SAṀVARA-JĀTAKA
Saṃvarajātaka (Ja 462)
“Sifat Anda, raja yang agung,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang telah berhenti untuk berusaha.
Diketahui bahwa bhikkhu tersebut adalah seorang pemuda dari sebuah keluarga yang tinggal di kota Savatthi. Setelah mendengar khotbah dari Sang Guru, ia meninggalkan kehidupan duniawi. Dengan mengerjakan semua tugas yang diberikan oleh guru dan pendidiknya, ia dapat menghapalkan dua bagian dari Patimokkha.
Setelah lima tahun berlalu, ia berkata, “Di saat saya diinstruksikan dalam latihan mencapai jhana, saya pergi tinggal di dalam hutan.” Kemudian ia meminta izin dari guru dan pendidiknya untuk pergi ke sebuah desa perbatasan di kerajaan Kosala. Para penduduk di sana merasa senang dengan kelakuannya, [131] dan ia membangun sebuah gubuk daun dan di sana ia dirawat.
Memasuki musim hujan, dengan tekun, rasa ingin, berusaha dalam percobaan yang berat untuk mencapai kesadaran tersebut selama tiga bulan. Akan tetapi, ia tidak dapat mencapainya.
Kemudian ia berpikir, “Sebenarnya saya terikat pada keadaan duniawi di antara empat kasta manusia yang diajarkan oleh Sang Guru! Apa yang harus saya lakukan dengan tinggal di dalam hutan?” Kemudian ia berkata kepada dirinya sendiri, “Saya akan kembali ke Jetavana, di sana dengan melihat keindahan dari Sang Tathagata dan dengan mendengar khotbah Beliau yang semanis madu, saya akan melewati hari-hariku.” Jadi ia menghentikan usahanya tersebut dan kembali ke Jetavana.
Para guru dan pendidik, teman dan kenalannya menanyakan penyebab kedatangannya. Ia memberitahukan mereka dan mereka memarahinya dengan menanyakan mengapa ia melakukan hal yang demikian. Kemudian mereka membawanya ke hadapan Sang Tathagata.
“Mengapa, para bhikkhu,” kata Beliau, “kalian membawa ia datang kemari secara paksa?” Mereka menjawab, “Bhikkhu ini datang ke sini karena ia menghentikan usahanya.” “Apakah ini benar, seperti apa yang mereka katakan?” tanya Beliau. “Ya, Bhante.” jawabnya.
Sang Guru berkata, “Mengapa Anda berhenti berusaha, bhikkhu? Bagi seorang yang lemah dan lamban tidak akan ada hasil yang tinggi dalam ajaran ini, tidak akan mencapai tingkat kesucian, hanya mereka yang penuh pengabdian yang dapat menyelesaikan ini. Di masa lampau Anda adalah orang yang bertenaga, mudah diajar: dan dengan cara ini, walaupun Anda adalah orang yang paling muda di antara ratusan putra dari raja Benares, dengan berpegangan teguh pada perkataan orang bijak, Anda mendapatkan tahta kerajaan.”
Setelah berkata demikian, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala, Brahmadatta adalah raja di kota Benares, putra paling bungsunya di antara ratusan putra lainnya itu diberi nama pangeran Saṁvara.
Raja menugaskan seorang pejabat istana untuk mengajarkan apa yang seharusnya dipelajari oleh masing-masing putranya. Pejabat istana yang mengajari pangeran Saṁvara adalah Bodhisatta, bersifat bijak, terpelajar, dan mampu mengisi peranan ayah bagi putra raja tersebut.
Setelah masing-masing putranya selesai belajar, para pejabat istana tersebut akan membawa mereka untuk dilihat oleh raja. Raja memberikan mereka masing-masing satu daerah dan menyuruh mereka pergi.
Ketika pangeran Saṁvara telah sempurna dalam semua pelajarannya, ia bertanya kepada Bodhisatta, “Ayah, jika ayahku menyuruhku pergi ke sebuah daerah, apa yang harus saya lakukan?” Ia menjawab, “Anakku, di saat Anda ditawarkan untuk memerintah sebuah daerah, Anda harus menolaknya dan katakan, ‘Paduka, saya adalah yang paling bungsu. Jika saya pergi juga, tidak akan ada yang tinggal menemanimu di sini. Saya akan tetap tinggal di sini, di dekatmu.’ ”
Kemudian suatu hari ketika pangeran Saṁvara memberi salam hormat kepada raja dan sedang berdiri di satu sisi, raja bertanya kepadanya, “Baiklah, putraku, apakah Anda telah menyelesaikan pelajaranmu?” “Ya, Paduka.” “Pilihlah sebuah daerah.” “Paduka, [132] tidak akan ada siapa-siapa lagi di samping Anda. Biarkan saya tetap berada di sini, di dekatmu, dan bukan di tempat lain!” Raja menjadi senang dan menyetujuinya.
Setelah itu, ia tetap berada di dekat raja. Kemudian ia bertanya kepada Bodhisatta kembali, “Selanjutnya apa yang harus saya lakukan, ayah?” Ia menjawab, “Mintalah sebuah taman kepada raja.” Pangeran setuju dengan ini dan meminta sebuah taman. Dengan buah dan bunga yang ditanamnya di sana, ia menjadi dapat berteman dengan orang-orang yang berkuasa di kota.
Kemudian ia menanyakan lagi apa yang harus dilakukan selanjutnya.” Bodhisatta berkata, “Mintalah izin dari raja untuk membagikan uang makanan di kota.” Ia pun melakukan demikian, dan tanpa memandang bulu ia membagikan uang makanan itu di kota.
Lagi ia menanyakan nasehat Bodhisatta, dan setelah mendapat persetujuan raja, ia membagikan makanan di dalam istana kepada para pengawal dan kuda dan juga pasukan kerajaan tanpa pengecualian; bagi kurir yang datang dari luar negeri, ia menyediakan tempat tinggal; bagi para pedagang, ia menetapkan pajaknya; semua yang harus diatur, dilakukannya sendirian. Dengan mengikuti nasehat dari Sang Mahasatwa, ia dapat berteman dengan semua orang, baik mereka yang berumah tangga maupun tidak, semuanya yang ada di dalam kota, di dalam kerajaan, orang yang tidak dikenal, dengan keramahannya mengikat mereka seperti ikatan besi; mereka semua menyayangi dan mencintainya.
Ketika tiba saatnya bagi raja berbaring di ranjang kematiannya, para pejabat istana bertanya kepadanya, “Di saat Anda meninggal nantinya, kepada siapakah harus kami berikan tahta kerajaan ini?” Ia berkata, “Teman-teman, semua putraku memiliki hak atas tahta ini. Akan tetapi, kalian boleh memberikan kepada siapa saja yang membuat pikiran kalian senang. Maka setelah raja meninggal dan upacaranya dilaksanakan, mereka berkumpul bersama di hari ketujuh dan berkata, “Paduka raja meminta kita memberikan tahta kerajaan kepada ia yang membuat pikiran kita senang. Orang yang disenangi oleh pikiran kita adalah pangeran Saṁvara.” Oleh karena itu, mereka menaikkan payung putih tersebut dengan hiasan emasnya yang diantar oleh sanak saudaranya.
Raja agung Saṁvara yang menaati nasehat Bodhisatta memerintah kerajaan dengan benar.
Kesembilan puluh sembilan putra lainnya mendengar tentang kematian ayah mereka dan bahwasannya tahta kerajaan diserahkan kepada Saṁvara. [133] “Tetapi ia adalah yang paling bungsu,” kata mereka; “tahta itu bukan miliknya. Mari kita ambil tahta itu dan berikan kepada saudara kita yang paling sulung.” Mereka semua menggabungkan kekuatan dan mengirimkan surat kepada Saṁvara dengan memintanya menyerahkan tahta atau berperang dengan mereka.
Kemudian mereka mengepung kota. Raja menyampaikan berita ini kepada Bodhisatta dan menanyakan apa yang harus ia lakukan. Ia menjawab “Raja yang agung, Anda tidak boleh berperang dengan saudara-saudaramu. Bagikan saja harta kerajaan milik ayahmu dalam seratus bagian dan kirimkan bagian dari kesembilan puluh sembilan saudaramu itu berikut dengan pesan ini, ‘Terimalah bagian dari harta kerajaan ayah karena saya tidak berniat untuk berperang dengan Anda.’ ” Ia pun melakukan hal tersebut.
Kemudian saudaranya yang paling sulung, yang bernama pangeran Uposatha, mengumpulkan saudara-saudaranya yang lain dan berkata, “Teman-teman, tidak ada yang mampu melawan raja. Saudara bungsu kita, walaupun kita telah menjadi musuhnya, ia tidak menganggap kita demikian, bahkan ia mengirimkan bagian dari harta kerajaannya dan tidak berniat untuk berperang dengan kita. Sekarang kita tidak bisa menerima tahta kerajaan yang dipisah-pisah ini pada waktu yang bersamaan, biarlah ia dipegang oleh satu orang saja dan biarkan dirinya yang menjadi raja, jadi ketika kita berjumpa dengannya, kita akan mengembalikan harta kerajaan ini kepadanya dan kembali ke daerah kita masing-masing.” Kemudian semua pangeran ini melepaskan pengepungan kota dan masuk ke dalamnya dengan sikap yang tidak bermusuhan lagi. Dan raja meminta para pejabat istananya untuk menyambut dan membawa mereka menjumpainya.
Pangeran-pangeran tersebut diikuti dengan rombongan pejabat istana masuk ke dalam istana dengan menaiki anak tangga. Dengan segala kerendahan hati yang ditujukan kepada raja Saṁvara mereka duduk di tempat yang lebih rendah. Raja Saṁvara duduk di atas tahta di bawah payung putih: begitu agung dan megah, tempat yang didudukinya itu seperti berguncang.
Melihat keagungan raja, pangeran Uposatha berpikir dalam dirinya, “Menurutku ayah kami dulunya mengetahui bahwa pangeran Saṁvara akan menjadi raja setelah ia meninggal. Oleh karena itu, ia memberikan daerah kepada kami dan tidak memberikannya kepada pangeran Saṁvara.”
Kemudian dengan mengucapkan bait berikut, ia menyapa Saṁvara:
[134] “Sifat Anda, raja yang agung,
pastinya telah diketahui oleh raja sebelumnya:
Ia memberikan kekuasaan pada suatu daerah
bagi pangeran-pangeran yang lain, tetapi tidak pada Anda.
“Hal ini terjadi ketika Paduka raja masih hidup,
atau ketika ia telah pergi ke alam Surga,
Bahwasannya dengan melihat keuntungan mereka sendiri,
para pejabat istana menyetujui hal ini?
“Katakan, O Saṁvara, atas kekuatan apa sekarang ini
Anda berdiri di atas pejabat istanamu:
Mengapa mereka tidak berebut denganmu
untuk mendapatkan tempat tersebut?”
Setelah mendengar ini, raja Saṁvara mengucapkan enam bait kalimat berikut untuk menjelaskan karakternya sendiri:
“O pangeran, karena saya tidak pernah melawan
orang bijak yang saya jumpai:
Selalu siap memberi hormat kepadanya,
saya bersujud di kakinya.
“Saya tidak iri dengan apapun, dan cepat
mempelajari semua tingkah laku yang tepat dan benar,
Orang bijak itu selalu mengajarkan hal yang benar
yang akan selalu membawa kebahagiaan.
“Saya mendengarkan petunjuk dari
orang bijak yang agung tersebut:
Hati saya selalu tertuju pada niat baik,
tidak pernah menganggap remeh sebuah nasehat.
“Pasukan gajah dan para penasehat yang bijak,
pengawal kerajaan, para pasukan infantri—
Saya tidak pernah mengambil upah mereka,
selalu membayar mereka.
“Orang-orang mulia dan para penasehat bijak
yang bekerja untukku sudah ada;
Dengan makanan, anggur, air (demikian kata mereka)
yang berlimpah ruah di Benares.
[135] “Demikianlah para saudagar menjadi makmur,
dan mereka datang dan pergi dari banyak negeri,
Dan saya melindungi mereka. Sekarang Anda
mengetahui kebenarannya, Uposatha.”
Pangeran Uposatha mendengarkan penjelasan karakternya tersebut dan kemudian mengucapkan dua bait kalimat berikut:
“Kalau begitu, tetaplah Anda menjadi pemimpin
bagi rakyatmu dan pimpinlah dengan adil,
Begitu bijak dan budiman, Saṁvara,
Anda akan membawa berkah bagi mereka.
“Saudara-saudaramu akan membela kerajaan,
dan Anda akan menjadi
Aman dari musuh, seperti dewa Indra
yang bebas dari musuh utamanya.”83
[136] Raja Saṁvara memberikan kehormatan yang besar kepada semua saudaranya. Mereka tinggal bersamanya selama satu setengah bulan. Kemudian mereka berkata kepadanya, “Raja yang agung, kami akan pergi sekarang dan melihat apakah ada terjadi permasalahan di wilayah kami masing-masing. Semoga kerajaanmu tetap mendapatkan kebahagiaan!” Mereka pergi kembali ke daerah masing-masing.
Dan raja yang selalu mendengar nasehat Bodhisatta mengalami tumimbal lahir di alam Surga.
____________________
Setelah uraian ini selesai disampaikan, Sang Guru menambahkan, “Di masa lampau, Bhikkhu, Anda mengikuti petunjuknya, dan mengapa sekarang ini Anda menghentikan usahamu?” Kemudian Beliau memaparkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran ini: (Di akhir kebenarannya, bhikkhu ini mencapai tingkat kesucian sotapanna: ) “Pada masa itu, bhikkhu ini adalah raja agung Saṁvara, Sariputta adalah pangeran Uposatha, para bhikkhu senior dan lebih senior adalah saudara-saudara yang lain, siswa Sang Buddha adalah para pengawal mereka dan saya sendiri adalah pejabat istana yang selalu menasehati raja.”
Diketahui bahwa bhikkhu tersebut adalah seorang pemuda dari sebuah keluarga yang tinggal di kota Savatthi. Setelah mendengar khotbah dari Sang Guru, ia meninggalkan kehidupan duniawi. Dengan mengerjakan semua tugas yang diberikan oleh guru dan pendidiknya, ia dapat menghapalkan dua bagian dari Patimokkha.
Setelah lima tahun berlalu, ia berkata, “Di saat saya diinstruksikan dalam latihan mencapai jhana, saya pergi tinggal di dalam hutan.” Kemudian ia meminta izin dari guru dan pendidiknya untuk pergi ke sebuah desa perbatasan di kerajaan Kosala. Para penduduk di sana merasa senang dengan kelakuannya, [131] dan ia membangun sebuah gubuk daun dan di sana ia dirawat.
Memasuki musim hujan, dengan tekun, rasa ingin, berusaha dalam percobaan yang berat untuk mencapai kesadaran tersebut selama tiga bulan. Akan tetapi, ia tidak dapat mencapainya.
Kemudian ia berpikir, “Sebenarnya saya terikat pada keadaan duniawi di antara empat kasta manusia yang diajarkan oleh Sang Guru! Apa yang harus saya lakukan dengan tinggal di dalam hutan?” Kemudian ia berkata kepada dirinya sendiri, “Saya akan kembali ke Jetavana, di sana dengan melihat keindahan dari Sang Tathagata dan dengan mendengar khotbah Beliau yang semanis madu, saya akan melewati hari-hariku.” Jadi ia menghentikan usahanya tersebut dan kembali ke Jetavana.
Para guru dan pendidik, teman dan kenalannya menanyakan penyebab kedatangannya. Ia memberitahukan mereka dan mereka memarahinya dengan menanyakan mengapa ia melakukan hal yang demikian. Kemudian mereka membawanya ke hadapan Sang Tathagata.
“Mengapa, para bhikkhu,” kata Beliau, “kalian membawa ia datang kemari secara paksa?” Mereka menjawab, “Bhikkhu ini datang ke sini karena ia menghentikan usahanya.” “Apakah ini benar, seperti apa yang mereka katakan?” tanya Beliau. “Ya, Bhante.” jawabnya.
Sang Guru berkata, “Mengapa Anda berhenti berusaha, bhikkhu? Bagi seorang yang lemah dan lamban tidak akan ada hasil yang tinggi dalam ajaran ini, tidak akan mencapai tingkat kesucian, hanya mereka yang penuh pengabdian yang dapat menyelesaikan ini. Di masa lampau Anda adalah orang yang bertenaga, mudah diajar: dan dengan cara ini, walaupun Anda adalah orang yang paling muda di antara ratusan putra dari raja Benares, dengan berpegangan teguh pada perkataan orang bijak, Anda mendapatkan tahta kerajaan.”
Setelah berkata demikian, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala, Brahmadatta adalah raja di kota Benares, putra paling bungsunya di antara ratusan putra lainnya itu diberi nama pangeran Saṁvara.
Raja menugaskan seorang pejabat istana untuk mengajarkan apa yang seharusnya dipelajari oleh masing-masing putranya. Pejabat istana yang mengajari pangeran Saṁvara adalah Bodhisatta, bersifat bijak, terpelajar, dan mampu mengisi peranan ayah bagi putra raja tersebut.
Setelah masing-masing putranya selesai belajar, para pejabat istana tersebut akan membawa mereka untuk dilihat oleh raja. Raja memberikan mereka masing-masing satu daerah dan menyuruh mereka pergi.
Ketika pangeran Saṁvara telah sempurna dalam semua pelajarannya, ia bertanya kepada Bodhisatta, “Ayah, jika ayahku menyuruhku pergi ke sebuah daerah, apa yang harus saya lakukan?” Ia menjawab, “Anakku, di saat Anda ditawarkan untuk memerintah sebuah daerah, Anda harus menolaknya dan katakan, ‘Paduka, saya adalah yang paling bungsu. Jika saya pergi juga, tidak akan ada yang tinggal menemanimu di sini. Saya akan tetap tinggal di sini, di dekatmu.’ ”
Kemudian suatu hari ketika pangeran Saṁvara memberi salam hormat kepada raja dan sedang berdiri di satu sisi, raja bertanya kepadanya, “Baiklah, putraku, apakah Anda telah menyelesaikan pelajaranmu?” “Ya, Paduka.” “Pilihlah sebuah daerah.” “Paduka, [132] tidak akan ada siapa-siapa lagi di samping Anda. Biarkan saya tetap berada di sini, di dekatmu, dan bukan di tempat lain!” Raja menjadi senang dan menyetujuinya.
Setelah itu, ia tetap berada di dekat raja. Kemudian ia bertanya kepada Bodhisatta kembali, “Selanjutnya apa yang harus saya lakukan, ayah?” Ia menjawab, “Mintalah sebuah taman kepada raja.” Pangeran setuju dengan ini dan meminta sebuah taman. Dengan buah dan bunga yang ditanamnya di sana, ia menjadi dapat berteman dengan orang-orang yang berkuasa di kota.
Kemudian ia menanyakan lagi apa yang harus dilakukan selanjutnya.” Bodhisatta berkata, “Mintalah izin dari raja untuk membagikan uang makanan di kota.” Ia pun melakukan demikian, dan tanpa memandang bulu ia membagikan uang makanan itu di kota.
Lagi ia menanyakan nasehat Bodhisatta, dan setelah mendapat persetujuan raja, ia membagikan makanan di dalam istana kepada para pengawal dan kuda dan juga pasukan kerajaan tanpa pengecualian; bagi kurir yang datang dari luar negeri, ia menyediakan tempat tinggal; bagi para pedagang, ia menetapkan pajaknya; semua yang harus diatur, dilakukannya sendirian. Dengan mengikuti nasehat dari Sang Mahasatwa, ia dapat berteman dengan semua orang, baik mereka yang berumah tangga maupun tidak, semuanya yang ada di dalam kota, di dalam kerajaan, orang yang tidak dikenal, dengan keramahannya mengikat mereka seperti ikatan besi; mereka semua menyayangi dan mencintainya.
Ketika tiba saatnya bagi raja berbaring di ranjang kematiannya, para pejabat istana bertanya kepadanya, “Di saat Anda meninggal nantinya, kepada siapakah harus kami berikan tahta kerajaan ini?” Ia berkata, “Teman-teman, semua putraku memiliki hak atas tahta ini. Akan tetapi, kalian boleh memberikan kepada siapa saja yang membuat pikiran kalian senang. Maka setelah raja meninggal dan upacaranya dilaksanakan, mereka berkumpul bersama di hari ketujuh dan berkata, “Paduka raja meminta kita memberikan tahta kerajaan kepada ia yang membuat pikiran kita senang. Orang yang disenangi oleh pikiran kita adalah pangeran Saṁvara.” Oleh karena itu, mereka menaikkan payung putih tersebut dengan hiasan emasnya yang diantar oleh sanak saudaranya.
Raja agung Saṁvara yang menaati nasehat Bodhisatta memerintah kerajaan dengan benar.
Kesembilan puluh sembilan putra lainnya mendengar tentang kematian ayah mereka dan bahwasannya tahta kerajaan diserahkan kepada Saṁvara. [133] “Tetapi ia adalah yang paling bungsu,” kata mereka; “tahta itu bukan miliknya. Mari kita ambil tahta itu dan berikan kepada saudara kita yang paling sulung.” Mereka semua menggabungkan kekuatan dan mengirimkan surat kepada Saṁvara dengan memintanya menyerahkan tahta atau berperang dengan mereka.
Kemudian mereka mengepung kota. Raja menyampaikan berita ini kepada Bodhisatta dan menanyakan apa yang harus ia lakukan. Ia menjawab “Raja yang agung, Anda tidak boleh berperang dengan saudara-saudaramu. Bagikan saja harta kerajaan milik ayahmu dalam seratus bagian dan kirimkan bagian dari kesembilan puluh sembilan saudaramu itu berikut dengan pesan ini, ‘Terimalah bagian dari harta kerajaan ayah karena saya tidak berniat untuk berperang dengan Anda.’ ” Ia pun melakukan hal tersebut.
Kemudian saudaranya yang paling sulung, yang bernama pangeran Uposatha, mengumpulkan saudara-saudaranya yang lain dan berkata, “Teman-teman, tidak ada yang mampu melawan raja. Saudara bungsu kita, walaupun kita telah menjadi musuhnya, ia tidak menganggap kita demikian, bahkan ia mengirimkan bagian dari harta kerajaannya dan tidak berniat untuk berperang dengan kita. Sekarang kita tidak bisa menerima tahta kerajaan yang dipisah-pisah ini pada waktu yang bersamaan, biarlah ia dipegang oleh satu orang saja dan biarkan dirinya yang menjadi raja, jadi ketika kita berjumpa dengannya, kita akan mengembalikan harta kerajaan ini kepadanya dan kembali ke daerah kita masing-masing.” Kemudian semua pangeran ini melepaskan pengepungan kota dan masuk ke dalamnya dengan sikap yang tidak bermusuhan lagi. Dan raja meminta para pejabat istananya untuk menyambut dan membawa mereka menjumpainya.
Pangeran-pangeran tersebut diikuti dengan rombongan pejabat istana masuk ke dalam istana dengan menaiki anak tangga. Dengan segala kerendahan hati yang ditujukan kepada raja Saṁvara mereka duduk di tempat yang lebih rendah. Raja Saṁvara duduk di atas tahta di bawah payung putih: begitu agung dan megah, tempat yang didudukinya itu seperti berguncang.
Melihat keagungan raja, pangeran Uposatha berpikir dalam dirinya, “Menurutku ayah kami dulunya mengetahui bahwa pangeran Saṁvara akan menjadi raja setelah ia meninggal. Oleh karena itu, ia memberikan daerah kepada kami dan tidak memberikannya kepada pangeran Saṁvara.”
Kemudian dengan mengucapkan bait berikut, ia menyapa Saṁvara:
[134] “Sifat Anda, raja yang agung,
pastinya telah diketahui oleh raja sebelumnya:
Ia memberikan kekuasaan pada suatu daerah
bagi pangeran-pangeran yang lain, tetapi tidak pada Anda.
“Hal ini terjadi ketika Paduka raja masih hidup,
atau ketika ia telah pergi ke alam Surga,
Bahwasannya dengan melihat keuntungan mereka sendiri,
para pejabat istana menyetujui hal ini?
“Katakan, O Saṁvara, atas kekuatan apa sekarang ini
Anda berdiri di atas pejabat istanamu:
Mengapa mereka tidak berebut denganmu
untuk mendapatkan tempat tersebut?”
Setelah mendengar ini, raja Saṁvara mengucapkan enam bait kalimat berikut untuk menjelaskan karakternya sendiri:
“O pangeran, karena saya tidak pernah melawan
orang bijak yang saya jumpai:
Selalu siap memberi hormat kepadanya,
saya bersujud di kakinya.
“Saya tidak iri dengan apapun, dan cepat
mempelajari semua tingkah laku yang tepat dan benar,
Orang bijak itu selalu mengajarkan hal yang benar
yang akan selalu membawa kebahagiaan.
“Saya mendengarkan petunjuk dari
orang bijak yang agung tersebut:
Hati saya selalu tertuju pada niat baik,
tidak pernah menganggap remeh sebuah nasehat.
“Pasukan gajah dan para penasehat yang bijak,
pengawal kerajaan, para pasukan infantri—
Saya tidak pernah mengambil upah mereka,
selalu membayar mereka.
“Orang-orang mulia dan para penasehat bijak
yang bekerja untukku sudah ada;
Dengan makanan, anggur, air (demikian kata mereka)
yang berlimpah ruah di Benares.
[135] “Demikianlah para saudagar menjadi makmur,
dan mereka datang dan pergi dari banyak negeri,
Dan saya melindungi mereka. Sekarang Anda
mengetahui kebenarannya, Uposatha.”
Pangeran Uposatha mendengarkan penjelasan karakternya tersebut dan kemudian mengucapkan dua bait kalimat berikut:
“Kalau begitu, tetaplah Anda menjadi pemimpin
bagi rakyatmu dan pimpinlah dengan adil,
Begitu bijak dan budiman, Saṁvara,
Anda akan membawa berkah bagi mereka.
“Saudara-saudaramu akan membela kerajaan,
dan Anda akan menjadi
Aman dari musuh, seperti dewa Indra
yang bebas dari musuh utamanya.”83
[136] Raja Saṁvara memberikan kehormatan yang besar kepada semua saudaranya. Mereka tinggal bersamanya selama satu setengah bulan. Kemudian mereka berkata kepadanya, “Raja yang agung, kami akan pergi sekarang dan melihat apakah ada terjadi permasalahan di wilayah kami masing-masing. Semoga kerajaanmu tetap mendapatkan kebahagiaan!” Mereka pergi kembali ke daerah masing-masing.
Dan raja yang selalu mendengar nasehat Bodhisatta mengalami tumimbal lahir di alam Surga.
____________________
Setelah uraian ini selesai disampaikan, Sang Guru menambahkan, “Di masa lampau, Bhikkhu, Anda mengikuti petunjuknya, dan mengapa sekarang ini Anda menghentikan usahamu?” Kemudian Beliau memaparkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran ini: (Di akhir kebenarannya, bhikkhu ini mencapai tingkat kesucian sotapanna: ) “Pada masa itu, bhikkhu ini adalah raja agung Saṁvara, Sariputta adalah pangeran Uposatha, para bhikkhu senior dan lebih senior adalah saudara-saudara yang lain, siswa Sang Buddha adalah para pengawal mereka dan saya sendiri adalah pejabat istana yang selalu menasehati raja.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com