CATU-DVĀRA-JĀTAKA
Catudvārajātaka (Ja 439)
[1] “Empat pintu gerbang,” dan seterusnya—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang seseorang yang tidak patuh.
Situasi cerita ini telah dikemukakan sebelumnya di kisah kelahiran (jataka) yang pertama di Buku IX1.
Di sini Sang Guru bertanya kembali kepada bhikkhu tersebut, “Apakah benar seperti yang mereka katakan bahwa Anda tidak patuh?”
“Ya, Bhante.”
“Di masa lampau,” Beliau berkata, “ketika dengan tidak patuh Anda menolak untuk melakukan permintaan orang bijak, sebuah roda pisau diberikan kepadamu.”
Dan Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala, di masa kehidupan Buddha Kassapa, hiduplah seorang saudagar di kota Bārāṇasi (Benares) yang memiliki kekayaan sebesar delapan ratus juta rupee dan memiliki seorang putra yang bernama Mittavindaka.
Ayah dan ibu dari laki-laki ini telah mencapai kesucian tingkat pertama (sotāpanna), sedangkan ia sendiri adalah orang yang jahat, seseorang yang tidak mau percaya.
Ketika ayahnya meninggal dan telah tiada, ibunya, yang menggantikan posisi ayahnya untuk menjaga harta kekayaan mereka, berkata demikian kepada putranya:—“Putraku, sangat sulit bagi seseorang untuk terlahir di alam Manusia2; berdanalah, jagalah sila, laksanakanlah laku uposatha, dengarkanlah khotbah Dhamma.”
Kemudian ia berkata, “Ibu, bagiku tidak ada yang namanya pemberian dana atau apapun itu; jangan pernah sebutkan itu di hadapanku; karena saya hidup, demikianlah saya akan membayarnya di sini.”
Pada suatu hari uposatha di saat bulan purnama, ia berbicara seperti ini dan ibunya menjawab, “Putraku, hari ini adalah hari uposatha yang suci. Hari ini laksanakanlah laku uposatha, pergilah ke vihāra (vihara), dan dengarkanlah khotbah Dhamma sepanjang hari. Sewaktu kembali, saya akan memberikanmu uang seribu keping.”
Dikarenakan keinginan untuk mendapatkan uang itu, anaknya pun setuju untuk melakukan semuanya. Segera setelah sarapan pagi, ia pergi ke vihara dan menghabiskan waktu siang harinya di sana. Akan tetapi di malam harinya dimana ia seharusnya mendengarkan Dhamma, [2] ia malah berbaring di satu tempat dan tertidur. Keesokan harinya, pagi-pagi buta, ia mencuci wajahnya, pulang ke rumahnya dan duduk.
Waktu itu ibunya berpikir dalam dirinya sendiri, “Setelah mendengarkan Dhamma, hari ini putraku akan pulang di pagi hari dengan membawa Thera (bhikkhu senior) yang memberikan khotbah Dhamma.” Maka ia menyiapkan bubur, makanan yang keras dan lunak, menyiapkan tempat duduk, dan menunggu kedatangannya.
Ketika melihat anaknya pulang hanya sendirian, ia berkata, “Putraku, mengapa Anda tidak membawa pengkhotbah Dhamma bersamamu?”—“Tidak ada pengkhotbah Dhamma untukku!” katanya. Wanita itu berkata, “Kalau begitu, kemarilah, makanlah bubur ini.” “Ibu, Anda berjanji memberikanku uang seribu keping, berikan uang itu terlebih dahulu baru saya akan memakannya.” “Putraku, makanlah dulu, baru nanti saya berikan uangnya.” “Saya tidak akan makan sebelum saya mendapatkan uang itu.” Kemudian ibunya meletakkan dompet yang berisikan uang seribu keping di hadapannya. Anaknya memakan bubur itu, kemudian mengambil dompet itu dan pergi melakukan urusannya. Dan dari sana, ia memperoleh uang sebanyak dua juta dalam waktu singkat.
Kemudian terpikir olehnya untuk membeli sebuah kapal dan menjalankan usaha dengan kapal itu. Maka ia membeli sebuah kapal dan berkata kepada ibunya, “Ibu, saya bermaksud untuk menjalankan usaha dengan kapal ini.” Ibunya berkata, “Anda adalah putraku satu-satunya dan di rumah ini ada banyak harta kekayaan. Laut itu penuh dengan bahaya. Jangan pergi!” Tetapi anaknya berkata, “Saya akan pergi dan Anda tidak akan bisa menghalangiku.” “Ya, saya akan menghalangimu,” jawab ibunya, dan memegang tangannya. Akan tetapi ia menepis tangan ibunya dan mendorongnya hingga terjatuh, kemudian pergi dan menuju ke perjalanannya.
Pada hari ketujuh, kapal itu berada di lautan dalam tidak bisa bergerak disebabkan oleh Mittavindaka. Mereka melakukan pengundian dan tiga kali undian itu jatuh ke tangan Mittavindaka. Kemudian mereka memberikan sebuah rakit kepadanya dan berkata, “Jangan biarkan banyak orang mati hanya gara-gara menyelamatkan yang satu ini,” mereka menurunkannya dari kapal ke rakit itu di lautan luas. Dalam sekejap, kapal itu melaju dengan cepat.
Dan dengan rakitnya itu, Mittavindaka sampai di sebuah pulau. Di sana di sebuah istana kaca, ia bertemu dengan empat setan wanita yang telah meninggal (petī). [3] Mereka ini biasanya berada dalam penderitaan selama tujuh hari dan tujuh hari berada dalam kebahagiaan. Bersama dengan mereka, ia merasakan kebahagiaan surgawi. Kemudian, di saat tiba waktunya bagi mereka untuk menjalankan penebusan dosa, mereka berkata, “Tuan, kami akan pergi meninggalkanmu selama tujuh hari. Selagi kami tidak ada, tetap tinggallah di sini dan jangan bersedih.” Setelah berkata demikian, mereka pergi.
Tetapi dikarenakan rasa kesepiannya, ia mendayung rakitnya lagi di lautan menuju ke pulau kecil lainnya. Di sana di istana perak, ia melihat delapan petī lainnya. Dengan cara yang sama, ia melihat enam belas petī di istana permata di pulau lainnya, dan kemudian di pulau berikutnya ada tiga puluh dua petī yang berada di istana emas. Dengan ini, seperti sebelumnya, ia tinggal dalam kebahagiaan surgawi dan ketika petī-petī tersebut pergi untuk menjalankan penebusan dosa, ia juga akan pergi mengarungi lautan dengan rakitnya; sampai akhirnya ia melihat sebuah kota dengan empat pintu gerbang yang dikelilingi oleh sebuah dinding. Dikatakan, itu adalah alam Neraka Ussada (ussadaniraya), yaitu tempat dimana banyak makhluk hidup yang dihukum, menanggung hasil dari perbuatan mereka sendiri. Tetapi bagi Mittavindaka, itu kelihatan seperti sebuah kota yang indah.
Ia berpikir, “Saya akan mengunjungi tempat itu dan menjadi raja di sana.” Maka ia pun memasuki tempat itu dan di sana ia melihat satu makhluk dalam penyiksaan, menyangga sebuah roda yang setajam pisau. Akan tetapi bagi Mittavindaka, roda berpisau yang ada di kepalanya itu kelihatan seperti bunga teratai yang bermekaran; lima rantai belenggu yang ada di dadanya kelihatan seperti aksesoris pakaian sangat bagus dan mahal; darah yang menetes keluar dari kepalanya kelihatan seperti cairan minyak wangi kayu cendana; suara rintihannya terdengar seperti nyanyian lagu yang sangat indah.
Mittavindaka mendekati makhluk tersebut dan berkata, “Hai, manusia! Sudah lama Anda mengangkat bunga teratai itu, sekarang berikanlah itu kepadaku!” Ia menjawab, “Tuan, ini bukanlah bunga teratai, tetapi ini adalah roda yang berpisau.” Mittavindaka berkata, “Ah, Anda berkata demikian karena tidak ingin memberikannya.” Makhluk yang mengalami penderitaan ini berpikir, “Kamma burukku pasti telah berakhir. Tidak diragukan lagi orang ini, seperti diriku sebelumnya, berada di tempat ini karena memukul ibunya. Baiklah, saya berikan roda berpisau ini kepadanya.” Kemudian ia berkata, “Kalau begitu, ambillah teratai ini,” dengan kata-kata itu ia meletakkan roda tersebut di atas kepala Mittavindaka. Setelah itu, roda berpisau tersebut jatuh menancap masuk ke dalam kepalanya. Waktu itu juga Mittavindaka baru menyadari [4] bahwa itu adalah sebuah roda berpisau, dan ia berkata, “Ambil kembali rodamu, ambil kembali rodamu!” dengan merintih kesakitan. Akan tetapi, makhluk itu sudah menghilang.
Pada waktu itu, Bodhisatta dengan rombongannya sedang berkeliling di alam Neraka Ussada sampai di tempat tersebut. Mittavindaka yang melihatnya langsung berteriak, “Raja para dewa, roda berpisau ini menusuk dan menyakiti diriku seperti sebuah alu yang menghancurkan biji-bijian! dosa apa yang telah kuperbuat?” dalam menanyakan pertanyaan tersebut, ia mengucapkan dua bait kalimat berikut ini:
“Empat pintu gerbang dalam kota besi ini,
dimana diriku terperangkap dan tertangkap:
Di sekelilingku adalah benteng.
Perbuatan jahat apa yang telah kuperbuat?
“Sekarang pintu gerbang tempat ini akan ditutup,
roda ini menghancurkanku:
Mengapa saya ditangkap seperti burung dalam sangkar?
Mengapa, Yakkha, harus seperti ini kejadiannya?”
Kemudian raja para dewa itu mengucapkan bait-bait kalimat berikut ini untuk menjelaskan permasalahannya:
“Saudaraku yang baik,
Anda berhutang sebanyak dua juta:
Kepada seseorang yang khotbahnya
tidak Anda dengarkan di saat ia memaparkannya.
“Dengan cepat Anda pergi mengarungi lautan,
suatu hal yang berbahaya, saya rasa;
Keempat makhluk halus itu, kedelapan,
langsung Anda datangi, dan
dari kedelapan itu menuju keenam belas,
“Dan dari keenam belas itu
menuju ketiga puluh dua, dan
nafsu keinginan yang selalu dirasakan:
Lihatlah sekarang roda yang ada di kepalamu ini,
akibat dari ucapanmu.
“Barang siapa yang mengikuti nafsu keinginannya,
yang selalu ada dalam segala keadaan,
Keinginan besar itu, yang tidak pernah puas,
—roda ini harus dipanggul oleh mereka.
“Barang siapa yang tidak bersedia mengorbankan kekayaan,
tidak juga mengikuti jalan (yang benar),
Yang tidak mengetahui semua ini,
—roda ini harus dipanggul oleh mereka.
[5] “Cermati tindakan dan juga harta nan melimpahmu,
Janganlah menginginkan untuk menjadi
Pelaku kamma buruk; Lakukanlah apa yang dinasehatkan
oleh sahabat-sahabatmu,
Dan roda ini tidak akan pernah mendekati dirimu.”
[6] Mendengar ini, Mittavindaka berpikir dalam dirinya sendiri, “Putra para dewa ini telah menjelaskan secara lengkap apa yang telah kuperbuat sebelumnya. Pasti ia juga mengetahui berapa lama hukumanku ini.”
Dan ia mengucapkan bait kesembilan berikut ini:
“Berapa lama, O Yakkha,
roda ini akan tetap berada di atas kepalaku?
Berapa ribu tahun? Katakanlah,
jangan biarkan diriku bertanya sia-sia!”
Kemudian Mahāsatta (Sang Mahasatwa) memaparkan masalahnya dalam bait kesepuluh berikut ini:
“Roda itu akan berguling, dan terus berguling,
tidak akan ada penyelamat yang muncul,
Menggantikan dirimu sampai Anda mati
—dengarlah, O Mittavindaka!”
Setelah berkata demikian, Makhluk dewa itu kembali ke tempat kediamannya sendiri, sedangkan Mittavindaka menjalani penderitaan yang amat berat itu.
____________________
Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran ini:—“Pada masa itu, bhikkhu yang tidak patuh adalah Mittavindaka, dan saya sendiri adalah raja para dewa.”
Situasi cerita ini telah dikemukakan sebelumnya di kisah kelahiran (jataka) yang pertama di Buku IX1.
Di sini Sang Guru bertanya kembali kepada bhikkhu tersebut, “Apakah benar seperti yang mereka katakan bahwa Anda tidak patuh?”
“Ya, Bhante.”
“Di masa lampau,” Beliau berkata, “ketika dengan tidak patuh Anda menolak untuk melakukan permintaan orang bijak, sebuah roda pisau diberikan kepadamu.”
Dan Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala, di masa kehidupan Buddha Kassapa, hiduplah seorang saudagar di kota Bārāṇasi (Benares) yang memiliki kekayaan sebesar delapan ratus juta rupee dan memiliki seorang putra yang bernama Mittavindaka.
Ayah dan ibu dari laki-laki ini telah mencapai kesucian tingkat pertama (sotāpanna), sedangkan ia sendiri adalah orang yang jahat, seseorang yang tidak mau percaya.
Ketika ayahnya meninggal dan telah tiada, ibunya, yang menggantikan posisi ayahnya untuk menjaga harta kekayaan mereka, berkata demikian kepada putranya:—“Putraku, sangat sulit bagi seseorang untuk terlahir di alam Manusia2; berdanalah, jagalah sila, laksanakanlah laku uposatha, dengarkanlah khotbah Dhamma.”
Kemudian ia berkata, “Ibu, bagiku tidak ada yang namanya pemberian dana atau apapun itu; jangan pernah sebutkan itu di hadapanku; karena saya hidup, demikianlah saya akan membayarnya di sini.”
Pada suatu hari uposatha di saat bulan purnama, ia berbicara seperti ini dan ibunya menjawab, “Putraku, hari ini adalah hari uposatha yang suci. Hari ini laksanakanlah laku uposatha, pergilah ke vihāra (vihara), dan dengarkanlah khotbah Dhamma sepanjang hari. Sewaktu kembali, saya akan memberikanmu uang seribu keping.”
Dikarenakan keinginan untuk mendapatkan uang itu, anaknya pun setuju untuk melakukan semuanya. Segera setelah sarapan pagi, ia pergi ke vihara dan menghabiskan waktu siang harinya di sana. Akan tetapi di malam harinya dimana ia seharusnya mendengarkan Dhamma, [2] ia malah berbaring di satu tempat dan tertidur. Keesokan harinya, pagi-pagi buta, ia mencuci wajahnya, pulang ke rumahnya dan duduk.
Waktu itu ibunya berpikir dalam dirinya sendiri, “Setelah mendengarkan Dhamma, hari ini putraku akan pulang di pagi hari dengan membawa Thera (bhikkhu senior) yang memberikan khotbah Dhamma.” Maka ia menyiapkan bubur, makanan yang keras dan lunak, menyiapkan tempat duduk, dan menunggu kedatangannya.
Ketika melihat anaknya pulang hanya sendirian, ia berkata, “Putraku, mengapa Anda tidak membawa pengkhotbah Dhamma bersamamu?”—“Tidak ada pengkhotbah Dhamma untukku!” katanya. Wanita itu berkata, “Kalau begitu, kemarilah, makanlah bubur ini.” “Ibu, Anda berjanji memberikanku uang seribu keping, berikan uang itu terlebih dahulu baru saya akan memakannya.” “Putraku, makanlah dulu, baru nanti saya berikan uangnya.” “Saya tidak akan makan sebelum saya mendapatkan uang itu.” Kemudian ibunya meletakkan dompet yang berisikan uang seribu keping di hadapannya. Anaknya memakan bubur itu, kemudian mengambil dompet itu dan pergi melakukan urusannya. Dan dari sana, ia memperoleh uang sebanyak dua juta dalam waktu singkat.
Kemudian terpikir olehnya untuk membeli sebuah kapal dan menjalankan usaha dengan kapal itu. Maka ia membeli sebuah kapal dan berkata kepada ibunya, “Ibu, saya bermaksud untuk menjalankan usaha dengan kapal ini.” Ibunya berkata, “Anda adalah putraku satu-satunya dan di rumah ini ada banyak harta kekayaan. Laut itu penuh dengan bahaya. Jangan pergi!” Tetapi anaknya berkata, “Saya akan pergi dan Anda tidak akan bisa menghalangiku.” “Ya, saya akan menghalangimu,” jawab ibunya, dan memegang tangannya. Akan tetapi ia menepis tangan ibunya dan mendorongnya hingga terjatuh, kemudian pergi dan menuju ke perjalanannya.
Pada hari ketujuh, kapal itu berada di lautan dalam tidak bisa bergerak disebabkan oleh Mittavindaka. Mereka melakukan pengundian dan tiga kali undian itu jatuh ke tangan Mittavindaka. Kemudian mereka memberikan sebuah rakit kepadanya dan berkata, “Jangan biarkan banyak orang mati hanya gara-gara menyelamatkan yang satu ini,” mereka menurunkannya dari kapal ke rakit itu di lautan luas. Dalam sekejap, kapal itu melaju dengan cepat.
Dan dengan rakitnya itu, Mittavindaka sampai di sebuah pulau. Di sana di sebuah istana kaca, ia bertemu dengan empat setan wanita yang telah meninggal (petī). [3] Mereka ini biasanya berada dalam penderitaan selama tujuh hari dan tujuh hari berada dalam kebahagiaan. Bersama dengan mereka, ia merasakan kebahagiaan surgawi. Kemudian, di saat tiba waktunya bagi mereka untuk menjalankan penebusan dosa, mereka berkata, “Tuan, kami akan pergi meninggalkanmu selama tujuh hari. Selagi kami tidak ada, tetap tinggallah di sini dan jangan bersedih.” Setelah berkata demikian, mereka pergi.
Tetapi dikarenakan rasa kesepiannya, ia mendayung rakitnya lagi di lautan menuju ke pulau kecil lainnya. Di sana di istana perak, ia melihat delapan petī lainnya. Dengan cara yang sama, ia melihat enam belas petī di istana permata di pulau lainnya, dan kemudian di pulau berikutnya ada tiga puluh dua petī yang berada di istana emas. Dengan ini, seperti sebelumnya, ia tinggal dalam kebahagiaan surgawi dan ketika petī-petī tersebut pergi untuk menjalankan penebusan dosa, ia juga akan pergi mengarungi lautan dengan rakitnya; sampai akhirnya ia melihat sebuah kota dengan empat pintu gerbang yang dikelilingi oleh sebuah dinding. Dikatakan, itu adalah alam Neraka Ussada (ussadaniraya), yaitu tempat dimana banyak makhluk hidup yang dihukum, menanggung hasil dari perbuatan mereka sendiri. Tetapi bagi Mittavindaka, itu kelihatan seperti sebuah kota yang indah.
Ia berpikir, “Saya akan mengunjungi tempat itu dan menjadi raja di sana.” Maka ia pun memasuki tempat itu dan di sana ia melihat satu makhluk dalam penyiksaan, menyangga sebuah roda yang setajam pisau. Akan tetapi bagi Mittavindaka, roda berpisau yang ada di kepalanya itu kelihatan seperti bunga teratai yang bermekaran; lima rantai belenggu yang ada di dadanya kelihatan seperti aksesoris pakaian sangat bagus dan mahal; darah yang menetes keluar dari kepalanya kelihatan seperti cairan minyak wangi kayu cendana; suara rintihannya terdengar seperti nyanyian lagu yang sangat indah.
Mittavindaka mendekati makhluk tersebut dan berkata, “Hai, manusia! Sudah lama Anda mengangkat bunga teratai itu, sekarang berikanlah itu kepadaku!” Ia menjawab, “Tuan, ini bukanlah bunga teratai, tetapi ini adalah roda yang berpisau.” Mittavindaka berkata, “Ah, Anda berkata demikian karena tidak ingin memberikannya.” Makhluk yang mengalami penderitaan ini berpikir, “Kamma burukku pasti telah berakhir. Tidak diragukan lagi orang ini, seperti diriku sebelumnya, berada di tempat ini karena memukul ibunya. Baiklah, saya berikan roda berpisau ini kepadanya.” Kemudian ia berkata, “Kalau begitu, ambillah teratai ini,” dengan kata-kata itu ia meletakkan roda tersebut di atas kepala Mittavindaka. Setelah itu, roda berpisau tersebut jatuh menancap masuk ke dalam kepalanya. Waktu itu juga Mittavindaka baru menyadari [4] bahwa itu adalah sebuah roda berpisau, dan ia berkata, “Ambil kembali rodamu, ambil kembali rodamu!” dengan merintih kesakitan. Akan tetapi, makhluk itu sudah menghilang.
Pada waktu itu, Bodhisatta dengan rombongannya sedang berkeliling di alam Neraka Ussada sampai di tempat tersebut. Mittavindaka yang melihatnya langsung berteriak, “Raja para dewa, roda berpisau ini menusuk dan menyakiti diriku seperti sebuah alu yang menghancurkan biji-bijian! dosa apa yang telah kuperbuat?” dalam menanyakan pertanyaan tersebut, ia mengucapkan dua bait kalimat berikut ini:
“Empat pintu gerbang dalam kota besi ini,
dimana diriku terperangkap dan tertangkap:
Di sekelilingku adalah benteng.
Perbuatan jahat apa yang telah kuperbuat?
“Sekarang pintu gerbang tempat ini akan ditutup,
roda ini menghancurkanku:
Mengapa saya ditangkap seperti burung dalam sangkar?
Mengapa, Yakkha, harus seperti ini kejadiannya?”
Kemudian raja para dewa itu mengucapkan bait-bait kalimat berikut ini untuk menjelaskan permasalahannya:
“Saudaraku yang baik,
Anda berhutang sebanyak dua juta:
Kepada seseorang yang khotbahnya
tidak Anda dengarkan di saat ia memaparkannya.
“Dengan cepat Anda pergi mengarungi lautan,
suatu hal yang berbahaya, saya rasa;
Keempat makhluk halus itu, kedelapan,
langsung Anda datangi, dan
dari kedelapan itu menuju keenam belas,
“Dan dari keenam belas itu
menuju ketiga puluh dua, dan
nafsu keinginan yang selalu dirasakan:
Lihatlah sekarang roda yang ada di kepalamu ini,
akibat dari ucapanmu.
“Barang siapa yang mengikuti nafsu keinginannya,
yang selalu ada dalam segala keadaan,
Keinginan besar itu, yang tidak pernah puas,
—roda ini harus dipanggul oleh mereka.
“Barang siapa yang tidak bersedia mengorbankan kekayaan,
tidak juga mengikuti jalan (yang benar),
Yang tidak mengetahui semua ini,
—roda ini harus dipanggul oleh mereka.
[5] “Cermati tindakan dan juga harta nan melimpahmu,
Janganlah menginginkan untuk menjadi
Pelaku kamma buruk; Lakukanlah apa yang dinasehatkan
oleh sahabat-sahabatmu,
Dan roda ini tidak akan pernah mendekati dirimu.”
[6] Mendengar ini, Mittavindaka berpikir dalam dirinya sendiri, “Putra para dewa ini telah menjelaskan secara lengkap apa yang telah kuperbuat sebelumnya. Pasti ia juga mengetahui berapa lama hukumanku ini.”
Dan ia mengucapkan bait kesembilan berikut ini:
“Berapa lama, O Yakkha,
roda ini akan tetap berada di atas kepalaku?
Berapa ribu tahun? Katakanlah,
jangan biarkan diriku bertanya sia-sia!”
Kemudian Mahāsatta (Sang Mahasatwa) memaparkan masalahnya dalam bait kesepuluh berikut ini:
“Roda itu akan berguling, dan terus berguling,
tidak akan ada penyelamat yang muncul,
Menggantikan dirimu sampai Anda mati
—dengarlah, O Mittavindaka!”
Setelah berkata demikian, Makhluk dewa itu kembali ke tempat kediamannya sendiri, sedangkan Mittavindaka menjalani penderitaan yang amat berat itu.
____________________
Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran ini:—“Pada masa itu, bhikkhu yang tidak patuh adalah Mittavindaka, dan saya sendiri adalah raja para dewa.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com