MAHĀKAPI-JĀTAKA
Mahākapijātaka (Ja 407)
“Anda menggunakan diri sendiri,” dan seterusnya. Sang Guru menceritakan kisah ini ketika berdiam di Jetavana, tentang perbuatan baik terhadap keluarga.
Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam Bhaddasāla-Jātaka200.
Para bhikkhu memulai pembicaraan di dalam balai kebenaran, dengan berkata, “Yang Tercerahkan Sempurna (selalu) melakukan perbuatan baik terhadap keluarga-Nya.” [370] Setelah bertanya dan diberitahukan tentang topik pembicaraan mereka, Beliau berkata, “Para Bhikkhu, ini bukan kali pertamanya seorang Tathāgata melakukan perbuatan baik terhadap keluarga-Nya,” dan kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor kera.
Ketika dewasa, ia memiliki perawakan yang tinggi dan perkasa, kuat dan bertenaga, dan tinggal di pegunungan Himalaya dengan kawanan delapan puluh ribu ekor kera lainnya.
Di dekat tepi Sungai Gangga, ada sebuah pohon mangga (sebagian mengatakan bahwa itu adalah pohon beringin) yang memiliki banyak cabang dan ranting, berdaun lebat dan rimbun, seperti puncak sebuah gunung. Buah-buah manisnya yang memiliki aroma dan rasa surgawi, berukuran sebesar kumba.
Dari satu cabang pohon mangga itu, buah-buahnya jatuh ke tanah, dari cabang yang lain jatuh ke dalam aliran air Sungai Gangga, dari dua cabang yang lainnya jatuh ke batang pohon itu sendiri.
Selagi memakan buah-buah itu dengan kawanan kera lainnya, Bodhisatta berpikir, “Suatu hari nanti bahaya akan menimpa kami dikarenakan buah dari pohon ini yang jatuh ke dalam air sungai,” maka untuk tidak menyisakan satu buah pun di cabang pohon yang tumbuh di atas air itu, ia meminta kawanan kera tersebut untuk memakannya atau membuang bunga buah itu pada musimnya ketika masih berukuran sekecil kacang polong.
Akan tetapi, mereka tidak melakukannya dengan sempurna: satu buah mangga ranum yang tidak terlihat oleh delapan puluh ribu kera tersebut, yang tersembunyi di dalam gundukan rumah semut, jatuh ke dalam sungai dan tersangkut di jaring Raja Benares, yang sedang mandi dan bersenang-senang dengan meletakkan jaring di bagian hulu dan hilir sungai.
Ketika raja telah bersenang-senang seharian di sana dan hendak pulang kembali di sore hari, para nelayan yang menarik jaring mereka melihat buah tersebut. Dan dikarenakan tidak tahu buah apa itu, mereka menunjukkannya kepada raja.
Raja bertanya, “Buah apa ini?” “Kami tidak tahu, Paduka.” “Siapa yang tahu?” “Para penjaga hutan, Paduka.” Raja pun memanggil penjaga hutan dan mengetahui dari mereka bahwa itu adalah sebuah mangga. Ia memotongnya dengan pisau dan menyuruh penjaga hutan itu memakannya terlebih dahulu, kemudian ia sendiri memakannya [371] dan memberikan sebagian kepada selir-selirnya dan juga para menterinya. Rasa dari buah mangga ranum itu menyebar ke seluruh tubuh raja.
Terikat oleh kehausan akan rasa (buah mangga ranum itu), raja bertanya kepada penjaga hutan di mana pohonnya berada, dan setelah mendengar bahwa itu berada di sebuah tepi sungai di daerah pegunungan Himalaya, raja memerintahkan banyak perahu rakit untuk bergabung bersama dan berlayar mengikuti jalan yang ditunjukkan oleh para penjaga hutan tersebut. Lamanya hari perjalanan itu tidak diberikan.
Dengan mengikuti jalur yang tepat, akhirnya mereka sampai ke tempat itu dan para penjaga hutan berkata kepada raja, “Paduka, pohonnya ada di sana.” Raja menghentikan semua rakitnya dan melanjutkan perjalanan mereka dengan berjalan kaki. Ia meminta pengawalnya untuk menyiapkan tempat tidur di bawah kaki pohon itu, dan berbaring di sana setelah memakan buah mangga dan menikmati beragam jenis rasa yang amat enak.
Di semua sudut, mereka menempatkan penjaga dan membuat api unggun. Ketika mereka semua sudah tertidur, Bodhisatta datang di tengah malam beserta kawanannya. Sebanyak delapan puluh ribu kera berpindah dari satu cabang ke cabang lainnya, memakan buah-buah mangga itu. Raja, yang terbangun dan melihat kawanan kera tersebut, membangunkan pengawalnya dan memerintahkan para pemanahnya dengan berkata, “Kepung kera-kera ini yang memakan buah mangga tersebut agar mereka tidak bisa kabur, dan panah mereka. Besok kita akan menyantap buah mangga dengan daging kera.” Para pemanah mematuhi perintahnya dan berkata, “Baik,” dan berdiri mengepung pohon itu, kemudian menyiapkan anak panah.
Kawanan kera yang melihat mereka dan takut akan kematian karena tidak bisa melarikan diri, mendatangi Bodhisatta dan berkata, “Tuan, para pemanah berdiri mengepung pohon, seraya berkata, ‘Kami akan memanah kera-kera gelandangan itu.’ Apa yang harus kita lakukan?” dan berdiri dengan gemetaran. Bodhisatta berkata, “Jangan takut. Saya akan menyelematkan kalian,” dan demikian menghibur mereka, ia naik ke sebuah cabang pohon yang tegak lurus, kemudian ke cabang pohon yang mengarah ke Sungai Gangga.
Dengan melompat dari ujung cabang itu, ia melewati jarak sejauh seratus busur (dhanu) dan mendarat di semak-semak tepi Sungai Gangga201. Setelah berada di sana, ia menandai jaraknya dan berkata, “Inilah jarak yang telah kulewati.” [372] dan setelah memotong sebatang bambu dari akarnya dan membersihkannya, ia berkata, “Sebanyak inilah yang akan diikatkan di pohon itu dan sebanyak itu pula yang akan berada di udara nantinya,” dan demikian ia menghitung jarak keduanya, tetapi lupa menghitung bagian yang terikat di pinggangnya sendiri. Dengan membawa batang bambu itu, ia mengikat satu ujungnya di pohon yang ada di tepi Sungai Gangga itu dan mengikat ujung lainnya di pinggangnya sendiri dan kemudian membersihkan jalan berjarak sejauh seratus busur itu dengan kecepatan seperti angin, sewaktu membelah awan.
Karena tidak menghitung bagian yang terikat di pinggangnya, ia pun gagal mencapai pohon itu, maka dengan kedua tangannya yang berpengangan erat pada cabang pohon itu, ia memberikan tanda kepada kawanan kera tersebut, “Cepat pergi, semoga keberuntungan menyertai kalian, dengan memijak punggungku dan melewati batang bambu ini.”
Kedelapan puluh ribu kera tersebut melarikan diri dengan cara demikian setelah sebelumnya memberi penghormatan kepada Bodhisatta dan mendapatkan izin darinya.
Pada waktu itu, Devadatta juga terlahir sebagai seekor kera dan berada di antara kawanan kera. Ia berkata, “Ini adalah kesempatan bagiku untuk melihat akhir dari musuhku,” maka dengan memanjat sebuah cabang pohon, ia melompat dan mendarat di punggung Bodhisatta. Jantung Bodhisatta pecah dan menderita rasa sakit yang luar biasa. Setelah menyebabkan rasa sakit yang demikian, Devadatta pergi dan Bodhisatta ditinggal sendirian.
Raja yang telah bangun dan melihat semua yang dilakukan oleh kera-kera itu dan juga Bodhisatta, duduk berbaring dan berpikir, “Hewan ini, tanpa mempedulikan nyawanya sendiri, menyelamatkan nyawa kawanan keranya.”
Ketika fajar menyingsing, karena merasa senang dengan Bodhisatta, raja berpikir, “Tidaklah benar untuk membunuh raja kera ini. Saya akan menurunkannya dan merawatnya,” maka setelah mengarahkan rakitnya ke bagian hilir Sungai Gangga dan membuat sebuah panggung di sana, ia meminta pengawalnya untuk menurunkan Bodhisatta dengan perlahan, memakaikan jubah kuning di punggungnya dan membasuhnya dengan air dari Sungai Gangga, memberinya minum air gula, membersihkan badannya, mengolesinya dengan minyak yang telah disaring sebanyak seribu kali, kemudian membaringkannya di tempat tidur yang alasnya telah diolesi dengan minyak pula, dan ia sendiri duduk di tempat yang rendah, seraya mengucapkan bait pertama berikut:—
[373] Anda menggunakan diri sendiri sebagai jembatan
untuk mereka lewati dengan selamat:
Apa hubunganmu dengan mereka, kera,
dan apa hubungan mereka denganmu?
Mendengar raja berkata demikian, Bodhisatta memberikan wejangan kepada raja dengan mengucapkan bait-bait berikut:—
Raja yang berjaya, saya menjaga kawanan itu,
saya adalah tuan dan raja mereka,
di saat mereka dirundung dengan rasa takut
dan sedih karena dirimu.
Saya melompat sejauh seratus kali
panjang busur yang dibentangkan,
dengan membawa sebatang bambu
yang diikat kuat di lingkaran pahaku:
Saya sampai di pohon itu seperti awan
yang bergerak cepat karena badai angin;
Saya sempat kehilangan kekuatan,
tetapi berhasil meraih sebuah dahan:
dengan erat kupegang dahan tersebut.
Dan selagi saya tergantung membentang di sana
terikat dengan kuat oleh bambu dan dahan pohon,
Kawanan keraku itu menyeberang dengan melewati punggungku,
dan sekarang mereka sudah aman.
Oleh karena itu saya tidak takut dengan rasa sakit akan kematian,
ikatan tidak memberikan rasa sakit kepadaku,
kebahagiaan menjadi milik mereka
yang tadinya saya pimpin.
Sebuah pelajaran bagimu, wahai raja,
jika Anda bisa melihat suatu kebenaran:
Kebahagiaan dari kerajaan, kebahagiaan dari pasukan,
dan kebahagian dari hewan-hewan
serta kebahagiaan dari kota
haruslah menjadi yang pertama,
jika Anda memerintah dengan benar.
[374] Setelah demikian memberikan wejangan dan mengajar raja, Bodhisatta akhirnya mati.
Dengan memanggil para menterinya, raja memerintahkan agar raja kera itu mendapatkan upacara pemakaman, layaknya seorang raja, dan ia mengirimkan pesan kepada selir-selirnya, dengan berkata, “Datanglah ke pemakamannya sebagai rombongan bagi raja kera ini, dengan mengenakan pakaian merah dan rambut yang terurai serta obor di tangan.” [375] Para menteri membuat tumpukan kayu pemakaman dengan kayu yang dibawa oleh seratus kereta.
Setelah melakukan upacara pemakaman Bodhisata dengan tata cara kerajaan, mereka membawa sisa tulang belulangnya dan mendatangi raja. Raja kemudian memerintahkan untuk membangun sebuah cetiya di tempat pengkremasian Bodhisatta, menyalakan obor di sana dan memberikan persembahan berupa dupa dan bunga. Ia melapisi tulang belulangnya dengan emas, dan meletakkannya di depan, ditempatkan di ujung yang tajam.
Setelah memujanya dengan dupa dan bunga, raja meletakkannya di gerbang kerajaan sewaktu kembali ke Benares, dan menghias seluruh isi kota, ia memberikan penghormatan yang demikian kepadanya selama tujuh hari.
Kemudian dengan membawanya sebagai relik dan menempatkannya di dalam cetiya, raja memujanya dengan dupa dan bunga sepanjang hidupnya.
Dan dengan mengikuti ajaran dari Bodhisatta, raja selalu memberikan derma dan melakukan kebajikan lainnya serta memerintah kerajaannya dengan benar sehingga akhirnya dilahirkan kembali di alam surga.
____________________
Setelah uraian-Nya selesai, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, raja adalah Ānanda, kawanan kera adalah para siswa Buddha, dan raja kera adalah saya sendiri.”
Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam Bhaddasāla-Jātaka200.
Para bhikkhu memulai pembicaraan di dalam balai kebenaran, dengan berkata, “Yang Tercerahkan Sempurna (selalu) melakukan perbuatan baik terhadap keluarga-Nya.” [370] Setelah bertanya dan diberitahukan tentang topik pembicaraan mereka, Beliau berkata, “Para Bhikkhu, ini bukan kali pertamanya seorang Tathāgata melakukan perbuatan baik terhadap keluarga-Nya,” dan kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor kera.
Ketika dewasa, ia memiliki perawakan yang tinggi dan perkasa, kuat dan bertenaga, dan tinggal di pegunungan Himalaya dengan kawanan delapan puluh ribu ekor kera lainnya.
Di dekat tepi Sungai Gangga, ada sebuah pohon mangga (sebagian mengatakan bahwa itu adalah pohon beringin) yang memiliki banyak cabang dan ranting, berdaun lebat dan rimbun, seperti puncak sebuah gunung. Buah-buah manisnya yang memiliki aroma dan rasa surgawi, berukuran sebesar kumba.
Dari satu cabang pohon mangga itu, buah-buahnya jatuh ke tanah, dari cabang yang lain jatuh ke dalam aliran air Sungai Gangga, dari dua cabang yang lainnya jatuh ke batang pohon itu sendiri.
Selagi memakan buah-buah itu dengan kawanan kera lainnya, Bodhisatta berpikir, “Suatu hari nanti bahaya akan menimpa kami dikarenakan buah dari pohon ini yang jatuh ke dalam air sungai,” maka untuk tidak menyisakan satu buah pun di cabang pohon yang tumbuh di atas air itu, ia meminta kawanan kera tersebut untuk memakannya atau membuang bunga buah itu pada musimnya ketika masih berukuran sekecil kacang polong.
Akan tetapi, mereka tidak melakukannya dengan sempurna: satu buah mangga ranum yang tidak terlihat oleh delapan puluh ribu kera tersebut, yang tersembunyi di dalam gundukan rumah semut, jatuh ke dalam sungai dan tersangkut di jaring Raja Benares, yang sedang mandi dan bersenang-senang dengan meletakkan jaring di bagian hulu dan hilir sungai.
Ketika raja telah bersenang-senang seharian di sana dan hendak pulang kembali di sore hari, para nelayan yang menarik jaring mereka melihat buah tersebut. Dan dikarenakan tidak tahu buah apa itu, mereka menunjukkannya kepada raja.
Raja bertanya, “Buah apa ini?” “Kami tidak tahu, Paduka.” “Siapa yang tahu?” “Para penjaga hutan, Paduka.” Raja pun memanggil penjaga hutan dan mengetahui dari mereka bahwa itu adalah sebuah mangga. Ia memotongnya dengan pisau dan menyuruh penjaga hutan itu memakannya terlebih dahulu, kemudian ia sendiri memakannya [371] dan memberikan sebagian kepada selir-selirnya dan juga para menterinya. Rasa dari buah mangga ranum itu menyebar ke seluruh tubuh raja.
Terikat oleh kehausan akan rasa (buah mangga ranum itu), raja bertanya kepada penjaga hutan di mana pohonnya berada, dan setelah mendengar bahwa itu berada di sebuah tepi sungai di daerah pegunungan Himalaya, raja memerintahkan banyak perahu rakit untuk bergabung bersama dan berlayar mengikuti jalan yang ditunjukkan oleh para penjaga hutan tersebut. Lamanya hari perjalanan itu tidak diberikan.
Dengan mengikuti jalur yang tepat, akhirnya mereka sampai ke tempat itu dan para penjaga hutan berkata kepada raja, “Paduka, pohonnya ada di sana.” Raja menghentikan semua rakitnya dan melanjutkan perjalanan mereka dengan berjalan kaki. Ia meminta pengawalnya untuk menyiapkan tempat tidur di bawah kaki pohon itu, dan berbaring di sana setelah memakan buah mangga dan menikmati beragam jenis rasa yang amat enak.
Di semua sudut, mereka menempatkan penjaga dan membuat api unggun. Ketika mereka semua sudah tertidur, Bodhisatta datang di tengah malam beserta kawanannya. Sebanyak delapan puluh ribu kera berpindah dari satu cabang ke cabang lainnya, memakan buah-buah mangga itu. Raja, yang terbangun dan melihat kawanan kera tersebut, membangunkan pengawalnya dan memerintahkan para pemanahnya dengan berkata, “Kepung kera-kera ini yang memakan buah mangga tersebut agar mereka tidak bisa kabur, dan panah mereka. Besok kita akan menyantap buah mangga dengan daging kera.” Para pemanah mematuhi perintahnya dan berkata, “Baik,” dan berdiri mengepung pohon itu, kemudian menyiapkan anak panah.
Kawanan kera yang melihat mereka dan takut akan kematian karena tidak bisa melarikan diri, mendatangi Bodhisatta dan berkata, “Tuan, para pemanah berdiri mengepung pohon, seraya berkata, ‘Kami akan memanah kera-kera gelandangan itu.’ Apa yang harus kita lakukan?” dan berdiri dengan gemetaran. Bodhisatta berkata, “Jangan takut. Saya akan menyelematkan kalian,” dan demikian menghibur mereka, ia naik ke sebuah cabang pohon yang tegak lurus, kemudian ke cabang pohon yang mengarah ke Sungai Gangga.
Dengan melompat dari ujung cabang itu, ia melewati jarak sejauh seratus busur (dhanu) dan mendarat di semak-semak tepi Sungai Gangga201. Setelah berada di sana, ia menandai jaraknya dan berkata, “Inilah jarak yang telah kulewati.” [372] dan setelah memotong sebatang bambu dari akarnya dan membersihkannya, ia berkata, “Sebanyak inilah yang akan diikatkan di pohon itu dan sebanyak itu pula yang akan berada di udara nantinya,” dan demikian ia menghitung jarak keduanya, tetapi lupa menghitung bagian yang terikat di pinggangnya sendiri. Dengan membawa batang bambu itu, ia mengikat satu ujungnya di pohon yang ada di tepi Sungai Gangga itu dan mengikat ujung lainnya di pinggangnya sendiri dan kemudian membersihkan jalan berjarak sejauh seratus busur itu dengan kecepatan seperti angin, sewaktu membelah awan.
Karena tidak menghitung bagian yang terikat di pinggangnya, ia pun gagal mencapai pohon itu, maka dengan kedua tangannya yang berpengangan erat pada cabang pohon itu, ia memberikan tanda kepada kawanan kera tersebut, “Cepat pergi, semoga keberuntungan menyertai kalian, dengan memijak punggungku dan melewati batang bambu ini.”
Kedelapan puluh ribu kera tersebut melarikan diri dengan cara demikian setelah sebelumnya memberi penghormatan kepada Bodhisatta dan mendapatkan izin darinya.
Pada waktu itu, Devadatta juga terlahir sebagai seekor kera dan berada di antara kawanan kera. Ia berkata, “Ini adalah kesempatan bagiku untuk melihat akhir dari musuhku,” maka dengan memanjat sebuah cabang pohon, ia melompat dan mendarat di punggung Bodhisatta. Jantung Bodhisatta pecah dan menderita rasa sakit yang luar biasa. Setelah menyebabkan rasa sakit yang demikian, Devadatta pergi dan Bodhisatta ditinggal sendirian.
Raja yang telah bangun dan melihat semua yang dilakukan oleh kera-kera itu dan juga Bodhisatta, duduk berbaring dan berpikir, “Hewan ini, tanpa mempedulikan nyawanya sendiri, menyelamatkan nyawa kawanan keranya.”
Ketika fajar menyingsing, karena merasa senang dengan Bodhisatta, raja berpikir, “Tidaklah benar untuk membunuh raja kera ini. Saya akan menurunkannya dan merawatnya,” maka setelah mengarahkan rakitnya ke bagian hilir Sungai Gangga dan membuat sebuah panggung di sana, ia meminta pengawalnya untuk menurunkan Bodhisatta dengan perlahan, memakaikan jubah kuning di punggungnya dan membasuhnya dengan air dari Sungai Gangga, memberinya minum air gula, membersihkan badannya, mengolesinya dengan minyak yang telah disaring sebanyak seribu kali, kemudian membaringkannya di tempat tidur yang alasnya telah diolesi dengan minyak pula, dan ia sendiri duduk di tempat yang rendah, seraya mengucapkan bait pertama berikut:—
[373] Anda menggunakan diri sendiri sebagai jembatan
untuk mereka lewati dengan selamat:
Apa hubunganmu dengan mereka, kera,
dan apa hubungan mereka denganmu?
Mendengar raja berkata demikian, Bodhisatta memberikan wejangan kepada raja dengan mengucapkan bait-bait berikut:—
Raja yang berjaya, saya menjaga kawanan itu,
saya adalah tuan dan raja mereka,
di saat mereka dirundung dengan rasa takut
dan sedih karena dirimu.
Saya melompat sejauh seratus kali
panjang busur yang dibentangkan,
dengan membawa sebatang bambu
yang diikat kuat di lingkaran pahaku:
Saya sampai di pohon itu seperti awan
yang bergerak cepat karena badai angin;
Saya sempat kehilangan kekuatan,
tetapi berhasil meraih sebuah dahan:
dengan erat kupegang dahan tersebut.
Dan selagi saya tergantung membentang di sana
terikat dengan kuat oleh bambu dan dahan pohon,
Kawanan keraku itu menyeberang dengan melewati punggungku,
dan sekarang mereka sudah aman.
Oleh karena itu saya tidak takut dengan rasa sakit akan kematian,
ikatan tidak memberikan rasa sakit kepadaku,
kebahagiaan menjadi milik mereka
yang tadinya saya pimpin.
Sebuah pelajaran bagimu, wahai raja,
jika Anda bisa melihat suatu kebenaran:
Kebahagiaan dari kerajaan, kebahagiaan dari pasukan,
dan kebahagian dari hewan-hewan
serta kebahagiaan dari kota
haruslah menjadi yang pertama,
jika Anda memerintah dengan benar.
[374] Setelah demikian memberikan wejangan dan mengajar raja, Bodhisatta akhirnya mati.
Dengan memanggil para menterinya, raja memerintahkan agar raja kera itu mendapatkan upacara pemakaman, layaknya seorang raja, dan ia mengirimkan pesan kepada selir-selirnya, dengan berkata, “Datanglah ke pemakamannya sebagai rombongan bagi raja kera ini, dengan mengenakan pakaian merah dan rambut yang terurai serta obor di tangan.” [375] Para menteri membuat tumpukan kayu pemakaman dengan kayu yang dibawa oleh seratus kereta.
Setelah melakukan upacara pemakaman Bodhisata dengan tata cara kerajaan, mereka membawa sisa tulang belulangnya dan mendatangi raja. Raja kemudian memerintahkan untuk membangun sebuah cetiya di tempat pengkremasian Bodhisatta, menyalakan obor di sana dan memberikan persembahan berupa dupa dan bunga. Ia melapisi tulang belulangnya dengan emas, dan meletakkannya di depan, ditempatkan di ujung yang tajam.
Setelah memujanya dengan dupa dan bunga, raja meletakkannya di gerbang kerajaan sewaktu kembali ke Benares, dan menghias seluruh isi kota, ia memberikan penghormatan yang demikian kepadanya selama tujuh hari.
Kemudian dengan membawanya sebagai relik dan menempatkannya di dalam cetiya, raja memujanya dengan dupa dan bunga sepanjang hidupnya.
Dan dengan mengikuti ajaran dari Bodhisatta, raja selalu memberikan derma dan melakukan kebajikan lainnya serta memerintah kerajaannya dengan benar sehingga akhirnya dilahirkan kembali di alam surga.
____________________
Setelah uraian-Nya selesai, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, raja adalah Ānanda, kawanan kera adalah para siswa Buddha, dan raja kera adalah saya sendiri.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com