SUTANO-JĀTAKA
Sutanujātaka (Ja 398)
“Raja mengirimkan untukmu,” dan seterusnya. Sang Guru menceritakan kisah ini ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang menghidupi ibunya.
Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam Sāma-Jātaka174.
____________________
[325] Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga perumah tangga yang miskin, dan mereka memberinya nama Sutana.
Ketika dewasa, ia menghasilkan uang sendiri dan menghidupi orang tuanya.
Ketika ayahnya meninggal, ia yang menghidupi ibunya.
Raja pada waktu itu sangatlah gemar berburu. Suatu hari ia pergi dengan rombongan besar ke dalam hutan sejauh satu atau dua yojana dan mengumumkan kepada semuanya, “Jika ada seekor rusa yang lolos dari tempat penjagaan siapa pun, maka orang yang menjaga pos itu akan didenda sebesar harga dari rusa tersebut.”
Para menteri yang telah membuat gubuk yang tertutup rapat di dekat jalan yang biasa dilalui memberikannya kepada raja. Rusa-rusa diarahkan oleh teriakan para penduduk yang telah mengepung sarangnya, dan seekor rusa besar datang ke tempat penjagaan raja. Raja berpikir, “Saya akan menembaknya,” dan memanahnya.
Hewan itu, yang mengetahui sebuah tipuan, melihat anak panah itu mengarah ke sisi tubuhnya, berputar sambil terjatuh seolah-olah terluka oleh panah itu. Raja berpikir, “Saya telah menembaknya,” dan berlari dengan cepat untuk menangkapnya. Rusa itu bangkit dan berlari secepat angin. Para menteri dan yang lainnya mengolok-olok raja. Raja kemudian mengejarnya, dan ketika rusa itu kelelahan, ia memotongnya menjadi dua bagian dengan pedangnya.
Dengan menggantungkan potongan-potongan itu pada sebatang kayu, ia datang seakan-akan seperti membawa sebuah galah dan berkata, “Saya akan beristirahat sejenak,” ia bergerak mendekati sebuah pohon beringin175 di samping jalan, berbaring kemudian tertidur. Seorang yaksa yang bernama Makhādeva (Makhadeva) terlahir di pohon beringin tersebut, mendapatkan perintah dari Vessavaṇa176 bahwa semua makhluk hidup yang datang kepadanya adalah makanannya.
Ketika raja bangun, ia berkata, “Tetaplah di sana, Anda adalah makananku,” dan menangkap tangannya. “Siapakah Anda?” tanya raja. “Saya adalah seorang yaksa yang terlahir di sini, saya mendapatkan perintah bahwa setiap orang yang datang ke tempatku ini adalah makananku.”
Raja, untuk menawarkan sesuatu, bertanya, “Apakah Anda ingin mendapatkan makanan hanya untuk hari ini atau untuk seterusnya?” “Saya ingin mendapatkan makanan untuk seterusnya.”“Kalau begitu, hari ini makanlah rusa ini dan bebaskan saya; Mulai besok saya akan mengirimkan satu orang dengan semangkuk setiap hari.” “Berhati-hatilah kalau begitu, di saat tidak ada orang yang dikirim ke sini [326] maka saya akan memakanmu.” “Saya adalah Raja Benares, tidak ada yang tidak bisa kulakukan.” Yaksa itu menerima janjinya dan membebaskannya.
Ketika kembali ke kerajaan, raja menceritakan masalah itu kepada seorang menteri yang bertugas melayaninya dan menanyakan apa yang harus dilakukan. “Apakah batas waktunya ada dijanjikan, Paduka?” “Tidak.” “Tidak menjanjikan batas waktu adalah hal yang salah. Akan tetapi, jangan khawatir, ada banyak orang di dalam penjara.” “Kalau begitu, aturlah masalah ini agar saya bisa tetap hidup.” Menteri itu mengiyakannya, dan setiap hari ia mengambil satu orang dari penjara dan mengirimkannya dengan membawa semangkuk nasi kepada yaksa itu. Yaksa tersebut memakan nasi dan orang yang membawanya. Setelah beberapa lama, penjara pun menjadi kosong.
Raja yang mengetahui bahwa tidak ada orang lagi di penjara yang dapat mengantarkan nasi (kepada sang yaksa), menjadi gemetar ketakutan. Menteri itu menghiburnya dengan berkata, “Wahai raja, keinginan akan kekayaan lebih kuat daripada keinginan akan kehidupan; Letakkanlah sekarung uang senilai seribu keping di punggung gajah dan umumkanlah dengan menabuh genderang, ‘Siapa yang bersedia membawa nasi dan pergi ke tempat yaksa untuk mendapatkan uang ini?’ ” Dan raja pun melakukan hal demikian.
Bodhisatta berpikir, “Saya hanya mendapatkan sedikit uang-uang logam177 (yang bernilai rendah) dan hampir tidak dapat menghidupi ibuku. Saya akan mengambil uang itu dan memberikannya kepada ibu, dan kemudian pergi ke tempat yaksa itu. Jika saya dapat mengalahkannya, maka itu akan menjadi hal yang lebih baik. Jika saya tidak dapat melakukannya, setidaknya ibuku akan hidup dengan nyaman,” maka ia pun memberitahukan ibunya, tetapi sang ibu berkata, “Saya sudah merasa cukup dengan keadaan seperti ini, Anakku, saya tidak memerlukan uang itu,” dan melarangnya sebanyak dua kali, tetapi pada ketiga kalinya, tanpa bertanya kepada ibunya lagi, ia berkata, “Tuan-tuan sekalian, berikan kepadaku uang seribu keping itu, saya yang akan mengantarkan nasi itu.” Kemudian ia memberikan uang itu kepada ibunya dan berkata, “Jangan khawatir, Bu, saya akan mengalahkan yaksa itu dan memberikan kebahagiaan bagi orang-orang lainnya. Saya akan kembali untuk membuat wajah sedihmu itu menjadi bahagia,” dan setelah memberi penghormatakan kepada ibunya, ia pergi menemui raja bersama dengan para pengawal raja.
Setelah memberi penghormatan kepada raja, ia berdiri di sana. Raja berkata, “Teman, apakah kamu yang akan membawa nasi itu?” “Ya, Paduka.” “Apa yang ingin kamu bawa lagi bersamamu?” [327] “Sandal emas Anda, Paduka.” “Mengapa?” “Paduka, yaksa itu (boleh) memakan semua orang yang berdiri di atas tanah di bawah pohon beringinnya. Saya akan berdiri di atas sandal, bukan di atas tanahnya.” “Ada lagi yang lain?” “Payung Anda, Paduka.” “Mengapa demikian?” “Paduka, yaksa itu boleh memakan semua orang yang yang berlindung di bawah pohonnya. Saya akan berdiri dengan berlindung di bawah payung ini, bukan pohonnya.” “Ada lagi yang lain?” “Pedang Anda, Paduka.” “Untuk apa?” “Paduka, para yaksa akan merasa takut dengan orang yang memiliki senjata di tangannya.” “Ada lagi yang lain?” “Mangkuk emas Anda, Paduka, yang diisi dengan nasi yang dihidangkan untuk Anda.” “Mengapa demikian, Teman?” “Tidaklah cocok bagi seorang yang bijak seperti diriku untuk membawakan makanan yang tidak enak dengan wadah yang terbuat dari tanah liat.” Raja menyetujui semua permintaannya dan memerintahkan pelayan istana untuk menyiapkan semuanya.
Bodhisatta berkata, “Jangan takut, Paduka, saya akan kembali hari ini dengan menaklukkan yaksa itu dan membuat Anda berbahagia kembali,” dan dengan membawa semua barang-barang yang diperlukannya, ia pergi ke sana. Ia menempatkan beberapa anak buah raja di tempat yang tidak jauh dari pohon itu. Kemudian ia mengenakan sandal emas, menyandang pedang, membuka dan memegang payung putih di atas kepalanya, membawa nasi yang diletakkan di mangkuk emas, dan berjalan menuju ke tempat yaksa itu.
Yaksa yang sedang mengawasi jalan, melihatnya dan berpikir, “Pemuda ini datang tidak seperti orang-orang yang datang sebelumnya, ada apa ini?”
Bodhisatta yang berjalan mendekati pohon itu menyodorkan mangkuk yang berisi nasi itu masuk ke dalam bayangan, dan dengan berdiri di dekat bayangan tersebut, ia mengucapkan bait pertama berikut:—
Raja mengirimkan untukmu nasi
yang telah dimasak dengan baik
dan dibumbui dengan daging:
Jika Makhādeva ada di rumah,
datang dan makanlah!
[328] Mendengar perkataannya, yaksa itu berpikir, “Saya akan memperdayanya dan memakannya di saat ia masuk ke dalam bayangan ini,” dan kemudian mengucapkan bait kedua berikut:—
Masuklah ke dalam, anak muda,
dengan makananmu,
adalah hal yang baik untuk dapat memakan nasi itu
beserta dengan dirimu.
Kemudian Bodhisatta mengucapkan dua bait kalimat berikut:—
Yaksa, Anda akan kehilangan sesuatu yang besar
dikarenakan hal yang kecil,
orang-orang yang takut akan kematian
tidak akan membawakan makanan.
Anda akan mendapatkan persediaan makanan yang tiada hentinya,
makanan yang murni, manis, dan lezat.
Tetapi orang yang mengantar makanan itu ke tempat ini
akan sangat sulit didapatkan, jika Anda memakanku.
Yaksa itu kemudian berpikir kembali, “Pemuda ini mengatakan hal yang masuk akal,” dan setelah diarahkan dengan demikian baik, ia mengucapkan dua bait berikut:—
Sutana, keinginanku sudah Anda tunjukkan dengan sangat jelas:
Kembalilah kepada ibumu dengan damai,
Anda mendapatkan izinku untuk pergi.
Bawa serta pedang, payung,
dan mangkuk itu, anak muda, dan pulanglah,
kembalilah kepada ibumu dengan bahagia
dan buat hari-harinya menjadi bahagia pula.
Setelah mendengar perkataan yaksa tersebut, Bodhisatta menjadi bersukacita dan berpikir, “Tugasku sudah selesai, yaksa sudah ditaklukkan, uang sudah kudapatkan, dan perintah raja sudah dilaksanakan dengan baik,” dan demikian untuk mengucapkan terima kasih kepada sang yaksa, ia mengucapkan bait terakhir berikut:—
Semoga Anda berbahagia, yaksa,
begitu juga dengan seluruh sanak keluargamu:
Perintah raja sudah dilaksanakan,
dan kekayaan sudah kudapatkan.
Kemudian ia menasihati yaksa itu dengan berkata, “Anda melakukan perbuatan jahat di masa lampau, Anda adalah orang kejam dan kasar, Anda memakan daging dan darah manusia. Oleh karenanya, sekarang Anda dilahirkan kembali sebagai seorang yaksa; Mulai saat ini, janganlah membunuh lagi dan melakukan perbuatan jahat lainnya,” dengan memaparkan kebaikan (berkah) dari moralitas/kebajikan dan keburukan (penderitaan) dari kebejatan/kejahatan, ia mengukuhkan yaksa itu dalam lima latihan moralitas (sila).
Ia kemudian berkata, “Untuk apa tinggal di dalam hutan? Mari, saya akan memberikanmu tempat tinggal di gerbang kota dan membuatmu mendapatkan makanan yang terbaik.”
Maka ia pun kembali bersama dengan yaksa itu. Raja dengan para menterinya [330] keluar untuk menyambut kepulangan Bodhisatta, memberikan tempat tinggal bagi yaksa itu di gerbang kota dan memberikan makanan yang terbaik kepadanya.
Kemudian raja masuk ke dalam kota, dengan menabuh genderang untuk mengumpulkan para penduduk, melantukan pujian terhadap tindakan Bodhisatta dan menjadikannya sebagai pemimpin pasukan kerajaannya. Sedangkan dirinya sendiri, yang setelah mendapatkan ajaran dari Bodhisatta, melakukan perbuatan baik dengan berdana dan kebajikan-kebajikan lainnya, akhirnya terlahir kembali di alam surga.
____________________
Setelah uraian-Nya selesai, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:— Setelah kebenarannya dimaklumkan, bhikkhu yang menghidupi ibunya itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna :—“Pada masa itu, yaksa adalah Aṅgulimāla, raja adalah Ānanda, dan pemuda itu adalah saya sendiri.”
Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam Sāma-Jātaka174.
____________________
[325] Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga perumah tangga yang miskin, dan mereka memberinya nama Sutana.
Ketika dewasa, ia menghasilkan uang sendiri dan menghidupi orang tuanya.
Ketika ayahnya meninggal, ia yang menghidupi ibunya.
Raja pada waktu itu sangatlah gemar berburu. Suatu hari ia pergi dengan rombongan besar ke dalam hutan sejauh satu atau dua yojana dan mengumumkan kepada semuanya, “Jika ada seekor rusa yang lolos dari tempat penjagaan siapa pun, maka orang yang menjaga pos itu akan didenda sebesar harga dari rusa tersebut.”
Para menteri yang telah membuat gubuk yang tertutup rapat di dekat jalan yang biasa dilalui memberikannya kepada raja. Rusa-rusa diarahkan oleh teriakan para penduduk yang telah mengepung sarangnya, dan seekor rusa besar datang ke tempat penjagaan raja. Raja berpikir, “Saya akan menembaknya,” dan memanahnya.
Hewan itu, yang mengetahui sebuah tipuan, melihat anak panah itu mengarah ke sisi tubuhnya, berputar sambil terjatuh seolah-olah terluka oleh panah itu. Raja berpikir, “Saya telah menembaknya,” dan berlari dengan cepat untuk menangkapnya. Rusa itu bangkit dan berlari secepat angin. Para menteri dan yang lainnya mengolok-olok raja. Raja kemudian mengejarnya, dan ketika rusa itu kelelahan, ia memotongnya menjadi dua bagian dengan pedangnya.
Dengan menggantungkan potongan-potongan itu pada sebatang kayu, ia datang seakan-akan seperti membawa sebuah galah dan berkata, “Saya akan beristirahat sejenak,” ia bergerak mendekati sebuah pohon beringin175 di samping jalan, berbaring kemudian tertidur. Seorang yaksa yang bernama Makhādeva (Makhadeva) terlahir di pohon beringin tersebut, mendapatkan perintah dari Vessavaṇa176 bahwa semua makhluk hidup yang datang kepadanya adalah makanannya.
Ketika raja bangun, ia berkata, “Tetaplah di sana, Anda adalah makananku,” dan menangkap tangannya. “Siapakah Anda?” tanya raja. “Saya adalah seorang yaksa yang terlahir di sini, saya mendapatkan perintah bahwa setiap orang yang datang ke tempatku ini adalah makananku.”
Raja, untuk menawarkan sesuatu, bertanya, “Apakah Anda ingin mendapatkan makanan hanya untuk hari ini atau untuk seterusnya?” “Saya ingin mendapatkan makanan untuk seterusnya.”“Kalau begitu, hari ini makanlah rusa ini dan bebaskan saya; Mulai besok saya akan mengirimkan satu orang dengan semangkuk setiap hari.” “Berhati-hatilah kalau begitu, di saat tidak ada orang yang dikirim ke sini [326] maka saya akan memakanmu.” “Saya adalah Raja Benares, tidak ada yang tidak bisa kulakukan.” Yaksa itu menerima janjinya dan membebaskannya.
Ketika kembali ke kerajaan, raja menceritakan masalah itu kepada seorang menteri yang bertugas melayaninya dan menanyakan apa yang harus dilakukan. “Apakah batas waktunya ada dijanjikan, Paduka?” “Tidak.” “Tidak menjanjikan batas waktu adalah hal yang salah. Akan tetapi, jangan khawatir, ada banyak orang di dalam penjara.” “Kalau begitu, aturlah masalah ini agar saya bisa tetap hidup.” Menteri itu mengiyakannya, dan setiap hari ia mengambil satu orang dari penjara dan mengirimkannya dengan membawa semangkuk nasi kepada yaksa itu. Yaksa tersebut memakan nasi dan orang yang membawanya. Setelah beberapa lama, penjara pun menjadi kosong.
Raja yang mengetahui bahwa tidak ada orang lagi di penjara yang dapat mengantarkan nasi (kepada sang yaksa), menjadi gemetar ketakutan. Menteri itu menghiburnya dengan berkata, “Wahai raja, keinginan akan kekayaan lebih kuat daripada keinginan akan kehidupan; Letakkanlah sekarung uang senilai seribu keping di punggung gajah dan umumkanlah dengan menabuh genderang, ‘Siapa yang bersedia membawa nasi dan pergi ke tempat yaksa untuk mendapatkan uang ini?’ ” Dan raja pun melakukan hal demikian.
Bodhisatta berpikir, “Saya hanya mendapatkan sedikit uang-uang logam177 (yang bernilai rendah) dan hampir tidak dapat menghidupi ibuku. Saya akan mengambil uang itu dan memberikannya kepada ibu, dan kemudian pergi ke tempat yaksa itu. Jika saya dapat mengalahkannya, maka itu akan menjadi hal yang lebih baik. Jika saya tidak dapat melakukannya, setidaknya ibuku akan hidup dengan nyaman,” maka ia pun memberitahukan ibunya, tetapi sang ibu berkata, “Saya sudah merasa cukup dengan keadaan seperti ini, Anakku, saya tidak memerlukan uang itu,” dan melarangnya sebanyak dua kali, tetapi pada ketiga kalinya, tanpa bertanya kepada ibunya lagi, ia berkata, “Tuan-tuan sekalian, berikan kepadaku uang seribu keping itu, saya yang akan mengantarkan nasi itu.” Kemudian ia memberikan uang itu kepada ibunya dan berkata, “Jangan khawatir, Bu, saya akan mengalahkan yaksa itu dan memberikan kebahagiaan bagi orang-orang lainnya. Saya akan kembali untuk membuat wajah sedihmu itu menjadi bahagia,” dan setelah memberi penghormatakan kepada ibunya, ia pergi menemui raja bersama dengan para pengawal raja.
Setelah memberi penghormatan kepada raja, ia berdiri di sana. Raja berkata, “Teman, apakah kamu yang akan membawa nasi itu?” “Ya, Paduka.” “Apa yang ingin kamu bawa lagi bersamamu?” [327] “Sandal emas Anda, Paduka.” “Mengapa?” “Paduka, yaksa itu (boleh) memakan semua orang yang berdiri di atas tanah di bawah pohon beringinnya. Saya akan berdiri di atas sandal, bukan di atas tanahnya.” “Ada lagi yang lain?” “Payung Anda, Paduka.” “Mengapa demikian?” “Paduka, yaksa itu boleh memakan semua orang yang yang berlindung di bawah pohonnya. Saya akan berdiri dengan berlindung di bawah payung ini, bukan pohonnya.” “Ada lagi yang lain?” “Pedang Anda, Paduka.” “Untuk apa?” “Paduka, para yaksa akan merasa takut dengan orang yang memiliki senjata di tangannya.” “Ada lagi yang lain?” “Mangkuk emas Anda, Paduka, yang diisi dengan nasi yang dihidangkan untuk Anda.” “Mengapa demikian, Teman?” “Tidaklah cocok bagi seorang yang bijak seperti diriku untuk membawakan makanan yang tidak enak dengan wadah yang terbuat dari tanah liat.” Raja menyetujui semua permintaannya dan memerintahkan pelayan istana untuk menyiapkan semuanya.
Bodhisatta berkata, “Jangan takut, Paduka, saya akan kembali hari ini dengan menaklukkan yaksa itu dan membuat Anda berbahagia kembali,” dan dengan membawa semua barang-barang yang diperlukannya, ia pergi ke sana. Ia menempatkan beberapa anak buah raja di tempat yang tidak jauh dari pohon itu. Kemudian ia mengenakan sandal emas, menyandang pedang, membuka dan memegang payung putih di atas kepalanya, membawa nasi yang diletakkan di mangkuk emas, dan berjalan menuju ke tempat yaksa itu.
Yaksa yang sedang mengawasi jalan, melihatnya dan berpikir, “Pemuda ini datang tidak seperti orang-orang yang datang sebelumnya, ada apa ini?”
Bodhisatta yang berjalan mendekati pohon itu menyodorkan mangkuk yang berisi nasi itu masuk ke dalam bayangan, dan dengan berdiri di dekat bayangan tersebut, ia mengucapkan bait pertama berikut:—
Raja mengirimkan untukmu nasi
yang telah dimasak dengan baik
dan dibumbui dengan daging:
Jika Makhādeva ada di rumah,
datang dan makanlah!
[328] Mendengar perkataannya, yaksa itu berpikir, “Saya akan memperdayanya dan memakannya di saat ia masuk ke dalam bayangan ini,” dan kemudian mengucapkan bait kedua berikut:—
Masuklah ke dalam, anak muda,
dengan makananmu,
adalah hal yang baik untuk dapat memakan nasi itu
beserta dengan dirimu.
Kemudian Bodhisatta mengucapkan dua bait kalimat berikut:—
Yaksa, Anda akan kehilangan sesuatu yang besar
dikarenakan hal yang kecil,
orang-orang yang takut akan kematian
tidak akan membawakan makanan.
Anda akan mendapatkan persediaan makanan yang tiada hentinya,
makanan yang murni, manis, dan lezat.
Tetapi orang yang mengantar makanan itu ke tempat ini
akan sangat sulit didapatkan, jika Anda memakanku.
Yaksa itu kemudian berpikir kembali, “Pemuda ini mengatakan hal yang masuk akal,” dan setelah diarahkan dengan demikian baik, ia mengucapkan dua bait berikut:—
Sutana, keinginanku sudah Anda tunjukkan dengan sangat jelas:
Kembalilah kepada ibumu dengan damai,
Anda mendapatkan izinku untuk pergi.
Bawa serta pedang, payung,
dan mangkuk itu, anak muda, dan pulanglah,
kembalilah kepada ibumu dengan bahagia
dan buat hari-harinya menjadi bahagia pula.
Setelah mendengar perkataan yaksa tersebut, Bodhisatta menjadi bersukacita dan berpikir, “Tugasku sudah selesai, yaksa sudah ditaklukkan, uang sudah kudapatkan, dan perintah raja sudah dilaksanakan dengan baik,” dan demikian untuk mengucapkan terima kasih kepada sang yaksa, ia mengucapkan bait terakhir berikut:—
Semoga Anda berbahagia, yaksa,
begitu juga dengan seluruh sanak keluargamu:
Perintah raja sudah dilaksanakan,
dan kekayaan sudah kudapatkan.
Kemudian ia menasihati yaksa itu dengan berkata, “Anda melakukan perbuatan jahat di masa lampau, Anda adalah orang kejam dan kasar, Anda memakan daging dan darah manusia. Oleh karenanya, sekarang Anda dilahirkan kembali sebagai seorang yaksa; Mulai saat ini, janganlah membunuh lagi dan melakukan perbuatan jahat lainnya,” dengan memaparkan kebaikan (berkah) dari moralitas/kebajikan dan keburukan (penderitaan) dari kebejatan/kejahatan, ia mengukuhkan yaksa itu dalam lima latihan moralitas (sila).
Ia kemudian berkata, “Untuk apa tinggal di dalam hutan? Mari, saya akan memberikanmu tempat tinggal di gerbang kota dan membuatmu mendapatkan makanan yang terbaik.”
Maka ia pun kembali bersama dengan yaksa itu. Raja dengan para menterinya [330] keluar untuk menyambut kepulangan Bodhisatta, memberikan tempat tinggal bagi yaksa itu di gerbang kota dan memberikan makanan yang terbaik kepadanya.
Kemudian raja masuk ke dalam kota, dengan menabuh genderang untuk mengumpulkan para penduduk, melantukan pujian terhadap tindakan Bodhisatta dan menjadikannya sebagai pemimpin pasukan kerajaannya. Sedangkan dirinya sendiri, yang setelah mendapatkan ajaran dari Bodhisatta, melakukan perbuatan baik dengan berdana dan kebajikan-kebajikan lainnya, akhirnya terlahir kembali di alam surga.
____________________
Setelah uraian-Nya selesai, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:— Setelah kebenarannya dimaklumkan, bhikkhu yang menghidupi ibunya itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna :—“Pada masa itu, yaksa adalah Aṅgulimāla, raja adalah Ānanda, dan pemuda itu adalah saya sendiri.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com