KUKKU-JĀTAKA
Kukkujātaka (Ja 396)
[317] “Atap itu tingginya,” dan seterusnya. Sang Guru menceritakan kisah ini ketika berdiam di Jetavana, tentang nasihat kepada seorang raja.
Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam Tesakuṇa-Jātaka170.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai penasihatnya dalam urusan pemerintahan dan spiritual.
Raja berada pada jalan yang mengarah ke perbuatan-perbuatan jahat, memimpin kerajaannya dengan tidak benar dan mengumpulkan kekayaan dengan cara menindas rakyatnya.
Bodhisatta yang berkeinginan untuk menasihatinya berusaha mencari suatu perumpamaan.
Kala itu, kamar tidur raja belum selesai dibangun dan bagian atapnya belum sempurna: tiang-tiang penyangganya yang menyokong atap baru saja diletakkan di sana.
Raja sedang bersenang-senang di taman. Ketika kembali ke rumahnya, raja menoleh ke atas dan melihat atap yang bulat itu. Karena takut atap itu akan jatuh menimpanya, ia pun pergi dari sana dan berdiri di luar, kemudian melihat ke atas lagi dan berpikir, “Bagaimana atap itu dapat bertahan sedemikian rupa? dan bagaimana dengan tiang-tiang penyangganya?” dan, untuk bertanya kepada Bodhisatta, ia mengucapkan bait pertama berikut:
[318] Atap itu tingginya satu setengah aṅgula,
dengan keliling sebesar delapan vidatthi 171,
dibangun dengan kayu dari pohon siṃsapa dan sāra172 :
Mengapa atap itu mengeluarkan suara demikian?
Mendengar perkataan raja, Bodhisatta berpikir, “Sekarang kudapatkan sebuah perumpamaan untuk menasihati raja,” dan ia mengucapkan bait-bait berikut:—
Ketiga puluh tiang yang menyangga atap itu,
dari kayu yang terbaik (sāra), diatur sama panjang,
mengelilinginya, mereka dapat menahannya dengan kuat
karena penyangganya juga bagus:
Ini adalah hal yang benar dan baik.
Demikianlah orang yang bijak,
ditemani oleh teman-teman yang setia,
oleh menteri dan penasihat yang kokoh dan suci,
tidak akan turun dari puncak kekayaan:
Seperti tiang yang menyangga atap dengan aman.
[319] Ketika Bodhisatta berbicara, raja berpikir mempertimbangkan perbuatannya sendiri, “Jika tidak ada atap, maka tiang penyangga itu tidak akan berdiri kukuh; Atap itu tidak akan dapat bertahan jika tidak disangga oleh tiang tersebut, jika tiangnya patah, atapnya akan jatuh. Demikian halnya dengan seorang raja jahat, yang tidak bersatu dengan teman dan para menterinya, pasukannya, brahmananya, dan penduduknya, jika mereka semua terpecah, raja tidak akan memiliki penyangga apa pun dan akan jatuh dari kekuasaannya: Seorang raja haruslah berada pada jalan yang benar.”
Pada saat itu, mereka menghadiahkan kepadanya sebuah limau. Raja berkata kepada Bodhisatta, “Teman, makanlah buah limau ini.” Bodhisatta mengambilnya dan berkata, “Paduka, orang yang tidak tahu cara memakan buah limau ini dapat membuatnya terasa pahit atau masam, sedangkan orang bijak yang tahu caranya dapat membuang rasa pahitnya, dan memakannya tanpa merusak cita rasa buah limau,” dan dengan perumpamaan ini, ia menunjukkan kepada raja cara untuk mengumpulkan kekayaan dan mengucapkan dua bait kalimat berikut:—
Buah limau yang berkulit purut terasa pahit dimakan
jika tidak tersentuh oleh pisau pemotong (dikupas):
Wahai raja, ambillah dagingnya, rasanya manis
Anda akan merusak rasa manisnya
jika memakan bersama dengan kulitnya.
Demikianlah orang bijak, tanpa kekerasan,
mengumpulkan upeti di desa dan di kota,
menambah kekayaan, tetapi tidak menimbulkan pelanggaran:
Ia berjalan di jalan yang benar dan termasyhur.
[320] Raja meminta nasihat dari Bodhisatta dan pergi bersamanya ke sebuah kolam teratai. Ketika melihat teratai yang berbunga dengan warna seperti matahari yang baru terbit, tidak dikotori oleh air di sekelilingnya, raja berkata: “Teman, bunga teratai yang tumbuh di air itu tidak tercemari oleh air di sekelilingnya.”
Kemudian Bodhisatta berkata, “Paduka, demikianlah seharusnya seorang raja harus bersikap,” dan mengucapkan bait-bait berikut dalam memberikan nasihat:—
Bagaikan teratai di dalam kolam,
berakar putih, bersih dari air, yang menopangnya;
Berbunga menghadap arah terbitnya matahari,
debu, lumpur atau air tidak dapat mengotorinya.
Demikianlah seharusnya orang yang memerintah dengan kebajikan,
sabar, murni dan baik dalam setiap tindak tanduknya:
Seperti bunga teratai di dalam kolam,
noda tidak dapat mengotorinya.
[321] Raja yang setelah mendengar nasihat Bodhisatta tersebut memerintah kerajaannya dengan benar, dan dengan melakukan perbuatan-perbutan yang bajik, memberikan derma dan lain sebagainya, terlahir kembali di alam surga.
____________________
Setelah uraian-Nya selesai, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu raja adalah Ananda, dan penasihat yang bijak adalah saya sendiri.”
Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam Tesakuṇa-Jātaka170.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai penasihatnya dalam urusan pemerintahan dan spiritual.
Raja berada pada jalan yang mengarah ke perbuatan-perbuatan jahat, memimpin kerajaannya dengan tidak benar dan mengumpulkan kekayaan dengan cara menindas rakyatnya.
Bodhisatta yang berkeinginan untuk menasihatinya berusaha mencari suatu perumpamaan.
Kala itu, kamar tidur raja belum selesai dibangun dan bagian atapnya belum sempurna: tiang-tiang penyangganya yang menyokong atap baru saja diletakkan di sana.
Raja sedang bersenang-senang di taman. Ketika kembali ke rumahnya, raja menoleh ke atas dan melihat atap yang bulat itu. Karena takut atap itu akan jatuh menimpanya, ia pun pergi dari sana dan berdiri di luar, kemudian melihat ke atas lagi dan berpikir, “Bagaimana atap itu dapat bertahan sedemikian rupa? dan bagaimana dengan tiang-tiang penyangganya?” dan, untuk bertanya kepada Bodhisatta, ia mengucapkan bait pertama berikut:
[318] Atap itu tingginya satu setengah aṅgula,
dengan keliling sebesar delapan vidatthi 171,
dibangun dengan kayu dari pohon siṃsapa dan sāra172 :
Mengapa atap itu mengeluarkan suara demikian?
Mendengar perkataan raja, Bodhisatta berpikir, “Sekarang kudapatkan sebuah perumpamaan untuk menasihati raja,” dan ia mengucapkan bait-bait berikut:—
Ketiga puluh tiang yang menyangga atap itu,
dari kayu yang terbaik (sāra), diatur sama panjang,
mengelilinginya, mereka dapat menahannya dengan kuat
karena penyangganya juga bagus:
Ini adalah hal yang benar dan baik.
Demikianlah orang yang bijak,
ditemani oleh teman-teman yang setia,
oleh menteri dan penasihat yang kokoh dan suci,
tidak akan turun dari puncak kekayaan:
Seperti tiang yang menyangga atap dengan aman.
[319] Ketika Bodhisatta berbicara, raja berpikir mempertimbangkan perbuatannya sendiri, “Jika tidak ada atap, maka tiang penyangga itu tidak akan berdiri kukuh; Atap itu tidak akan dapat bertahan jika tidak disangga oleh tiang tersebut, jika tiangnya patah, atapnya akan jatuh. Demikian halnya dengan seorang raja jahat, yang tidak bersatu dengan teman dan para menterinya, pasukannya, brahmananya, dan penduduknya, jika mereka semua terpecah, raja tidak akan memiliki penyangga apa pun dan akan jatuh dari kekuasaannya: Seorang raja haruslah berada pada jalan yang benar.”
Pada saat itu, mereka menghadiahkan kepadanya sebuah limau. Raja berkata kepada Bodhisatta, “Teman, makanlah buah limau ini.” Bodhisatta mengambilnya dan berkata, “Paduka, orang yang tidak tahu cara memakan buah limau ini dapat membuatnya terasa pahit atau masam, sedangkan orang bijak yang tahu caranya dapat membuang rasa pahitnya, dan memakannya tanpa merusak cita rasa buah limau,” dan dengan perumpamaan ini, ia menunjukkan kepada raja cara untuk mengumpulkan kekayaan dan mengucapkan dua bait kalimat berikut:—
Buah limau yang berkulit purut terasa pahit dimakan
jika tidak tersentuh oleh pisau pemotong (dikupas):
Wahai raja, ambillah dagingnya, rasanya manis
Anda akan merusak rasa manisnya
jika memakan bersama dengan kulitnya.
Demikianlah orang bijak, tanpa kekerasan,
mengumpulkan upeti di desa dan di kota,
menambah kekayaan, tetapi tidak menimbulkan pelanggaran:
Ia berjalan di jalan yang benar dan termasyhur.
[320] Raja meminta nasihat dari Bodhisatta dan pergi bersamanya ke sebuah kolam teratai. Ketika melihat teratai yang berbunga dengan warna seperti matahari yang baru terbit, tidak dikotori oleh air di sekelilingnya, raja berkata: “Teman, bunga teratai yang tumbuh di air itu tidak tercemari oleh air di sekelilingnya.”
Kemudian Bodhisatta berkata, “Paduka, demikianlah seharusnya seorang raja harus bersikap,” dan mengucapkan bait-bait berikut dalam memberikan nasihat:—
Bagaikan teratai di dalam kolam,
berakar putih, bersih dari air, yang menopangnya;
Berbunga menghadap arah terbitnya matahari,
debu, lumpur atau air tidak dapat mengotorinya.
Demikianlah seharusnya orang yang memerintah dengan kebajikan,
sabar, murni dan baik dalam setiap tindak tanduknya:
Seperti bunga teratai di dalam kolam,
noda tidak dapat mengotorinya.
[321] Raja yang setelah mendengar nasihat Bodhisatta tersebut memerintah kerajaannya dengan benar, dan dengan melakukan perbuatan-perbutan yang bajik, memberikan derma dan lain sebagainya, terlahir kembali di alam surga.
____________________
Setelah uraian-Nya selesai, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu raja adalah Ananda, dan penasihat yang bijak adalah saya sendiri.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com