KUMBHAKĀRA-JĀTAKA
Kumbhakārajātaka (Ja 408)
“Kulihat satu pohon mangga di dalam hutan,” dan seterusnya. Sang Guru menceritakan kisah ini ketika berdiam di Jetavana, tentang kecaman terhadap nafsu (noda batin).
Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam Pānīya-Jātaka.
Pada waktu itu, di Kota Savatthi terdapat lima ratus teman, yang telah menjadi bhikkhu, yang tinggal di dalam koṭisanthāra202, mengarahkan pikiran pada kesenangan indriawi.
Sang Guru mengawasi siswa-siswa-Nya tiga kali di malam hari dan tiga kali di siang hari, enam kali dalam satu hari, seperti burung menjaga telurnya atau seekor sapi yak menjaga ekornya atau seorang ibu menjaga anaknya atau orang bermata satu menjaga matanya: pada saat itu, Beliau akan mengendalikan noda batin yang muncul (di dalam diri mereka).
Pada waktu tengah malam itu, Beliau sedang mengawasi Jetavana dan sewaktu mengetahui pengarahan pikiran para bhikkhu tersebut, Beliau berpikir, “Jika noda batin di dalam diri bhikkhu-bhikkhu ini berkembang, maka ia akan menghancurkan kesempatan mereka untuk mencapai ke-Arahat-an. Saat ini juga akan kukendalikan noda batin itu dan menunjukkan kepada mereka jalan menuju tingkat kesucian Arahat,” dengan berpikir demikian, Beliau meninggalkan ruangan yang wangi (gandhakuṭi), memanggil Ānanda [376] dan memintanya untuk mengumpulkan bhikkhu-bhikkhu yang tinggal di dalam koṭisanthāra itu.
Kemudian Beliau menjumpai mereka yang sudah berkumpul semua dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan untuk-Nya.
Beliau berkata, “Para Bhikkhu, tidaklah benar hidup di bawah pengaruh pikiran yang penuh dengan noda batin. Noda batin, jika berkembang, akan menyebabkan kehancuran hebat, layaknya seorang musuh. Bahkan noda batin yang kecil pun harus dikendalikan oleh seorang bhikkhu: Orang bijak di masa lampau yang melihat bahkan sebuah penyebab kegagalan yang kecil, mengendalikan pikirannya yang muncul, yang penuh dengan noda batin, dan akhirnya mencapai tingkat kesucian sebagai seorang Pacceka Buddha,” dan demikian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga kundi, di daerah pinggiran Kota Benares.
Ketika dewasa, ia menjadi kepala rumah tangga, mempunyai seorang putra dan putri, membiayai kehidupan keluarga dengan kerajinan tangannya membuat barang-barang dari tanah liat.
Kala itu, di Kerajaan Kaliṅga, di Kota Dantapura, rajanya yang bernama Karaṇḍu (Karandu), yang hendak pergi ke tamannya diikuti oleh rombongan besar, melihat sebuah pohon mangga yang berbuah lebat nan manis di gerbang taman. Ia menjulurkan tangannya ke depan dari tempat duduknya di atas gajah dan mengambil sejumlah buah mangga.
Setelah masuk ke dalam taman, ia duduk di atas tempat duduk yang besar dan makan satu dari buah mangga itu, kemudian memberikan sebagian kepada mereka yang pantas mencicipinya.
Mulai dari saat itu, para menteri, brahmana, dan perumah tangga, yang berpikiran bahwa orang lain juga harus melakukan hal yang sama seperti raja, mengambil dan memakan buah mangga dari pohon itu. Mereka terus berdatangan, memanjati pohon itu dan menjatuhkan buah-buahnya dengan kayu serta mematahkan cabang-cabangnya, mereka memakan habis semua buahnya, tanpa menyisakan bahkan buah yang belum matang.
Suatu hari, raja bersenang-senang di dalam tamannya, dan pada sore harinya ketika hendak kembali, dengan duduk di atas punggung gajah ia melewati pohon mangga itu. Sewaktu melihatnya, ia langsung turun dari gajahnya dan berjalan ke bawah pohon itu, melihat ke atas dan berpikir, “Di pagi hari, pohon ini berdiri dengan indahnya dihiasi dengan buah-buahnya dan yang melihatnya tidak akan puas sebelum memetiknya. Sekarang pohon ini berdiri dengan tidak indah, buah-buahnya berjatuhan dan rusak.”
Kemudian di tempat yang lain, ia melihat pohon mangga lainnya yang tidak berbuah, dan berpikir kembali, “Pohon mangga itu berdiri dengan indahnya, dalam kepolosannya tanpa buah, seperti gunung permata yang polos tanpa apa-apa. Pohon mangga lain yang dikarenakan kesuburannya menumbuhkan banyak buah, [377] mendapatkan kehancuran itu; kehidupan umat awam sama seperti pohon yang berbuah (lebat), sedangkan kehidupan seorang petapa sama seperti pohon yang tidak berbuah; orang yang kaya memiliki rasa takut, sedangkan orang yang miskin tidak memiliki rasa takut. Saya juga akan menjadi seperti pohon yang tidak berbuah ini.”
Maka, dengan mengambil pohon berbuah sebagai subjeknya, berdiri di bawah pohon itu, merenungkan tiga corak kehidupan, dan mencapai pencerahan sempurna sebagai seorang Pacceka Buddha, dan dengan perenungan, “Diriku telah bebas dari rahim, kelahiran berulang di tiga alam kehidupan telah berakhir, kotoran duniawi telah dibersihkan, danau air mata telah menjadi kering, dinding tulang telah hancur, tidak akan ada kelahiran lagi bagi diriku,” ia berdiri seperti dihiasi dengan semua hiasan.
Kemudian para menterinya berkata, “Anda telah berdiri terlalu lama, wahai Paduka.” “Saya bukan (lagi) seorang raja, saya adalah seorang Pacceka Buddha.” “Pacceka Buddha tidak seperti Anda, wahai Paduka.” “Kalau begitu, seperti apa mereka itu?” “Rambut dan janggut mereka dicukur rapi, mengenakan jubah kuning, tidak melekat kepada keluarga ataupun suku, mereka itu seperti awan yang ditiup oleh angin atau cakra bulan yang bebas dari Rāhu dan mereka berdiam di daerah pegunungan Himalaya, di Gua Nandamūla. Demikianlah, wahai Paduka, para Pacceka Buddha itu.”
Kemudian raja menaikkan tangannya dan memegang kepalanya, dan pada saat itu juga, semua tanda umat awam menghilang dari dirinya dan tanda seorang samaṇa (petapa) muncul di dirinya:—
Tiga jubah, patta, pisau cukur, jarum jahit, ikat pinggang, saringan air, seorang bhikkhu yang benar memiliki delapan benda itu, perlengkapan petapa, demikian benda-benda itu disebut, terlihat ada padanya.
Dengan berdiri melayang di udara, ia memaparkan Dhamma kepada orang banyak, dan setelahnya terbang ke angkasa menuju ke Gua Nandamūla, di bagian atas daerah pegunungan Himalaya.
Di Kerajaan Gandhāra di Kota Takkasila, raja yang bernama Naggaji, di teras, di tengah-tengah tempat duduk yang megah, melihat seorang wanita yang memakai gelang permata di kedua tangannya menggiling wewangian, dan ia berpikir, “Gelang permata ini tidak berdenting atau bergemerincing sewaktu keduanya terpisah,” dan duduk demikian terus memperhatikannya.
Kemudian wanita itu memindahkan gelang yang ada di tangan kanannya [378] ke tangan kirinya dan mengumpulkan wewangian itu dengan tangan kanannya, serta mulai menggilingnya kembali. Gelang-gelang di tangan kirinya itu bertemu satu dengan yang lain dan menimbulkan suara dentingan.
Raja yang melihat bahwa kedua gelang itu berdenting mengeluarkan suara ketika saling bertemu, berpikir, “Gelang itu, ketika terpisah, tidak menyentuh apa pun, sekarang gelang itu saling bertemu dan menimbulkan suara ribut; ketika mereka menjadi dua atau tiga, mereka saling bergesekan dan mengeluarkan bunyi. Sekarang ini saya memimpin penduduk di dua kerajaan, Kasmīra dan Gandhāra, dan saya juga seharusnya hidup seperti satu gelang itu, memimpin diri saya sendiri dan tidak memimpin yang lain secara bersamaan,” demikian dengan menjadikan gesekan gelang tersebut sebagai objeknya, dalam keadaan duduk, ia menyadari tiga corak kehidupan, mencapai pencerahan sempurna sebagai seorang Pacceka Buddha. Kejadian selanjutnya sama dengan cerita di atas sebelumnya.
Di Kerajaan Videha, di Kota Mithila, rajanya yang bernama Nimi, sehabis menyantap sarapan pagi, dengan dikelilingi oleh para menterinya, berdiri melihat ke bawah, ke arah jalan dari sebuah jendela yang terbuka. Seekor elang terbang tinggi di angkasa setelah mengambil daging dari pasar daging. Beberapa burung hering atau burung pemangsa lainnya, mengepung elang itu dari semua sisi, mematuknya dengan paruh mereka dan menyerangnya dengan sayap mereka serta memukulnya dengan cakar mereka untuk mendapatkan daging tersebut. Tidak ingin dirinya terbunuh, sang elang melepaskan daging itu dan burung yang lain mengambilnya. Burung-burung lainnya meninggalkan elang itu dan mulai menyerang burung yang mengambil daging itu, ketika burung itu juga melepaskan daging tersebut, burung yang lain lagi mengambilnya dan demikian halnya terus burung yang lain menyerangnya kembali.
Raja yang melihat kejadian dengan burung-burung itu berpikir, “Siapa yang mengambil daging tersebut akan mendapatkan penderitaan dan siapa yang melepaskannya akan mendapatkan kebahagiaan; sama seperti orang yang mengambil kesenangan indriawi akan mendapatkan penderitaan, dan kebahagiaan akan didapatkan oleh orang yang melepaskannya. Ini adalah hal-hal yang umum bagi kebanyakan orang; saat ini saya memiliki enam belas ribu selir, saya harus hidup dalam kebahagiaan dengan meninggalkan kesenangan indriawi, seperti burung elang yang melepaskan potongan daging tersebut.” Merenungkan hal ini dengan bijaksana, [379] dalam keadaan berdiri, ia menyadari tiga corak kehidupan, mencapai pencerahan sempurna sebagai seorang Pacceka Buddha. Kejadian selanjutnya sama dengan cerita di atas sebelumnya.
Di Kerajaan Uttarapañcāla, di Kota Kampila, seorang raja yang bernama Dummukha, sehabis menyantap sarapan pagi, dengan segala kebesarannya dan dikelilingi oleh para menterinya, ia berdiri melihat ke bawah ke arah halaman istana dari sebuah jendela yang terbuka. Pada waktu itu, mereka membuka pintu kandang sapi: sapi-sapi jantan yang keluar dari kandang itu ingin mengawini seekor sapi betina, dan seekor sapi jantan besar dengan tanduk yang tajam melihatnya, dirundung dengan kecemburuan, menyerang sapi jantan itu di bagian pahanya dengan tanduk besarnya. Disebabkan oleh kuatnya tusukan tersebut, isi perut sapi jantan itu keluar dan ia pun mati seketika.
Raja yang melihat hal ini berpikir, “Makhluk hidup, seperti hewan-hewan ini, mendapatkan penderitaan dikarenakan kekuatan nafsu. Sapi jantan ini mati disebabkan oleh nafsunya; makhluk-makhluk hidup yang lainnya juga terganggu oleh kekuatan nafsu. Saya harus meninggalkan nafsu, yang mengganggu makhluk-makhluk hidup itu,” dan dalam keadaan berdiri seperti demikian, ia menyadari tiga corak kehidupan dan dan mencapai pencerahan sempurna sebagai seorang Pacceka Buddha. Kejadian selanjutnya sama dengan cerita di atas sebelumnya.
Kemudian pada suatu hari, keempat Pacceka Buddha tersebut, mempertimbangkan bahwa itu adalah waktunya bagi mereka untuk berkeliling, meninggalkan Gua Nandamūla.
Setelah membersihkan gigi dengan menguyah sirih di Danau Anotatta dan memenuhi kebutuhan mereka di Manosilā, mereka mengambil patta dan jubah, dan dengan kekuatan gaib, mereka terbang ke angkasa dan berjalan di atas awan lima warna, mereka berhenti di tempat yang tidak jauh dari daerah pinggiran Kota Benares.
Di suatu tempat yang menyenangkan, mereka mengenakan jubah, membawa patta dan masuk ke daerah pinggiran tersebut untuk berpindapata, sampai akhirnya mereka tiba di depan pintu rumah Bodhisatta.
Bodhisatta merasa senang melihat kedatangan mereka, mempersilakan mereka masuk dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan, memberikan mereka air minum dan menyajikan makanan yang enak, baik makanan utama maupun makanan pendamping.
Setelah duduk di satu sisi, ia memberi penghormatan kepada yang tertua di antara mereka dan berkata, “Bhante, kehidupan sucimu kelihatannya sangat indah: indra-indramu sangat tenang, raut wajahmu sangat cerah. Objek pemikiran apakah [380] yang membuat Anda menjalankan kehidupan suci dan menjalankan praktik berkeliling untuk mendapatkan derma makanan?” dan setelah ia bertanya demikian kepada yang tertua dari mereka, ia juga menanyakan pertanyaan yang sama kepada yang lainnya.
Kemudian mereka berempat berkata, “Nama saya adalah anu, raja dari kota dan kerajaan anu,” dan seterusnya, dengan cara demikian masing-masing dari mereka memberitahukan penyebab mereka meninggalkan kehidupan duniawi dan mengucapkan satu bait kalimat berikut secara bergantian:—
Kulihat satu pohon mangga di dalam hutan,
tumbuh dengan sempurna, berwarna gelap,
berbuah lebat:
Dan dikarenakan buah-buah itu,
orang-orang merusak pohonnya,
Inilah yang menyebabkan hatiku tergerak
untuk menjalankan kehidupan berkeliling
untuk mendapatkan derma makanan.
Sebuah gelang, berhiaskan permata
di tangan yang indah,
seorang wanita memakainya di kedua tangannya
tanpa mengeluarkan suara:
(ketika digabungkan) Gelang yang satu bergesekan dengan yang lain
dan menimbulkan suara ribut:
Inilah yang menyebabkan hatiku tergerak
untuk menjalankan kehidupan berkeliling
untuk mendapatkan derma makanan.
Sekelompok burung menyerang seekor burung,
yang membawa sepotong daging bangkai:
Dikarenakan daging yang dibawanya, burung itu diserang:
Inilah yang menyebabkan hatiku tergerak
untuk menjalankan kehidupan berkeliling
untuk mendapatkan derma makanan.
Seekor sapi jantan dalam kesombongannya
di antara kelompoknya,
menaikkan tinggi punggungnya,
dengan kekuatan dan kecantikan yang diagungkan:
Dikarenakan nafsu, ia mati,
tanduk dari sapi jantan yang lain melukai dirinya:
Inilah yang menyebabkan hatiku tergerak
untuk menjalankan kehidupan berkeliling
untuk mendapatkan derma makanan.
Bodhisatta yang mendengar bait-bait kalimat di atas satu per satu, berkata, “Bagus sekali, Bhante, objek Anda itu cocok,” demikianlah ia memuji masing-masing Pacceka Buddha tersebut.
Setelah mendengar khotbah yang disampaikan oleh keempat Pacceka Buddha, ia pun menjadi enggan menjalani kehidupan umat awam.
Ketika para Pacceka Buddha itu telah pergi, sehabis menyantap sarapan pagi dan, duduk dengan tenang, ia memanggil istrinya dan berkata, “Istriku, keempat Pacceka Buddha itu meninggalkan kerajaan mereka untuk menjadi orang suci, dan sekarang hidup dengan terbebas dari kotoran batin, rintangan, hidup dalam kebahagiaan seorang petapa. Sedangkan saya menyokong kehidupan dengan hasil pendapatan, apalah gunanya bagiku menjalankan kehidupan umat awam? Jagalah anak-anak dan tetap di rumah,” dan ia mengucapkan dua bait berikut:—
Raja Karaṇḍu dari Kaliṅga, Raja Naggaji dari Gandhāra,
Raja Dummukha dari Pañcāla, Raja Nimi dari Videha,
telah melepaskan takhta kerajaan mereka
dan menjalankan kehidupan orang suci, tanpa kotoran batin.
Di sini, penampilan surgawi mereka tunjukkan,
masing-masing seperti api yang berkobar:
Bhaggavi, saya juga akan pergi,
meninggalkan semua yang disenangi manusia awam.
[382] Mendengar perkataannya tersebut, sang istri berkata, “Suamiku, sejak saya mendengar khotbah dari para Pacceka Buddha, saya juga tidak memiliki keinginan untuk tinggal di rumah,” dan ia mengucapkan satu bait kalimat berikut:—
Saya tahu, inilah saat yang dijanjikan:
Tidak ada guru lain yang lebih baik:
Bhaggava, saya juga akan pergi,
seperti seekor burung yang dilepaskan dari tangan.
Bodhisatta menjadi diam mendengar kata-kata istrinya.
Ia memperdaya Bodhisatta dan ingin terlebih dahulu menjalankan kehidupan suci sebelum dirinya, maka ia berkata, “Suamiku, saya akan pergi mengambil air, tolong jaga anak-anak,” dan kemudian dengan membawa sebuah kendi (untuk menunjukkan) seolah-olah ia benar akan mengambil air, ia pergi dan mendatangi para petapa di luar kota dan ditahbiskan oleh mereka.
Bodhisatta yang menyadari istrinya tidak akan kembali lagi, merawat anak-anaknya sendirian.
Setelah beberapa lama, mereka menjadi tumbuh lebih dewasa dan dapat mengerti keadaan diri mereka sendiri. Dengan tujuan untuk mengajar mereka [383], ketika memasak nasi, di satu hari ia memasaknya dengan agak keras dan tidak matang, di hari berikutnya ia memasaknya dengan kurang matang, hari berikutnya lagi ia memasaknya benar-benar matang, satu hari dengan banyak air, satu hari tanpa garam, satu hari dengan garam yang terlalu banyak.
Anak-anaknya berkata, “Ayah, hari ini nasinya tidak matang, hari ini nasinya kurang matang, hari ini nasinya benar-benar matang: hari ini nasinya terlalu banyak air, hari ini nasinya tidak ada garam, hari ini nasinya terlalu banyak garam.”
Bodhisatta kemudian berkata, “Ya, Anak-anakku,” dan berpikir, “Anak-anak ini sekarang dapat mengetahui apa yang tidak matang dan apa yang matang, apa yang ada garamnya dan apa yang tidak ada; mereka pasti dapat hidup dengan jalan mereka sendiri: Saya harus menjadi seorang petapa sekarang.” Kemudian ia memberikan anak-anaknya kepada sanak keluarganya dan dirinya sendiri ditahbiskan menjalankan kehidupan suci dan tinggal di luar kota.
Kemudian pada suatu hari, petapa wanita itu yang sedang berkeliling di Benares melihatnya dan memberi hormat kepadanya, kemudian berkata, “Ayya203, saya yakin Anda telah membunuh anak-anakmu.” Bodhisatta berkata, “Saya tidak membunuh anak-anakku; ketika mereka telah dapat mengerti akan diri mereka sendiri, barulah saya bertahbis. Anda sendiri yang tidak mempedulikan mereka dan membuat dirimu bahagia dengan bertahbis,” dan kemudian ia mengucapkan bait terakhir berikut:—
Setelah melihat mereka dapat membedakan
rasa asin dan tidak asin, matang dan tidak matang,
baru saya bertahbis menjadi seorang petapa:
tinggalkanlah saya, kita masing-masing harus mengikuti aturannya.
Demikian ia memberikan nasihat kepada petapa wanita itu dan pergi meninggalkannya.
Petapa wanita itu menerima nasihat dari Bodhisatta dan memberinya penghormatan, kemudian pergi ke suatu tempat yang ia senangi. Sejak hari itu, mereka tidak pernah bertemu kembali. Bodhisatta memperoleh kesaktian melalui meditasi jhana, dan terlahir di alam brahma.
____________________
Setelah uraian-Nya selesai, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:— Setelah kebenarannya berakhir, lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian Arahat:—“Pada masa itu, putrinya adalah Uppalavaṇṇā, putranya adalah Rāhula, petapa wanita adalah ibunya Rāhula, dan petapa itu adalah saya sendiri.”
Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam Pānīya-Jātaka.
Pada waktu itu, di Kota Savatthi terdapat lima ratus teman, yang telah menjadi bhikkhu, yang tinggal di dalam koṭisanthāra202, mengarahkan pikiran pada kesenangan indriawi.
Sang Guru mengawasi siswa-siswa-Nya tiga kali di malam hari dan tiga kali di siang hari, enam kali dalam satu hari, seperti burung menjaga telurnya atau seekor sapi yak menjaga ekornya atau seorang ibu menjaga anaknya atau orang bermata satu menjaga matanya: pada saat itu, Beliau akan mengendalikan noda batin yang muncul (di dalam diri mereka).
Pada waktu tengah malam itu, Beliau sedang mengawasi Jetavana dan sewaktu mengetahui pengarahan pikiran para bhikkhu tersebut, Beliau berpikir, “Jika noda batin di dalam diri bhikkhu-bhikkhu ini berkembang, maka ia akan menghancurkan kesempatan mereka untuk mencapai ke-Arahat-an. Saat ini juga akan kukendalikan noda batin itu dan menunjukkan kepada mereka jalan menuju tingkat kesucian Arahat,” dengan berpikir demikian, Beliau meninggalkan ruangan yang wangi (gandhakuṭi), memanggil Ānanda [376] dan memintanya untuk mengumpulkan bhikkhu-bhikkhu yang tinggal di dalam koṭisanthāra itu.
Kemudian Beliau menjumpai mereka yang sudah berkumpul semua dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan untuk-Nya.
Beliau berkata, “Para Bhikkhu, tidaklah benar hidup di bawah pengaruh pikiran yang penuh dengan noda batin. Noda batin, jika berkembang, akan menyebabkan kehancuran hebat, layaknya seorang musuh. Bahkan noda batin yang kecil pun harus dikendalikan oleh seorang bhikkhu: Orang bijak di masa lampau yang melihat bahkan sebuah penyebab kegagalan yang kecil, mengendalikan pikirannya yang muncul, yang penuh dengan noda batin, dan akhirnya mencapai tingkat kesucian sebagai seorang Pacceka Buddha,” dan demikian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga kundi, di daerah pinggiran Kota Benares.
Ketika dewasa, ia menjadi kepala rumah tangga, mempunyai seorang putra dan putri, membiayai kehidupan keluarga dengan kerajinan tangannya membuat barang-barang dari tanah liat.
Kala itu, di Kerajaan Kaliṅga, di Kota Dantapura, rajanya yang bernama Karaṇḍu (Karandu), yang hendak pergi ke tamannya diikuti oleh rombongan besar, melihat sebuah pohon mangga yang berbuah lebat nan manis di gerbang taman. Ia menjulurkan tangannya ke depan dari tempat duduknya di atas gajah dan mengambil sejumlah buah mangga.
Setelah masuk ke dalam taman, ia duduk di atas tempat duduk yang besar dan makan satu dari buah mangga itu, kemudian memberikan sebagian kepada mereka yang pantas mencicipinya.
Mulai dari saat itu, para menteri, brahmana, dan perumah tangga, yang berpikiran bahwa orang lain juga harus melakukan hal yang sama seperti raja, mengambil dan memakan buah mangga dari pohon itu. Mereka terus berdatangan, memanjati pohon itu dan menjatuhkan buah-buahnya dengan kayu serta mematahkan cabang-cabangnya, mereka memakan habis semua buahnya, tanpa menyisakan bahkan buah yang belum matang.
Suatu hari, raja bersenang-senang di dalam tamannya, dan pada sore harinya ketika hendak kembali, dengan duduk di atas punggung gajah ia melewati pohon mangga itu. Sewaktu melihatnya, ia langsung turun dari gajahnya dan berjalan ke bawah pohon itu, melihat ke atas dan berpikir, “Di pagi hari, pohon ini berdiri dengan indahnya dihiasi dengan buah-buahnya dan yang melihatnya tidak akan puas sebelum memetiknya. Sekarang pohon ini berdiri dengan tidak indah, buah-buahnya berjatuhan dan rusak.”
Kemudian di tempat yang lain, ia melihat pohon mangga lainnya yang tidak berbuah, dan berpikir kembali, “Pohon mangga itu berdiri dengan indahnya, dalam kepolosannya tanpa buah, seperti gunung permata yang polos tanpa apa-apa. Pohon mangga lain yang dikarenakan kesuburannya menumbuhkan banyak buah, [377] mendapatkan kehancuran itu; kehidupan umat awam sama seperti pohon yang berbuah (lebat), sedangkan kehidupan seorang petapa sama seperti pohon yang tidak berbuah; orang yang kaya memiliki rasa takut, sedangkan orang yang miskin tidak memiliki rasa takut. Saya juga akan menjadi seperti pohon yang tidak berbuah ini.”
Maka, dengan mengambil pohon berbuah sebagai subjeknya, berdiri di bawah pohon itu, merenungkan tiga corak kehidupan, dan mencapai pencerahan sempurna sebagai seorang Pacceka Buddha, dan dengan perenungan, “Diriku telah bebas dari rahim, kelahiran berulang di tiga alam kehidupan telah berakhir, kotoran duniawi telah dibersihkan, danau air mata telah menjadi kering, dinding tulang telah hancur, tidak akan ada kelahiran lagi bagi diriku,” ia berdiri seperti dihiasi dengan semua hiasan.
Kemudian para menterinya berkata, “Anda telah berdiri terlalu lama, wahai Paduka.” “Saya bukan (lagi) seorang raja, saya adalah seorang Pacceka Buddha.” “Pacceka Buddha tidak seperti Anda, wahai Paduka.” “Kalau begitu, seperti apa mereka itu?” “Rambut dan janggut mereka dicukur rapi, mengenakan jubah kuning, tidak melekat kepada keluarga ataupun suku, mereka itu seperti awan yang ditiup oleh angin atau cakra bulan yang bebas dari Rāhu dan mereka berdiam di daerah pegunungan Himalaya, di Gua Nandamūla. Demikianlah, wahai Paduka, para Pacceka Buddha itu.”
Kemudian raja menaikkan tangannya dan memegang kepalanya, dan pada saat itu juga, semua tanda umat awam menghilang dari dirinya dan tanda seorang samaṇa (petapa) muncul di dirinya:—
Tiga jubah, patta, pisau cukur, jarum jahit, ikat pinggang, saringan air, seorang bhikkhu yang benar memiliki delapan benda itu, perlengkapan petapa, demikian benda-benda itu disebut, terlihat ada padanya.
Dengan berdiri melayang di udara, ia memaparkan Dhamma kepada orang banyak, dan setelahnya terbang ke angkasa menuju ke Gua Nandamūla, di bagian atas daerah pegunungan Himalaya.
Di Kerajaan Gandhāra di Kota Takkasila, raja yang bernama Naggaji, di teras, di tengah-tengah tempat duduk yang megah, melihat seorang wanita yang memakai gelang permata di kedua tangannya menggiling wewangian, dan ia berpikir, “Gelang permata ini tidak berdenting atau bergemerincing sewaktu keduanya terpisah,” dan duduk demikian terus memperhatikannya.
Kemudian wanita itu memindahkan gelang yang ada di tangan kanannya [378] ke tangan kirinya dan mengumpulkan wewangian itu dengan tangan kanannya, serta mulai menggilingnya kembali. Gelang-gelang di tangan kirinya itu bertemu satu dengan yang lain dan menimbulkan suara dentingan.
Raja yang melihat bahwa kedua gelang itu berdenting mengeluarkan suara ketika saling bertemu, berpikir, “Gelang itu, ketika terpisah, tidak menyentuh apa pun, sekarang gelang itu saling bertemu dan menimbulkan suara ribut; ketika mereka menjadi dua atau tiga, mereka saling bergesekan dan mengeluarkan bunyi. Sekarang ini saya memimpin penduduk di dua kerajaan, Kasmīra dan Gandhāra, dan saya juga seharusnya hidup seperti satu gelang itu, memimpin diri saya sendiri dan tidak memimpin yang lain secara bersamaan,” demikian dengan menjadikan gesekan gelang tersebut sebagai objeknya, dalam keadaan duduk, ia menyadari tiga corak kehidupan, mencapai pencerahan sempurna sebagai seorang Pacceka Buddha. Kejadian selanjutnya sama dengan cerita di atas sebelumnya.
Di Kerajaan Videha, di Kota Mithila, rajanya yang bernama Nimi, sehabis menyantap sarapan pagi, dengan dikelilingi oleh para menterinya, berdiri melihat ke bawah, ke arah jalan dari sebuah jendela yang terbuka. Seekor elang terbang tinggi di angkasa setelah mengambil daging dari pasar daging. Beberapa burung hering atau burung pemangsa lainnya, mengepung elang itu dari semua sisi, mematuknya dengan paruh mereka dan menyerangnya dengan sayap mereka serta memukulnya dengan cakar mereka untuk mendapatkan daging tersebut. Tidak ingin dirinya terbunuh, sang elang melepaskan daging itu dan burung yang lain mengambilnya. Burung-burung lainnya meninggalkan elang itu dan mulai menyerang burung yang mengambil daging itu, ketika burung itu juga melepaskan daging tersebut, burung yang lain lagi mengambilnya dan demikian halnya terus burung yang lain menyerangnya kembali.
Raja yang melihat kejadian dengan burung-burung itu berpikir, “Siapa yang mengambil daging tersebut akan mendapatkan penderitaan dan siapa yang melepaskannya akan mendapatkan kebahagiaan; sama seperti orang yang mengambil kesenangan indriawi akan mendapatkan penderitaan, dan kebahagiaan akan didapatkan oleh orang yang melepaskannya. Ini adalah hal-hal yang umum bagi kebanyakan orang; saat ini saya memiliki enam belas ribu selir, saya harus hidup dalam kebahagiaan dengan meninggalkan kesenangan indriawi, seperti burung elang yang melepaskan potongan daging tersebut.” Merenungkan hal ini dengan bijaksana, [379] dalam keadaan berdiri, ia menyadari tiga corak kehidupan, mencapai pencerahan sempurna sebagai seorang Pacceka Buddha. Kejadian selanjutnya sama dengan cerita di atas sebelumnya.
Di Kerajaan Uttarapañcāla, di Kota Kampila, seorang raja yang bernama Dummukha, sehabis menyantap sarapan pagi, dengan segala kebesarannya dan dikelilingi oleh para menterinya, ia berdiri melihat ke bawah ke arah halaman istana dari sebuah jendela yang terbuka. Pada waktu itu, mereka membuka pintu kandang sapi: sapi-sapi jantan yang keluar dari kandang itu ingin mengawini seekor sapi betina, dan seekor sapi jantan besar dengan tanduk yang tajam melihatnya, dirundung dengan kecemburuan, menyerang sapi jantan itu di bagian pahanya dengan tanduk besarnya. Disebabkan oleh kuatnya tusukan tersebut, isi perut sapi jantan itu keluar dan ia pun mati seketika.
Raja yang melihat hal ini berpikir, “Makhluk hidup, seperti hewan-hewan ini, mendapatkan penderitaan dikarenakan kekuatan nafsu. Sapi jantan ini mati disebabkan oleh nafsunya; makhluk-makhluk hidup yang lainnya juga terganggu oleh kekuatan nafsu. Saya harus meninggalkan nafsu, yang mengganggu makhluk-makhluk hidup itu,” dan dalam keadaan berdiri seperti demikian, ia menyadari tiga corak kehidupan dan dan mencapai pencerahan sempurna sebagai seorang Pacceka Buddha. Kejadian selanjutnya sama dengan cerita di atas sebelumnya.
Kemudian pada suatu hari, keempat Pacceka Buddha tersebut, mempertimbangkan bahwa itu adalah waktunya bagi mereka untuk berkeliling, meninggalkan Gua Nandamūla.
Setelah membersihkan gigi dengan menguyah sirih di Danau Anotatta dan memenuhi kebutuhan mereka di Manosilā, mereka mengambil patta dan jubah, dan dengan kekuatan gaib, mereka terbang ke angkasa dan berjalan di atas awan lima warna, mereka berhenti di tempat yang tidak jauh dari daerah pinggiran Kota Benares.
Di suatu tempat yang menyenangkan, mereka mengenakan jubah, membawa patta dan masuk ke daerah pinggiran tersebut untuk berpindapata, sampai akhirnya mereka tiba di depan pintu rumah Bodhisatta.
Bodhisatta merasa senang melihat kedatangan mereka, mempersilakan mereka masuk dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan, memberikan mereka air minum dan menyajikan makanan yang enak, baik makanan utama maupun makanan pendamping.
Setelah duduk di satu sisi, ia memberi penghormatan kepada yang tertua di antara mereka dan berkata, “Bhante, kehidupan sucimu kelihatannya sangat indah: indra-indramu sangat tenang, raut wajahmu sangat cerah. Objek pemikiran apakah [380] yang membuat Anda menjalankan kehidupan suci dan menjalankan praktik berkeliling untuk mendapatkan derma makanan?” dan setelah ia bertanya demikian kepada yang tertua dari mereka, ia juga menanyakan pertanyaan yang sama kepada yang lainnya.
Kemudian mereka berempat berkata, “Nama saya adalah anu, raja dari kota dan kerajaan anu,” dan seterusnya, dengan cara demikian masing-masing dari mereka memberitahukan penyebab mereka meninggalkan kehidupan duniawi dan mengucapkan satu bait kalimat berikut secara bergantian:—
Kulihat satu pohon mangga di dalam hutan,
tumbuh dengan sempurna, berwarna gelap,
berbuah lebat:
Dan dikarenakan buah-buah itu,
orang-orang merusak pohonnya,
Inilah yang menyebabkan hatiku tergerak
untuk menjalankan kehidupan berkeliling
untuk mendapatkan derma makanan.
Sebuah gelang, berhiaskan permata
di tangan yang indah,
seorang wanita memakainya di kedua tangannya
tanpa mengeluarkan suara:
(ketika digabungkan) Gelang yang satu bergesekan dengan yang lain
dan menimbulkan suara ribut:
Inilah yang menyebabkan hatiku tergerak
untuk menjalankan kehidupan berkeliling
untuk mendapatkan derma makanan.
Sekelompok burung menyerang seekor burung,
yang membawa sepotong daging bangkai:
Dikarenakan daging yang dibawanya, burung itu diserang:
Inilah yang menyebabkan hatiku tergerak
untuk menjalankan kehidupan berkeliling
untuk mendapatkan derma makanan.
Seekor sapi jantan dalam kesombongannya
di antara kelompoknya,
menaikkan tinggi punggungnya,
dengan kekuatan dan kecantikan yang diagungkan:
Dikarenakan nafsu, ia mati,
tanduk dari sapi jantan yang lain melukai dirinya:
Inilah yang menyebabkan hatiku tergerak
untuk menjalankan kehidupan berkeliling
untuk mendapatkan derma makanan.
Bodhisatta yang mendengar bait-bait kalimat di atas satu per satu, berkata, “Bagus sekali, Bhante, objek Anda itu cocok,” demikianlah ia memuji masing-masing Pacceka Buddha tersebut.
Setelah mendengar khotbah yang disampaikan oleh keempat Pacceka Buddha, ia pun menjadi enggan menjalani kehidupan umat awam.
Ketika para Pacceka Buddha itu telah pergi, sehabis menyantap sarapan pagi dan, duduk dengan tenang, ia memanggil istrinya dan berkata, “Istriku, keempat Pacceka Buddha itu meninggalkan kerajaan mereka untuk menjadi orang suci, dan sekarang hidup dengan terbebas dari kotoran batin, rintangan, hidup dalam kebahagiaan seorang petapa. Sedangkan saya menyokong kehidupan dengan hasil pendapatan, apalah gunanya bagiku menjalankan kehidupan umat awam? Jagalah anak-anak dan tetap di rumah,” dan ia mengucapkan dua bait berikut:—
Raja Karaṇḍu dari Kaliṅga, Raja Naggaji dari Gandhāra,
Raja Dummukha dari Pañcāla, Raja Nimi dari Videha,
telah melepaskan takhta kerajaan mereka
dan menjalankan kehidupan orang suci, tanpa kotoran batin.
Di sini, penampilan surgawi mereka tunjukkan,
masing-masing seperti api yang berkobar:
Bhaggavi, saya juga akan pergi,
meninggalkan semua yang disenangi manusia awam.
[382] Mendengar perkataannya tersebut, sang istri berkata, “Suamiku, sejak saya mendengar khotbah dari para Pacceka Buddha, saya juga tidak memiliki keinginan untuk tinggal di rumah,” dan ia mengucapkan satu bait kalimat berikut:—
Saya tahu, inilah saat yang dijanjikan:
Tidak ada guru lain yang lebih baik:
Bhaggava, saya juga akan pergi,
seperti seekor burung yang dilepaskan dari tangan.
Bodhisatta menjadi diam mendengar kata-kata istrinya.
Ia memperdaya Bodhisatta dan ingin terlebih dahulu menjalankan kehidupan suci sebelum dirinya, maka ia berkata, “Suamiku, saya akan pergi mengambil air, tolong jaga anak-anak,” dan kemudian dengan membawa sebuah kendi (untuk menunjukkan) seolah-olah ia benar akan mengambil air, ia pergi dan mendatangi para petapa di luar kota dan ditahbiskan oleh mereka.
Bodhisatta yang menyadari istrinya tidak akan kembali lagi, merawat anak-anaknya sendirian.
Setelah beberapa lama, mereka menjadi tumbuh lebih dewasa dan dapat mengerti keadaan diri mereka sendiri. Dengan tujuan untuk mengajar mereka [383], ketika memasak nasi, di satu hari ia memasaknya dengan agak keras dan tidak matang, di hari berikutnya ia memasaknya dengan kurang matang, hari berikutnya lagi ia memasaknya benar-benar matang, satu hari dengan banyak air, satu hari tanpa garam, satu hari dengan garam yang terlalu banyak.
Anak-anaknya berkata, “Ayah, hari ini nasinya tidak matang, hari ini nasinya kurang matang, hari ini nasinya benar-benar matang: hari ini nasinya terlalu banyak air, hari ini nasinya tidak ada garam, hari ini nasinya terlalu banyak garam.”
Bodhisatta kemudian berkata, “Ya, Anak-anakku,” dan berpikir, “Anak-anak ini sekarang dapat mengetahui apa yang tidak matang dan apa yang matang, apa yang ada garamnya dan apa yang tidak ada; mereka pasti dapat hidup dengan jalan mereka sendiri: Saya harus menjadi seorang petapa sekarang.” Kemudian ia memberikan anak-anaknya kepada sanak keluarganya dan dirinya sendiri ditahbiskan menjalankan kehidupan suci dan tinggal di luar kota.
Kemudian pada suatu hari, petapa wanita itu yang sedang berkeliling di Benares melihatnya dan memberi hormat kepadanya, kemudian berkata, “Ayya203, saya yakin Anda telah membunuh anak-anakmu.” Bodhisatta berkata, “Saya tidak membunuh anak-anakku; ketika mereka telah dapat mengerti akan diri mereka sendiri, barulah saya bertahbis. Anda sendiri yang tidak mempedulikan mereka dan membuat dirimu bahagia dengan bertahbis,” dan kemudian ia mengucapkan bait terakhir berikut:—
Setelah melihat mereka dapat membedakan
rasa asin dan tidak asin, matang dan tidak matang,
baru saya bertahbis menjadi seorang petapa:
tinggalkanlah saya, kita masing-masing harus mengikuti aturannya.
Demikian ia memberikan nasihat kepada petapa wanita itu dan pergi meninggalkannya.
Petapa wanita itu menerima nasihat dari Bodhisatta dan memberinya penghormatan, kemudian pergi ke suatu tempat yang ia senangi. Sejak hari itu, mereka tidak pernah bertemu kembali. Bodhisatta memperoleh kesaktian melalui meditasi jhana, dan terlahir di alam brahma.
____________________
Setelah uraian-Nya selesai, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:— Setelah kebenarannya berakhir, lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian Arahat:—“Pada masa itu, putrinya adalah Uppalavaṇṇā, putranya adalah Rāhula, petapa wanita adalah ibunya Rāhula, dan petapa itu adalah saya sendiri.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com