SULASĀ-JĀTAKA
Sulasājātaka (Ja 419)
[435] “Ini adalah kalung emas,” dan seterusnya. Sang Guru menceritakan kisah ini ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang pelayan wanita dari Anāthapiṇḍika.
Ceritanya adalah pada saat hari perayaan, ketika hendak pergi dengan sejumlah pelayan lainnya ke taman yang menyenangkan, pelayan wanita itu meminta sebuah perhiasan untuk dipakainya dari majikannya, Paṇṇalakkhaṇadevī. Nyonya itu memberikan perhiasannya sendiri yang bernilai uang seribu keping.
Pelayan itu memakainya dan kemudian pergi bersama dengan para pelayan lainnya ke taman.
Seorang pencuri menginginkan perhiasan itu dan berencana untuk membunuh pelayan wanita tersebut dan kemudian mengambilnya.
Di dalam taman, ia pun mulai berbincang dengan pelayan itu dan memberinya makan ikan, daging dan minum minuman keras. “Menurutku, laki-laki ini melakukan semua ini karena ia menginginkan diriku,” pelayan itu berpikir demikian.
Di sore harinya ketika yang lainnya sudah istirahat dengan berbaring setelah kegiatan mereka, pelayan wanita itu bangkit dan pergi menjumpainya. Ia berkata, “Nona, ini adalah tempat umum, mari kita pergi agak jauh ke sana.”
Pelayan itu berpikir, “Semua hal yang bersifat pribadi dapat dilakukan di tempat ini. Tidak diragukan lagi ia pasti berniat untuk membunuhku dan merampas perhiasan yang sedang kupakai. Saya akan memberinya pelajaran,” maka ia berkata, “Tuan, saya merasa haus karena minuman keras tersebut. Tolong ambilkan air untukku,” dan dengan membawanya ke sumur, pelayan itu memintanya untuk menimba air, sembari menunjukkan tali dan embernya.
Pencuri itu menurunkan embernya, kemudian ketika ia membungkukkan badannya untuk menarik ember itu, pelayan wanita itu, yang sangat kuat, mendorongnya kuat dengan kedua tangannya dan melemparnya masuk ke dalam sumur tersebut. “Anda tidak akan mati dengan cara itu,” kata pelayan itu, dan ia melemparkan sebuah batu bata ke kepalanya, dan pencuri itu mati di tempat.
Ketika pelayan itu kembali ke kota dan mengembalikan perhiasan kepada majikannya, kemudian berkata, “Saya hampir terbunuh hari ini disebabkan oleh perhiasan ini,” dan menceritakan semuanya. Nyonya majikannya memberi tahu Anāthapiṇḍika, dan Anāthapiṇḍika memberi tahu Sang Tathāgata.
Sang Guru berkata, “Perumah tangga, ini bukan kali pertamanya pelayan wanita itu dilimpahi bakat pikiran untuk mengetahui hal itu, di kehidupan sebelumnya ia juga demikian. Ini bukan kali pertamanya ia membunuh laki-laki itu, sebelumnya juga ia telah melakukannya,” dan atas permintaan Anāthapiṇḍika, Beliau menceritakan kisah masa lampau tersebut.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, ada seorang wanita yang cantik di kota bernama Sulasā (Sulasa) yang memiliki lima ratus wanita pelacur, dan dirinya sendiri berharga senilai seribu keping uang untuk satu malam.
Kemudian di kota yang sama, ada seorang perampok yang bernama Sattuka, [436] yang sekuat gajah, yang biasa memasuki rumah orang-orang kaya dan merampas barang-barang mereka sesuka hati.
Para penduduk kota berkumpul dan menyampaikan keluhan mereka kepada raja. Raja memerintahkan penjaga kota untuk menempelkan pengumuman di mana-mana, kemudian menyuruh mereka untuk menangkap perampok itu dan memenggal kepalanya. Mereka mengikat kedua tangan perampok itu dibelakang punggungnya dan menuntunnya ke tempat eksekusi, dengan mencambuknya di semua sisi tubuhnya.
Berita bahwa perampok itu ditangkap membuat seisi kota senang. Sulasa sedang berdiri di dekat jendela dan melihat ke bawah, ke arah jalanan ketika ia melihat perampok itu, dan jatuh cinta kepadanya pada pandangan pertama dan berpikir, “Jika saya dapat membebaskan laki-laki gagah perkasa itu, saya akan meninggalkan kehidupanku yang buruk ini dan hidup secara terhormat bersamanya.” Dengan cara yang sama yang dijelaskan di dalam Kaṇavera-Jātaka220, ia membebaskan perampok itu dengan memberikan uang seribu keping kepada panglima itu dan kemudian tinggal bersamanya dalam kebahagiaan dan keharmonisan.
Setelah tiga atau empat bulan berlalu, perampok itu berpikir, “Saya tidak akan pernah bisa tinggal menetap di satu tempat, tetapi saya juga tidak mau pergi dengan tangan kosong. Perhiasan Sulasa bernilai seribu keping uang. Saya akan membunuhnya dan mengambil hartanya.”
Maka ia berkata kepadanya suatu hari, “Sayang, ketika saya diarak oleh anak buah raja, saya berjanji memberikan persembahan kepada dewa pohon yang ada di puncak gunung, dan sekarang ia mengancam diriku karena saya belum menepatinya. Mari kita berikan persembahannya.” “Baiklah, Suamiku, siapkan dan kirimkanlah itu.” “Sayang, kita tidak boleh menyuruh orang lain membawakannya, harus kita berdua yang pergi dan memberikannya, dengan memakai semua perhiasan dan diikuti rombongan.” “Baiklah, Suamiku, kita akan melakukannya seperti itu.”
Perampok itu memintanya mempersiapkan sajian persembahan tersebut dan, ketika mereka sampai di kaki gunung, ia berkata, “Sayang, dewa pohon itu tidak akan menerima persembahan ini jika melihat orang yang demikian banyak. Biarlah kita berdua saja yang naik ke atas dan memberikannya.” Wanita itu pun menyetujuinya, dan perampok itu menyuruhnya membawa bejana. Ia sendiri sudah penuh dengan barang di tubuhnya, dan ketika mereka sampai di puncaknya, perampok itu yang menyusun persembahannya [437] di bawah pohon yang tumbuh di dekat tebing, yang tingginya seratus kali tinggi seorang laki-laki, dan berkata, “Sayang, sebenarnya saya datang ke sini bukan untuk memberikan persembahan ini, saya datang ke sini dengan niat untuk membunuhmu dan pergi melarikan diri dengan semua perhiasanmu. Tanggalkan semua perhiasanmu dan ikatlah mereka semua dengan pakaian luarmu.” “Suamiku, mengapa Anda ingin membunuhku?” “Karena uangmu.” “Suamiku, ingatlah akan hal baik yang telah lakukan terhadapmu; ketika Anda diarak dengan keadaan dirantai, saya menukar nyawamu dengan nyawa anak seorang yang kaya dan membayar sejumlah uang yang banyak dan menyelamatkan nyawamu. Meskipun saya bisa mendapatkan seribu keping uang dalam satu hari, tetapi saya tidak melakukannya lagi. Begitu bergunanya diriku untukmu, jangan bunuh saya, saya akan memberikanmu uang banyak dan menjadi pelayanmu.”
Dengan permohonan ini, ia mengucapkan bait pertama berikut:—
Ini adalah kalung emas,
dan permata dan mutiara,
ambil semuanya, dan
jadikan saya sebagai pelayanmu.
Setelah Sattuka telah mengucapkan bait kedua berikut dengan mengemukakan tujuannya,
Nona yang cantik, letakkanlah perhiasanmu di bawah
dan jangan menangis dengan begitu sedih.
Saya harus membunuhmu, jika tidak,
saya tidak bisa pastikan
kalau Anda akan memberikan
semua yang Anda simpan.
Pikiran Sulasa mulai berjalan, dengan berpikir, “Perampok ini tidak akan mengampuni nyawaku, tetapi saya akan membunuhnya terlebih dahulu dengan menjatuhkannya ke dalam jurang itu,” ia mengucapkan dua bait kalimat berikut:—
Dalam semua perasaanku selama bertahun-tahun,
dalam kenangan ingatanku,
tidak ada laki-laki di bumi ini
yang kucintai melebihi dirimu.
Ke tempatmu, untuk penghormatan terakhirku,
sebagai salam perpisahanku,
terimalah pelukan dariku:
Karena kita tidak akan berjumpa lagi di bumi ini.
Sattuka tidak mengetahui tujuannya, maka ia berkata, “Baiklah, Istriku. Datanglah ke sini dan peluklah diriku.” Sulasa berjalan mengelilinginya sebanyak tiga kali dengan penuh hormat, menciumnya sambil berkata, “Suamiku, sekarang saya akan [438] memberikan hormat kepadamu dari empat sisi,” ia bersujud di kakinya, memberi hormat dari kedua sisinya, dan berjalan ke belakangnya, seolah-olah seperti akan memberi hormat dari sana.
Kemudian dengan kekuatan seekor gajah, ia mengangkat perampok dari belakang dan membuangnya dengan posisi kepala di bawah ke tempat kehancuran, yang tingginya seratus kali tinggi seorang laki-laki. Perampok itu hancur berkeping-keping dan mati di tempat. Melihat perbuatan yang demikian, makhluk dewata yang tinggal di puncak gunung itu mengucapkan bait-bait kalimat berikut:—
Kadang-kadang kebijaksanaan
tidak ada dalam laki-laki:
Wanita cepat dalam berpikir.
Kadang-kadang kebijaksanaan
tidak ada dalam laki-laki:
Wanita cepat dalam memberikan nasihat.
Betapa cepat dan pintarnya
ia mengetahui segalanya,
ia membunuhnya seperti rusa
yang dipenuhi dengan anak panah.
Ia yang tidak bisa bangkit
dalam situasi yang besar, akan jatuh,
seperti perampok yang jatuh ke jurang itu.
Ia yang dapat melihat
sesuatu yang buruk dengan cepat,
akan selamat dari bahaya
yang mengancamnya, seperti wanita itu.
Demikianlah Sulasa membunuh perampok itu. Ketika ia turun dari gunung itu dan menghampiri rombongannya, mereka pun menayakan keberadaan suaminya. “Jangan tanya saya,” katanya, kemudian naik kereta kudanya dan kembali ke kota.
____________________
[439] Setelah uraian-Nya selesai, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, suami istri itu adalah laki-laki dan wanita yang sama di kehidupan ini, dan dewa itu adalah saya sendiri.
Ceritanya adalah pada saat hari perayaan, ketika hendak pergi dengan sejumlah pelayan lainnya ke taman yang menyenangkan, pelayan wanita itu meminta sebuah perhiasan untuk dipakainya dari majikannya, Paṇṇalakkhaṇadevī. Nyonya itu memberikan perhiasannya sendiri yang bernilai uang seribu keping.
Pelayan itu memakainya dan kemudian pergi bersama dengan para pelayan lainnya ke taman.
Seorang pencuri menginginkan perhiasan itu dan berencana untuk membunuh pelayan wanita tersebut dan kemudian mengambilnya.
Di dalam taman, ia pun mulai berbincang dengan pelayan itu dan memberinya makan ikan, daging dan minum minuman keras. “Menurutku, laki-laki ini melakukan semua ini karena ia menginginkan diriku,” pelayan itu berpikir demikian.
Di sore harinya ketika yang lainnya sudah istirahat dengan berbaring setelah kegiatan mereka, pelayan wanita itu bangkit dan pergi menjumpainya. Ia berkata, “Nona, ini adalah tempat umum, mari kita pergi agak jauh ke sana.”
Pelayan itu berpikir, “Semua hal yang bersifat pribadi dapat dilakukan di tempat ini. Tidak diragukan lagi ia pasti berniat untuk membunuhku dan merampas perhiasan yang sedang kupakai. Saya akan memberinya pelajaran,” maka ia berkata, “Tuan, saya merasa haus karena minuman keras tersebut. Tolong ambilkan air untukku,” dan dengan membawanya ke sumur, pelayan itu memintanya untuk menimba air, sembari menunjukkan tali dan embernya.
Pencuri itu menurunkan embernya, kemudian ketika ia membungkukkan badannya untuk menarik ember itu, pelayan wanita itu, yang sangat kuat, mendorongnya kuat dengan kedua tangannya dan melemparnya masuk ke dalam sumur tersebut. “Anda tidak akan mati dengan cara itu,” kata pelayan itu, dan ia melemparkan sebuah batu bata ke kepalanya, dan pencuri itu mati di tempat.
Ketika pelayan itu kembali ke kota dan mengembalikan perhiasan kepada majikannya, kemudian berkata, “Saya hampir terbunuh hari ini disebabkan oleh perhiasan ini,” dan menceritakan semuanya. Nyonya majikannya memberi tahu Anāthapiṇḍika, dan Anāthapiṇḍika memberi tahu Sang Tathāgata.
Sang Guru berkata, “Perumah tangga, ini bukan kali pertamanya pelayan wanita itu dilimpahi bakat pikiran untuk mengetahui hal itu, di kehidupan sebelumnya ia juga demikian. Ini bukan kali pertamanya ia membunuh laki-laki itu, sebelumnya juga ia telah melakukannya,” dan atas permintaan Anāthapiṇḍika, Beliau menceritakan kisah masa lampau tersebut.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, ada seorang wanita yang cantik di kota bernama Sulasā (Sulasa) yang memiliki lima ratus wanita pelacur, dan dirinya sendiri berharga senilai seribu keping uang untuk satu malam.
Kemudian di kota yang sama, ada seorang perampok yang bernama Sattuka, [436] yang sekuat gajah, yang biasa memasuki rumah orang-orang kaya dan merampas barang-barang mereka sesuka hati.
Para penduduk kota berkumpul dan menyampaikan keluhan mereka kepada raja. Raja memerintahkan penjaga kota untuk menempelkan pengumuman di mana-mana, kemudian menyuruh mereka untuk menangkap perampok itu dan memenggal kepalanya. Mereka mengikat kedua tangan perampok itu dibelakang punggungnya dan menuntunnya ke tempat eksekusi, dengan mencambuknya di semua sisi tubuhnya.
Berita bahwa perampok itu ditangkap membuat seisi kota senang. Sulasa sedang berdiri di dekat jendela dan melihat ke bawah, ke arah jalanan ketika ia melihat perampok itu, dan jatuh cinta kepadanya pada pandangan pertama dan berpikir, “Jika saya dapat membebaskan laki-laki gagah perkasa itu, saya akan meninggalkan kehidupanku yang buruk ini dan hidup secara terhormat bersamanya.” Dengan cara yang sama yang dijelaskan di dalam Kaṇavera-Jātaka220, ia membebaskan perampok itu dengan memberikan uang seribu keping kepada panglima itu dan kemudian tinggal bersamanya dalam kebahagiaan dan keharmonisan.
Setelah tiga atau empat bulan berlalu, perampok itu berpikir, “Saya tidak akan pernah bisa tinggal menetap di satu tempat, tetapi saya juga tidak mau pergi dengan tangan kosong. Perhiasan Sulasa bernilai seribu keping uang. Saya akan membunuhnya dan mengambil hartanya.”
Maka ia berkata kepadanya suatu hari, “Sayang, ketika saya diarak oleh anak buah raja, saya berjanji memberikan persembahan kepada dewa pohon yang ada di puncak gunung, dan sekarang ia mengancam diriku karena saya belum menepatinya. Mari kita berikan persembahannya.” “Baiklah, Suamiku, siapkan dan kirimkanlah itu.” “Sayang, kita tidak boleh menyuruh orang lain membawakannya, harus kita berdua yang pergi dan memberikannya, dengan memakai semua perhiasan dan diikuti rombongan.” “Baiklah, Suamiku, kita akan melakukannya seperti itu.”
Perampok itu memintanya mempersiapkan sajian persembahan tersebut dan, ketika mereka sampai di kaki gunung, ia berkata, “Sayang, dewa pohon itu tidak akan menerima persembahan ini jika melihat orang yang demikian banyak. Biarlah kita berdua saja yang naik ke atas dan memberikannya.” Wanita itu pun menyetujuinya, dan perampok itu menyuruhnya membawa bejana. Ia sendiri sudah penuh dengan barang di tubuhnya, dan ketika mereka sampai di puncaknya, perampok itu yang menyusun persembahannya [437] di bawah pohon yang tumbuh di dekat tebing, yang tingginya seratus kali tinggi seorang laki-laki, dan berkata, “Sayang, sebenarnya saya datang ke sini bukan untuk memberikan persembahan ini, saya datang ke sini dengan niat untuk membunuhmu dan pergi melarikan diri dengan semua perhiasanmu. Tanggalkan semua perhiasanmu dan ikatlah mereka semua dengan pakaian luarmu.” “Suamiku, mengapa Anda ingin membunuhku?” “Karena uangmu.” “Suamiku, ingatlah akan hal baik yang telah lakukan terhadapmu; ketika Anda diarak dengan keadaan dirantai, saya menukar nyawamu dengan nyawa anak seorang yang kaya dan membayar sejumlah uang yang banyak dan menyelamatkan nyawamu. Meskipun saya bisa mendapatkan seribu keping uang dalam satu hari, tetapi saya tidak melakukannya lagi. Begitu bergunanya diriku untukmu, jangan bunuh saya, saya akan memberikanmu uang banyak dan menjadi pelayanmu.”
Dengan permohonan ini, ia mengucapkan bait pertama berikut:—
Ini adalah kalung emas,
dan permata dan mutiara,
ambil semuanya, dan
jadikan saya sebagai pelayanmu.
Setelah Sattuka telah mengucapkan bait kedua berikut dengan mengemukakan tujuannya,
Nona yang cantik, letakkanlah perhiasanmu di bawah
dan jangan menangis dengan begitu sedih.
Saya harus membunuhmu, jika tidak,
saya tidak bisa pastikan
kalau Anda akan memberikan
semua yang Anda simpan.
Pikiran Sulasa mulai berjalan, dengan berpikir, “Perampok ini tidak akan mengampuni nyawaku, tetapi saya akan membunuhnya terlebih dahulu dengan menjatuhkannya ke dalam jurang itu,” ia mengucapkan dua bait kalimat berikut:—
Dalam semua perasaanku selama bertahun-tahun,
dalam kenangan ingatanku,
tidak ada laki-laki di bumi ini
yang kucintai melebihi dirimu.
Ke tempatmu, untuk penghormatan terakhirku,
sebagai salam perpisahanku,
terimalah pelukan dariku:
Karena kita tidak akan berjumpa lagi di bumi ini.
Sattuka tidak mengetahui tujuannya, maka ia berkata, “Baiklah, Istriku. Datanglah ke sini dan peluklah diriku.” Sulasa berjalan mengelilinginya sebanyak tiga kali dengan penuh hormat, menciumnya sambil berkata, “Suamiku, sekarang saya akan [438] memberikan hormat kepadamu dari empat sisi,” ia bersujud di kakinya, memberi hormat dari kedua sisinya, dan berjalan ke belakangnya, seolah-olah seperti akan memberi hormat dari sana.
Kemudian dengan kekuatan seekor gajah, ia mengangkat perampok dari belakang dan membuangnya dengan posisi kepala di bawah ke tempat kehancuran, yang tingginya seratus kali tinggi seorang laki-laki. Perampok itu hancur berkeping-keping dan mati di tempat. Melihat perbuatan yang demikian, makhluk dewata yang tinggal di puncak gunung itu mengucapkan bait-bait kalimat berikut:—
Kadang-kadang kebijaksanaan
tidak ada dalam laki-laki:
Wanita cepat dalam berpikir.
Kadang-kadang kebijaksanaan
tidak ada dalam laki-laki:
Wanita cepat dalam memberikan nasihat.
Betapa cepat dan pintarnya
ia mengetahui segalanya,
ia membunuhnya seperti rusa
yang dipenuhi dengan anak panah.
Ia yang tidak bisa bangkit
dalam situasi yang besar, akan jatuh,
seperti perampok yang jatuh ke jurang itu.
Ia yang dapat melihat
sesuatu yang buruk dengan cepat,
akan selamat dari bahaya
yang mengancamnya, seperti wanita itu.
Demikianlah Sulasa membunuh perampok itu. Ketika ia turun dari gunung itu dan menghampiri rombongannya, mereka pun menayakan keberadaan suaminya. “Jangan tanya saya,” katanya, kemudian naik kereta kudanya dan kembali ke kota.
____________________
[439] Setelah uraian-Nya selesai, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, suami istri itu adalah laki-laki dan wanita yang sama di kehidupan ini, dan dewa itu adalah saya sendiri.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com