DASARATHA-JĀTAKA
Dasarathajātaka (Ja 461)
“Biarkanlah Lakkhaṇa,” dan seterusnya—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana tentang seorang tuan tanah yang ayahnya meninggal.
Di saat ayahnya meninggal, laki-laki ini diliputi oleh kesedihan; tidak melakukan kewajibannya, hanya berpasrah diri dalam kesedihannya.
Pada suatu fajar, Sang Guru melihat keadaan manusia dan mengetahui bahwa laki-laki ini sudah waktunya mencapai tingkat kesucian sotapanna.
Keesokan harinya, setelah berpindapata di kota Savatthi dan selesai makan, Beliau meminta bhikkhu untuk kembali duluan. Beliau membawa seorang bhikkhu junior, [124] pergi ke rumah laki-laki tersebut, memberikan salam kepadanya, dan menyapanya dengan kata-kata yang manis. “Anda sedang berada dalam kesedihan, Upasaka?” kata Beliau. “Ya, Bhante, saya diliputi kesedihan atas kepergian ayahku.”
Sang Guru berkata, “Upasaka, orang bijak di masa lampau yang benar-benar mengetahui tentang delapan kondisi dari dunia ini76, tidak bersedih di saat kematian ayahnya, tidak sedikitpun.”
Kemudian atas permintaannya, beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala di Benares, seorang raja agung bernama Dasaratha memerintah dengan benar, tidak menggunakan cara-cara yang salah.
Dari enam belas ribu istrinya, yang paling tua dan ratunya yang naik tahta saat itu memberikan ia dua orang putra dan seorang putri; putra sulungnya diberi nama Rāmapaṇḍita, atau Rama si Bijaksana, putra yang kedua diberi nama Pangeran Lakkhaṇa, atau Keberuntungan, dan nama putrinya adalah Sitā77.
Seiring berjalannya waktu, ratu meninggal dunia. Di saat ratu meninggal, raja merasa hancur dalam kesedihan untuk waktu yang lama, tetapi dapat dibujuk oleh para menteri istana untuk segera melakukan upacara pemakamannya dan menunjuk istrinya yang lain untuk menduduki posisi tersebut.
Ratunya yang baru ini sangat disayangi dan dicintai raja. Tidak lama kemudian ratu mengandung, di saat perhatian ditujukan kepadanya, ia melahirkan seorang putra, dan mereka memberinya nama pangeran Bharata. Raja sangat mencintai putranya, dan berkata kepada ratu, “Ratu, saya menawarkan Anda sebuah hadiah: pilihlah.” Ratu menerima tawaran itu, tetapi tidak langsung menyebutkan hadiahnya dalam waktu yang lama.
Di saat putranya berusia tujuh tahun, ia pergi menjumpai raja dan berkata kepadanya, “Paduka, Anda pernah berjanji memberikan hadiah untuk putraku. Bolehkah Anda memberikannya kepadaku sekarang?” “Pilihlah, ratu.” “Paduka, berikan kerajaan kepada putraku.” Raja menderikkan jarinya mendengar permintaan ratu, “Keluar Anda, wanita hina!” kata raja dengan marah, “dua orang putraku yang lainnya berjaya seperti kobaran bara api; apakah Anda berniat untuk membunuh mereka dan memberikan kerajaan ini kepada putramu saja?” Ratu tetap meminta ini kepada raja. Raja menolak untuk memberikannya permintaan hadiah tersebut.
Raja berpikir dalam dirinya, “Wanita adalah orang yang tidak tahu berterima kasih dan tidak setia. Wanita ini mungkin akan menggunakan surat palsu atau uang suap untuk menyuruh orang membunuh kedua putraku.” Maka ia memanggil kedua putranya dan memberitahukan segala sesuatu kepada mereka dengan mengatakan, “Putraku, jika kalian tetap tinggal di istana, kemungkinan hal yang buruk akan menimpa diri kalian. Pergilah kalian ke kerajaan tetangga atau ke dalam hutan. Di saat jasadku telah dibakar baru kalian kembali dan warisi kerajaan ini yang memang merupakan kepunyaan keluarga kalian.”
Kemudian raja memanggil para peramal dan menanyakan mereka batas usianya. Mereka memberitahunya bahwa ia akan hidup selama dua belas tahun lagi. [125] Kemudian ia berkata, “Putraku, setelah dua belas tahun kalian harus kembali, dan tegakkan payung kerajaan.” Mereka pun berjanji dan setelah mendapat izin dari ayahnya, mereka pergi dari istana sambil menangis sedih. Putri Sitā berkata, “Saya juga akan ikut dengan kedua abangku,” ia berpamitan dengan ayahnya dan juga ikut pergi dengan mereka sambil menangis.
Ketiga orang ini pergi ditemani oleh sekumpulan banyak orang. Mereka meminta kerumunan orang itu untuk kembali, dan kemudian mereka melanjutkan perjalanan sampai akhirnya tiba di Gunung Himalaya. Di sana, di sebuah tempat yang memiliki mata air dan mudah untuk mendapatkan buah-buahan liar mereka membuat sebuah tempat tinggal. Mereka tinggal di sana bertahan hidup dengan memakan buah-buahan liar.
Lakkhaṇa-paṇḍita dan Sitā berkata kepada Rāmapaṇḍita, “Anda sekarang menjadi seperti ayah bagi kami, tetap tinggal di dalam gubuk ini, kami yang akan mencari buah-buahan dan memberikannya kepadamu.” Ia setuju dengan mereka: mulai saat itu Rāma-paṇḍita tetap berada di dalam gubuk, sementara adik-adiknya mencari dan membawakan buah-buahan untuknya.
Demikianlah mereka tinggal di sana bertahan hidup dengan memakan buah-buahan. Akan tetapi raja Dasaratha sangat bersedih atas kepergian anak-anaknya, dan ia meninggal di tahun kesembilan. Setelah upacara pemakamannya dilaksanakan, ratu memerintahkan untuk memberikan tahta kerajaan kepada putranya, pangeran Bharata. Tetapi para menteri berkata, “Ahli waris tahta kerajaan saat ini sedang tinggal di dalam hutan,” dan mereka tidak menyetujui perintah ratu. Pangeran Bharata berkata, “Saya akan menjemput kembali abangku, Rāma-paṇḍita, dari hutan dan memberikan tahta kerajaan ini kepada dirinya.
Dengan membawa lima lambang kerajaan, ia pergi menuju ke tempat tinggal mereka dengan diikuti empat rombongan 78 . Tidak jauh dari tempat tinggal tersebut, mereka mendirikan perkemahan, kemudian pangeran Bharata dengan beberapa pengawal datang ke tempat tinggal petapaan tersebut di saat Lakkhaṇa-paṇḍita dan Sitā sedang pergi ke dalam hutan.
Rāma-paṇḍita duduk di depan pintu rumahnya dengan damai dan tenang, seperti sebuah patung emas yang berdiri kokoh. Pangeran mendekatinya dan menyapanya, kemudian dengan berdiri di satu sisi ia memberitahukan semuanya yang terjadi di kerajaan sampai bersujud di bawah kakinya bersama dengan para pengawalnya, sambil menangis tersedu-sedu. Rāma-paṇḍita tidak bersedih maupun menangis, tidak ada gejolak emosi yang timbul di dalam dirinya.
Setelah Bharata selesai menangis dan duduk, di saat hari menjelang sore, kedua orang adiknya kembali dengan membawa buah-buahan. Rāma-paṇḍita berpikir,—“Kedua orang ini masih muda; mereka belum dapat memahami kebijaksanaan seperti diriku. [126] Jika mereka secara tiba-tiba diberitahukan bahwa ayah kami telah meninggal, rasa sedih yang timbul akan menjadi lebih besar dari kemampuan mereka untuk menahannya; mungkin saja hati mereka akan hancur. Saya akan membujuk mereka pergi masuk ke dalam air dan mencari cara untuk memberitahukan kebenarannya.”
Kemudian dengan menunjuk sebuah tempat di depan yang ada airnya, ia berkata, “Kalian keluar sudah terlalu lama: Ini akan menjadi hukuman bagi kalian—pergi ke tempat air tersebut dan berdiri di sana.”
Kemudian ia mengucapkan setengah bait kalimat berikut ini:
“Biarkan Lakkhaṇa dan Sitā turun ke kolam itu.”
Hanya dengan satu kata cukup bagi mereka berdua untuk pergi ke tempat air itu dan berdiri di sana. Kemudian ia memberitahukan mereka tentang kabar tersebut dengan mengucapkan sisa bait kalimat di atas:
“Bharata berkata, Raja Dasaratha telah meninggal dunia.”
Ketika mereka mendengar berita kematian ayahnya tersebut, mereka jatuh pingsan. Sewaktu diucapkan sekali lagi, mereka juga jatuh pingsan, bahkan untuk ketiga kalinya dikatakan mereka masih tetap pingsan.
Para pengawal mengangkat dan mengeluarkan mereka dari tempat air itu dan meletakkan mereka di tanah yang kering.
Setelah disadarkan, mereka berdua duduk meratap dan menangis bersama. Kemudian pangeran Bharata berpikir: “Abangku, pangeran Lakkhaṇa, adikku, Sitā, tidak dapat menahan rasa sedih mereka sewaktu mendengar kematian ayah kami, sedangkan Rāmapaṇḍita tidak meratap sedih maupun menangis. Saya menjadi ingin tahu apa yang menyebabkannya tidak bersedih? Saya akan menanyakannya.”
Kemudian ia mengucapkan bait kedua berikut untuk menanyakan pertanyaan tersebut:
“Katakan atas kekuatan apa Anda tidak bersedih Rāma
di saat seharusnya Anda bersedih?
Meskipun dikatakan bahwa ayahmu sudah meninggal,
rasa sedih tidak meliputi dirimu!”
Kemudian Rāma-paṇḍita menjelaskan alasan mengapa ia tidak memiliki rasa sedih, dengan mengatakan,
“Seseorang tidak dapat memiliki sesuatu untuk selamanya
walaupun ia menangis dengan sekeras mungkin,
Mengapa seorang yang bijak harus menyiksa dirinya dalam hal tersebut?
[127] “Orang muda, orang tua, orang dungu, dan orang bijak,
Bagi yang kaya, bagi yang miskin, kematian adalah hal yang pasti:
masing-masing orang akan mati.
“Sepasti buah yang telah matang
akan jatuh dari pohonnya,
Demikian halnya dengan kematian
bagi semua benda yang tidak kekal.
“Benda yang terlihat di cahaya pagi hari
akan hilang di sore hari,
Dan yang terlihat di sore hari
akan hilang di pagi hari.
“Jika bagi seorang dungu dapat terikat,
sesuatu akan dapat semakin mengikat
Di saat ia menyiksa dirinya sendiri dengan air mata,
maka orang yang bijak pun
dapat ikut melakukan hal yang sama.
“Dengan menyiksa dirinya sendiri,
ia menjadi kurus dan pucat;
Hal ini tidak dapat membuat yang mati hidup kembali,
dan air mata tidak akan membantu sama sekali.
“Bahkan sama seperti sebuah rumah yang terbakar
yang dipadamkan dengan air, demikian
Orang kuat, orang bijak, orang pintar yang mengetahui
tentang ajaran kitab sucinya dengan baik,
Akan menebarkan kesedihan mereka seperti
kapas yang diterpa angin di saat terjadi angin badai.
“Seseorang mati—ikatan kelahiran masih terdapat
dalam keluarganya:
Kebahagiaan semua makhluk tergantung pada
ikatan yang berhubungan dengannya.
“Oleh karena itu, orang yang paham dalam kitab suci,
Dapat memahami tentang kehidupan sekarang ini
dan kehidupan yang akan datang,
Dengan mengetahui sifat-sifat itu, tidak akan bersedih,
Betapa beratnya pun suatu masalah
dalam hati dan pikiran.
“Maka saya akan memberi, menjaga dan
menghidupi sanak keluargaku yang masih hidup,
Saya akan menjaga mereka yang masih hidup:
demikianlah perbuatan yang dilakukan orang bijak.”
Di dalam bait-bait kalimat di atas tersebut, ia menjelaskan tentang Ketidakkekalan benda.
[129] Ketika orang-orang tersebut mendengar khotbah Rāma-paṇḍita ini, yang menggambarkan tentang ajaran ketidakkekalan, mereka menghilangkan kesedihan mereka.
Kemudian pangeran Bharata memberi hormat kepada Rāmapaṇḍita, sambil memohon padanya untuk menerima tahta kerajaan Benares. “Saudaraku,” kata Rāma, “bawa Lakkhaṇa dan Sitā pergi bersamamu, dan kalian yang mengurus kerajaan.” “Tidak, Tuanku, Andalah yang memerintah kerajaan.” “Saudaraku, ayahku memberi perintah kepadaku untuk mewarisi kerajaan pada akhir tahun ke dua belas. Jika saya menerimanya sekarang, berarti saya tidak melaksanakan permintaannya. Setelah tiga tahun berlalu, saya akan datang.” “Siapa yang akan melaksanakan kegiatan pemerintahan dalam tiga tahun ini?” “Anda yang melakukannya.” “Saya tidak akan melakukannya.” “Kalau begitu sampai saatnya saya datang, sandal ini yang akan melakukannya,”kata Rāma, sambil mengangkat sandal jeraminya dan memberikannya kepada saudaranya tersebut. Maka ketiga orang itu membawa sandalnya dan pergi ke Benares dengan rombongan pengawal istana setelah berpamitan dengan orang bijak tersebut.
Selama tiga tahun, sandal tersebut yang memerintah kerajaan. Para menteri istana meletakkan sandal jerami tersebut di atas tahta kerajaan di saat mereka menghadapi sebuah masalah. Jika masalah itu diputuskan dengan keputusan yang salah, [130] sandal tersebut akan saling menimpa 79 , dan kemudian masalah itu akan dikaji ulang; ketika keputusannya sudah benar, sandal tersebut akan tetap tenang terletak di sana.
Setelah tiga tahun berlalu, orang bijak tersebut keluar dari hutan, datang ke Benares dan masuk ke dalam tamannya. Kedua pangeran yang mendengar tentang kedatangannya ini datang ke taman ditemani dengan rombongan pejabat istana, dan dengan menjadikan Sitā sebagai ratu yang berkuasa, mereka menobatkan mereka dengan upacara kerajaan.
Setelah upacara dilaksanakan, Sang Mahasatwa dengan berdiri di atas kereta megahnya dan dikelilingi oleh rombongan besar pengawal, masuk ke dalam kota dengan mengitari arah kanan. Kemudian ia naik ke atas tahta luar biasanya di istana Sucandaka, ia memerintah dengan benar selama enam belas ribu tahun dan akhirnya menjadi penghuni alam Surga.
____________________
Bait dari kebijaksanaan yang sempurna ini menjelaskan akhir cerita tersebut:
“Dikatakan selama enam belas ribu tahun lamanya,
Rāma yang kuat berkuasa,
di lehernya terdapat tiga lipatan keberuntungan.”80
Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru memaparkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran ini: (Di akhir kebenarannya, tuan tanah itu mencapai tingkat kesucian sotapanna:)
“Pada masa itu raja Suddhodana81 adalah raja Dasaratha, Mahamaya73 adalah ibu, Ibu Rahula82 adalah Sitā, Ananda adalah Bharata dan saya sendiri adalah Rāma-paṇḍita.”
Di saat ayahnya meninggal, laki-laki ini diliputi oleh kesedihan; tidak melakukan kewajibannya, hanya berpasrah diri dalam kesedihannya.
Pada suatu fajar, Sang Guru melihat keadaan manusia dan mengetahui bahwa laki-laki ini sudah waktunya mencapai tingkat kesucian sotapanna.
Keesokan harinya, setelah berpindapata di kota Savatthi dan selesai makan, Beliau meminta bhikkhu untuk kembali duluan. Beliau membawa seorang bhikkhu junior, [124] pergi ke rumah laki-laki tersebut, memberikan salam kepadanya, dan menyapanya dengan kata-kata yang manis. “Anda sedang berada dalam kesedihan, Upasaka?” kata Beliau. “Ya, Bhante, saya diliputi kesedihan atas kepergian ayahku.”
Sang Guru berkata, “Upasaka, orang bijak di masa lampau yang benar-benar mengetahui tentang delapan kondisi dari dunia ini76, tidak bersedih di saat kematian ayahnya, tidak sedikitpun.”
Kemudian atas permintaannya, beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala di Benares, seorang raja agung bernama Dasaratha memerintah dengan benar, tidak menggunakan cara-cara yang salah.
Dari enam belas ribu istrinya, yang paling tua dan ratunya yang naik tahta saat itu memberikan ia dua orang putra dan seorang putri; putra sulungnya diberi nama Rāmapaṇḍita, atau Rama si Bijaksana, putra yang kedua diberi nama Pangeran Lakkhaṇa, atau Keberuntungan, dan nama putrinya adalah Sitā77.
Seiring berjalannya waktu, ratu meninggal dunia. Di saat ratu meninggal, raja merasa hancur dalam kesedihan untuk waktu yang lama, tetapi dapat dibujuk oleh para menteri istana untuk segera melakukan upacara pemakamannya dan menunjuk istrinya yang lain untuk menduduki posisi tersebut.
Ratunya yang baru ini sangat disayangi dan dicintai raja. Tidak lama kemudian ratu mengandung, di saat perhatian ditujukan kepadanya, ia melahirkan seorang putra, dan mereka memberinya nama pangeran Bharata. Raja sangat mencintai putranya, dan berkata kepada ratu, “Ratu, saya menawarkan Anda sebuah hadiah: pilihlah.” Ratu menerima tawaran itu, tetapi tidak langsung menyebutkan hadiahnya dalam waktu yang lama.
Di saat putranya berusia tujuh tahun, ia pergi menjumpai raja dan berkata kepadanya, “Paduka, Anda pernah berjanji memberikan hadiah untuk putraku. Bolehkah Anda memberikannya kepadaku sekarang?” “Pilihlah, ratu.” “Paduka, berikan kerajaan kepada putraku.” Raja menderikkan jarinya mendengar permintaan ratu, “Keluar Anda, wanita hina!” kata raja dengan marah, “dua orang putraku yang lainnya berjaya seperti kobaran bara api; apakah Anda berniat untuk membunuh mereka dan memberikan kerajaan ini kepada putramu saja?” Ratu tetap meminta ini kepada raja. Raja menolak untuk memberikannya permintaan hadiah tersebut.
Raja berpikir dalam dirinya, “Wanita adalah orang yang tidak tahu berterima kasih dan tidak setia. Wanita ini mungkin akan menggunakan surat palsu atau uang suap untuk menyuruh orang membunuh kedua putraku.” Maka ia memanggil kedua putranya dan memberitahukan segala sesuatu kepada mereka dengan mengatakan, “Putraku, jika kalian tetap tinggal di istana, kemungkinan hal yang buruk akan menimpa diri kalian. Pergilah kalian ke kerajaan tetangga atau ke dalam hutan. Di saat jasadku telah dibakar baru kalian kembali dan warisi kerajaan ini yang memang merupakan kepunyaan keluarga kalian.”
Kemudian raja memanggil para peramal dan menanyakan mereka batas usianya. Mereka memberitahunya bahwa ia akan hidup selama dua belas tahun lagi. [125] Kemudian ia berkata, “Putraku, setelah dua belas tahun kalian harus kembali, dan tegakkan payung kerajaan.” Mereka pun berjanji dan setelah mendapat izin dari ayahnya, mereka pergi dari istana sambil menangis sedih. Putri Sitā berkata, “Saya juga akan ikut dengan kedua abangku,” ia berpamitan dengan ayahnya dan juga ikut pergi dengan mereka sambil menangis.
Ketiga orang ini pergi ditemani oleh sekumpulan banyak orang. Mereka meminta kerumunan orang itu untuk kembali, dan kemudian mereka melanjutkan perjalanan sampai akhirnya tiba di Gunung Himalaya. Di sana, di sebuah tempat yang memiliki mata air dan mudah untuk mendapatkan buah-buahan liar mereka membuat sebuah tempat tinggal. Mereka tinggal di sana bertahan hidup dengan memakan buah-buahan liar.
Lakkhaṇa-paṇḍita dan Sitā berkata kepada Rāmapaṇḍita, “Anda sekarang menjadi seperti ayah bagi kami, tetap tinggal di dalam gubuk ini, kami yang akan mencari buah-buahan dan memberikannya kepadamu.” Ia setuju dengan mereka: mulai saat itu Rāma-paṇḍita tetap berada di dalam gubuk, sementara adik-adiknya mencari dan membawakan buah-buahan untuknya.
Demikianlah mereka tinggal di sana bertahan hidup dengan memakan buah-buahan. Akan tetapi raja Dasaratha sangat bersedih atas kepergian anak-anaknya, dan ia meninggal di tahun kesembilan. Setelah upacara pemakamannya dilaksanakan, ratu memerintahkan untuk memberikan tahta kerajaan kepada putranya, pangeran Bharata. Tetapi para menteri berkata, “Ahli waris tahta kerajaan saat ini sedang tinggal di dalam hutan,” dan mereka tidak menyetujui perintah ratu. Pangeran Bharata berkata, “Saya akan menjemput kembali abangku, Rāma-paṇḍita, dari hutan dan memberikan tahta kerajaan ini kepada dirinya.
Dengan membawa lima lambang kerajaan, ia pergi menuju ke tempat tinggal mereka dengan diikuti empat rombongan 78 . Tidak jauh dari tempat tinggal tersebut, mereka mendirikan perkemahan, kemudian pangeran Bharata dengan beberapa pengawal datang ke tempat tinggal petapaan tersebut di saat Lakkhaṇa-paṇḍita dan Sitā sedang pergi ke dalam hutan.
Rāma-paṇḍita duduk di depan pintu rumahnya dengan damai dan tenang, seperti sebuah patung emas yang berdiri kokoh. Pangeran mendekatinya dan menyapanya, kemudian dengan berdiri di satu sisi ia memberitahukan semuanya yang terjadi di kerajaan sampai bersujud di bawah kakinya bersama dengan para pengawalnya, sambil menangis tersedu-sedu. Rāma-paṇḍita tidak bersedih maupun menangis, tidak ada gejolak emosi yang timbul di dalam dirinya.
Setelah Bharata selesai menangis dan duduk, di saat hari menjelang sore, kedua orang adiknya kembali dengan membawa buah-buahan. Rāma-paṇḍita berpikir,—“Kedua orang ini masih muda; mereka belum dapat memahami kebijaksanaan seperti diriku. [126] Jika mereka secara tiba-tiba diberitahukan bahwa ayah kami telah meninggal, rasa sedih yang timbul akan menjadi lebih besar dari kemampuan mereka untuk menahannya; mungkin saja hati mereka akan hancur. Saya akan membujuk mereka pergi masuk ke dalam air dan mencari cara untuk memberitahukan kebenarannya.”
Kemudian dengan menunjuk sebuah tempat di depan yang ada airnya, ia berkata, “Kalian keluar sudah terlalu lama: Ini akan menjadi hukuman bagi kalian—pergi ke tempat air tersebut dan berdiri di sana.”
Kemudian ia mengucapkan setengah bait kalimat berikut ini:
“Biarkan Lakkhaṇa dan Sitā turun ke kolam itu.”
Hanya dengan satu kata cukup bagi mereka berdua untuk pergi ke tempat air itu dan berdiri di sana. Kemudian ia memberitahukan mereka tentang kabar tersebut dengan mengucapkan sisa bait kalimat di atas:
“Bharata berkata, Raja Dasaratha telah meninggal dunia.”
Ketika mereka mendengar berita kematian ayahnya tersebut, mereka jatuh pingsan. Sewaktu diucapkan sekali lagi, mereka juga jatuh pingsan, bahkan untuk ketiga kalinya dikatakan mereka masih tetap pingsan.
Para pengawal mengangkat dan mengeluarkan mereka dari tempat air itu dan meletakkan mereka di tanah yang kering.
Setelah disadarkan, mereka berdua duduk meratap dan menangis bersama. Kemudian pangeran Bharata berpikir: “Abangku, pangeran Lakkhaṇa, adikku, Sitā, tidak dapat menahan rasa sedih mereka sewaktu mendengar kematian ayah kami, sedangkan Rāmapaṇḍita tidak meratap sedih maupun menangis. Saya menjadi ingin tahu apa yang menyebabkannya tidak bersedih? Saya akan menanyakannya.”
Kemudian ia mengucapkan bait kedua berikut untuk menanyakan pertanyaan tersebut:
“Katakan atas kekuatan apa Anda tidak bersedih Rāma
di saat seharusnya Anda bersedih?
Meskipun dikatakan bahwa ayahmu sudah meninggal,
rasa sedih tidak meliputi dirimu!”
Kemudian Rāma-paṇḍita menjelaskan alasan mengapa ia tidak memiliki rasa sedih, dengan mengatakan,
“Seseorang tidak dapat memiliki sesuatu untuk selamanya
walaupun ia menangis dengan sekeras mungkin,
Mengapa seorang yang bijak harus menyiksa dirinya dalam hal tersebut?
[127] “Orang muda, orang tua, orang dungu, dan orang bijak,
Bagi yang kaya, bagi yang miskin, kematian adalah hal yang pasti:
masing-masing orang akan mati.
“Sepasti buah yang telah matang
akan jatuh dari pohonnya,
Demikian halnya dengan kematian
bagi semua benda yang tidak kekal.
“Benda yang terlihat di cahaya pagi hari
akan hilang di sore hari,
Dan yang terlihat di sore hari
akan hilang di pagi hari.
“Jika bagi seorang dungu dapat terikat,
sesuatu akan dapat semakin mengikat
Di saat ia menyiksa dirinya sendiri dengan air mata,
maka orang yang bijak pun
dapat ikut melakukan hal yang sama.
“Dengan menyiksa dirinya sendiri,
ia menjadi kurus dan pucat;
Hal ini tidak dapat membuat yang mati hidup kembali,
dan air mata tidak akan membantu sama sekali.
“Bahkan sama seperti sebuah rumah yang terbakar
yang dipadamkan dengan air, demikian
Orang kuat, orang bijak, orang pintar yang mengetahui
tentang ajaran kitab sucinya dengan baik,
Akan menebarkan kesedihan mereka seperti
kapas yang diterpa angin di saat terjadi angin badai.
“Seseorang mati—ikatan kelahiran masih terdapat
dalam keluarganya:
Kebahagiaan semua makhluk tergantung pada
ikatan yang berhubungan dengannya.
“Oleh karena itu, orang yang paham dalam kitab suci,
Dapat memahami tentang kehidupan sekarang ini
dan kehidupan yang akan datang,
Dengan mengetahui sifat-sifat itu, tidak akan bersedih,
Betapa beratnya pun suatu masalah
dalam hati dan pikiran.
“Maka saya akan memberi, menjaga dan
menghidupi sanak keluargaku yang masih hidup,
Saya akan menjaga mereka yang masih hidup:
demikianlah perbuatan yang dilakukan orang bijak.”
Di dalam bait-bait kalimat di atas tersebut, ia menjelaskan tentang Ketidakkekalan benda.
[129] Ketika orang-orang tersebut mendengar khotbah Rāma-paṇḍita ini, yang menggambarkan tentang ajaran ketidakkekalan, mereka menghilangkan kesedihan mereka.
Kemudian pangeran Bharata memberi hormat kepada Rāmapaṇḍita, sambil memohon padanya untuk menerima tahta kerajaan Benares. “Saudaraku,” kata Rāma, “bawa Lakkhaṇa dan Sitā pergi bersamamu, dan kalian yang mengurus kerajaan.” “Tidak, Tuanku, Andalah yang memerintah kerajaan.” “Saudaraku, ayahku memberi perintah kepadaku untuk mewarisi kerajaan pada akhir tahun ke dua belas. Jika saya menerimanya sekarang, berarti saya tidak melaksanakan permintaannya. Setelah tiga tahun berlalu, saya akan datang.” “Siapa yang akan melaksanakan kegiatan pemerintahan dalam tiga tahun ini?” “Anda yang melakukannya.” “Saya tidak akan melakukannya.” “Kalau begitu sampai saatnya saya datang, sandal ini yang akan melakukannya,”kata Rāma, sambil mengangkat sandal jeraminya dan memberikannya kepada saudaranya tersebut. Maka ketiga orang itu membawa sandalnya dan pergi ke Benares dengan rombongan pengawal istana setelah berpamitan dengan orang bijak tersebut.
Selama tiga tahun, sandal tersebut yang memerintah kerajaan. Para menteri istana meletakkan sandal jerami tersebut di atas tahta kerajaan di saat mereka menghadapi sebuah masalah. Jika masalah itu diputuskan dengan keputusan yang salah, [130] sandal tersebut akan saling menimpa 79 , dan kemudian masalah itu akan dikaji ulang; ketika keputusannya sudah benar, sandal tersebut akan tetap tenang terletak di sana.
Setelah tiga tahun berlalu, orang bijak tersebut keluar dari hutan, datang ke Benares dan masuk ke dalam tamannya. Kedua pangeran yang mendengar tentang kedatangannya ini datang ke taman ditemani dengan rombongan pejabat istana, dan dengan menjadikan Sitā sebagai ratu yang berkuasa, mereka menobatkan mereka dengan upacara kerajaan.
Setelah upacara dilaksanakan, Sang Mahasatwa dengan berdiri di atas kereta megahnya dan dikelilingi oleh rombongan besar pengawal, masuk ke dalam kota dengan mengitari arah kanan. Kemudian ia naik ke atas tahta luar biasanya di istana Sucandaka, ia memerintah dengan benar selama enam belas ribu tahun dan akhirnya menjadi penghuni alam Surga.
____________________
Bait dari kebijaksanaan yang sempurna ini menjelaskan akhir cerita tersebut:
“Dikatakan selama enam belas ribu tahun lamanya,
Rāma yang kuat berkuasa,
di lehernya terdapat tiga lipatan keberuntungan.”80
Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru memaparkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran ini: (Di akhir kebenarannya, tuan tanah itu mencapai tingkat kesucian sotapanna:)
“Pada masa itu raja Suddhodana81 adalah raja Dasaratha, Mahamaya73 adalah ibu, Ibu Rahula82 adalah Sitā, Ananda adalah Bharata dan saya sendiri adalah Rāma-paṇḍita.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com