Sariputta | Suttapitaka | KAṆHA-JĀTAKA Sariputta

KAṆHA-JĀTAKA

Kaṇhajātaka (Ja 440)

“Melihat laki-laki di sana,” dan seterusnya.—
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di taman beringin (Nigrodha Arama), Kapilavatthu, tentang senyuman. [7] Dikatakan, waktu itu Sang Guru sedang mengembara
berjalan kaki dengan rombongan bhikkhu di Nigrodha Arama pada sore hari. Setibanya di suatu tempat di sana, Beliau tersenyum. Ānanda Thera (Ananda Thera) berkata, “Apa yang
menjadi penyebab, apa yang menjadi alasan bagi Sang Bhagavā (Bhagava) tersenyum? Sang Tathāgata (Tathagata) tidak akan tersenyum tanpa alasan. Saya akan bertanya kepada Beliau.” Maka dengan cara yang sopan, Ananda bertanya kepada Beliau tentang senyuman itu. Kemudian Sang Guru berkata kepadanya, “Ananda, di masa lampau ada seorang suci bernama Kaṇha yang tinggal di bumi ini dengan bermeditasi, dan mencapai jhāna (jhana) dalam meditasinya; dan dengan kekuatan dari sila-nya tempat kediaman Dewa Sakka tergoyahkan.” Tetapi karena pembicaraan tentang senyuman ini tidak begitu jelas, Beliau menceritakan kisah masa lampau tersebut atas permintaan Ananda.

Dahulu kala ketika Brahmadatta berkuasa di Benares, ada seorang brahmana yang tidak mempunyai anak tetapi memiliki harta kekayaan sebesar delapan ratus juta rupee. Ia
mengambil sumpah untuk selalu melaksanakan sila bila dikaruniai seorang anak. Dan oleh karenanya, Bodhisatta terlahir di dalam kandungan istri brahmana itu. Disebabkan oleh warna
kulitnya yang gelap, mereka menamakan anak itu KaṇhaKumāra, artinya si Hitam Yang Muda. Di usia enam belas tahun, ia memiliki semua keindahan dengan penampilan yang kelihatan seperti sebuah batu permata yang berharga dan ia dikirim oleh ayahnya ke Takkasilā (Takkasila), dimana ia mempelajari semua ilmu pengetahuan. Setelah selesai belajar, ia kembali lagi. Kemudian ayahnya mencarikan seorang istri untuk dirinya. Dan pada akhirnya ia mewarisi semua harta benda milik orang tuanya.

Pada suatu hari, setelah ia selesai memeriksa tempat penyimpanan harta kekayaannya, ia meletakkan sebuah piring emas di tangannya dan membaca baris-baris kalimat ini yang
terdapat di piring tersebut selagi ia duduk di dipan yang sangat bagus, “Demikianlah jumlah harta kekayaan yang dikumpulkan oleh satu orang, demikian banyak oleh yang lain,” ia berpikir, “Mereka yang mengumpulkan harta kekayaan ini tidak ada di dunia ini lagi, tetapi kekayaannya masih dapat terlihat. Tidak ada seorangpun yang dapat membawa harta ini bersamanya ke tempat mereka pergi; kita tidak dapat mengikat harta kekayaan dalam satu bundelan dan membawanya bersama ke kehidupan berikutnya. Dengan melihat bahwa hal ini berkaitan dengan lima perbuatan jahat, memberikan harta ini sebagai dana adalah hal yang lebih baik. Dengan melihat bahwa tubuh yang sia-sia ini dapat dipenuhi dengan berbagai jenis penyakit, dapat menghormati dan menjalankan sila adalah hal yang lebih baik.

Dengan melihat bahwa kehidupan ini hanyalah untuk sementara waktu saja, mencari pengetahuan spiritual adalah hal yang lebih baik. Oleh karena itu, harta kekayaan yang sia-sia ini akan kubagikan sebagai derma dan dengan melakukan hal yang demikian saya mungkin akan mendapatkan bagian yang lebih baik.” Maka ia bangkit dari tempat ia duduk, membagikan
kekayaannya secara cuma-cuma sebagai derma setelah sebelumnya mendapat izin dari raja.

Di hari ketujuh [8] karena melihat tidak ada pengurangan yang berarti dalam harta kekayaannya, ia berpikir, “Apa arti kekayaan ini bagi diriku? Selagi belum dikuasai usia tua, sekarang saya akan mengambil sumpah petapa (menjadi seorang petapa), saya akan mengembangkan kesaktian dan pencapaian meditasi, saya akan tumimbal lahir di alam Brahma!” Maka ia membuka pintu rumahnya lebar-lebar dan meminta orang-orang mengambil apa saja sesuka hati. Memandang hartanya itu sebagai hal yang tidak bersih, ia meninggalkan nafsu inderawi yang ditimbulkan oleh mata. Di tengah-tengah ratapan dan tangisan dari orang banyak, ia pergi keluar dari kota tersebut sampai ke daerah pegunungan Himalaya. Di sana ia menjalani hidup menyendiri dengan mencari tempat yang nyaman untuk ditempati, ia menemukan tempat dimana ia memilih untuk tinggal, dengan memilih pohon labu untuk makanan. Ia menjadi penghuni hutan yang tidak pernah tinggal di desa, ia tidak membuat sebuah gubuk daun, hanya tinggal di bawah kaki pohon tersebut, di tempat terbuka, dengan posisi duduk; ketika ia ingin berbaring, ia akan berbaring di atas tanah; tidak menggunakan alu atau alat apapun selain giginya untuk menghaluskan makanan, memakan makanan yang tidak
dimasak dengan api, dan bahkan tidak pernah sama sekali nasi masuk ke dalam mulutnya, makan hanya satu kali dalam satu hari dan melakukan kegiatannya hanya dengan duduk. Ia hidup di atas tanah, seolah-olah ia seperti menyatu dengan3 keempat unsur menjalankan kebajikan seorang petapa 4 . Di dalam kelahiran itu, seperti yang kita pelajari, Bodhisatta hanya memiliki sedikit keinginan.

Tidak lama tinggal di sana, ia mencapai kesaktian dan pengembangan meditasi itu, dan berdiam di tempat tersebut dalam kebahagiaan pencapaian jhana. Untuk mendapatkan
buah-buahan (yang tumbuh) liar, ia tidak akan pergi ke tempat lain; ketika pohon tempat ia tinggal berbuah, ia makan buah; ketika bunga yang tumbuh, ia makan bunga; ketika daun yang tumbuh, ia makan daun; ketika tidak ada daun, ia makan kulit pohon. Demikianlah ia tinggal lama di tempat itu dengan perasaan puas yang tinggi. Di pagi hari, biasanya ia memetik buah dari pohon itu. Ia tidak pernah dikarenakan keserakahan bangkit dari pohon itu dan memetik buah dari pohon lain. Di tempat ia duduk, ia hanya dengan menjulurkan tangannya untuk memetik buah yang berada dalam jangkauan tangannya. Buah itu akan dimakan semuanya tanpa membedakan yang enak maupun yang tidak. Karena ia tetap merasa gembira melakukan ini, dikarenakan kekuatan silanya, tahta marmar kuning Dewa Sakka menjadi panas. (Dikatakan, tahta ini menjadi panas ketika kehidupan dari Dewa Sakka sudah hampir berakhir, atau ketika jasa kebajikannya sudah hampir habis, [9] atau ketika ada makhluk agung berdoa, disebabkan keberhasilan seorang petapa dalam kebajikan atau ketika ada brahmana yang penuh dengan segala kemampuan5.)

Kemudian Dewa Sakka berpikir, “Siapa gerangan ini yang akan membuatku turun tahta sekarang?” Setelah memeriksa sekeliling, ia melihat Yang Suci Kaṇha yang tinggal di
dalam hutan di suatu tempat sedang memetik buah, dan mengetahui bahwa di sana adalah orang suci yang sangat sederhana, meninggalkan semua kesenangan inderawi. Ia berpikir, “Saya akan pergi menemuinya. Saya akan membuatnya memberikan wejangan dengan bunyi trumpet dan setelah mendengar ajaran yang memberikan kedamaian itu, saya akan
memuaskannya dengan anugerah, membuat pohonnya itu berbuah tiada henti baru saya akan kembali kemari.” Kemudian dengan kekuatan agungnya ia turun dari tahtanya menuju ke
sana. Ia berdiri di akar pohon itu di belakang orang suci tersebut dan mengucapkan bait pertama berikut ini tentang rupa buruknya untuk menguji apakah dirinya akan marah atau tidak:

“Melihat laki-laki di sana, semuanya berwarna hitam, yang tinggal di tempat gelap ini,
Hitam juga adalah makanan yang dimakannya—diriku tidak menyukainya!”

Kaṇha hitam mendengar perkataan ini. “Siapa ini yang berbicara kepadaku?—” Dengan pengetahuan batinnya, ia mengetahui bahwa itu adalah Dewa Sakka. Dengan tanpa
berpaling ke belakang, ia menjawabnya dengan mengucapkan bait kedua berikut ini:

“O Sakka, lihatlah, meskipun berwarna hitam gelap,
tetapi brahmana ini benar di hati:
Jika seseorang melakukan perbuatan dosa, ia menjadi
hitam, bukan di warna kulitnya.”

Dan kemudian setelah menjelaskan beberapa macam hal yang menyebabkan makhluk hidup menjadi hitam, dan memuji kebaikan dari kebajikan, [10] ia memberikan khotbah
kepada Dewa Sakka seolah-olah seperti ia dapat membuat bulan muncul di langit. Mendengar khotbahnya tersebut, Sakka merasa terpikat dan bahagia. Ia menawarkan anugerah kepada Sang Mahasatwa dengan mengucapkan bait ketiga berikut ini:

“Brahmana, berbicara dengan baik, dengan mulia,
dengan sangat baik menjawab:
Katakan apa yang Anda inginkan—seperti yang diminta
oleh hatimu, jadi buatlah pilihan Anda.”

Ketika mendengar ini, Sang Mahasatwa berpikir demikian dalam dirinya sendiri, “Saya tahu apa tujuan pertanyaan itu sebenarnya. Dia tadinya menguji diriku untuk melihat apakah saya akan menjadi marah ketika ia mengatakan tentang kejelekanku. Oleh karena itu, ia mengolok-olok warna kulitku, makananku, tempat tinggalku. Merasa bahwa melihat diriku tidak menjadi marah, ia menjadi senang dan menawarkan anugerah kepadaku. Tidak diragukan lagi ia pasti berpikir saya melatih jalan kehidupan ini dikarenakan keinginan untuk menjadi
Dewa Sakka atau Brahma. Dan untuk membuatnya yakin, saya akan memilih empat hadiah berikut: agar saya menjadi tenang, agar saya tidak memiliki kebencian atau niat jahat terhadap makhluk lain, agar saya tidak memiliki keserakahan terhadap kemuliaan tetangga saya, dan agar saya tidak memiliki nafsu keinginan terhadap tetangga saya.” Setelah berpikir demikian, orang bijak itu mengucapkan bait keempat berikut untuk memecahkan keraguan Dewa Sakka dan juga untuk meminta keempat anugerah tersebut:

“Sakka, Tuan semua makhluk hidup, kabulkanlah
harapan saya,
Sehingga kelakuan saya bebas dari kemarahan, bebas
dari kebencian, bebas dari keserakahan.
Semoga saya bebas dari nafsu.
Inilah empat harapan saya.

[11] Berikut ini Sakka berpikir, “Kaṇha yang suci memilih empat berkah tak bercela sebagai anugerahnya. Saya akan menanyakan apa yang baik dan apa yang buruk dari keempat hal
tersebut.” Dan ia menanyakan pertanyaan dengan mengucapkan bait kelima berikut ini:

“Brahmana memilih untuk bebas dari kemarahan, bebas
dari kebencian, bebas dari keserakahan, dan bebas dari
nafsu.
Hal buruk apa yang terdapat dalam semua hal itu?
kumohon jawablah ini.”

“Dengarlah ini kalau begitu,” jawab Sang Mahasatwa, dan ia mengucapkan keempat bait berikut ini:

“Karena kebencian, keinginan jahat, tumbuh dari kecil
sampai besar,
Kehidupan selalu dipenuhi penderitaan, oleh karenanya,
saya menginginkan tidak ada kebencian.

“Hal ini selalu terjadi dengan orang jahat: pertama
dengan kata-kata, kemudian menyentuh yang kita lihat,
Kemudian dengan pukulan, dan alat pemukul, dan yang
terakhir dengan senjata:
Dimana ada kemarahan, selalu ada kebencian–oleh
karenanya, saya menginginkan tidak ada kemarahan.

“Ketika orang berlomba-lomba memiliki sesuatu dengan
serakah, akan menimbulkan penipuan
dan kecurangan, Dan juga memunculkan penjarahan yang kejam–oleh
karenanya, saya menginginkan tidak ada keserakahan.

“Keras pastinya belenggu yang disebabkan oleh nafsu,
yang tumbuh dengan subur
Dalam hati, membuahkan penderitaan–oleh karenanya,
saya menginginkan tidak ada nafsu.”

[13] Setelah pertanyaannya dijawab, Sakka membalas, “Kaṇha yang bijaksana, pertanyaanku dijawab dengan bagus oleh Anda, dengan keahlian seorang Buddha. Saya merasa
sangat senang dengan Anda, sekarang pilih anugerah lainnya,” dan ia mengucapkan bait kesepuluh berikut ini:

“Brahmana, berbicara dengan baik, dengan mulia,
dengan sangat baik menjawab:
Katakan apa yang Anda inginkan—seperti yang diminta
oleh hatimu, jadi buatlah pilihan Anda.”

Dengan segera, Bodhisatta mengucapkan satu bait kalimat berikut ini:

“O Sakka, Tuan semua makhluk hidup, Anda memintaku
membuat pilihan.
Di hutan ini tempat saya tinggal, dimana saya
tinggal sendirian,
Kabulkanlah agar tidak ada penyakit yang mengganggu
kedamaianku, atau merusak ketenanganku.”

Setelah mendengar ini, Sakka berpikir, “Kaṇha yang bijak, dalam memilih hadiah, tidak memilih hal-hal yang berhubungan dengan makanan. Semua yang dipilihnya berhubungan dengan kehidupan suci.” Karena merasa senang dan makin senang lagi, ia memberikannya satu lagi pilihan anugerah dan mengucapkan satu bait lain:

“Brahmana, berbicara dengan baik, dengan mulia,
dengan sangat baik menjawab:
Katakan apa yang Anda inginkan—seperti yang diminta
oleh hatimu, jadi buatlah pilihan Anda.”

Dan Bodhisatta dalam mengatakan pilihan hadiahnya, memaparkan ajarannya dalam bait terakhir ini:

[14] “O Sakka, Tuan semua makhluk hidup, Anda memintaku
membuat sebuah pilihan hadiah.
Semoga tidak ada makhluk apapun yang dicelakai
olehku, O Sakka, dimanapun,
Baik oleh tubuhku atau oleh pikiranku: Sakka, inilah
permintaanku.”

Demikianlah Sang Mahasatwa membuat pilihan anugerah dalam enam kesempatan memilih hadiah permintaan, hanya memilih hal yang berhubungan dengan kehidupan yang
meninggalkan kehidupan duniawi. Ia mengetahui dengan jelas bahwa tubuh ini pasti akan dipenuhi dengan penyakit dan Sakka tidak dapat mengatasi penyakit tersebut, dan tidak dengan kebohongan Sakka dapat membersihkan makhluk hidup di tiga tempat 6 ; Walaupun demikian, ia tetap membuat pilihan hadiahnya seperti itu sampai akhirnya ia memiliki kesempatan untuk memaparkan Dhamma kepada Dewa Sakka. Dan akhirnya Dewa Sakka membuat pohon itu berbuah selamanya. Dewa Sakka memberikan salam hormat kepadanya, menyentuh kepalanya dengan kedua tangan dirangkupkan, ia berkata, “Tinggallah di sini selamanya dengan terbebas dari penyakit,” kemudian kembali ke tempat kediamannya sendiri. Bodhisatta, yang tidak meninggalkan latihannya dalam pencapaian jhana, tumimbal lahir di alam Brahma.

Setelah uraian ini selesai disampaikan, Sang Guru berkata, “Ananda, ini adalah tempat dimana saya tinggal sebelumnya,” dan kemudian mempertautkan kisah kelahiran ini:
“Pada masa itu, Anuruddha adalah Dewa Sakka dan saya sendiri adalah Kaṇha yang bijaksana.”

3 Ia tidak memiliki perasaan apapun selain ini.
4 Lihat Childers, hal. 23 a. Kehidupan dari ketiga belas petapa ini termasuk tinggal di bawah pohon, sendirian, di dalam hutan, tidur dalam posisi duduk, hal-hal yang telah disebutkan
sebelumnya di dalam teks.
5 Berikut ini adalah kalimat yang setara dengan kalimat di atas, mengenai tahta dewa Indra:
“Raja memiliki sebuah tempat petapaan pada waktu itu. Ketika mereka tidak tahu bagaimana memberikan keadilan dengan benar, tempat duduk keadilan akan mulai bergoyang, dan leher raja akan terkilir ketika ia tidak melakukan keadilan seperti yang seharusnya dilakukan.”



Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com