KOSAMBĪ-JĀTAKA
Kosambiyajātaka (Ja 428)
“Bilamana Sangha terpecah,” dan seterusnya. Sang Guru menceritakan ini ketika bertempat tinggal di Taman Ghosita dekat Kosambī, tentang seorang pembuat masalah di Kosambī.
Cerita pembukanya dapat ditemukan di dalam bagian Vinaya yang berhubungan dengan Kosambī 237.
Berikut ini adalah ringkasan kisahnya.
Dikatakan pada waktu itu, terdapat dua bhikkhu yang tinggal di dalam satu tempat tinggal, satu ahli dalam Vinaya dan yang satunya lagi ahli dalam Sutta.
Pada suatu hari, setelah menggunakan kamar mandi, bhikkhu yang ahli dalam Sutta itu meninggalkan air yang lebih untuk mencuci mulut di dalam sebuah bejana. Kemudian bhikkhu yang ahli dalam Vinaya itu masuk ke dalamnya, dan sewaktu melihat airnya, keluar dari kamar mandi dan menanyakan temannya apakah air itu ditinggalkan untuknya. Temannya menjawab, “Ya, Āvuso.” “Apa! Apakah Anda tidak tahu bahwa ini adalah pelanggaran?” “Tidak, saya tidak tahu akan hal itu.” “Baiklah, Āvuso, ini adalah suatu pelanggaran.” “Kalau begitu saya akan memperbaiki kesalahanku.” “Tetapi jika Anda melakukannya dengan tidak sengaja, itu bukanlah suatu pelanggaran.” Demikianlah bhikkhu yang ahli dalam Sutta itu yang tidak melihat adanya pelanggaran dalam suatu tindakan yang sebenarnya merupakan pelanggaran.
Bhikkhu yang ahli dalam Vinaya itu berkata kepada para siswanya, “Bhikkhu yang ahli dalam Sutta itu tidak sadar melakukan pelanggaran meskipun ia telah melakukannya.” Ketika bertemu dengan para siswa dari bhikkhu yang ahli dalam Sutta itu, mereka berkata, “Guru kalian tidak menyadari pelanggarannya meskipun ia telah melakukannya.” Mereka pun pergi memberi tahu gurunya. Ia berkata, “Bhikkhu yang ahli dalam Vinaya ini sebelumnya mengatakan bahwa itu bukanlah suatu pelanggaran, dan sekarang ia mengatakan bahwa itu adalah suatu pelanggaran; ia adalah seorang pembohong.” Mereka pun pergi memberi tahu para siswa dari bhikkhu yang ahli dalam Vinaya itu, “Guru kalian adalah seorang pembohong.” Demikianlah mereka memulai pertengkaran di antara satu dengan yang lainnya.
Kemudian pada saat mendapatkan sebuah kesempatan, bhikkhu yang ahli dalam Vinaya itu menskors rekannya tersebut dengan alasan tidak mau mengakui kesalahannya. Mulai saat itu, bahkan umat yang melayani kebutuhan para bhikkhu (dāyaka) dan upasaka terbagi menjadi dua kelompok.
Para bhikkhuni yang menerima arahan dari mereka, para dewata pelindung, teman dan sahabat karib mereka serta para dewa dimulai dari yang tinggal di alam dewa [487] sampai mereka yang tinggal di alam brahma238, bahkan orang-orang awam239, terpecah menjadi dua kelompok, dan kericuhan ini akhirnya terdengar juga di kediaman para dewa yang tertinggi240.
Kemudian seorang bhikkhu menghampiri Sang Tathāgata dan memberitahukan pandangan dari kelompok yang menskors itu, dengan berkata, “Bhikkhu itu diskors sesuai dengan peraturan,” dan juga memberitahukan pandangan dari kelompok yang diskors itu, dengan berkata, “Bhikkhu itu diskors tidak sesuai dengan peraturan,” kemudian juga memberitahukan kejadian mengenai mereka yang masih bergabung, memberikan dukungan kepada bhikkhu itu meskipun telah dilarang oleh kelompok yang menskors.
Yang Terberkahi berkata, “Telah terjadi suatu perpecahan, ya, suatu perpecahan di dalam Sangha,” dan pergi ke tempat mereka untuk menunjukkan keburukan yang terdapat dalam penangguhan bagi kelompok yang mendukung pemberian skors, dan keburukan yang terdapat dalam penyembunyian pelanggaran bagi kelompok yang tidak mendukung pemberian skors.
Ketika kedua kelompok itu sedang melaksanakan laku Uposatha dan kewajiban yang lain sebagainya di dalam tempat tinggal yang sama, dengan batasan, mereka bertengkar di ruang makan dan di tempat lainnya juga. Beliau meminta mereka untuk duduk bersama, satu per satu dari masing-masing kelompok.
Dan ketika masih mendengar mereka bertengkar di dalam wihara, Beliau datang ke sana dan berkata, “Cukup, Para Bhikkhu, janganlah bertengkar lagi.” Dan salah satu bhikkhu dari kelompok yang tidak sesuai dengan peraturan, yang tidak ingin menyusahkan Yang Terberkahi, berkata, “Biarlah Sang Bhagava tetap tinggal di tempat Beliau. Buatlah Sang Bhagava tinggal dengan tenang dan nyaman, menikmati kebahagiaan yang telah dicapai Beliau di dalam kehidupan ini. Kita hanya akan membuat diri kita sendiri menjadi buruk dengan pertengkaran, perselisihan, perdebatan, dan percekcokan ini.”
Sang Guru berkata kepada mereka, “Dahulu kala, Para Bhikkhu, Brahmadatta berkuasa sebagai Raja Kasi di Kota Benares dan ia merampas kerajaan dari Dighati, Raja Kosala, dan membunuhnya. Ketika kemudian hidup dalam samaran dan ketika Pangeran Dighāvu mengampuni nyawa dari Brahmadatta, mereka pun menjadi sahabat. Demikian yang dialami mereka dalam penderitaan yang panjang dan demikian adalah kelembutan dari raja-raja yang berkuasa tersebut; seharusnya, Para Bhikkhu, demikianlah kalian menyelesaikan permasalahannya dan menunjukkan bahwa kalian juga bisa saling memaafkan dan berhati lembut setelah menjalankan kehidupan suci sesuai dengan ajaran dan peraturan yang telah diajarkan dengan baik.”
Dan Beliau menasihati mereka demikian untuk ketiga kalinya, “Cukup, Para Bhikkhu, janganlah bertengkar lagi.” Dan ketika melihat mereka tidak berhenti juga setelah dinasihati, Beliau pergi degan mengatakan, “Sesungguhnya, orang-orang dungu ini seperti orang yang kerasukan, mereka tidak dapat dibuat menjadi tenang dengan mudah.”
Keesokan harinya setelah kembali dari berpindapata, Beliau beristirahat sejenak di ruangan-Nya yang wangi dan merapikan segala sesuatu di dalamnya, kemudian dengan membawa patta dan jubahnya, Beliau berdiri melayang di udara, dan mengucapkan bait-bait berikut di tengah-tengah kumpulan orang banyak itu:
[488] Bilamana Sangha terpecah menjadi dua,
para pengikutnya akan berbicara dengan suara lantang:
Masing-masing percaya bahwa diri mereka bijak,
dan melihat lawannya dengan
mata yang memandang rendah.
Jiwa-jiwa yang kebingungan,
ditambah dengan kesombongan diri,
dengan mulut yang terbuka lebar,
mereka mencaci maki dengan bodohnya:
Dan karena tersesat di dalam ucapan,
mereka tidak tahu
siapa pemimpin yang harus dipatuhi.
241“Ia menghinaku, ia memukulku,
ia mengalahkanku, ia merampas milikku.”
Mereka yang memelihara pikiran-pikiran seperti itu
tidak akan dapat melenyapkan kebencian.
“Ia menghinaku, ia memukulku,
ia mengalahkanku, ia merampas milikku.”
Mereka yang tidak memelihara pikiran-pikiran seperti itu
akan dapat melenyapkan kebencian.Kebencian tidak pernah dapat
dilenyapkan dengan kebencian,
kebencian hanya dapat dilenyapkan
dengan cinta kasih.
Ini adalah kebenaran abadi.
Sebagian tidak menyukai hukum pengendalian diri,
tetapi ia yang menghentikan pertengkaran,
adalah orang yang bijak.
Jika orang-orang yang terluka
dalam pertempuran yang sengit,
penjahat dan perampok, memakan korban,
bahkan mereka yang merampas suatu kerajaan,
bisa menjadi bersahabat dengan musuh-musuh mereka,
mengapa para bhikkhu tidak bisa melakukannya?
Jika Anda menemukan teman yang bijak dan jujur,
yang berjiwa kekeluargaan, tinggal bersama denganmu,
maka mara bahaya terlewati, tetapi masih juga tidak tenang,
dalam perenungan yang bahagia sepanjang hari.
Akan tetapi, jika Anda tidak menemukan orang demikian,
maka hidupmu sebaiknya dihabiskan dalam kesendirian,
seperti para kesatria meninggalkan takhta,
atau gajah yang mengembara sendirian.
Pilihlah untuk menjalankan kehidupan suci dengan menyendiri,
karena persahabatan dengan orang-orang dungu
hanya akan mengarah kepada perselisihan;
Dalam ketidaksalahan,
jalani kehidupanmu,
seperti gajah yang mengembara
di dalam hutan liar.
[489] Setelah berkata demikian, karena gagal mendamaikan para bhikkhu tersebut, Beliau pergi ke Bālakaloṇakāragāma (Desa Bālaka, si pembuat garam), dan memberikan khotbah Dhamma kepada Thera Bhagu mengenai manfaat-manfaat dari kesendirian.
Dari sana, Beliau kemudian mengunjungi kediaman tiga pemuda yang berasal dari keluarga terpandang dan mengkhotbahkan tentang kebahagiaan yang ditemukan di dalam indahnya kebersamaan.
Dari sana, Beliau pergi ke Hutan Pārileyyaka, [490] dan setelah tinggal di sana selama tiga bulan, tanpa kembali ke Kosambī, Beliau langsung menuju ke Savatthi.
Kemudian para penduduk di Kota Kosambī berdiskusi bersama dan berkata, “Pastinya bhikkhu-bhikkhu di Kosambī telah mencelakai kita; karena merasa cemas dengan mereka, Yang Terberkahi pun pergi. Kami tidak akan memberi hormat atau tanda penghormatan lainnya kepada mereka, atau memberikan derma kepada mereka ketika mereka datang berkunjung, sehingga mereka akan pergi atau kembali ke kehidupan duniawi, atau mereka akan berdamai dengan Yang Terberkahi.” Dan mereka pun melakukan hal demikian.
Dan para bhikkhu tersebut yang didera oleh hukuman dalam bentuk ini, pergi ke Savatthi dan memohon maaf dari Yang Terberkahi.
____________________
Sang Guru demikian mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Ayahnya adalah Raja Suddhodana yang agung, ibunya adalah Mahāmāyā, dan Pangeran Dighāvu adalah saya sendiri.”
Cerita pembukanya dapat ditemukan di dalam bagian Vinaya yang berhubungan dengan Kosambī 237.
Berikut ini adalah ringkasan kisahnya.
Dikatakan pada waktu itu, terdapat dua bhikkhu yang tinggal di dalam satu tempat tinggal, satu ahli dalam Vinaya dan yang satunya lagi ahli dalam Sutta.
Pada suatu hari, setelah menggunakan kamar mandi, bhikkhu yang ahli dalam Sutta itu meninggalkan air yang lebih untuk mencuci mulut di dalam sebuah bejana. Kemudian bhikkhu yang ahli dalam Vinaya itu masuk ke dalamnya, dan sewaktu melihat airnya, keluar dari kamar mandi dan menanyakan temannya apakah air itu ditinggalkan untuknya. Temannya menjawab, “Ya, Āvuso.” “Apa! Apakah Anda tidak tahu bahwa ini adalah pelanggaran?” “Tidak, saya tidak tahu akan hal itu.” “Baiklah, Āvuso, ini adalah suatu pelanggaran.” “Kalau begitu saya akan memperbaiki kesalahanku.” “Tetapi jika Anda melakukannya dengan tidak sengaja, itu bukanlah suatu pelanggaran.” Demikianlah bhikkhu yang ahli dalam Sutta itu yang tidak melihat adanya pelanggaran dalam suatu tindakan yang sebenarnya merupakan pelanggaran.
Bhikkhu yang ahli dalam Vinaya itu berkata kepada para siswanya, “Bhikkhu yang ahli dalam Sutta itu tidak sadar melakukan pelanggaran meskipun ia telah melakukannya.” Ketika bertemu dengan para siswa dari bhikkhu yang ahli dalam Sutta itu, mereka berkata, “Guru kalian tidak menyadari pelanggarannya meskipun ia telah melakukannya.” Mereka pun pergi memberi tahu gurunya. Ia berkata, “Bhikkhu yang ahli dalam Vinaya ini sebelumnya mengatakan bahwa itu bukanlah suatu pelanggaran, dan sekarang ia mengatakan bahwa itu adalah suatu pelanggaran; ia adalah seorang pembohong.” Mereka pun pergi memberi tahu para siswa dari bhikkhu yang ahli dalam Vinaya itu, “Guru kalian adalah seorang pembohong.” Demikianlah mereka memulai pertengkaran di antara satu dengan yang lainnya.
Kemudian pada saat mendapatkan sebuah kesempatan, bhikkhu yang ahli dalam Vinaya itu menskors rekannya tersebut dengan alasan tidak mau mengakui kesalahannya. Mulai saat itu, bahkan umat yang melayani kebutuhan para bhikkhu (dāyaka) dan upasaka terbagi menjadi dua kelompok.
Para bhikkhuni yang menerima arahan dari mereka, para dewata pelindung, teman dan sahabat karib mereka serta para dewa dimulai dari yang tinggal di alam dewa [487] sampai mereka yang tinggal di alam brahma238, bahkan orang-orang awam239, terpecah menjadi dua kelompok, dan kericuhan ini akhirnya terdengar juga di kediaman para dewa yang tertinggi240.
Kemudian seorang bhikkhu menghampiri Sang Tathāgata dan memberitahukan pandangan dari kelompok yang menskors itu, dengan berkata, “Bhikkhu itu diskors sesuai dengan peraturan,” dan juga memberitahukan pandangan dari kelompok yang diskors itu, dengan berkata, “Bhikkhu itu diskors tidak sesuai dengan peraturan,” kemudian juga memberitahukan kejadian mengenai mereka yang masih bergabung, memberikan dukungan kepada bhikkhu itu meskipun telah dilarang oleh kelompok yang menskors.
Yang Terberkahi berkata, “Telah terjadi suatu perpecahan, ya, suatu perpecahan di dalam Sangha,” dan pergi ke tempat mereka untuk menunjukkan keburukan yang terdapat dalam penangguhan bagi kelompok yang mendukung pemberian skors, dan keburukan yang terdapat dalam penyembunyian pelanggaran bagi kelompok yang tidak mendukung pemberian skors.
Ketika kedua kelompok itu sedang melaksanakan laku Uposatha dan kewajiban yang lain sebagainya di dalam tempat tinggal yang sama, dengan batasan, mereka bertengkar di ruang makan dan di tempat lainnya juga. Beliau meminta mereka untuk duduk bersama, satu per satu dari masing-masing kelompok.
Dan ketika masih mendengar mereka bertengkar di dalam wihara, Beliau datang ke sana dan berkata, “Cukup, Para Bhikkhu, janganlah bertengkar lagi.” Dan salah satu bhikkhu dari kelompok yang tidak sesuai dengan peraturan, yang tidak ingin menyusahkan Yang Terberkahi, berkata, “Biarlah Sang Bhagava tetap tinggal di tempat Beliau. Buatlah Sang Bhagava tinggal dengan tenang dan nyaman, menikmati kebahagiaan yang telah dicapai Beliau di dalam kehidupan ini. Kita hanya akan membuat diri kita sendiri menjadi buruk dengan pertengkaran, perselisihan, perdebatan, dan percekcokan ini.”
Sang Guru berkata kepada mereka, “Dahulu kala, Para Bhikkhu, Brahmadatta berkuasa sebagai Raja Kasi di Kota Benares dan ia merampas kerajaan dari Dighati, Raja Kosala, dan membunuhnya. Ketika kemudian hidup dalam samaran dan ketika Pangeran Dighāvu mengampuni nyawa dari Brahmadatta, mereka pun menjadi sahabat. Demikian yang dialami mereka dalam penderitaan yang panjang dan demikian adalah kelembutan dari raja-raja yang berkuasa tersebut; seharusnya, Para Bhikkhu, demikianlah kalian menyelesaikan permasalahannya dan menunjukkan bahwa kalian juga bisa saling memaafkan dan berhati lembut setelah menjalankan kehidupan suci sesuai dengan ajaran dan peraturan yang telah diajarkan dengan baik.”
Dan Beliau menasihati mereka demikian untuk ketiga kalinya, “Cukup, Para Bhikkhu, janganlah bertengkar lagi.” Dan ketika melihat mereka tidak berhenti juga setelah dinasihati, Beliau pergi degan mengatakan, “Sesungguhnya, orang-orang dungu ini seperti orang yang kerasukan, mereka tidak dapat dibuat menjadi tenang dengan mudah.”
Keesokan harinya setelah kembali dari berpindapata, Beliau beristirahat sejenak di ruangan-Nya yang wangi dan merapikan segala sesuatu di dalamnya, kemudian dengan membawa patta dan jubahnya, Beliau berdiri melayang di udara, dan mengucapkan bait-bait berikut di tengah-tengah kumpulan orang banyak itu:
[488] Bilamana Sangha terpecah menjadi dua,
para pengikutnya akan berbicara dengan suara lantang:
Masing-masing percaya bahwa diri mereka bijak,
dan melihat lawannya dengan
mata yang memandang rendah.
Jiwa-jiwa yang kebingungan,
ditambah dengan kesombongan diri,
dengan mulut yang terbuka lebar,
mereka mencaci maki dengan bodohnya:
Dan karena tersesat di dalam ucapan,
mereka tidak tahu
siapa pemimpin yang harus dipatuhi.
241“Ia menghinaku, ia memukulku,
ia mengalahkanku, ia merampas milikku.”
Mereka yang memelihara pikiran-pikiran seperti itu
tidak akan dapat melenyapkan kebencian.
“Ia menghinaku, ia memukulku,
ia mengalahkanku, ia merampas milikku.”
Mereka yang tidak memelihara pikiran-pikiran seperti itu
akan dapat melenyapkan kebencian.Kebencian tidak pernah dapat
dilenyapkan dengan kebencian,
kebencian hanya dapat dilenyapkan
dengan cinta kasih.
Ini adalah kebenaran abadi.
Sebagian tidak menyukai hukum pengendalian diri,
tetapi ia yang menghentikan pertengkaran,
adalah orang yang bijak.
Jika orang-orang yang terluka
dalam pertempuran yang sengit,
penjahat dan perampok, memakan korban,
bahkan mereka yang merampas suatu kerajaan,
bisa menjadi bersahabat dengan musuh-musuh mereka,
mengapa para bhikkhu tidak bisa melakukannya?
Jika Anda menemukan teman yang bijak dan jujur,
yang berjiwa kekeluargaan, tinggal bersama denganmu,
maka mara bahaya terlewati, tetapi masih juga tidak tenang,
dalam perenungan yang bahagia sepanjang hari.
Akan tetapi, jika Anda tidak menemukan orang demikian,
maka hidupmu sebaiknya dihabiskan dalam kesendirian,
seperti para kesatria meninggalkan takhta,
atau gajah yang mengembara sendirian.
Pilihlah untuk menjalankan kehidupan suci dengan menyendiri,
karena persahabatan dengan orang-orang dungu
hanya akan mengarah kepada perselisihan;
Dalam ketidaksalahan,
jalani kehidupanmu,
seperti gajah yang mengembara
di dalam hutan liar.
[489] Setelah berkata demikian, karena gagal mendamaikan para bhikkhu tersebut, Beliau pergi ke Bālakaloṇakāragāma (Desa Bālaka, si pembuat garam), dan memberikan khotbah Dhamma kepada Thera Bhagu mengenai manfaat-manfaat dari kesendirian.
Dari sana, Beliau kemudian mengunjungi kediaman tiga pemuda yang berasal dari keluarga terpandang dan mengkhotbahkan tentang kebahagiaan yang ditemukan di dalam indahnya kebersamaan.
Dari sana, Beliau pergi ke Hutan Pārileyyaka, [490] dan setelah tinggal di sana selama tiga bulan, tanpa kembali ke Kosambī, Beliau langsung menuju ke Savatthi.
Kemudian para penduduk di Kota Kosambī berdiskusi bersama dan berkata, “Pastinya bhikkhu-bhikkhu di Kosambī telah mencelakai kita; karena merasa cemas dengan mereka, Yang Terberkahi pun pergi. Kami tidak akan memberi hormat atau tanda penghormatan lainnya kepada mereka, atau memberikan derma kepada mereka ketika mereka datang berkunjung, sehingga mereka akan pergi atau kembali ke kehidupan duniawi, atau mereka akan berdamai dengan Yang Terberkahi.” Dan mereka pun melakukan hal demikian.
Dan para bhikkhu tersebut yang didera oleh hukuman dalam bentuk ini, pergi ke Savatthi dan memohon maaf dari Yang Terberkahi.
____________________
Sang Guru demikian mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Ayahnya adalah Raja Suddhodana yang agung, ibunya adalah Mahāmāyā, dan Pangeran Dighāvu adalah saya sendiri.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com