang bagus untuk menipu mereka dan memakan telur berikut anak-anak mereka.” Maka ia pergi ke tengah-tengah mereka, berdiri dengan satu kaki dan mulut terbuka. “Siapakah Anda, Tuan?” tanya mereka. “Saya adalah makhluk yang suci.” “Mengapa Anda berdiri dengan satu kaki?” “Jika saya menurunkan kakiku yang satu lagi, [268] bumi ini tidak akan sanggup menahanku.”
“Kemudian mengapa Anda berdiri dengan mulut terbuka?” “Kami tidak memakan makanan apa pun, kecuali angin,” dan setelah mengatakan ini, ia mengumpulkan kawanan burung itu dan berkata, “Saya akan memberikan wejangan kepada kalian, dengarkanlah,” ia mengucapkan bait pertama ini dengan cara layaknya seperti sedang memberikan wejangan:
Latihlah kebajikan, Saudara-saudaraku, semoga kalian diberkati! latihlah kebajikan, saya ulangi:
Baik di kehidupan ini maupun di kehidupan yang akan datang, makhluk yang bajik akan mendapatkan kebahagiaan.
Burung-burung tersebut, yang tidak tahu bahwa gagak menipu mereka dengan mengatakan semua itu untuk dapat memakan telur-telur mereka, memuji dirinya dan mengucapkan
bait kedua berikut:
Pastinya ia adalah unggas yang bijak,
seekor burung yang suci,
ia mewejang dengan berdiri pada satu kaki.
Burung-burung tersebut, yang mempercayai burung jahat itu, berkata, “Tuan, Anda tidak memakan makanan lain, kecuali angin, jadi tolong jaga telur-telur dan anak-anak kami,” dan
terbang pergi ke tempat mereka biasanya mencari makanan. Gagak yang jahat itu, ketika mereka semua pergi, memakan telur dan anak-anak mereka sampai perutnya kenyang, dan di saat mereka kembali, ia berdiri tenang dengan satu kaki dan mulut terbuka.
Ketika pulang dan tidak melihat anak-anak mereka, mereka berteriak dengan keras, “Siapa yang telah memakan mereka? Burung gagak ini adalah unggas yang suci,” mereka tidak mencurigainya. Kemudian suatu hari Bodhisatta berpikir, “Tidak ada masalah seperti itu sebelumnya di sini, ini mulai terjadi sejak burung yang satu ini datang. Adalah hal yang baik
untuk mengujinya,” jadi ia bersikap seolah-olah akan pergi mencari makanan dengan burung-burung lainnya, kemudian berputar arah kembali dan berdiri di tempat yang tersembunyi.
[269] Gagak, yang merasa yakin bahwa kawanan burung itu telah pergi, bangkit dan pergi memakan telur-telur dan anak-anak burung itu, kemudian kembali ke tempatnya, berdiri dengan satu kaki dan mulut terbuka. Ketika kawanan burung itu kembali, raja mereka mengumpulkan mereka semua dan berkata, “Hari ini saya menyelidiki bahaya yang menimpa anak-anak kita, dan saya melihat gagak jahat ini memakan mereka. Kita harus menangkapnya,” maka setelah mengumpulkan semua kawanan burung dan mengepung gagak, ia berkata, “Jika ia lari, kita harus menangkapnya,” dan mengucapkan sisa bait kalimat berikut:
Kalian tidak tahu rencananya, ketika burung ini kalian puji, kalian mengatakannya dengan lidah yang bodoh:
ia membalas, ‘Latihlah kebajikan, latihlah kebajikan,’
tetapi kemudian ia memakan telur dan anak-anak kita.
Wejangan yang diucapkan olehnya tidak pernah dilakukan olehnya:
Kebajikannya adalah suara yang hampa,
kelakukannya tidak jujur.
Di dalam hatinya munafik, bahasanya memikat,
seperti seekor ular hitam yang menyelinap masuk
ke dalam sarangnya:
Dengan penampilan luarnya, ia menipu burung-burung lain yang polos.
Serang ia dengan paruh dan sayap kalian,
cabik ia dengan cakar kalian:
Kematian cocok bagi pengecut yang kejam, pengkhianat kaum kita.
Dengan kata-kata ini, raja burung itu bangkit dan menyerang kepala burung gagak dengan paruhnya, dan burung burung yang lain menyerangnya dengan paruh, kaki dan sayap
mereka; maka burung gagak itu pun mati.
Setelah uraian-Nya selesai, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:
“Pada masa itu, burung gagak adalah bhikkhu yang curang, dan raja burung adalah saya sendiri.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com