VIGHĀSA-JĀTAKA
Vighāsādajātaka (Ja 393)
“Kehidupan yang bahagia adalah milik mereka,” dan seterusnya. Sang Guru menceritakan kisah ini ketika berada di Pubbārāma (Taman Timur), tentang beberapa bhikkhu yang hidup dalam kesenangan.
Mahamogallāna menggetarkan tempat tinggal mereka dan memperingatkan mereka.
Para bhikkhu lainnya duduk sambil membahas kesalahan mereka di dalam balai kebenaran.
Sang Guru yang setelah diberitahukan pokok bahasannya, berkata, “Ini bukan pertama kalinya mereka hidup dalam kesenangan,” dan kemudian menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai Dewa Sakka.
Di suatu perkampungan di dalam Kerajaan Kasi, tujuh orang bersaudara yang melihat keburukan dari kesenangan indriawi, meninggalkan semua itu dan bertahbis menjadi petapa. Mereka bertempat tinggal di Mejjhārañña, tetapi mereka hidup dalam berbagai jenis kesenangan, tidak melatih sila dengan tekun dan melakukan apa yang disenangi oleh mereka.
Sakka, raja para dewa, berkata, “Akan kuberi mereka peringatan,” dan mengubah wujudnya menjadi seekor burung nuri, datang ke tempat tinggal mereka, bertengger di dahan sebatang pohon, mengucapkan bait pertama berikut untuk memperingatkan mereka:—
[311] Kehidupan yang bahagia adalah milik
mereka yang hidup dengan memakan sisa
dari makanan orang (dari derma orang lain):
Pujian yang akan mereka dapatkan
baik di kehidupan ini maupun
di dalam kehidupan berikutnya.
Kemudian salah satu dari mereka yang mendengar perkataan burung tersebut, memanggil yang lainnya dan mengucapkan bait kedua berikut:—
Orang bijak tidak mendengar
ketika seekor burung berbicara dalam bahasa manusia:
Dengarkanlah, Saudara-saudaraku,
pujian terhadap kita yang dilantunkan dengan jelas oleh burung ini.
Kemudian burung nuri, untuk menyangkal ini, mengucapkan bait ketiga berikut:—
Bukan pujian kepada kalian yang kulantunkan,
pemakan bangkai: dengarkan saya,
Tolaklah makanan yang kalian makan,
yang bukan sisa dari makanan orang lain.
Ketika mereka mendengarnya, mereka semua bersama-sama mengucapkan bait keempat berikut:—
Tujuh tahun bertahbis menjadi petapa,
dengan rambut yang dicukur habis,
di Mejjhārañña kami menghabiskan hari-hari kami,
hidup dengan memakan sisa makanan:
Jika Anda menyalahkan makanan kami,
siapa lagi yang Anda puji kalau begitu?
Sang Mahasatwa mengucapkan bait kelima berikut, untuk membuat mereka menjadi malu:—
Sisa-sisa dari singa, harimau,
burung gagak hitam, adalah makanan kalian:
Tolaklah itu dengan benar,
meskipun kalian mengatakan
itu adalah sisa makanan (dari derma).
[312] Setelah mendengar perkataannya, para petapa itu berkata, “Jika kami bukan orang-orang pemakan sisa-sisa makanan, siapakah kami kalau begitu?” Kemudian Sakka memberitahukan mereka yang sebenarnya dengan mengucapkan bait keenam berikut:—
Orang-orang memberikan derma makanan
kepada para petapa dan brahmana,
ingin memberikan rasa puas.
Pemakan sisa makanan hidup
dengan memakan derma makanan itu.
Demikian Bodhisatta membuat mereka menjadi malu dan kemudian terbang kembali ke kediamannya.
____________________
Setelah uraian-Nya selesai, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, tujuh bhikkhu itu adalah para bhikkhu yang hidup dalam kesenangan dan Sakka adalah saya sendiri.”
Mahamogallāna menggetarkan tempat tinggal mereka dan memperingatkan mereka.
Para bhikkhu lainnya duduk sambil membahas kesalahan mereka di dalam balai kebenaran.
Sang Guru yang setelah diberitahukan pokok bahasannya, berkata, “Ini bukan pertama kalinya mereka hidup dalam kesenangan,” dan kemudian menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai Dewa Sakka.
Di suatu perkampungan di dalam Kerajaan Kasi, tujuh orang bersaudara yang melihat keburukan dari kesenangan indriawi, meninggalkan semua itu dan bertahbis menjadi petapa. Mereka bertempat tinggal di Mejjhārañña, tetapi mereka hidup dalam berbagai jenis kesenangan, tidak melatih sila dengan tekun dan melakukan apa yang disenangi oleh mereka.
Sakka, raja para dewa, berkata, “Akan kuberi mereka peringatan,” dan mengubah wujudnya menjadi seekor burung nuri, datang ke tempat tinggal mereka, bertengger di dahan sebatang pohon, mengucapkan bait pertama berikut untuk memperingatkan mereka:—
[311] Kehidupan yang bahagia adalah milik
mereka yang hidup dengan memakan sisa
dari makanan orang (dari derma orang lain):
Pujian yang akan mereka dapatkan
baik di kehidupan ini maupun
di dalam kehidupan berikutnya.
Kemudian salah satu dari mereka yang mendengar perkataan burung tersebut, memanggil yang lainnya dan mengucapkan bait kedua berikut:—
Orang bijak tidak mendengar
ketika seekor burung berbicara dalam bahasa manusia:
Dengarkanlah, Saudara-saudaraku,
pujian terhadap kita yang dilantunkan dengan jelas oleh burung ini.
Kemudian burung nuri, untuk menyangkal ini, mengucapkan bait ketiga berikut:—
Bukan pujian kepada kalian yang kulantunkan,
pemakan bangkai: dengarkan saya,
Tolaklah makanan yang kalian makan,
yang bukan sisa dari makanan orang lain.
Ketika mereka mendengarnya, mereka semua bersama-sama mengucapkan bait keempat berikut:—
Tujuh tahun bertahbis menjadi petapa,
dengan rambut yang dicukur habis,
di Mejjhārañña kami menghabiskan hari-hari kami,
hidup dengan memakan sisa makanan:
Jika Anda menyalahkan makanan kami,
siapa lagi yang Anda puji kalau begitu?
Sang Mahasatwa mengucapkan bait kelima berikut, untuk membuat mereka menjadi malu:—
Sisa-sisa dari singa, harimau,
burung gagak hitam, adalah makanan kalian:
Tolaklah itu dengan benar,
meskipun kalian mengatakan
itu adalah sisa makanan (dari derma).
[312] Setelah mendengar perkataannya, para petapa itu berkata, “Jika kami bukan orang-orang pemakan sisa-sisa makanan, siapakah kami kalau begitu?” Kemudian Sakka memberitahukan mereka yang sebenarnya dengan mengucapkan bait keenam berikut:—
Orang-orang memberikan derma makanan
kepada para petapa dan brahmana,
ingin memberikan rasa puas.
Pemakan sisa makanan hidup
dengan memakan derma makanan itu.
Demikian Bodhisatta membuat mereka menjadi malu dan kemudian terbang kembali ke kediamannya.
____________________
Setelah uraian-Nya selesai, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, tujuh bhikkhu itu adalah para bhikkhu yang hidup dalam kesenangan dan Sakka adalah saya sendiri.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com