HALIDDIRĀGA-JĀTAKA
Haliddirāgajātaka (Ja 435)
“Di dalam hutan sendirian,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang godaan seorang wanita yang kasar terhadap seorang pemuda.
Cerita pembukanya dapat ditemukan di dalam Culla-Nārada-Jātaka253.
____________________
Di masa lampau, wanita ini mengetahui bahwa jika petapa muda itu melanggar silanya, maka petapa itu akan berada dalam kekuasaannya.
Dalam untuk menggoda dan membawanya kembali ke kehidupan duniawi, wanita itu berkata, “Sila yang terjaga dengan baik di dalam hutan, tempat tidak adanya gangguan terhadap indra seperti kecantikan dan lain sebagainya, tidak membuahkan hasil yang maksimal. Akan tetapi, sila itu akan membuahkan hasil yang maksimal di dalam tempat tinggal manusia, tempat adanya kecantikan dan lain sebagainya. Oleh karena itu, mari ikutlah denganku dan jaga silamu di sana. Apalah gunanya hutan ini?” Dan ia mengucapkan bait pertama berikut:
Di dalam hutan sendirian,
seseorang mungkin dapat menjadi suci,
mudah menahan godaan di sana;
Tetapi di sebuah desa dengan luasnya godaan,
seseorang dapat bangkit
menjalani kehidupan yang jauh lebih suci.
Setelah mendengarnya, petapa muda itu berkata, “Ayahku sedang berada di dalam hutan. Saat ia kembali, saya akan meminta izinnya dan kemudian pergi bersama denganmu.” Wanita itu berpikir, [525] “Rupanya ia masih memiliki seorang ayah. Jika ia melihatku di sini, ia akan memukulku dengan galah yang dibawanya dan membunuhku. Saya harus pergi sebelum ia kembali.” Maka ia berkata kepada pemuda itu, “Saya akan memulai perjalanan terlebih dahulu dan akan meninggalkan jejak di belakangku: Anda bisa mengikuti itu nantinya.”
Di saat wanita itu telah pergi, petapa muda ini tidak membantu ayahnya mengumpulkan kayu maupun membawakan air minum, ia hanya duduk merenung, dan ia bahkan tidak menyambut ayahnya ketika ia pulang ke rumah. Maka ayahnya mengetahui bahwasanya anaknya telah jatuh di dalam kekuasaan seorang wanita, dan ia berkata, “Anakku, mengapa kamu tidak mengumpulkan kayu, tidak membawakan air minum untukku, tidak membawakan makanan untukku, dan hanya duduk merenung?”
Petapa muda itu berkata, “Ayah, kata orang sila yang dijaga di dalam hutan tidaklah sangat berguna, tetapi sila akan sangat berguna bila dijaga di tempat tinggal manusia. Saya akan pergi dan menjaga silaku di sana. Temanku sudah pergi terlebih dahulu, dengan berpesan kepadaku untuk mengikuti dirinya nanti. Jadi saya akan pergi dengan temanku. Tetapi di saat saya tinggal di sana, orang seperti apa yang akan saya jumpai?” Dengan menanyakan pertanyaan ini, ia mengucapkan bait kedua berikut:
254Keraguan ini, Ayah, pecahkanlah untukku;
Jika saya pergi ke suatu tempat keluar dari hutan ini,
Orang yang memiliki watak dan perilaku seperti apa
yang seharusnya kujadikan sebagai teman?
Kemudian ayahnya mengucapkan sisa-sisa bait kalimat berikut:
Orang yang mampu mendapatkan
kepercayaan diri dan cinta kasihmu,
yang dapat memercayai kata-katamu,
dan yang terbukti sabar,
Orang yang tidak melakukan
perbuatan salah dalam pikiran,
ucapan, dan perbuatan;
Bertemanlah dengan
orang-orang yang demikian.
Orang yang pikirannya selalu berubah-ubah
dan labil seperti pikiran seekor kera;
Janganlah berteman dengan orang-orang
yang demikian meskipun
harus sendirian berada di tempat itu.
Hindarilah kejahatan, seperti ketika kamu
harus menghindar dari seekor ular yang marah,
atau seperti seorang sais menghindari jalan yang rusak.
[526] Penderitaan akan menghampirinya
bilamana seseorang berada dalam rombongan orang dungu:
Janganlah bergaul dengan orang dungu,
persahabatan dengan orang dungu
merupakan mangsa bagi penderitaan.
Setelah dinasihati demikian oleh ayahnya, pemuda itu berkata, “Jika saya pergi ke tempat tinggal manusia, saya tidak akan menemukan orang bijak seperti ayah. Saya menjadi takut untuk pergi ke sana. Saya akan tinggal di sini bersama denganmu.” Kemudian ayahnya kembali memberikan nasihat kepadanya dan mengajarkan kepadanya meditasi pendahuluan kasiṇa. Dan tidak lama setelah itu, anaknya memperoleh kesaktian dan pencapaian meditasi, dan bersama dengan ayahnya mengalami kelahiran kembali di alam brahma.
____________________
Sang Guru memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka setelah uraian-Nya selesai:—Di akhir kebenarannya, bhikkhu yang tadinya menyesal itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—“Pada masa itu, petapa muda adalah bhikkhu yang menyesal, wanita di kisah itu sama dengan wanita yang ada dalam kehidupan ini, sedangkan ayahnya adalah saya sendiri.”
Cerita pembukanya dapat ditemukan di dalam Culla-Nārada-Jātaka253.
____________________
Di masa lampau, wanita ini mengetahui bahwa jika petapa muda itu melanggar silanya, maka petapa itu akan berada dalam kekuasaannya.
Dalam untuk menggoda dan membawanya kembali ke kehidupan duniawi, wanita itu berkata, “Sila yang terjaga dengan baik di dalam hutan, tempat tidak adanya gangguan terhadap indra seperti kecantikan dan lain sebagainya, tidak membuahkan hasil yang maksimal. Akan tetapi, sila itu akan membuahkan hasil yang maksimal di dalam tempat tinggal manusia, tempat adanya kecantikan dan lain sebagainya. Oleh karena itu, mari ikutlah denganku dan jaga silamu di sana. Apalah gunanya hutan ini?” Dan ia mengucapkan bait pertama berikut:
Di dalam hutan sendirian,
seseorang mungkin dapat menjadi suci,
mudah menahan godaan di sana;
Tetapi di sebuah desa dengan luasnya godaan,
seseorang dapat bangkit
menjalani kehidupan yang jauh lebih suci.
Setelah mendengarnya, petapa muda itu berkata, “Ayahku sedang berada di dalam hutan. Saat ia kembali, saya akan meminta izinnya dan kemudian pergi bersama denganmu.” Wanita itu berpikir, [525] “Rupanya ia masih memiliki seorang ayah. Jika ia melihatku di sini, ia akan memukulku dengan galah yang dibawanya dan membunuhku. Saya harus pergi sebelum ia kembali.” Maka ia berkata kepada pemuda itu, “Saya akan memulai perjalanan terlebih dahulu dan akan meninggalkan jejak di belakangku: Anda bisa mengikuti itu nantinya.”
Di saat wanita itu telah pergi, petapa muda ini tidak membantu ayahnya mengumpulkan kayu maupun membawakan air minum, ia hanya duduk merenung, dan ia bahkan tidak menyambut ayahnya ketika ia pulang ke rumah. Maka ayahnya mengetahui bahwasanya anaknya telah jatuh di dalam kekuasaan seorang wanita, dan ia berkata, “Anakku, mengapa kamu tidak mengumpulkan kayu, tidak membawakan air minum untukku, tidak membawakan makanan untukku, dan hanya duduk merenung?”
Petapa muda itu berkata, “Ayah, kata orang sila yang dijaga di dalam hutan tidaklah sangat berguna, tetapi sila akan sangat berguna bila dijaga di tempat tinggal manusia. Saya akan pergi dan menjaga silaku di sana. Temanku sudah pergi terlebih dahulu, dengan berpesan kepadaku untuk mengikuti dirinya nanti. Jadi saya akan pergi dengan temanku. Tetapi di saat saya tinggal di sana, orang seperti apa yang akan saya jumpai?” Dengan menanyakan pertanyaan ini, ia mengucapkan bait kedua berikut:
254Keraguan ini, Ayah, pecahkanlah untukku;
Jika saya pergi ke suatu tempat keluar dari hutan ini,
Orang yang memiliki watak dan perilaku seperti apa
yang seharusnya kujadikan sebagai teman?
Kemudian ayahnya mengucapkan sisa-sisa bait kalimat berikut:
Orang yang mampu mendapatkan
kepercayaan diri dan cinta kasihmu,
yang dapat memercayai kata-katamu,
dan yang terbukti sabar,
Orang yang tidak melakukan
perbuatan salah dalam pikiran,
ucapan, dan perbuatan;
Bertemanlah dengan
orang-orang yang demikian.
Orang yang pikirannya selalu berubah-ubah
dan labil seperti pikiran seekor kera;
Janganlah berteman dengan orang-orang
yang demikian meskipun
harus sendirian berada di tempat itu.
Hindarilah kejahatan, seperti ketika kamu
harus menghindar dari seekor ular yang marah,
atau seperti seorang sais menghindari jalan yang rusak.
[526] Penderitaan akan menghampirinya
bilamana seseorang berada dalam rombongan orang dungu:
Janganlah bergaul dengan orang dungu,
persahabatan dengan orang dungu
merupakan mangsa bagi penderitaan.
Setelah dinasihati demikian oleh ayahnya, pemuda itu berkata, “Jika saya pergi ke tempat tinggal manusia, saya tidak akan menemukan orang bijak seperti ayah. Saya menjadi takut untuk pergi ke sana. Saya akan tinggal di sini bersama denganmu.” Kemudian ayahnya kembali memberikan nasihat kepadanya dan mengajarkan kepadanya meditasi pendahuluan kasiṇa. Dan tidak lama setelah itu, anaknya memperoleh kesaktian dan pencapaian meditasi, dan bersama dengan ayahnya mengalami kelahiran kembali di alam brahma.
____________________
Sang Guru memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka setelah uraian-Nya selesai:—Di akhir kebenarannya, bhikkhu yang tadinya menyesal itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—“Pada masa itu, petapa muda adalah bhikkhu yang menyesal, wanita di kisah itu sama dengan wanita yang ada dalam kehidupan ini, sedangkan ayahnya adalah saya sendiri.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com