CULLASUKA-JĀTAKA
Cūḷasuvajātaka (Ja 430)
”Pohon di sini tidak terhitung jumlahnya,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang bagian Verañjā244.
Setelah melewati masa vassa di Verañjā, Sang Guru kembali ke Sāvatthi (Savatthi).
Kala itu, sedang terjadi suatu pembahasan di dalam balai kebenaran oleh para bhikkhu, “Āvuso, Sang Tathāgata, seorang kaum kesatria dan Buddha yang dilimpahi dengan mulianya, meskipun memiliki kesaktian, saat memenuhi undangan seorang brahmana Verañjā untuk tinggal dengannya selama tiga bulan, dan ketika disebabkan oleh godaan Māra, Beliau tidak mendapatkan derma makanan dari tangan brahmana itu dikarenakan godaan Māra, bahkan tidak satu hari pun, Beliau menghilangkan segala keserakahan-Nya dan tetap tinggal di tempat yang sama selama tiga bulan, mempertahankan kelangsungan hidup dengan air dan tepung dari akar-akaran. [495] Oh, demikianlah sifat Sang Tathāgata yang berkeinginan sedikit dan puas dengan apa yang ada!”
Ketika Sang Guru tiba dan mengetahui tentang pokok bahasan mereka, Beliau berkata, “Itu bukanlah sesuatu yang luar biasa, para Bhikkhu, seorang Tathāgata bebas dari keserakahan, di kehidupan lampau sebagai seekor hewan, Beliau juga meninggalkan keserakahannya.” Dan berikut ini Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau. Cerita lengkapnya berhubungan secara terperinci dan sama persis seperti yang telah diceritakan sebelumnya.
____________________
Pohon di sini tidak terhitung jumlahnya,
semuanya terlihat hijau dan berbuah banyak!
Mengapa, burung nuri,
Anda tetap berada di pohon yang sudah mati ini?
Bertahun-tahun yang lalu
kami menikmati buah manis yang dihasilkannya,
dan walaupun sekarang tidak berbuah lagi,
ia sepantasnya mendapatkan perawatan dari kami.
Tidak ada daun atau buah yang dihasilkannya!
Pohonnya sudah mati:
Mengapa harus menyalahkan
teman-temanmu, sesama burung,
karena mereka pergi?
Mereka tadinya menyukai
pohon ini karena buahnya,
dan sekarang ketika ia tidak berbuah lagi,
makhluk-makhluk dungu yang egois!
cinta kasih dan rasa terima kasih mereka pun hilang.
Saya menerima rasa terima kasihmu,
cinta kasih yang senantiasa ada dan setia,
Moralias yang pasti seperti ini
pastinya disetujui oleh orang bijak.
Kutawarkan kepadamu, wahai burung,
anugerah apa pun yang Anda pilih,
beri tahu saya, hadiah apa yang paling
membuat hatimu berbahagia?
Jika pohon ini dapat menumbuhkan kembali
dedaunan dan buah yang segar;
Saya akan menjadi sebahagia orang-orang
yang mendapatkan harta karun terpendam.
Kemudian Dewa Sakka memercikkan ambrosia
ke pohon tersebut, dan ranting-ranting bermunculan
membuat tempat lindung yang teduh, seindah sediakala.
Semoga Sakka dan semua yang dikasihinya terberkati,
Seperti saya yang terberkati hari ini,
melihat pemandangan yang indah ini.
Demikianlah pohon itu menjadi berbuah kembali
dikarenakan pilihan anugerah dari burung nuri,
kemudian Dewa Sakka dan istrinya
bersenang-senang di Nandanavana.
____________________
[496] Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka setelah menyampaikan uraian ini: “Pada masa itu, Dewa Sakka adalah Anuruddha dan burung nuri adalah saya sendiri.”
Setelah melewati masa vassa di Verañjā, Sang Guru kembali ke Sāvatthi (Savatthi).
Kala itu, sedang terjadi suatu pembahasan di dalam balai kebenaran oleh para bhikkhu, “Āvuso, Sang Tathāgata, seorang kaum kesatria dan Buddha yang dilimpahi dengan mulianya, meskipun memiliki kesaktian, saat memenuhi undangan seorang brahmana Verañjā untuk tinggal dengannya selama tiga bulan, dan ketika disebabkan oleh godaan Māra, Beliau tidak mendapatkan derma makanan dari tangan brahmana itu dikarenakan godaan Māra, bahkan tidak satu hari pun, Beliau menghilangkan segala keserakahan-Nya dan tetap tinggal di tempat yang sama selama tiga bulan, mempertahankan kelangsungan hidup dengan air dan tepung dari akar-akaran. [495] Oh, demikianlah sifat Sang Tathāgata yang berkeinginan sedikit dan puas dengan apa yang ada!”
Ketika Sang Guru tiba dan mengetahui tentang pokok bahasan mereka, Beliau berkata, “Itu bukanlah sesuatu yang luar biasa, para Bhikkhu, seorang Tathāgata bebas dari keserakahan, di kehidupan lampau sebagai seekor hewan, Beliau juga meninggalkan keserakahannya.” Dan berikut ini Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau. Cerita lengkapnya berhubungan secara terperinci dan sama persis seperti yang telah diceritakan sebelumnya.
____________________
Pohon di sini tidak terhitung jumlahnya,
semuanya terlihat hijau dan berbuah banyak!
Mengapa, burung nuri,
Anda tetap berada di pohon yang sudah mati ini?
Bertahun-tahun yang lalu
kami menikmati buah manis yang dihasilkannya,
dan walaupun sekarang tidak berbuah lagi,
ia sepantasnya mendapatkan perawatan dari kami.
Tidak ada daun atau buah yang dihasilkannya!
Pohonnya sudah mati:
Mengapa harus menyalahkan
teman-temanmu, sesama burung,
karena mereka pergi?
Mereka tadinya menyukai
pohon ini karena buahnya,
dan sekarang ketika ia tidak berbuah lagi,
makhluk-makhluk dungu yang egois!
cinta kasih dan rasa terima kasih mereka pun hilang.
Saya menerima rasa terima kasihmu,
cinta kasih yang senantiasa ada dan setia,
Moralias yang pasti seperti ini
pastinya disetujui oleh orang bijak.
Kutawarkan kepadamu, wahai burung,
anugerah apa pun yang Anda pilih,
beri tahu saya, hadiah apa yang paling
membuat hatimu berbahagia?
Jika pohon ini dapat menumbuhkan kembali
dedaunan dan buah yang segar;
Saya akan menjadi sebahagia orang-orang
yang mendapatkan harta karun terpendam.
Kemudian Dewa Sakka memercikkan ambrosia
ke pohon tersebut, dan ranting-ranting bermunculan
membuat tempat lindung yang teduh, seindah sediakala.
Semoga Sakka dan semua yang dikasihinya terberkati,
Seperti saya yang terberkati hari ini,
melihat pemandangan yang indah ini.
Demikianlah pohon itu menjadi berbuah kembali
dikarenakan pilihan anugerah dari burung nuri,
kemudian Dewa Sakka dan istrinya
bersenang-senang di Nandanavana.
____________________
[496] Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka setelah menyampaikan uraian ini: “Pada masa itu, Dewa Sakka adalah Anuruddha dan burung nuri adalah saya sendiri.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com