KHARAPUTTA-JĀTAKA
Kharaputtajātaka (Ja 386)
[275] “Kambing adalah hewan bodoh,” dan seterusnya. Sang Guru menceritakan kisah ini di Jetavana, tentang godaan terhadap seorang bhikkhu oleh mantan istrinya.
Ketika bhikkhu itu mengakui bahwa ia merindukan kehidupan duniawi, Sang Guru berkata, “Bhikkhu, wanita ini mencelakaimu; Di masa lampau juga Anda masuk ke dalam api demi dirinya, dan diselamatkan dari kematian oleh orang bijak,” kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika seorang raja yang bernama Senaka memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai Dewa Sakka.
Raja Senaka sangat akrab dengan seekor raja nāga (naga).
Dikatakan bahwasanya raja naga tersebut meninggalkan alam naga dan mengembara di bumi (alam manusia) untuk mencari makanan. Anak-anak desa yang melihatnya berkata, “Ini adalah seekor ular,” seraya melemparinya dengan gumpalan tanah dan lain sebagainya. Raja, yang bermaksud untuk bersenang-senang dengan pergi ke tamannya, melihat mereka. Dan ketika diberi tahu bahwa mereka sedang memukuli seekor ular, raja berkata, “Jangan biarkan mereka memukulinya, usir mereka pergi,” dan perintahnya tersebut dilaksanakan. Maka raja naga itu pun selamat, dan ketika kembali ke alam naga, ia mengambil banyak permata.
Ia memberikan permata-permata itu kepada raja, dengan datang ke kamar tidurnya pada tengah malam, dan berkata, “Saya bisa selamat karena dirimu,” kemudian ia pun berteman dengan raja dan datang lagi untuk menemuinya pada hari-hari berikutnya.
Ia menunjuk salah satu dari wanita naga, yang tidak puas dalam kesenangan indriawi, untuk berada di dekat raja dan melindunginya. Dan ia juga memberikan mantra kepada raja dengan berpesan, “Jika Anda tidak melihatnya, ucapkanlah mantra ini.”
Pada suatu hari, raja pergi ke taman dengan wanita naga itu dan menyenangkan dirinya sendiri (mandi) di dalam kolam teratai. Ketika melihat seekor ular air, wanita naga itu berubah kembali ke wujud hewannya dan bercinta dengan ular air tersebut. Raja yang tidak melihat wanita naga itu berkata, “Di mana ia pergi?” dan mengucapkan mantranya.
Kemudian ia melihatnya melakukan perbuatan salah tersebut dan memukulnya dengan sebatang bambu. Wanita naga itu kembali ke alam naga dengan marah, dan ketika ditanya, “Mengapa Anda datang ke sini?” Ia berkata, “Temanmu memukul punggungku karena saya tidak melakukan permintaannya,” sambil menunjukkan tanda pukulannya itu. Raja naga yang tidak tahu keadaan sebenarnya memanggil empat pemuda naga dan memerintahkan mereka untuk pergi ke ruang tidur raja dan menghabisinya seperti sekam oleh napas dari lubang hidung mereka.
Mereka memasuki ruang tidur raja pada waktu tidur malam. Ketika mereka masuk ke dalam, raja sedang berbicara dengan ratu: “Ratu, apakah Anda tahu ke mana perginya wanita naga?” “Saya tidak tahu, Paduka.” “Hari ini sewaktu saya sedang mandi di kolam, ia berubah ke wujud aslinya dan melakukan suatu perbuatan salah dengan seekor ular air. Saya berkata, ‘Jangan lakukan itu,’ dan memukulnya dengan sebatang bambu untuk membuatnya jera. Sekarang saya khawtir ia kembali ke alam naga dan berbohong kepada temanku, menghancurkan hubungan baiknya dengan diriku.”
Pemuda-pemuda naga itu mendengar hal ini dan langsung kembali ke alam naga untuk memberitahukan raja mereka. Raja naga yang tergerak ini langsung mendatangi kamar tidur kerajaan, memberitahukan semuanya, dan ia dimaafkan, kemudian ia berkata, “Dengan cara ini saya akan membuat perbaikan,” dan memberikan sebuah mantra kepada raja agar dapat memahami segala jenis suara (hewan), “Wahai raja, ini adalah sebuah mantra yang tak ternilai harganya. Jika Anda memberikan mantra ini kepada orang lain, Anda akan masuk ke dalam api dan mati.” Raja itu berkata, “Baiklah,” dan menerimanya. Mulai saat itu ia memahami segala jenis suara hewan, bahkan suara semut.
Pada suatu hari ia sedang duduk di dipannya sambil menyantap makanannya dengan madu dan air gula: setetes madu, setetes air gula dan sepotong kecil kue terjatuh di tanah. Seekor semut yang melihat ini datang dengan berteriak, “Kendi madu raja pecah di dipannya, tempat air gula dan tempat kuenya terbalik [277]; mari datang dan makan madu, air gula, dan kuenya.” Raja, yang mendengar teriakan tersebut, tertawa. Ratu yang berada di dekatnya berpikir, “Apa yang telah dilihat oleh raja sampai ia tertawa sendiri?” Selesai menyantap makanannya, raja mandi dan duduk bersila.
Seekor lalat berkata kepada istrinya, ‘Ayo, istriku, kita nikmati cinta kita.’ Istrinya berkata, “Tunggu sebentar, Suamiku. Mereka akan segera membawakan wewangian untuk raja, ketika ia menggunakannya, akan ada sebagian kecil yang jatuh di kakinya. Saya akan menunggu di sana dan menjadi wangi, kemudian kita akan bersenang-senang dengan berbaring di punggung raja.” Raja yang mendengar suara tersebut kemudian tertawa kembali. Ratu kemudian berpikir lagi, “Apa yang telah dilihatnya sampai ia tertawa sendiri?”
Ketika raja sedang menyantap makan malam, setumpuk nasi jatuh di tanah. Semut-semut berteriak, “Satu kereta yang penuh dengan nasi telah hancur di istana raja, tidak ada lagi yang memakannya.” Raja yang mendengar perkataan semut-semut tersebut kembali tertawa. Ratu mengambil sebuah sendok emas dan berkaca, “Apakah karena melihatku raja menjadi tertawa?” Ia masuk ke dalam kamar tidur bersama dengan raja pada waktu tidur malam dan bertanya, “Mengapa tadi Paduka tertawa?” Setelah ditanya berulang-ulang kali, raja pun memberitahukan jawabannya. Kemudian ratu berkata, “Berikanlah mantra itu kepadaku.” Raja berkata, “Mantra ini tidak boleh diberikan kepada orang lain.” Tetapi ratu terus-menerus bertanya dan mendesak raja.
Raja berkata, “Jika saya memberikan mantra ini kepadamu, saya akan mati.” “Meskipun Anda akan mati, berikanlah kepadaku.” Raja, yang berada dalam kekuasaan wanita, berkata, “Baiklah,” dan mengiyakan permintaan ratu, kemudian pergi ke taman dengan kereta dan raja berkata, “Saya akan masuk ke dalam api setelah memberitahukan mantra ini kepada ratu.” Pada waktu itu, Sakka, raja para dewa, yang memindai keadaan dunia dan mengetahui masalah ini, dan berkata, “Raja dungu ini, meskipun tahu ia akan masuk ke dalam api dikarenakan wanita ini, tetap saja menuruti permintaannya.
Saya akan menyelamatkan hidupnya.” Jadi ia membawa Sūja (Suja), putri dari para asura, pergi ke Benares. [278] Sakka mengubah wujudnya menjadi seekor kambing jantan dan mengubah Suja menjadi seekor kambing betina, dan membuat orang lain tidak dapat melihat mereka, ia berdiri di depan kereta raja. Selain raja dan Kuda-kuda Sindhu yang menarik kereta raja, tidak ada lagi yang dapat melihatnya.
Sebagai cara untuk membuka pembicaraan, kambing jantan itu bertindak seolah-olah ia akan bercinta dengan kambing betina. Salah satu kuda yang ada di kereta itu yang melihatnya berkata, “Teman kambing, sebelumnya kami pernah mendengar, tetapi belum pernah melihat, bahwasanya kambing adalah hewan bodoh dan tidak tahu malu. Tetapi kalian sedang melakukan, dengan dilihat oleh kami semua, suatu perbuatan yang seharusnya dilakukan secara pribadi (tertutup) di tempat yang pribadi pula, dan kalian tidak merasa malu; berarti apa yang pernah kami dengar itu sesuai dengan apa yang kami lihat ini,” dan demikian ia mengucapkan bait pertama berikut:
‘Kambing adalah hewan bodoh,’ kata orang bijak,
dan perkataan itu adalah benar halnya:
Kambing yang satu ini tidak tahu
bahwa ia sedang menunjukkan di depan umum
suatu perbuatan yang seharusnya dilakukan secara tertutup.
Kambing yang mendengarnya, mengucapkan dua bait kalimat berikut:
Wahai kuda, pikirkan dan sadari kebodohanmu sendiri;
Kamu diikat dengan tali, rahangmu dirusak
dan yang paling parah adalah matamu.
Ketika tidak diikat, kamu tidak lari,
itu juga adalah suatu kebiasaan yang bodoh:
Dan Senaka yang kamu bawa itu lebih bodoh lagi dibandingkan dirimu.
Raja yang mengerti perkataan dari kedua jenis hewan tersebut segera memerintahkan penunggangnya untuk membawanya pulang. Kuda yang mendengar perkataan kambing mengucapkan bait keempat berikut:
Baiklah, raja kambing,
Anda tahu semua tentang kebodohanku:
Teapi bagaimana Senaka juga bodoh,
mohon jelaskan kepadaku.
Kambing menjelaskannya dengan mengucapkan bait kelima berikut:
Ia yang harta istimewanya
akan diberikan kepada istrinya,
tidak akan bisa menjaga kesetiaannya
dan harus mengkhianati hidupnya.
Raja yang mendengar perkataan tersebut kemudian berkata, “Raja kambing, Anda pasti akan melakukan sesuatu yang menguntungkanku. Beritahukanlah apa yang harus kulakukan sekarang.” Kemudian kambing berkata, “Raja, bagi semua hewan, tidak ada yang lebih menyayangi kami selain diri kami sendiri; bukanlah sesuatu yang baik [280] untuk menghancurkan diri sendiri dan meninggalkan kehormatan yang telah didapatkan dikarenakan apa pun yang disayanginya,” dan ia mengucapkan bait keenam berikut:
Seorang raja, seperti Anda,
mungkin memiliki keinginan yang tersembunyi
dan mungkin harus melepaskannya jika nyawa taruhannya:
Hidup adalah hal yang utama:
Apa lagi yang dicari orang lebih dari itu?
Jika hidup kita aman,
kebutuhan dari keinginan kita tidak perlu didahulukan.
Demikian Bodhisatta menasihati raja. Raja yang kemudian menjadi bersukacita, bertanya, “Raja kambing, dari mana Anda datang?” “Saya adalah Sakka, wahai raja, yang datang untuk menyelamatkan nyawamu karena kasihan.” “Raja para dewa, saya telah berjanji untuk memberikan mantra ini kepadanya, apa yang harus kulakukan sekarang?” “Tidak perlu untuk menghancurkan diri kalian berdua: katakan saja, ‘Ini adalah cara untuk mendapatkannya,’ dan pukullah ia dengan beberapa cambukan, dan dengan cara ini ia tidak akan ingin memilikinya.” Raja berkata, “Baiklah,” dan menyetujuinya.
Setelah menasihati raja, Bodhisatta kembali ke alam dewa. Raja masuk ke dalam tamannya dan memanggil ratu, kemudian berkata, “Ratu, apakah Anda benar menginginkan mantranya?” “Ya, Paduka.” “Kalau begitu Anda harus melewati kebiasaan ini.” “Kebiasaan apa?” “Seratus kali cambukan [281] di punggung, tetapi Anda tidak boleh bersuara sedikit pun.”
Ratu menyetujuinya dikarenakan keserakahannya untuk memperoleh mantra tersebut. Raja memerintahkan pengawal untuk membawakan cambuk dan mencambuk ratu di kedua sisi. Ratu hanya dapat menahan dua atau tiga cambukan dan kemudian berteriak, “Saya tidak menginginkan mantra itu.” Raja berkata, “Anda tadinya akan membunuhku dengan mendapatkan mantra itu,” dan setelah mencambuknya, raja menyuruhnya pergi. Setelah kejadian itu, ia tidak berani membicarakan tentang mantra itu lagi.
____________________
Setelah menyampaikan uraian-Nya, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenarannya, bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—Pada masa itu, raja adalah bhikkhu yang menyesal itu, ratu adalah mantan istrinya, kuda adalah Sāriputta, dan Sakka adalah saya sendiri.”
Ketika bhikkhu itu mengakui bahwa ia merindukan kehidupan duniawi, Sang Guru berkata, “Bhikkhu, wanita ini mencelakaimu; Di masa lampau juga Anda masuk ke dalam api demi dirinya, dan diselamatkan dari kematian oleh orang bijak,” kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika seorang raja yang bernama Senaka memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai Dewa Sakka.
Raja Senaka sangat akrab dengan seekor raja nāga (naga).
Dikatakan bahwasanya raja naga tersebut meninggalkan alam naga dan mengembara di bumi (alam manusia) untuk mencari makanan. Anak-anak desa yang melihatnya berkata, “Ini adalah seekor ular,” seraya melemparinya dengan gumpalan tanah dan lain sebagainya. Raja, yang bermaksud untuk bersenang-senang dengan pergi ke tamannya, melihat mereka. Dan ketika diberi tahu bahwa mereka sedang memukuli seekor ular, raja berkata, “Jangan biarkan mereka memukulinya, usir mereka pergi,” dan perintahnya tersebut dilaksanakan. Maka raja naga itu pun selamat, dan ketika kembali ke alam naga, ia mengambil banyak permata.
Ia memberikan permata-permata itu kepada raja, dengan datang ke kamar tidurnya pada tengah malam, dan berkata, “Saya bisa selamat karena dirimu,” kemudian ia pun berteman dengan raja dan datang lagi untuk menemuinya pada hari-hari berikutnya.
Ia menunjuk salah satu dari wanita naga, yang tidak puas dalam kesenangan indriawi, untuk berada di dekat raja dan melindunginya. Dan ia juga memberikan mantra kepada raja dengan berpesan, “Jika Anda tidak melihatnya, ucapkanlah mantra ini.”
Pada suatu hari, raja pergi ke taman dengan wanita naga itu dan menyenangkan dirinya sendiri (mandi) di dalam kolam teratai. Ketika melihat seekor ular air, wanita naga itu berubah kembali ke wujud hewannya dan bercinta dengan ular air tersebut. Raja yang tidak melihat wanita naga itu berkata, “Di mana ia pergi?” dan mengucapkan mantranya.
Kemudian ia melihatnya melakukan perbuatan salah tersebut dan memukulnya dengan sebatang bambu. Wanita naga itu kembali ke alam naga dengan marah, dan ketika ditanya, “Mengapa Anda datang ke sini?” Ia berkata, “Temanmu memukul punggungku karena saya tidak melakukan permintaannya,” sambil menunjukkan tanda pukulannya itu. Raja naga yang tidak tahu keadaan sebenarnya memanggil empat pemuda naga dan memerintahkan mereka untuk pergi ke ruang tidur raja dan menghabisinya seperti sekam oleh napas dari lubang hidung mereka.
Mereka memasuki ruang tidur raja pada waktu tidur malam. Ketika mereka masuk ke dalam, raja sedang berbicara dengan ratu: “Ratu, apakah Anda tahu ke mana perginya wanita naga?” “Saya tidak tahu, Paduka.” “Hari ini sewaktu saya sedang mandi di kolam, ia berubah ke wujud aslinya dan melakukan suatu perbuatan salah dengan seekor ular air. Saya berkata, ‘Jangan lakukan itu,’ dan memukulnya dengan sebatang bambu untuk membuatnya jera. Sekarang saya khawtir ia kembali ke alam naga dan berbohong kepada temanku, menghancurkan hubungan baiknya dengan diriku.”
Pemuda-pemuda naga itu mendengar hal ini dan langsung kembali ke alam naga untuk memberitahukan raja mereka. Raja naga yang tergerak ini langsung mendatangi kamar tidur kerajaan, memberitahukan semuanya, dan ia dimaafkan, kemudian ia berkata, “Dengan cara ini saya akan membuat perbaikan,” dan memberikan sebuah mantra kepada raja agar dapat memahami segala jenis suara (hewan), “Wahai raja, ini adalah sebuah mantra yang tak ternilai harganya. Jika Anda memberikan mantra ini kepada orang lain, Anda akan masuk ke dalam api dan mati.” Raja itu berkata, “Baiklah,” dan menerimanya. Mulai saat itu ia memahami segala jenis suara hewan, bahkan suara semut.
Pada suatu hari ia sedang duduk di dipannya sambil menyantap makanannya dengan madu dan air gula: setetes madu, setetes air gula dan sepotong kecil kue terjatuh di tanah. Seekor semut yang melihat ini datang dengan berteriak, “Kendi madu raja pecah di dipannya, tempat air gula dan tempat kuenya terbalik [277]; mari datang dan makan madu, air gula, dan kuenya.” Raja, yang mendengar teriakan tersebut, tertawa. Ratu yang berada di dekatnya berpikir, “Apa yang telah dilihat oleh raja sampai ia tertawa sendiri?” Selesai menyantap makanannya, raja mandi dan duduk bersila.
Seekor lalat berkata kepada istrinya, ‘Ayo, istriku, kita nikmati cinta kita.’ Istrinya berkata, “Tunggu sebentar, Suamiku. Mereka akan segera membawakan wewangian untuk raja, ketika ia menggunakannya, akan ada sebagian kecil yang jatuh di kakinya. Saya akan menunggu di sana dan menjadi wangi, kemudian kita akan bersenang-senang dengan berbaring di punggung raja.” Raja yang mendengar suara tersebut kemudian tertawa kembali. Ratu kemudian berpikir lagi, “Apa yang telah dilihatnya sampai ia tertawa sendiri?”
Ketika raja sedang menyantap makan malam, setumpuk nasi jatuh di tanah. Semut-semut berteriak, “Satu kereta yang penuh dengan nasi telah hancur di istana raja, tidak ada lagi yang memakannya.” Raja yang mendengar perkataan semut-semut tersebut kembali tertawa. Ratu mengambil sebuah sendok emas dan berkaca, “Apakah karena melihatku raja menjadi tertawa?” Ia masuk ke dalam kamar tidur bersama dengan raja pada waktu tidur malam dan bertanya, “Mengapa tadi Paduka tertawa?” Setelah ditanya berulang-ulang kali, raja pun memberitahukan jawabannya. Kemudian ratu berkata, “Berikanlah mantra itu kepadaku.” Raja berkata, “Mantra ini tidak boleh diberikan kepada orang lain.” Tetapi ratu terus-menerus bertanya dan mendesak raja.
Raja berkata, “Jika saya memberikan mantra ini kepadamu, saya akan mati.” “Meskipun Anda akan mati, berikanlah kepadaku.” Raja, yang berada dalam kekuasaan wanita, berkata, “Baiklah,” dan mengiyakan permintaan ratu, kemudian pergi ke taman dengan kereta dan raja berkata, “Saya akan masuk ke dalam api setelah memberitahukan mantra ini kepada ratu.” Pada waktu itu, Sakka, raja para dewa, yang memindai keadaan dunia dan mengetahui masalah ini, dan berkata, “Raja dungu ini, meskipun tahu ia akan masuk ke dalam api dikarenakan wanita ini, tetap saja menuruti permintaannya.
Saya akan menyelamatkan hidupnya.” Jadi ia membawa Sūja (Suja), putri dari para asura, pergi ke Benares. [278] Sakka mengubah wujudnya menjadi seekor kambing jantan dan mengubah Suja menjadi seekor kambing betina, dan membuat orang lain tidak dapat melihat mereka, ia berdiri di depan kereta raja. Selain raja dan Kuda-kuda Sindhu yang menarik kereta raja, tidak ada lagi yang dapat melihatnya.
Sebagai cara untuk membuka pembicaraan, kambing jantan itu bertindak seolah-olah ia akan bercinta dengan kambing betina. Salah satu kuda yang ada di kereta itu yang melihatnya berkata, “Teman kambing, sebelumnya kami pernah mendengar, tetapi belum pernah melihat, bahwasanya kambing adalah hewan bodoh dan tidak tahu malu. Tetapi kalian sedang melakukan, dengan dilihat oleh kami semua, suatu perbuatan yang seharusnya dilakukan secara pribadi (tertutup) di tempat yang pribadi pula, dan kalian tidak merasa malu; berarti apa yang pernah kami dengar itu sesuai dengan apa yang kami lihat ini,” dan demikian ia mengucapkan bait pertama berikut:
‘Kambing adalah hewan bodoh,’ kata orang bijak,
dan perkataan itu adalah benar halnya:
Kambing yang satu ini tidak tahu
bahwa ia sedang menunjukkan di depan umum
suatu perbuatan yang seharusnya dilakukan secara tertutup.
Kambing yang mendengarnya, mengucapkan dua bait kalimat berikut:
Wahai kuda, pikirkan dan sadari kebodohanmu sendiri;
Kamu diikat dengan tali, rahangmu dirusak
dan yang paling parah adalah matamu.
Ketika tidak diikat, kamu tidak lari,
itu juga adalah suatu kebiasaan yang bodoh:
Dan Senaka yang kamu bawa itu lebih bodoh lagi dibandingkan dirimu.
Raja yang mengerti perkataan dari kedua jenis hewan tersebut segera memerintahkan penunggangnya untuk membawanya pulang. Kuda yang mendengar perkataan kambing mengucapkan bait keempat berikut:
Baiklah, raja kambing,
Anda tahu semua tentang kebodohanku:
Teapi bagaimana Senaka juga bodoh,
mohon jelaskan kepadaku.
Kambing menjelaskannya dengan mengucapkan bait kelima berikut:
Ia yang harta istimewanya
akan diberikan kepada istrinya,
tidak akan bisa menjaga kesetiaannya
dan harus mengkhianati hidupnya.
Raja yang mendengar perkataan tersebut kemudian berkata, “Raja kambing, Anda pasti akan melakukan sesuatu yang menguntungkanku. Beritahukanlah apa yang harus kulakukan sekarang.” Kemudian kambing berkata, “Raja, bagi semua hewan, tidak ada yang lebih menyayangi kami selain diri kami sendiri; bukanlah sesuatu yang baik [280] untuk menghancurkan diri sendiri dan meninggalkan kehormatan yang telah didapatkan dikarenakan apa pun yang disayanginya,” dan ia mengucapkan bait keenam berikut:
Seorang raja, seperti Anda,
mungkin memiliki keinginan yang tersembunyi
dan mungkin harus melepaskannya jika nyawa taruhannya:
Hidup adalah hal yang utama:
Apa lagi yang dicari orang lebih dari itu?
Jika hidup kita aman,
kebutuhan dari keinginan kita tidak perlu didahulukan.
Demikian Bodhisatta menasihati raja. Raja yang kemudian menjadi bersukacita, bertanya, “Raja kambing, dari mana Anda datang?” “Saya adalah Sakka, wahai raja, yang datang untuk menyelamatkan nyawamu karena kasihan.” “Raja para dewa, saya telah berjanji untuk memberikan mantra ini kepadanya, apa yang harus kulakukan sekarang?” “Tidak perlu untuk menghancurkan diri kalian berdua: katakan saja, ‘Ini adalah cara untuk mendapatkannya,’ dan pukullah ia dengan beberapa cambukan, dan dengan cara ini ia tidak akan ingin memilikinya.” Raja berkata, “Baiklah,” dan menyetujuinya.
Setelah menasihati raja, Bodhisatta kembali ke alam dewa. Raja masuk ke dalam tamannya dan memanggil ratu, kemudian berkata, “Ratu, apakah Anda benar menginginkan mantranya?” “Ya, Paduka.” “Kalau begitu Anda harus melewati kebiasaan ini.” “Kebiasaan apa?” “Seratus kali cambukan [281] di punggung, tetapi Anda tidak boleh bersuara sedikit pun.”
Ratu menyetujuinya dikarenakan keserakahannya untuk memperoleh mantra tersebut. Raja memerintahkan pengawal untuk membawakan cambuk dan mencambuk ratu di kedua sisi. Ratu hanya dapat menahan dua atau tiga cambukan dan kemudian berteriak, “Saya tidak menginginkan mantra itu.” Raja berkata, “Anda tadinya akan membunuhku dengan mendapatkan mantra itu,” dan setelah mencambuknya, raja menyuruhnya pergi. Setelah kejadian itu, ia tidak berani membicarakan tentang mantra itu lagi.
____________________
Setelah menyampaikan uraian-Nya, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenarannya, bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—Pada masa itu, raja adalah bhikkhu yang menyesal itu, ratu adalah mantan istrinya, kuda adalah Sāriputta, dan Sakka adalah saya sendiri.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com