INDRIYA-JĀTAKA
Indriyajātaka (Ja 423)
“Ia yang dikarenakan oleh kesenangan indriawi” dan seterusnya. Sang Guru menceritakan kisah ini ketika berdiam di Jetavana, tentang godaan terhadap seorang bhikkhu oleh mantan istrinya.
Ceritanya adalah ada seorang pemuda dari keluarga yang terpandang di Kota Savatthi mendengar khotbah Dhamma dari Sang Guru. Dengan berpikir bahwa tidaklah mungkin menjalani kehidupan suci dengan benar-benar sempurna dan suci sebagai seorang perumah tangga, ia bertekad menjadi seorang petapa di bawah ajaran yang memberikan pembebasan dan untuk mengakhiri penderitaan. Maka ia meninggalkan rumah dan harta benda kepada istri dan anak-anaknya, dan memohon kepada Sang Guru untuk menahbiskannya.
Sang Guru menyetujui permohonannya. Karena ia masih junior, dalam perjalanan berpindapata dengan para guru dan pembimbingnya, dan karena rombongannya banyak, ia selalu tidak mendapatkan tempat duduk baik di rumah umat maupun di ruang makan wihara. Ia hanya mendapatkan sebuah tempat duduk kecil tanpa sadaran atau duduk di ujung bangku panjang. Makanan diberikan kepadanya dengan kasar dengan sendok sayur, ia mendapatkan bubur dan gumpalan nasi yang sudah rusak, makanan kering yang sudah tengik, atau sayur-sayuran yang kering dan gosong, dan semua ini tidak cukup membuatnya bertahan (hidup).
[462] Ia membawa apa yang didapatkannya kepada istri yang telah ditinggalkannya. Istrinya mengambil pattanya, mengosongkan isinya dan memberikannya bubur yang matang dan nasi dengan saus dan kuah (kari). Bhikkhu itu melekat dengan rasa yang demikian dan tidak dapat meninggalkan istrinya. Istrinya berpikir untuk menguji cinta mantan suaminya itu.
Suatu hari ia meminta seorang penduduk yang telah membersihkan diri untuk datang ke rumahnya bersama dengan beberapa temannya, dan ia memberikan mereka makanan dan minuman. Mereka duduk sambil makan dan menikmati jamuannya. Di depan pintu rumah terdapat beberapa sapi yang terikat pada sebuah kereta. Ia sendiri duduk di ruang belakang (dapur) untuk memasak kue.
Suaminya datang dan berdiri di depan pintu. Sewaktu melihat bhikkhu ini, seorang pelayan tua memberi tahu majikannya bahwa ada seorang bhikkhu berdiri di pintu. “Beri penghormatan kepadanya dan minta ia melanjutkan perjalanannya.” Walaupun telah melakukan perintahnya berulang-ulang kali, ia melihat bhikkhu itu tetap berdiri di sana dan memberitahukan majikannya.
Ia kemudian datang dan menarik tirainya untuk melihat, ia berteriak, “Ia adalah ayah dari anak-anakku.” Ia keluar dan memberinya penghormatan, membawakan pattanya, mempersilakannya masuk, dan memberinya makanan. Ketika ia telah selesai bersantap, istrinya memberi penghormatan kembali dan berkata, “Bhante, sekarang Anda telah menjadi seorang petapa. Selama ini kami tinggal di sini, tetapi tidak akan ada kehidupan rumah tangga yang tepat tanpa seorang kepala keluarga, jadi kami akan pindah ke rumah yang lain dan pergi jauh ke desa. Tekunlah selalu dalam berbuat kebajikan dan maafkanlah saya jika saya berbuat salah.”
Untuk beberapa waktu, suaminya merasa seakan-akan hatinya akan hancur. Kemudian ia berkata, “Saya tidak bisa meninggalkanmu, jangan pergi. Saya akan kembali menjalani kehidupan duniawi; kirimkanlah pakaian umat awam ke tempat anu, saya akan mengembalikan jubah dan patta, dan kembali kepada dirimu.” Istrinya menyetujuinya.
Bhikkhu itu kembali ke wihara, mengembalikan jubah dan patta kepada para guru dan pembimbingnya, menjelaskan bahwa ia tidak dapat meninggalkan istrinya dan akan kembali menjalani kehidupan duniawi. Di luar kemauannya sendiri, mereka membawanya menemui Sang Guru dan memberi tahu Beliau bahwa ia menyesal dan akan kembali ke kehidupan duniawi.
Sang Guru bertanya, “Apakah cerita ini benar?” “Ya, Bhante.” “Siapa yang menyebabkan Anda menjadi menyesal?” “Istriku.” “Bhikkhu, wanita itu adalah penyebab keburukan bagi dirimu; di kehidupan sebelumnya juga dikarenakan dirinya, Anda keluar dari empat tahap meditasi jhana dan mengalami penderitaan yang besar, kemudian karena diriku, Anda terbebas dari penderitaan itu dan mendapatkan kembali kekuatan meditasi yang telah hilang itu,” dan Beliau menceritakan kisah masa lampau tersebut.
____________________
[463] Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai putra dari pendeta kerajaan.
Di hari kelahirannya, terdengar letupan beragam jenis senjata di seluruh kota, dan oleh karenanya mereka memberinya nama Jotipāla (Jotipala).
Ketika dewasa, ia mempelajari semua ilmu pengetahuan di Takkasila dan pulang kembali, menunjukkan keahliannya kepada raja. Tetapi ia tidak mau menerima jabatannya, dan tanpa memberi tahu siapa pun, ia keluar dari pintu belakang menuju ke hutan menjadi seorang petapa di pertapaan Kaviṭṭhaka, bernama Sakkadattiya. Ia memperoleh kesempurnaan dalam meditasi (jhana).
Sewaktu ia tinggal di sana, banyak petapa suci yang melayaninya. Ia memiliki banyak pengikut dan memiliki tujuh siswa utama. Dari ketujuhnya, Petapa Sālissara meninggalkan pertapaan Kaviṭṭhaka menuju ke Suraṭṭha, dan tinggal di tepi Sungai Sātodikā dengan ribuan petapa suci yang mengikutinya: Meṇḍissara dengan ribuan petapa suci lainnya tinggal di dekat Kota Lambacūḷaka di kerajaan Raja Pajaka: Pabbata dengan ribuan petapa suci tinggal di Aṭavi: Kāḷadevala dengan ribuan petapa suci tinggal di gunung berhutan di Avantī dan Deccan: Kisavaccha tinggal sendirian di dekat Kota Kumbhavatī di taman milik Raja Daṇḍaki: Petapa Anusissa melayani Bodhisatta dan tinggal bersama dengannya: Nārada, adik dari Kāḷadevala, tinggal sendirian di sebuah gua di Arañjara, di daerah pusat.
Kala itu, tidak jauh dari Arañjara, terdapat sebuah kota yang sangat banyak penduduknya. Di kota itu terdapat sebuah sungai, di dalamnya banyak pemuda yang mandi; dan di sepanjang tepi sungai banyak pelacur yang duduk sambil menggoda para pemuda itu.
Petapa Nārada melihat salah satu dari mereka dan karena jatuh cinta dengannya, ia meninggalkan meditasinya dan [464] menjadi lemah tanpa makanan, berada di dalam belenggu nafsu selama tujuh hari. Abangnya, Kāḷadevala, yang memindai dengan kekuatannya, mengetahui penyebab hal ini dan datang ke gua itu dengan terbang di angkasa. Nārada (Narada) melihatnya dan menanyakan alasan kedatangannya. “Saya mengetahui Anda sakit dan datang untuk merawatmu.” Narada mencoba untuk menyuruhnya pergi dengan berbohong, “Anda sedang mengatakan hal yang tidak masuk akal, tidak benar, dan tidak ada gunanya.” Abangnya menolak untuk meninggalkannya, dan membawa Sālissara, Meṇḍissara, dan Pabbata datang. Ia mencoba untuk menyuruh mereka pergi dengan cara yang sama.
Kāḷadevala (Kaladevala) terbang untuk menjemput guru mereka, Sarabhaṅga (Sarabhanga) dan membawanya datang. Ketika sang guru tiba, ia melihat bahwa Narada telah masuk jatuh ke dalam kekuasaan (panca) indra dan menanyakan apakah hal itu benar. Narada bangkit dan memberi penghormatan, kemudian mengakuinya. Sang Guru berkata, “Narada, ia yang dikuasai oleh indra mereka, akan menghabiskan waktunya dalam penderitaan di kehidupan ini, dan di kehidupan berikutnya ia akan terlahir di alam neraka,” dan demikian ia mengucapkan bait pertama berikut:—
Ia yang dikarenakan kesenangan indriawi
jatuh ke dalam kekuasaan indranya,
akan kehilangan kedua kehidupan
dan menderita kehidupannya.
Mendengarnya berkata demikian, Narada menjawab, “Guru, hidup dengan kesenangan indriawi adalah kebahagiaan. Mengapa Anda mengatakan kebahagiaan yang demikian sebagai penderitaan?” Sarabhanga berkata, “Kalau begitu, dengarlah,” dan mengucapkan bait kedua berikut:—
Kebahagiaan dan penderitaan
ada di setiap langkah kaki manusia:
Anda telah melihat perubahan dari keduanya:
carilah kebahagiaan yang sejati.
[465] Narada berkata, “Guru, penderitaan yang demikian sulit untuk dihadapi, saya tidak bisa menghadapinya.” Sang Mahasatwa berkata, “Narada, penderitaan yang datang haruslah dihadapi,” dan mengucapkan bait ketiga berikut:—
Ia yang dapat melewati masa-masa sulit
dengan bertahan menghadapi segala permasalahan,
akan menjadi kuat untuk mencapai kebahagiaan akhir,
di mana semua permasalahan berakhir.
Tetapi Narada menjawab, “Guru, kebahagiaan dari kesenangan indriawi adalah kebahagiaan yang terbesar (utama). Saya tidak bisa meninggalkannya.” Sang Mahasatwa berkata, “Dhamma (kebenaran) tidak boleh ditinggalkan dengan alasan apa pun,” dan mengucapkan bait keempat berikut:—
[466] Demi kesenangan indriawi,
demi harapan akan pemerolehan,
demi penderitaan, besar dan kecil,
janganlah melepaskan kehidupan sucimu,
dan demikian meninggalkan Dhamma.
Setelah Sarabhanga selesai memaparkan kebenaran dalam empat bait kalimat di atas, Kaladevala mengucapkan bait kelima berikut, untuk menasihati adiknya:—
Ketahuilah bahwa kehidupan duniawi adalah masalah,
makanan sudah seharusnya dibagikan.
Tak ada kebahagiaan dalam pengumpulan kekayaan,
tak ada penderitaan pula ketika kekayaan itu tiada.
Bait keenam berikut diucapkan oleh Sang Guru dalam kebijaksanaan-Nya yang sempurna, mengenai nasihat dari Devala kepada Narada:
Selama ini Kaladevala berkata dengan sangat bijak:
“Tidak ada yang lebih buruk daripada
ia yang tunduk kepada kekuasaan dari indra.”
[467] Kemudian Sarabhanga berkata, sebagai wejangan, “Narada, dengarkanlah ini: ia yang tidak melakukan apa yang harus dilakukan, akan menangis dan meratap seperti pemuda yang masuk ke dalam hutan itu,” dan kemudian ia menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala di Kota Kasi, hiduplah seorang brahmana muda yang elok rupanya, berbadan besar dan kuat laksana seekor gajah. Pemikiran yang dimilikinya (kala itu) adalah, “Mengapa saya harus merawat orang tuaku dengan bekerja di ladang, atau mempunyai istri dan anak, atau melakukan kebajikan berupa pemberian derma dan sebagainya? Saya tidak akan merawat siapa pun atau melakukan kebajikan apa pun, tetapi saya akan pergi ke hutan dan merawat diriku sendiri dengan berburu rusa.”
Jadi dengan lima jenis senjata, ia pergi ke daerah pegunungan Himalaya, berburu dan memakan banyak rusa.
Di daerah pegunungan Himalaya tersebut, ia menemukan sebuah ngarai besar yang dikelilingi oleh pegunungan, di tepi Sungai Vidhavā, dan di sana ia hidup dengan memakan daging rusa, yang dipanggang dengan bara yang panas. Ia berpikir, “Saya tidak mungkin kuat selamanya; di saat saya menjadi lemah, saya tidak akan dapat berburu di hutan lagi. Sekarang saya akan membuat sebanyak mungkin hewan liar masuk ke ngarai ini, menutupnya dengan gerbang, dan kemudian saya dapat memakan mereka kapan saja tanpa harus berkeliaraan memburu mereka di dalam hutan,” dan demikian ia melakukan semuanya.
Seiring berlalunya waktu, semua hal itu pun ikut berlalu, dan segala hal yang harus terjadi kepada dirinya (dan juga makhluk hidup lainnya) pun terjadi: ia tidak dapat mengendalikan tangan dan kakinya, ia tidak dapat bergerak dengan bebas ke sana dan ke sini, ia tidak bisa mencari makanan atau minuman, badannya melemah, ia menjadi seperti manusia dalam wujud peta, terdapat kerutan di sekujur tubuhnya seperti bumi di musim kemarau; berbau busuk dan terlihat sangat menyedihkan, ia menjadi sangat menderita.
Seiring berjalannya waktu, dengan cara yang sama, Raja dari Kerajaan Sivi, yang bernama Sivi, memiliki keinginan untuk memakan daging yang dimasak dengan bara panas di dalam hutan. Maka ia mengalihkan kerajaannya kepada para menterinya dan, dengan lima jenis senjata, ia pergi ke dalam hutan dan hidup dengan makan daging rusa yang diburunya; ia tiba di tempat tersebut dan melihat pemuda itu. Walaupun merasa takut, ia mengumpulkan keberanian untuk menanyakan siapa dirinya. “Tuan, saya adalah manusia yang memiliki wujud seperti peta, menuai hasil perbuatan yang telah saya lakukan. Siapakah Anda?” “Raja Sivi.” “Mengapa Anda datang ke sini?” [468] “Untuk makan daging rusa.” Pemuda itu berkata, “Paduka, saya menjadi seperti manusia berwujud peta karena saya datang ke sini dengan tujuan yang sama itu,” dan menceritakan semua kisahnya secara lengkap, untuk menjelaskan ketidakberuntungannya kepada raja, ia mengucapkan sisa-sisa bait kalimat berikut:—
Raja, keadaan saya ini seakan-akan seperti
saya baru selesai bertarung habis-habisan dengan musuh,
Pekerjaan, keahlian dalam kerajinan tangan,
sebuah rumah yang damai, seorang istri,
semuanya telah hilang dari diriku,
perbuatanku berbuah dalam kehidupanku ini.
Saya menderita seribu kali lipat,
kehilangan sanak keluarga dan tempat tinggal,
melenceng dari hukum kebenaran,
laksana peta, diriku sekarang ini berwujud.
Keadaan ini menimpa diriku karena
saya yang menyebabkannya,
bukannya kebahagiaan yang kudapatkan,
melainkan penderitaan:
seolah-olah seperti terikat oleh kobaran api,
saya tidak memiliki kebahagiaan.
[469] Setelah itu, ia menambahkan, “Wahai Paduka, karena keinginan untuk mendapatkan kebahagiaan, saya menyebabkan penderitaan kepada yang lain, dan hasilnya bahkan dalam kehidupan ini juga, saya menjadi manusia yang berwujud peta, janganlah Anda melakukan perbuatan buruk; kembalilah ke kerajaanmu sendiri dan lakukanlah kebajikan dengan memberikan derma dan sebagainya.” Raja melakukan demikian dan melengkapi jalannya menuju ke alam surga.
Petapa itu menjadi sadar dengan cerita dari gurunya ini, Sarabhanga. Ia menjadi terguncang, dan setelah mendapatkan maaf dari gurunya, dengan proses yang tepat, ia mendapatkan kembali kesaktian dari meditasi yang telah ditinggalkannya. Sarabhanga menolak membiarkannya tetap berada di sana dan membawanya kembali bersama ke tempat pertapaannya sendiri.
____________________
Setelah uraian-Nya selesai, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:— Setelah kebenarannya berakhir, bhikkhu yang tadinya menyesal itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—“Pada masa itu, Nārada (Narada) adalah bhikkhu yang menyesal itu, Sālissara (Salissara) adalah Sāriputta, Meṇḍissara adalah Kassapa, Pabbata adalah Anuruddha, Kāḷadevala adalah Kaccāna, Anusissa adalah Ānanda, Kisavaccha adalah Mogallāna, dan Sarabhaṅga (Sarabhanga) adalah saya sendiri.”
Ceritanya adalah ada seorang pemuda dari keluarga yang terpandang di Kota Savatthi mendengar khotbah Dhamma dari Sang Guru. Dengan berpikir bahwa tidaklah mungkin menjalani kehidupan suci dengan benar-benar sempurna dan suci sebagai seorang perumah tangga, ia bertekad menjadi seorang petapa di bawah ajaran yang memberikan pembebasan dan untuk mengakhiri penderitaan. Maka ia meninggalkan rumah dan harta benda kepada istri dan anak-anaknya, dan memohon kepada Sang Guru untuk menahbiskannya.
Sang Guru menyetujui permohonannya. Karena ia masih junior, dalam perjalanan berpindapata dengan para guru dan pembimbingnya, dan karena rombongannya banyak, ia selalu tidak mendapatkan tempat duduk baik di rumah umat maupun di ruang makan wihara. Ia hanya mendapatkan sebuah tempat duduk kecil tanpa sadaran atau duduk di ujung bangku panjang. Makanan diberikan kepadanya dengan kasar dengan sendok sayur, ia mendapatkan bubur dan gumpalan nasi yang sudah rusak, makanan kering yang sudah tengik, atau sayur-sayuran yang kering dan gosong, dan semua ini tidak cukup membuatnya bertahan (hidup).
[462] Ia membawa apa yang didapatkannya kepada istri yang telah ditinggalkannya. Istrinya mengambil pattanya, mengosongkan isinya dan memberikannya bubur yang matang dan nasi dengan saus dan kuah (kari). Bhikkhu itu melekat dengan rasa yang demikian dan tidak dapat meninggalkan istrinya. Istrinya berpikir untuk menguji cinta mantan suaminya itu.
Suatu hari ia meminta seorang penduduk yang telah membersihkan diri untuk datang ke rumahnya bersama dengan beberapa temannya, dan ia memberikan mereka makanan dan minuman. Mereka duduk sambil makan dan menikmati jamuannya. Di depan pintu rumah terdapat beberapa sapi yang terikat pada sebuah kereta. Ia sendiri duduk di ruang belakang (dapur) untuk memasak kue.
Suaminya datang dan berdiri di depan pintu. Sewaktu melihat bhikkhu ini, seorang pelayan tua memberi tahu majikannya bahwa ada seorang bhikkhu berdiri di pintu. “Beri penghormatan kepadanya dan minta ia melanjutkan perjalanannya.” Walaupun telah melakukan perintahnya berulang-ulang kali, ia melihat bhikkhu itu tetap berdiri di sana dan memberitahukan majikannya.
Ia kemudian datang dan menarik tirainya untuk melihat, ia berteriak, “Ia adalah ayah dari anak-anakku.” Ia keluar dan memberinya penghormatan, membawakan pattanya, mempersilakannya masuk, dan memberinya makanan. Ketika ia telah selesai bersantap, istrinya memberi penghormatan kembali dan berkata, “Bhante, sekarang Anda telah menjadi seorang petapa. Selama ini kami tinggal di sini, tetapi tidak akan ada kehidupan rumah tangga yang tepat tanpa seorang kepala keluarga, jadi kami akan pindah ke rumah yang lain dan pergi jauh ke desa. Tekunlah selalu dalam berbuat kebajikan dan maafkanlah saya jika saya berbuat salah.”
Untuk beberapa waktu, suaminya merasa seakan-akan hatinya akan hancur. Kemudian ia berkata, “Saya tidak bisa meninggalkanmu, jangan pergi. Saya akan kembali menjalani kehidupan duniawi; kirimkanlah pakaian umat awam ke tempat anu, saya akan mengembalikan jubah dan patta, dan kembali kepada dirimu.” Istrinya menyetujuinya.
Bhikkhu itu kembali ke wihara, mengembalikan jubah dan patta kepada para guru dan pembimbingnya, menjelaskan bahwa ia tidak dapat meninggalkan istrinya dan akan kembali menjalani kehidupan duniawi. Di luar kemauannya sendiri, mereka membawanya menemui Sang Guru dan memberi tahu Beliau bahwa ia menyesal dan akan kembali ke kehidupan duniawi.
Sang Guru bertanya, “Apakah cerita ini benar?” “Ya, Bhante.” “Siapa yang menyebabkan Anda menjadi menyesal?” “Istriku.” “Bhikkhu, wanita itu adalah penyebab keburukan bagi dirimu; di kehidupan sebelumnya juga dikarenakan dirinya, Anda keluar dari empat tahap meditasi jhana dan mengalami penderitaan yang besar, kemudian karena diriku, Anda terbebas dari penderitaan itu dan mendapatkan kembali kekuatan meditasi yang telah hilang itu,” dan Beliau menceritakan kisah masa lampau tersebut.
____________________
[463] Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai putra dari pendeta kerajaan.
Di hari kelahirannya, terdengar letupan beragam jenis senjata di seluruh kota, dan oleh karenanya mereka memberinya nama Jotipāla (Jotipala).
Ketika dewasa, ia mempelajari semua ilmu pengetahuan di Takkasila dan pulang kembali, menunjukkan keahliannya kepada raja. Tetapi ia tidak mau menerima jabatannya, dan tanpa memberi tahu siapa pun, ia keluar dari pintu belakang menuju ke hutan menjadi seorang petapa di pertapaan Kaviṭṭhaka, bernama Sakkadattiya. Ia memperoleh kesempurnaan dalam meditasi (jhana).
Sewaktu ia tinggal di sana, banyak petapa suci yang melayaninya. Ia memiliki banyak pengikut dan memiliki tujuh siswa utama. Dari ketujuhnya, Petapa Sālissara meninggalkan pertapaan Kaviṭṭhaka menuju ke Suraṭṭha, dan tinggal di tepi Sungai Sātodikā dengan ribuan petapa suci yang mengikutinya: Meṇḍissara dengan ribuan petapa suci lainnya tinggal di dekat Kota Lambacūḷaka di kerajaan Raja Pajaka: Pabbata dengan ribuan petapa suci tinggal di Aṭavi: Kāḷadevala dengan ribuan petapa suci tinggal di gunung berhutan di Avantī dan Deccan: Kisavaccha tinggal sendirian di dekat Kota Kumbhavatī di taman milik Raja Daṇḍaki: Petapa Anusissa melayani Bodhisatta dan tinggal bersama dengannya: Nārada, adik dari Kāḷadevala, tinggal sendirian di sebuah gua di Arañjara, di daerah pusat.
Kala itu, tidak jauh dari Arañjara, terdapat sebuah kota yang sangat banyak penduduknya. Di kota itu terdapat sebuah sungai, di dalamnya banyak pemuda yang mandi; dan di sepanjang tepi sungai banyak pelacur yang duduk sambil menggoda para pemuda itu.
Petapa Nārada melihat salah satu dari mereka dan karena jatuh cinta dengannya, ia meninggalkan meditasinya dan [464] menjadi lemah tanpa makanan, berada di dalam belenggu nafsu selama tujuh hari. Abangnya, Kāḷadevala, yang memindai dengan kekuatannya, mengetahui penyebab hal ini dan datang ke gua itu dengan terbang di angkasa. Nārada (Narada) melihatnya dan menanyakan alasan kedatangannya. “Saya mengetahui Anda sakit dan datang untuk merawatmu.” Narada mencoba untuk menyuruhnya pergi dengan berbohong, “Anda sedang mengatakan hal yang tidak masuk akal, tidak benar, dan tidak ada gunanya.” Abangnya menolak untuk meninggalkannya, dan membawa Sālissara, Meṇḍissara, dan Pabbata datang. Ia mencoba untuk menyuruh mereka pergi dengan cara yang sama.
Kāḷadevala (Kaladevala) terbang untuk menjemput guru mereka, Sarabhaṅga (Sarabhanga) dan membawanya datang. Ketika sang guru tiba, ia melihat bahwa Narada telah masuk jatuh ke dalam kekuasaan (panca) indra dan menanyakan apakah hal itu benar. Narada bangkit dan memberi penghormatan, kemudian mengakuinya. Sang Guru berkata, “Narada, ia yang dikuasai oleh indra mereka, akan menghabiskan waktunya dalam penderitaan di kehidupan ini, dan di kehidupan berikutnya ia akan terlahir di alam neraka,” dan demikian ia mengucapkan bait pertama berikut:—
Ia yang dikarenakan kesenangan indriawi
jatuh ke dalam kekuasaan indranya,
akan kehilangan kedua kehidupan
dan menderita kehidupannya.
Mendengarnya berkata demikian, Narada menjawab, “Guru, hidup dengan kesenangan indriawi adalah kebahagiaan. Mengapa Anda mengatakan kebahagiaan yang demikian sebagai penderitaan?” Sarabhanga berkata, “Kalau begitu, dengarlah,” dan mengucapkan bait kedua berikut:—
Kebahagiaan dan penderitaan
ada di setiap langkah kaki manusia:
Anda telah melihat perubahan dari keduanya:
carilah kebahagiaan yang sejati.
[465] Narada berkata, “Guru, penderitaan yang demikian sulit untuk dihadapi, saya tidak bisa menghadapinya.” Sang Mahasatwa berkata, “Narada, penderitaan yang datang haruslah dihadapi,” dan mengucapkan bait ketiga berikut:—
Ia yang dapat melewati masa-masa sulit
dengan bertahan menghadapi segala permasalahan,
akan menjadi kuat untuk mencapai kebahagiaan akhir,
di mana semua permasalahan berakhir.
Tetapi Narada menjawab, “Guru, kebahagiaan dari kesenangan indriawi adalah kebahagiaan yang terbesar (utama). Saya tidak bisa meninggalkannya.” Sang Mahasatwa berkata, “Dhamma (kebenaran) tidak boleh ditinggalkan dengan alasan apa pun,” dan mengucapkan bait keempat berikut:—
[466] Demi kesenangan indriawi,
demi harapan akan pemerolehan,
demi penderitaan, besar dan kecil,
janganlah melepaskan kehidupan sucimu,
dan demikian meninggalkan Dhamma.
Setelah Sarabhanga selesai memaparkan kebenaran dalam empat bait kalimat di atas, Kaladevala mengucapkan bait kelima berikut, untuk menasihati adiknya:—
Ketahuilah bahwa kehidupan duniawi adalah masalah,
makanan sudah seharusnya dibagikan.
Tak ada kebahagiaan dalam pengumpulan kekayaan,
tak ada penderitaan pula ketika kekayaan itu tiada.
Bait keenam berikut diucapkan oleh Sang Guru dalam kebijaksanaan-Nya yang sempurna, mengenai nasihat dari Devala kepada Narada:
Selama ini Kaladevala berkata dengan sangat bijak:
“Tidak ada yang lebih buruk daripada
ia yang tunduk kepada kekuasaan dari indra.”
[467] Kemudian Sarabhanga berkata, sebagai wejangan, “Narada, dengarkanlah ini: ia yang tidak melakukan apa yang harus dilakukan, akan menangis dan meratap seperti pemuda yang masuk ke dalam hutan itu,” dan kemudian ia menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala di Kota Kasi, hiduplah seorang brahmana muda yang elok rupanya, berbadan besar dan kuat laksana seekor gajah. Pemikiran yang dimilikinya (kala itu) adalah, “Mengapa saya harus merawat orang tuaku dengan bekerja di ladang, atau mempunyai istri dan anak, atau melakukan kebajikan berupa pemberian derma dan sebagainya? Saya tidak akan merawat siapa pun atau melakukan kebajikan apa pun, tetapi saya akan pergi ke hutan dan merawat diriku sendiri dengan berburu rusa.”
Jadi dengan lima jenis senjata, ia pergi ke daerah pegunungan Himalaya, berburu dan memakan banyak rusa.
Di daerah pegunungan Himalaya tersebut, ia menemukan sebuah ngarai besar yang dikelilingi oleh pegunungan, di tepi Sungai Vidhavā, dan di sana ia hidup dengan memakan daging rusa, yang dipanggang dengan bara yang panas. Ia berpikir, “Saya tidak mungkin kuat selamanya; di saat saya menjadi lemah, saya tidak akan dapat berburu di hutan lagi. Sekarang saya akan membuat sebanyak mungkin hewan liar masuk ke ngarai ini, menutupnya dengan gerbang, dan kemudian saya dapat memakan mereka kapan saja tanpa harus berkeliaraan memburu mereka di dalam hutan,” dan demikian ia melakukan semuanya.
Seiring berlalunya waktu, semua hal itu pun ikut berlalu, dan segala hal yang harus terjadi kepada dirinya (dan juga makhluk hidup lainnya) pun terjadi: ia tidak dapat mengendalikan tangan dan kakinya, ia tidak dapat bergerak dengan bebas ke sana dan ke sini, ia tidak bisa mencari makanan atau minuman, badannya melemah, ia menjadi seperti manusia dalam wujud peta, terdapat kerutan di sekujur tubuhnya seperti bumi di musim kemarau; berbau busuk dan terlihat sangat menyedihkan, ia menjadi sangat menderita.
Seiring berjalannya waktu, dengan cara yang sama, Raja dari Kerajaan Sivi, yang bernama Sivi, memiliki keinginan untuk memakan daging yang dimasak dengan bara panas di dalam hutan. Maka ia mengalihkan kerajaannya kepada para menterinya dan, dengan lima jenis senjata, ia pergi ke dalam hutan dan hidup dengan makan daging rusa yang diburunya; ia tiba di tempat tersebut dan melihat pemuda itu. Walaupun merasa takut, ia mengumpulkan keberanian untuk menanyakan siapa dirinya. “Tuan, saya adalah manusia yang memiliki wujud seperti peta, menuai hasil perbuatan yang telah saya lakukan. Siapakah Anda?” “Raja Sivi.” “Mengapa Anda datang ke sini?” [468] “Untuk makan daging rusa.” Pemuda itu berkata, “Paduka, saya menjadi seperti manusia berwujud peta karena saya datang ke sini dengan tujuan yang sama itu,” dan menceritakan semua kisahnya secara lengkap, untuk menjelaskan ketidakberuntungannya kepada raja, ia mengucapkan sisa-sisa bait kalimat berikut:—
Raja, keadaan saya ini seakan-akan seperti
saya baru selesai bertarung habis-habisan dengan musuh,
Pekerjaan, keahlian dalam kerajinan tangan,
sebuah rumah yang damai, seorang istri,
semuanya telah hilang dari diriku,
perbuatanku berbuah dalam kehidupanku ini.
Saya menderita seribu kali lipat,
kehilangan sanak keluarga dan tempat tinggal,
melenceng dari hukum kebenaran,
laksana peta, diriku sekarang ini berwujud.
Keadaan ini menimpa diriku karena
saya yang menyebabkannya,
bukannya kebahagiaan yang kudapatkan,
melainkan penderitaan:
seolah-olah seperti terikat oleh kobaran api,
saya tidak memiliki kebahagiaan.
[469] Setelah itu, ia menambahkan, “Wahai Paduka, karena keinginan untuk mendapatkan kebahagiaan, saya menyebabkan penderitaan kepada yang lain, dan hasilnya bahkan dalam kehidupan ini juga, saya menjadi manusia yang berwujud peta, janganlah Anda melakukan perbuatan buruk; kembalilah ke kerajaanmu sendiri dan lakukanlah kebajikan dengan memberikan derma dan sebagainya.” Raja melakukan demikian dan melengkapi jalannya menuju ke alam surga.
Petapa itu menjadi sadar dengan cerita dari gurunya ini, Sarabhanga. Ia menjadi terguncang, dan setelah mendapatkan maaf dari gurunya, dengan proses yang tepat, ia mendapatkan kembali kesaktian dari meditasi yang telah ditinggalkannya. Sarabhanga menolak membiarkannya tetap berada di sana dan membawanya kembali bersama ke tempat pertapaannya sendiri.
____________________
Setelah uraian-Nya selesai, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:— Setelah kebenarannya berakhir, bhikkhu yang tadinya menyesal itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—“Pada masa itu, Nārada (Narada) adalah bhikkhu yang menyesal itu, Sālissara (Salissara) adalah Sāriputta, Meṇḍissara adalah Kassapa, Pabbata adalah Anuruddha, Kāḷadevala adalah Kaccāna, Anusissa adalah Ānanda, Kisavaccha adalah Mogallāna, dan Sarabhaṅga (Sarabhanga) adalah saya sendiri.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com