SOMADATTA-JĀTAKA
Somadattajātaka (Ja 410)
“Jauh di dalam hutan,” dan seterusnya. Sang Guru menceritakan kisah ini ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang bhikkhu tua.
Cerita ini memberitahukan bahwa bhikkhu tersebut menahbiskan seorang siswa baru untuk melayaninya, tetapi kemudian ia meninggal disebabkan oleh penyakit yang parah.
Bhikkhu tua itu pergi ke sana dan ke sini sambil menangis dan meratap sedih.
Setelah melihat keadaan dirinya, para bhikkhu yang lain mulai membicarakannya di dalam balai kebenaran, “Āvuso, bhikkhu tua anu pergi ke sana dan ke sini dengan menangis dan meratap sedih atas kematian siswa barunya. Ia pasti telah melupakan meditasi dengan objek kematian.”
Sang Guru datang dan, ketika mendengar pokok pembicaraan mereka, Beliau berkata, “Para Bhikkhu, ini bukan pertama kalinya orang ini meratapi kematian seseorang,” dan Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai Dewa Sakka.
Seorang brahmana kaya yang tinggal di Benares, meninggalkan kehidupan duniawi dengan menjadi seorang petapa di pegunungan Himalaya, [389] bertahan hidup dengan memakan akar-akar dan buah-buahan di dalam hutan.
Suatu hari, ketika sedang mencari buah-buahan, ia melihat seekor anak gajah dan membawanya pulang ke kediamannya. Ia memperlakukan anak gajah itu layaknya anak kandungnya, memberinya nama Somadatta, dan memberinya makan dengan rerumputan dan dedaunan.
Gajah itu tumbuh dewasa menjadi gajah yang kuat, tetapi pada suatu hari ia makan terlalu banyak dan menjadi sakit karena kekenyangan.
Petapa itu membawanya masuk ke dalam kediamannya dan pergi untuk mencari buah-buahan, tetapi sebelum ia sempat kembali, gajah itu sudah mati.
Kembali dengan buah-buahan di tangannya, petapa itu berpikir, “Pada hari-hari biasa, anakku datang menyambut kepulanganku, tetapi hari ini tidak, apa yang terjadi dengan dirinya?” maka ia pun meratap dan mengucapkan bait pertama berikut:—
Jauh di dalam hutan,
ia selalu datang menyambutku,
tetapi hari ini saya tidak melihat ada gajah:
di manakah ia berada?
Sehabis meratap demikian, ia melihat gajah itu terbaring di ujung lantai, dan mengangkatnya naik dengan memegang bagian lehernya, ia mengucapkan bait kedua berikut dalam ratapan sedihnya:—
Ia yang terbaring di sana
roboh layaknya tunas pohon yang ditebang;
Di tanah ia terbaring;
gajahku telah mati.
Pada saat itu juga, dewa Sakka yang sedang meninjau keadaan dunia, berpikir, “Petapa ini rela meninggalkan istri dan anaknya demi keyakinannya, tetapi sekarang ia meratap sedih atas kematian seekor anak gajah yang dianggapnya sebagai anak kandungnya. Saya akan menyadarkan dirinya dan membuatnya berpikir,” kemudian datang ke kediamannya, berdiri melayang di udara, dan mengucapkan bait ketiga berikut:—
[390] Bersedih atas yang telah mati
membuatmu menjadi sakit,
petapa yang menyendiri,
yang terbebas dari belenggu rumah tangga.
Mendengar perkataannya, petapa itu mengucapkan bait keempat berikut:—
Wahai Sakka,
orang yang bersahabat dengan hewan,
mendapatkan rasa lega
dengan meratapi seorang teman main yang telah pergi.
Sakka mengucapkan dua bait berikut untuk menasihatinya:—
Seolah-olah dengan menangis dan meratap
atas yang mati dapat membuatnya menjadi tenang;
Janganlah menangis lagi, wahai petapa,
ini adalah hal yang sia-sia,
orang bijak telah mengatakannya.
Jika dengan air mata kita dapat mengatasi kematian,
maka dengan cara demikian pula
kita dapat menyelamatkan
dan kembali menyatukan orang-orang yang kita cintai.
Mendengar perkataan Sakka, petapa itu menjadi berpikir kembali dan menjadi terhibur, mengusap air matanya, dan mengucapkan sisa bait kalimat berikut:—
Seperti api yang berkobar-kobar
dipadamkan dengan air,
demikianlah ia menghilangkan kesedihanku.
Hatiku terluka parah
karena tusukan panah penderitaan,
ia juga yang menyembuhkan lukaku
dan mengembalikan kehidupanku seperti sediakala.
[391] Panah telah dikeluarkan,
kini hati penuh dengan kedamaian dan kebahagiaan,
dikarenakan ucapan dari Sakka, saya berhenti bersedih.
Bait-bait ini sudah pernah muncul sebelumnya di atas (No. 352) .
Setelah demikian menasihati petapa itu, Dewa Sakka kembali ke kediamannya.
____________________
Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka setelah uraian-Nya selesai: “Pada masa itu, anak gajah adalah siswa baru, petapa adalah bhikkhu tua, dan Dewa Sakka adalah saya sendiri.”
Cerita ini memberitahukan bahwa bhikkhu tersebut menahbiskan seorang siswa baru untuk melayaninya, tetapi kemudian ia meninggal disebabkan oleh penyakit yang parah.
Bhikkhu tua itu pergi ke sana dan ke sini sambil menangis dan meratap sedih.
Setelah melihat keadaan dirinya, para bhikkhu yang lain mulai membicarakannya di dalam balai kebenaran, “Āvuso, bhikkhu tua anu pergi ke sana dan ke sini dengan menangis dan meratap sedih atas kematian siswa barunya. Ia pasti telah melupakan meditasi dengan objek kematian.”
Sang Guru datang dan, ketika mendengar pokok pembicaraan mereka, Beliau berkata, “Para Bhikkhu, ini bukan pertama kalinya orang ini meratapi kematian seseorang,” dan Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai Dewa Sakka.
Seorang brahmana kaya yang tinggal di Benares, meninggalkan kehidupan duniawi dengan menjadi seorang petapa di pegunungan Himalaya, [389] bertahan hidup dengan memakan akar-akar dan buah-buahan di dalam hutan.
Suatu hari, ketika sedang mencari buah-buahan, ia melihat seekor anak gajah dan membawanya pulang ke kediamannya. Ia memperlakukan anak gajah itu layaknya anak kandungnya, memberinya nama Somadatta, dan memberinya makan dengan rerumputan dan dedaunan.
Gajah itu tumbuh dewasa menjadi gajah yang kuat, tetapi pada suatu hari ia makan terlalu banyak dan menjadi sakit karena kekenyangan.
Petapa itu membawanya masuk ke dalam kediamannya dan pergi untuk mencari buah-buahan, tetapi sebelum ia sempat kembali, gajah itu sudah mati.
Kembali dengan buah-buahan di tangannya, petapa itu berpikir, “Pada hari-hari biasa, anakku datang menyambut kepulanganku, tetapi hari ini tidak, apa yang terjadi dengan dirinya?” maka ia pun meratap dan mengucapkan bait pertama berikut:—
Jauh di dalam hutan,
ia selalu datang menyambutku,
tetapi hari ini saya tidak melihat ada gajah:
di manakah ia berada?
Sehabis meratap demikian, ia melihat gajah itu terbaring di ujung lantai, dan mengangkatnya naik dengan memegang bagian lehernya, ia mengucapkan bait kedua berikut dalam ratapan sedihnya:—
Ia yang terbaring di sana
roboh layaknya tunas pohon yang ditebang;
Di tanah ia terbaring;
gajahku telah mati.
Pada saat itu juga, dewa Sakka yang sedang meninjau keadaan dunia, berpikir, “Petapa ini rela meninggalkan istri dan anaknya demi keyakinannya, tetapi sekarang ia meratap sedih atas kematian seekor anak gajah yang dianggapnya sebagai anak kandungnya. Saya akan menyadarkan dirinya dan membuatnya berpikir,” kemudian datang ke kediamannya, berdiri melayang di udara, dan mengucapkan bait ketiga berikut:—
[390] Bersedih atas yang telah mati
membuatmu menjadi sakit,
petapa yang menyendiri,
yang terbebas dari belenggu rumah tangga.
Mendengar perkataannya, petapa itu mengucapkan bait keempat berikut:—
Wahai Sakka,
orang yang bersahabat dengan hewan,
mendapatkan rasa lega
dengan meratapi seorang teman main yang telah pergi.
Sakka mengucapkan dua bait berikut untuk menasihatinya:—
Seolah-olah dengan menangis dan meratap
atas yang mati dapat membuatnya menjadi tenang;
Janganlah menangis lagi, wahai petapa,
ini adalah hal yang sia-sia,
orang bijak telah mengatakannya.
Jika dengan air mata kita dapat mengatasi kematian,
maka dengan cara demikian pula
kita dapat menyelamatkan
dan kembali menyatukan orang-orang yang kita cintai.
Mendengar perkataan Sakka, petapa itu menjadi berpikir kembali dan menjadi terhibur, mengusap air matanya, dan mengucapkan sisa bait kalimat berikut:—
Seperti api yang berkobar-kobar
dipadamkan dengan air,
demikianlah ia menghilangkan kesedihanku.
Hatiku terluka parah
karena tusukan panah penderitaan,
ia juga yang menyembuhkan lukaku
dan mengembalikan kehidupanku seperti sediakala.
[391] Panah telah dikeluarkan,
kini hati penuh dengan kedamaian dan kebahagiaan,
dikarenakan ucapan dari Sakka, saya berhenti bersedih.
Bait-bait ini sudah pernah muncul sebelumnya di atas (No. 352) .
Setelah demikian menasihati petapa itu, Dewa Sakka kembali ke kediamannya.
____________________
Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka setelah uraian-Nya selesai: “Pada masa itu, anak gajah adalah siswa baru, petapa adalah bhikkhu tua, dan Dewa Sakka adalah saya sendiri.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com