BHADDA-SĀLA-JĀTAKA
Bhaddasālajātaka (Ja 465)
“Siapakah Anda,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang berbuat baik terhadap sanak keluarga seseorang.
Di kota Savatthi, di dalam rumah Anāthapiṇḍika (Anathapindika) selalu ada makanan yang tiada habisnya bagi lima ratus orang bhikkhu, sama halnya dengan Visākhā (Visakha) dan juga raja Kosala. Akan tetapi di dalam istana raja, tidak ada yang bersikap ramah terhadap mereka walaupun makanannya enak dan beraneka ragam. Sebagai akibatnya, mereka tidak pernah makan di dalam istana, mereka membawa makanannya dan pergi makan di rumah Anathapindika atau Visakha atau rumah sahabat mereka yang dapat dipercaya.
Pada suatu hari raja berkata, “Seseorang membawa hadiah. Bawalah hadiah ini untuk para bhikkhu,” dan kemudian raja mengirimkannya ke ruang makan. Sebuah jawaban yang berisikan bahwa tidak ada seorang bhikkhu pun di ruang makan disampaikan kepada raja. “Kemana perginya mereka?” tanya raja. Jawaban yang diberikan kepada raja adalah bahwa mereka sedang duduk dan makan di rumah sahabat mereka.
Maka setelah selesai sarapan pagi, raja pergi menemui Sang Guru dan bertanya kepada Beliau, “Bhante, jenis makanan apa yang paling baik?” “Makanan persahabatan adalah yang paling baik, raja yang agung,” kata Beliau, “bahkan bubur masam yang disajikan oleh seorang teman akan dapat menjadi manis.” “Kalau begitu, Bhante, dengan siapakah para bhikkhu bersahabat?” “Dengan sanak keluarganya, raja yang agung, atau dengan keluarga suku Sakya.”
Kemudian raja berpikir bagaimana bila ia menjadikan seorang wanita suku Sakya sebagai ratunya, kemudian para bhikkhu itu akan menjadi bersahabat dengannya, seperti sanak keluarga mereka sendiri.
[145] Setelah bangkit dari tempat duduknya, raja kembali ke istana dan mengirim pesan ke Kapilavatthu90 yang berbunyi : “Tolong berikan saya salah satu putri Anda untuk menikah denganku karena saya ingin dapat berhubungan dengan sanak keluarga Anda.” Setelah menerima pesan tersebut, suku Sakya berkumpul bersama dan membahasnya. “Kita tinggal di dalam wilayah yang dikuasai oleh raja Kosala. Jika kita menolaknya, ia akan menjadi sangat marah; dan jika kita memberikannya, adat istiadat dari suku kita akan hancur. Apa yang harus kita lakukan?”
Kemudian Mahānāma 91 berkata kepada mereka, “Jangan cemas karena hal ini. Saya mempunyai seorang putri yang bernama Vāsabhakhattiyā. Ibunya adalah seorang budak wanita, bernama Nāgamuṇḍā. Putri saya berusia enam belas tahun, mempunyai kecantikan yang luar biasa dan mempunyai harapan yang baik dan mulia92 dari sisi ayahnya. Kita akan mengirimnya sebagai wanita dengan kelahiran mulia”. Suku Sakya menyetujui hal ini, dan memanggil utusan raja tersebut dan mengatakan bahwa mereka bersedia memberikan seorang putri wanita dari suku mereka, serta mereka juga dapat membawanya ikut pergi segera.
Tetapi para utusan itu berpikir, “Suku Sakya ini adalah orang yang sombong, dalam hal kelahiran. Bagaimana jika mereka memberikan seorang wanita yang bukan berasal dari suku Sakya? Kami akan membawa wanita yang duduk dan makan bersama dengan mereka.” Maka mereka mengatakan, “Baik, kami akan membawanya, tetapi kami akan membawa wanita yang duduk dan makan bersama dengan kalian.”
Suku Sakya tersebut menyediakan tempat tinggal sementara bagi para utusan dan kemudian berpikir apa yang harus dilakukan. Mahānāma berkata, “Jangan cemas akan hal ini. Saya akan mencari cara. Di saat waktu makan saya, bawa masuk Vāsabhakhattiyā yang telah berpakaian bagus. Kemudian setelah saya memasukkan makanan satu kali ke dalam mulutku, keluarkanlah sebuah surat dan katakan, Tuanku, raja anu mengirim surat berikut kepada Anda; segeralah dengar pesannya dengan perasaan senang.”
Mereka menyetujuinya. Ketika Mahānāma sedang bersiap-siap untuk makan, mereka mendandani pelayan wanita tersebut. “Bawa putri saya kemari,” kata Mahānāma, “agar kami dapat makan bersama.” “Tunggu sebentar,” kata mereka, “sampai ia selesai dandan,” dan setelah beberapa saat, mereka membawanya masuk. Dengan harapan untuk makan bersama dengan ayahnya, ia memasukkan tangannya di piring yang sama. Mahānāma telah makan satu kali, ketika ia menjulurkan tangannya untuk yang kedua kalinya, mereka membawakannya sebuah surat dengan berkata, “Tuanku, raja anu mengirimkan Anda sebuah surat, segeralah dengar pesannya dengan senang hati.” Mahānāma berkata, “Lanjutkan makanmu, anakku,” [146] dan dengan tetap meletakkan tangan kanannya di atas piring, ia mengambil surat tersebut dengan tangan kiri dan membacanya. Selagi ia sibuk membaca surat, pelayan wanita itu tetap makan. setelah selesai makan, ia mencuci tangannya dan membasuh mulutnya. Para utusan itu menjadi benar-benar merasa yakin bahwa pelayan wanita itu adalah putrinya, karena mereka tidak mengetahui rahasia tersebut.
Maka Mahānāma mengirim putrinya dengan rombongan besar. Para utusan tersebut membawanya ke Savatthi, dan mengatakan bahwa wanita ini adalah anak kandung dari Mahānāma. Raja merasa senang dan meminta pengawal untuk menghiasi seluruh isi kota, menempatkan wanita tersebut di atas tahta kerajaan dan dengan upacara pelantikan menjadikannya sebagai ratu. Wanita tersebut sangat disayangi dan dicintai raja.
Dalam waktu yang tidak lama, ratu mengandung dan raja memerintahkan untuk melayaninya dengan sangat baik. Dan di akhir bulan kesepuluh, ia melahirkan seorang putra yang memiliki warna coklat keemasan. Di hari pemberian namanya, raja mengirimkan sebuah pesan kepada neneknya, yang berbunyi: “Vāsabhakhattiyā, putri dari suku Sakya, telah melahirkan seorang putra. Apakah nama yang cocok baginya?” Waktu itu, pengawal istana yang ditugaskan untuk pesan ini adalah orang yang agak tuli. Ia pun pergi menjumpai dan memberikan pesan itu kepada ibu dari raja. Ketika ibunya mendengar ini, ia berkata, “Bahkan sebelum Vāsabhakhattiyā melahirkan, ia sudah memiliki kedudukan yang tinggi. Sekarang ia pasti akan menjadi kesayangan raja.” Laki-laki tuli itu tidak mendengar dengan jelas kata “kesayangan”, yang didengarnya adalah “Viḍūḍabha,” maka ia kembali menjumpai raja dan memberitahunya untuk memberikannya nama pangeran Viḍūḍabha. Ketika mendengar nama tersebut, raja mengira bahwa itu adalah nama keluarga zaman dahulu dan kemudian memberinya nama Viḍūḍabha.
Pangeran tersebut tumbuh dengan perlakuan sebagaimana mestinya seorang pangeran dirawat.
Di saat ia berusia tujuh tahun, ia melihat pangeran-pangeran yang lain mendapatkan hadiah berupa gajah mainan, kuda mainan dan mainan lainnya dari keluarga ayah dan ibunya. Pangeran tersebut berkata kepada ibunya, “Ibu, mereka mendapatkan hadiah dari keluarga ibu mereka, sedangkan tidak ada seorangpun yang memberikan hadiah kepadaku. Apakah ibu adalah seorang yatim?” Kemudian ia menjawab, “Anakku, kakek nenekmu adalah raja dari suku Sakya dan mereka tinggalnya jauh sekali dari sini. Oleh karena itulah mereka tidak memberikan hadiah apa-apa kepadamu.”
Di saat berusia enam belas tahun, pangeran itu berkata, “Ibu, saya ingin berjumpa dengan keluarga ayah dari ibu.” “Jangan membicarakan tentang itu, anakku,” katanya. “Apa yang akan Anda lakukan ketika Anda sampai di sana?” Walaupun ibunya selalu tidak menjawabnya, pangeran terus bertanya kepadanya secara berulang-ulang. Akhirnya, wanita itu berkata, [147] “Baik, kalau memang begitu, pergilah.” Maka pangeran meminta izin dari ayahnya dan berangkat dengan sejumlah pengawal.
Vāsabhakhattiyā mengirim surat sebelum pangeran itu sampai, yang isinya berbunyi: “Saya bahagia tinggal di sini. Tuan-Tuanku tolong jangan beritahu pangeran tentang rahasia tersebut.” Tetapi suku Sakya yang mendengar kedatangan Viḍūḍabha, menyuruh semua pemuda mereka untuk pergi ke desa. Mereka berkata, “Tidak mungkin menyambut dirinya dengan hormat.”
Ketika pangeran tiba di Kapilavatthu, semua suku Sakya telah berkumpul di tempat peristirahatan yang megah. Pangeran berjalan ke arah tempat tersebut dan menunggu. Kemudian mereka berkata kepadanya, “Ini adalah ayah dari ibumu, itu adalah abangnya,” sambil menunjuk kepada mereka. Pangeran melihat mereka satu per satu sembari memberi salam hormat. Walaupun ia menundukan kepalanya sampai sakit, tidak seorang pun di antara mereka yang memberikan salam kepadanya. Maka ia berkata, “Mengapa tidak ada seorang pun dari kalian yang memberikan salam balik kepadaku?” Suku Sakya itu menjawab, “Anakku, semua pangeran muda yang lain ada di negara,” kemudian mereka menjamunya dengan mewah.
Setelah tinggal beberapa hari, ia pulang kembali ke istana dengan rombongan pengawalnya. Sewaktu mereka baru saja berangkat pergi, seorang pelayan wanita mencuci tempat duduk yang digunakan oleh pangeran di dalam tempat peristirahatan dengan air susu dan berkata dengan menghina, “Ini adalah tempat duduk yang digunakan oleh putra Vāsabhakhattiyā, si pelayan wanita!” Seorang pengawal yang tombaknya ketinggalan kembali untuk mengambilnya dan dengan tidak sengaja mendengar pelecehan terhadap Pangeran Viḍūḍabha tersebut. Ia bertanya apa maksud dari perkataannya tersebut. Ia diberitahukan bahwa Vāsabhakhattiyā sebenarnya adalah pelayan dari Mahānāma, orang suku Sakya. Pengawal tersebut memberitahukan hal ini kepada pasukan pengawal lainnya. Terjadi kegemparan yang besar, semuanya berteriak— “Vāsabhakhattiyā adalah seorang anak dari pelayan wanita, itu yang dikatakan mereka!” Pangeran mendengarnya. Ia berpikir, “Ya, biarkan saja mereka menuangkan air susu untuk membersihkan tempat duduk yang saya gunakan tadi! Di saat saya menjadi raja, saya akan mencuci tempat tersebut dengan darah mereka!”
Ketika ia kembali ke Savatthi, pengawal istana mengatakan semuanya kepada raja. Raja menjadi sangat marah kepada orang suku Sakya karena memberikan seorang putri dari pelayan wanita kepadanya untuk dijadikan istri. Ia menghentikan pemberian uang kepada Vāsabhakhattiyā dan anaknya, dan memberikan kepada mereka apa yang pantas diberikan kepada pelayan laki-laki dan wanita.
Beberapa hari kemudian, Sang Guru datang ke istana, dan duduk di dalamnya. Raja datang menjumpai beliau, menyapanya dengan berkata: “Paduka, saya mendengar bahwa suku Sakya memberikanmu seorang putri pelayan wanita untuk dijadikan istri. Saya telah menghentikan pemberian uang kepada mereka, ibu dan anak, dan hanya memberikan mereka apa yang pantas didapatkan oleh pelayan.” Sang Guru berkata, “Orang suku Sakya telah berbuat kesalahan, O raja yang agung! [148] Jika mereka hendak memberikan seseorang, mereka seharusnya memberikan seseorang yang berasal dari keturunan mereka sendiri. Akan tetapi, O raja, saya katakan ini: Vāsabhakhattiyā adalah putri seorang raja, dan di rumah seorang raja yang mulia ia telah menjalani upacara pelantikan. Viḍūḍabha juga lahir di dunia ini karena adanya seorang raja yang mulia. Orang bjiak di masa lampau pernah mengatakan ini, apa pentingnya status kelahiran sang ibu? Status kelahiran ayah adalah tolak ukurnya. Bila ia menjadikan seorang wanita miskin, seorang pengumpul kayu sebagai istri sekaligus ratunya, maka putra yang lahir dari mereka itu akan mendapatkan kekuasaan terhadap Benares, yang luasnya dua belas yojana dan nantinya akan menjadi raja Kaṭṭha-vāhana, si pembawa kayu,” yang kemudian beliau menceritakan sebuah kisah tentang Kaṭṭhahāri-Jātaka93. Ketika raja mendengar tentang ini, ia menjadi merasa senang dan berkata dalam dirinya sendiri, “Status kelahiran ayah yang menjadi tolak ukurnya,” kemudian ia mengembalikan semua perlakuan yang tadinya diberikan kepada ibu dan anak tersebut.
Waktu itu, panglima tertinggi raja adalah seorang laki-laki yang bernama Bandhula. Istrinya, Mallikā (Mallika), adalah wanita mandul dan ia mengirimnya pulang ke Kusināra, dengan berpesan padanya agar ia kembali ke keluarganya sendiri. “Saya akan pergi,” kata istrinya, “setelah saya memberikan penghormatan kepada Sang Guru.” Ia pergi ke Jetavana, memberi salam hormat kepada Sang Tathagata dan berdiri menunggu di satu sisi. Beliau bertanya, “Anda akan pergi kemana?” Ia menjawab, “Suamiku menyuruh saya untuk pulang ke rumahku sendiri, Guru.” “Mengapa?” tanya Sang Guru. “Saya adalah seorang wanita yang mandul, Guru. Saya tidak mempunyai seorang putra.” Beliau berkata, “Jika itu masalahnya, tidak ada alasan yang kuat mengapa Anda harus pergi. Kembalilah.” Ia menjadi sangat senang dan kemudian pulang ke rumah setelah memberi penghormatan kepada Sang Guru. Suaminya bertanya mengapa ia kembali. Ia menjawab, “Dasabala yang menyuruhku kembali, suamiku.” Panglima tersebut kemudian berkata, “Kalau begitu Sang Tathagata pasti telah melihat suatu alasan yang bagus.” Tidak lama setelah wanita tersebut hamil, ia mulai mengidam dan memberitahukan suaminya tentang keinginannya itu. Suaminya bertanya, “Apa yang Anda inginkan?” “Suamiku, saya berkeinginan untuk pergi mandi dan minum air dari kolam yang ada di kota Vesāli tempat dimana keluarga raja mengambil air untuk upacara pelantikan.” Panglima tertinggi tersebut berjanji untuk berusaha melakukannya. Ia membawa busurnya yang sama kuatnya dengan seribu buah busur, kemudian ia membawa istrinya masuk ke dalam kereta dan mengemudikan keretanya meninggalkan kota Savatthimenuju ke kota Vesālī.
Waktu itu, di dekat pintu gerbang hiduplah seorang suku Licchavi yang bernama Mahāli94, yang juga telah diajar oleh guru yang sama yang mengajar jenderal raja Kosala, Bandhula. Laki-laki ini buta dan biasa memberikan nasehat kepada kaum Licchavi atas berbagai masalah, baik temporal maupun spiritual. Karena mendengar derap langkah kuda yang berasal dari kereta panglima tersebut sewaktu melewati ambang pintunya, ia berkata, “Suara ribut dari kereta dari Bandhula si Mallian! [149] Hari ini akan ada hal yang menakutkan bagi kaum Licchavi!”
Dekat kolam tersebut ada penjagaan yang ketat, baik di dalam maupun di luar, di atasnya dibentangkan jaring besi, bahkan seekor burung pun tidak dapat menemukan celah untuk melewatinya. Tetapi Panglima tersebut turun dari keretanya dan bertarung dengan para penjaga dengan menggunakan pedangnya dan menghancurkan jaring besi tersebut. Kemudian ia memandikan istrinya di dalam kolam dan memberinya minum air dari kolam tersebut. Sesudah semuanya itu, ia mandi dan membawa Mallika kembali ke dalam kereta dan meninggalkan kota itu dengan melalui jalan yang dilewatinya waktu datang.
Para penjaga tersebut pergi memberitahu semuanya kepada kaum Licchavi. Para raja kaum Licchavi menjadi marah, kemudian lima ratus dari kaum mereka naik lima ratus kereta berangkat untuk menangkap Badhula si Mallian. Mereka juga memberitahu Mahāli tentang hal ini dan ia berkata, “Jangan pergi! Ia akan membunuh kalian semua.” Tetapi mereka berkata, “Tidak, kami akan pergi.” “Kalau begitu, jika kalian sampai di suatu tempat dimana terlihat sebuah roda tertanam di bagian tengah, kalian harus segera kembali. Jika kalian tidak ingin kembali saat itu, kembalilah dari tempat itu ketika mendengar suara halilintar. Jika kalian juga tidak ingin kembali saat itu, kembalilah sewaktu melihat sebuah tempat yang berlubang di depan kereta kalian. Jangan melanjutkan perjalanan lagi saat itu!” Akan tetapi, mereka tidak mendengar kata-katanya untuk kembali, mereka terus melanjutkan perjalanan.
Mallika melihat mereka dari kejauhan dan berkata, “Suamiku, ada kereta-kereta yang datang mengejar.” “Kalau begitu beritahu saya di saat mereka terlihat seperti dalam satu garis.” Ketika mereka berada dalam satu garis kelihatan seperti satu kereta, wanita itu berkata, “Suamiku, saya melihat mereka seperti hanya satu kereta sekarang.” “Pegang tali kekangnya,” katanya sembari memberikannya kepada istrinya. Ia berdiri tegak di atas keretanya dan meregangkan busurnya. Roda keretanya masuk ke dalam tanah sedalam perut bumi. Kaum Licchavi sampai ke tempat tersebut, melihat bekasnya, tetapi tidak kembali. Panglima itu berada di depan mereka dengan jarak yang terpisah agak jauh, dan ia mendentingkan tali busurnya sehingga muncul suara yang menyerupai halilintar. Walaupun demikian, kaum Licchavi tidak juga kembali, tetap melakukan pengejaran. Bhandula berdiri di keretanya dan menembakkan sebatang anak panah dan panah itu memutuskan kepala dari lima ratus kereta kuda tersebut, yang juga menembus kepada lima ratus raja kaum Licchavi di tempat sabuk diikatkan dan akhirnya jatuh ke tanah. Mereka yang tidak menyadari bahwa mereka terluka, tetap melakukan pengejaran, sambil meneriakkan, “Berhenti, berhenti!” Bhandula menghentikan laju kudanya dan berkata, “Kalian semua adalah orang mati dan saya tidak dapat bertarung dengan orang mati.” “Apa!” kata mereka, “mati, sekarang ini?” “Lepaskan sabuk dari laki-laki pertama tersebut,” kata Bandhula. [150] Mereka melepaskan ikatan sabuknya, dan saat itu juga, laki-laki tersebut jatuh dan mati. Kemudian ia berkata kepada mereka, “Kalian semua berada dalam keadaan yang sama seperti ini, pulanglah ke rumah kalian, dan beritahukan apa yang harus dilakukan, beri pesan kepada istri dan keluarga, dan kemudian lepaskan baju perang tersebut.” Mereka melakukan apa yang dikatakannya, dan kemudian mereka semua menjadi hantu95.
Dan Bandhula membawa Mallika kembali ke Savatthi. Ia melahirkan putra kembar enam belas kali secara berturut-turut, dan mereka semua adalah laki-laki dan pahlawan yang kuat dan sempurna dalam semua kemahiran. Mereka masing-masing memiliki seribu pengawal untuk menjaganya, dan ketika mereka bersama dengan ayah mereka untuk menunggui raja, mereka sendiri yang akan mengisi halaman istana sampai meluap.
Pada suatu hari beberapa laki-laki kalah dijatuhi hukuman oleh pengadilan atas tuduhan palsu. Ketika melihat Bandhula datang, mereka langsung berteriak dan memberitahu dirinya bahwa pengadilan telah memberikan tuduhan palsu terhadap mereka. Maka Bandhula pergi ke pengadilan tersebut menyelidiki kasus itu, dan memberikan keputusan yang adil.
Kerumunan orang di sana memberikan sahutan tepuk tangan yang keras. Raja menanyakan apa arti dari semua itu dan ketika mendengar permasalahannya, raja menjadi sangat senang. Raja memecat semua pegawai pengadilan yang bersalah dan memberikan kedudukan hakim istana kepada Bandhula. Mulai saat itu, ia mengadili kasus dengan sebenar-benarnya.
Para hakim terdahulu menjadi jatuh miskin karena mereka tidak bisa lagi menerima uang suap, dan memfitnah Bandhula di hadapan raja dengan menuduhnya bertujuan untuk menduduki kerajaan. Raja mendengar perkataan mereka dan tidak bisa mengendalikan kecurigaannya. Ia berpikir, “Jika ia dibunuh di sini, saya pasti disalahkan.” Raja menyuruh beberapa orang untuk mengacau di daerah perbatasan, kemudian memanggil Bandhula dan berkata, “Daerah perbatasan sekarang ini lagi kacau. Pergilah dengan putra-putramu dan tangkap para pengacau tersebut.” Raja juga mengirim beberapa orang untuk pergi bersamanya, yang hebat dalam berperang, yang ditugaskan untuk membunuh Bandhula beserta ketiga puluh dua putranya dengan memenggal kepala mereka dan membawanya kembali.
Sewaktu Bandhula masih dalam perjalanan menuju perbatasan, para pengacau yang disewa raja tersebut mendengar kabar kedatangan jenderal itu dan melarikan diri. Ia menenangkan kembali suasana di daerah perbatasan dan kemudian berangkat pulang. Di saat ia berada tidak jauh dari kota, para ksatria suruhan raja tersebut memenggal kepalanya dan juga para putranya.
Pada hari yang sama, Mallika telah mengirimkan undangan kepada dua orang siswa utama bersama dengan lima ratus bhikkhu lainnya sebelum tengah hari, sebuah surat ditujukan kepadanya dengan berita yang mengatakan bahwa suami dan putra-putranya telah kehilangan kepala mereka. [151] Ketika ia mendengar ini, tanpa satu kata pun di dalam hatinya, ia memasukkan surat itu ke dalam pakaiannya dan melayani rombongan para bhikkhu. Para pembantunya memberikan nasi kepada para bhikkhu dan di saat membawa masuk mangkuk mentega, tidak sengaja mereka memecahkan mangkuk tersebut di hadapan para tetua.
Kemudian Panglima Dhamma (dhammasenāpati) berkata, “Mangkuk dibuat untuk dipecahkan, jangan cemas akan hal ini.” Mallika mengeluarkan surat dari lipatan pakaiannya dan berkata, “Di sini saya ada sebuah surat yang memberitahuku bahwa istri dan ketiga puluh dua putraku telah dipenggal kepalanya. Jika saya tidak dicemaskan karena hal itu, apakah saya harus cemas ketika sebuah mangkuk pecah?” Panglima Dhamma berkata, “Tidak terlihat, tidak diketahui96,” dan seterusnya, kemudian bangkit dari tempat ia duduk, memberikan khotbah dan pulang kembali. Mallika memanggil ketiga puluh dua menantunya dan berkata, “Suami-suami kalian, walaupun tidak berdosa, telah menuai hasil dari perbuatan terdahulu mereka. Jangan bersedih, dan jangan melakukan perbuatan dosa yang lebih buruk daripada yang dilakukan oleh raja.” Ini adalah nasehatnya.
Mata-mata raja yang mendengar perkataannya ini memberitahukan raja bahwa mereka tidak marah. Kemudian raja merasa menyesal dan pergi ke rumah Mallika untuk meminta maaf kepadanya dan juga para istri dari putra-putranya, dan juga menawarkan untuk memberikan hadiah. Ia menjawab, “Terimalah itu.” Ia mengadakan upacara pemakaman, dan sesudahnya mandi, kemudian pergi menjumpai raja. “Paduka,” katanya, “Anda menawarkan saya sebuah hadiah. Saya tidak menginginkan yang lain, kecuali ini: tolong Anda ijinkan saya dan ketiga puluh dua menantu saya untuk kembali ke rumah kami.” Raja menyetujuinya. Mallika membawa ketiga puluh dua menantunya pulang ke rumah keluarganya di kota Kusināra. Dan raja memberikan jabatan panglima tertinggi kepada seorang Dighakārāyana, putra dari adik Jenderal Bandhula. Akan tetapi, panglima ini terus-terusan mencari kesalahan dengan raja dan berkata, “Ia membunuh pamanku.”
Sejak pembunuhan diri Bandhula yang tidak bersalah, raja diliputi perasaan menyesal dan tidak bisa mendapatkan ketenangan pikiran, tidak dapat menikmati kesenangan menjadi seorang raja. Pada waktu itu, Sang Guru sedang bertempat tinggal di sebuah desa suku Sakya yang disebut Uḷumpa. Raja pergi ke sana dan mendirikan kemah tidak jauh dari taman. Dengan beberapa orang pengawalnya, raja pergi ke vihara untuk memberi salam hormat kepada Sang Guru. Lima lambang kerajaan diserahkannya kepada Kārāyana, dan sendirian ia masuk ke dalam gandhakuṭi . Kisah selanjutnya telah diceritakan di dalam Dhammacetiya Sutta. Ketika ia masuk ke dalam ruangan tersebut, Kārāyana mengambil lambang-lambang kerajaan tersebut, [152] dan menjadikan Viḍūḍabha sebagai raja. Kemudian dengan meninggalkan seekor kuda dan seorang pelayan wanita untuk raja, ia kembali ke Savatthi.
Setelah berbincang dengan Sang Guru, raja kembali dan tidak melihat rombongan pengawal istananya. Ia bertanya kepada wanita tersebut dan baru mengetahui apa yang telah terjadi. Kemudian ia berangkat menuju ke kota Rajagaha, memutuskan untuk membawa keponakannya bersama dengannya dan menangkap Viḍūḍabha. Hari sudah gelap ketika ia sampai di sana dan gerbang kota telah ditutup. Karena hanya dapat berbaring di dalam barak, merasa sangat kelelahan disebabkan oleh angin dan sinar matahari, ia pun meninggal di sana. Di saat fajar mulai menyingsing, pelayan wanita itu pun mulai meratap sedih, “Tuanku, raja Kosala telah meninggal, tolong!” Suara ratapan ini terdengar oleh orang-orang dan akhirnya sampai pada raja. Ia melakukan upacara pemakaman untuk pamannya dengan megah.
Viḍūḍabha menjadi naik tahta kerajaan dan teringat akan rasa dendamnya yang bertekad untuk menghancurkan suku Sakya semuanya. Ia berangkat ke sana dengan pasukan pengawal yang banyak. Di subuh hari itu juga, Sang Guru yang sedang meneliti dunia ini mengetahui bahwa kehancuran sedang mengancam sanak keluarganya. “Saya harus menolong sanak saudaraku,” pikir Beliau.
Sebelum tengah hari Beliau pergi berpindapata dan kemudian setelah selesai makan, Beliau berbaring seperti singa di dalam ruangannya dan di sore harinya Beliau pergi ke suatu tempat yang dekat dengan Kapilavatthu dengan melayang di udara, duduk di sebuah pohon yang memberikan tempat teduh yang sedikit. Merasa kesulitan dengan tempat tersebut, sebuah pohon beringin yang besar dan sangat teduh menghalangi jalan Viḍūḍabha. Viḍūḍabha melihat Sang Guru dan mendatanginya dengan berkata, “Mengapa Guru duduk di sini, di bawah pohon yang tidak teduh ini dalam cuaca yang demikian panas? Duduklah di bawah pohon beringin ini, Guru.” Beliau menjawab, “Tidak apa-apa, O raja! Tempat teduh yang diberikan oleh sanak keluargaku sudah cukup membuat diriku tidak kepanasan.”—“Sang Guru,” pikir raja, “pasti datang kemari untuk melindungi sanak keluarganya.” Maka ia memberi salam hormat kepada Sang Guru dan kembali lagi ke Savatthi. Dan Sang Guru bangkit, kembali ke Jetavana.
Untuk kedua kalinya, raja teringat akan rasa dendamnya, tetapi masih bertemu dengan Sang Guru di tempat yang sama dan kemudian kembali lagi. Untuk keempat kalinya ia pergi ke sana, dan Sang Guru yang melihat perbuatan suku Sakya sebelumnya, mengetahui bahwa tidak ada yang dapat membela perbuatan jahat mereka di masa lampau dengan memasukkan racun ke dalam sungai; maka Beliau tidak pergi ke sana untuk keempat kalinya. Kemudian raja Viḍūḍabha membunuh semua suku Sakya, mulai dari bayi yang masih menyusu pada ibunya dan kemudian dengan darah mereka mencuci kursi tempat duduk dan akhirnya kembali ke istana.
Di hari dimana Sang Guru pergi dan kembali sebanyak tiga kali, Beliau, [153] beristirahat di dalam gandhakuṭi setelah berpindapata dan selesai makan. Para bhikkhu berkumpul dari semua tempat di dhammasabhā dan mulai membicarakan tentang kebajikan Sang Mahasatwa. “Āvuso, Sang Guru sendiri yang muncul dan membuat raja kembali, membebaskan rasa takut akan kematian dalam diri sanak keluarganya! Betapa seorang yang sangat membantu bagi sanak keluarganya!”
Sang Guru masuk dan menanyakan apa yang sedang dibicarakan mereka. Mereka memberitahu Beliau. Kemudian Beliau berkata, “Bukan hanya kali ini, para bhikkhu, Sang Tathagata bertindak untuk melindungi sanak keluarganya, tetapi juga di masa lampau Beliau melakukan hal yang sama pula.”
Dengan perkataan ini, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala Brahmadatta berkuasa sebagai raja di Benares dan ia menjalankan sepuluh kualitas seorang raja (rajadhamma97). Ia berpikir, “Di seluruh India, semua raja tinggal di dalam istana yang terdiri dari banyak tiang. Tidak ada hal yang luar biasa di dalam ruangan yang terdapat banyak tiang. Bagaimana bila saya membuat istana yang disanggah oleh satu tiang saja? Kemudian saya akan menjadi raja dari para raja!”
Jadi ia memanggil tukang bangunan dan memerintahkan mereka untuk membangun sebuah istana yang megah hanya dengan satu tiang. “Baiklah,” kata mereka, dan mereka pergi ke dalam hutan.
Di sana mereka melihat begitu banyak pohon, lurus dan besar, cocok untuk dijadikan sebagai tiang tunggal penyangga istana yang demikian. “Ini dia pohon-pohonnya,” kata mereka, “tetapi jalannya rusak dan kita tidak akan pernah bisa dapat membawa pohon-pohon ini. Kita akan pergi bertanya kepada raja tentang hal ini.”
Ketika mereka memberitahu raja, ia berkata, “Dengan cara apapun, kalian harus membawa pohon-pohon itu kemari dan cepat.” Tetapi mereka menjawab, “Dengan cara apapun, hal ini tidak bisa dilakukan.” “Kalau begitu,” kata raja, “carilah pohon yang ada di dalam taman saya.”
Para tukang bangunan itu pergi ke taman dan di sana mereka melihat sebuah pohon sal yang besar, lurus dan tumbuh dengan bagus, yang dipuja oleh orang desa dan kota, dan biasanya keluarga kerajaan memberikan sesajian dan persembahan lainnya, dan kemudian mereka memberitahu raja. “Di tamanku kalian telah menemukan sebuah pohon yang cocok: Bagus—pergi tebang pohon tersebut.” “Baiklah,” kata mereka dan kembali ke taman, dengan tangan mereka yang penuh dengan kalung bunga dan yang lainnya; kemudian dengan menggantungkan sebuah kalung bunga yang disemprot lima kali, melingkarinya dengan benang, mengikatnya pada seikat bunga, dan menyalakan lampu, mereka melakukan pemujaan sambil menjelaskan, [154] “Di hari ketujuh, mulai dari hari ini, kami akan menebang pohon ini. Ini adalah perintah dari raja untuk melakukan penebangan. Mohon dewa yang tinggal di dalam pohon ini dapat pergi ke tempat yang lain dan tidak menyalahkan kami.”
Dewa, yang tinggal di dalam pohon tersebut mendengar perkataan ini, berpikir dalam dirinya: “Para tukang bangunan ini telah bertekad untuk menebang pohon ini dan menghancurkan tempat tinggalku. Sekarang ini, nyawaku hanya bertahan selama tempat tinggal ini ada. Dan semua pohon sala yang masih muda yang tumbuh di sekitar ini, dimana merupakan tempat tinggal para sanak keluargaku, dan ada banyak dari mereka, akan menjadi musnah. Kehancuranku tidak berarti dibandingkan dengan kehancuran anak-anakku. Oleh karena itu, saya harus melindungi nyawa mereka.” Disebabkan oleh hal tersebut, pada tengah malam, dengan mengenakan pakaian dewa yang bagus, ia masuk ke dalam kamar tidur raja dan mengisi ruangan itu dengan cahaya yang terang, berdiri sambil menangis di samping bantal raja. Ketika melihatnya, raja mengatasi rasa takutnya dan mengucapkan bait pertama berikut ini:
“Siapakah Anda, yang berdiri melayang di udara,
dengan mengenakan pakaian dewa:
Apa yang menimbulkan rasa takut Anda,
mengapa air mata menetes keluar dan membasahi mata Anda?
Ketika mendengar ini, dewa tersebut mengucapkan dua bait kalimat berikut ini:
“Di dalam daerah kekuasaan Anda, O raja,
mereka mengenalku dengan nama Pohon Keberuntungan:
Saya sudah ada selama enam ribu tahun, dan semuanya memuja diriku.
“Walaupun mereka pernah membangun banyak rumah
dan juga istana tempat tinggal raja,
Mereka sebelumnya tidak pernah menggangguku, tidak pernah melukaiku:
Dan bahkan saat mereka menyembahku, seperti menyembah Anda, O raja!”
[155] Kemudian raja mengucapkan dua bait kalimat berikut ini:
“Tetapi saya tidak melihat
ada pohon yang lebih kuat daripada ini,
Sebuah pohon yang sangat bagus
dan tinggi, tebal dan kuat.
“Sebuah istana yang indah akan saya bangun,
yang membutuhkan hanya satu tiang:
Di sana nantinya saya akan memberikanmu tempat tinggal–
kehidupanmu tidak akan berakhir.”
Mendengar perkataan ini, dewa pohon tersebut mengucapkan dua bait kalimat berikut ini:
“Karena Anda akan menebang pohonku,
mohon Anda memotongnya dengan kecil,
Dan tebanglah bagian demi bagian, dahan demi dahan, O raja,
kalau tidak jangan Anda menebang pohonku.
[156] “Tebang terlebih dahulu bagian atas,
kemudian bagian tengah, dan yang terakhir bagian akar:
Jika Anda menebang mengikuti permintaanku, O raja,
kematiannya tidak akan menyakitkan.”
Kemudian raja mengucapkan dua bait kalimat berikut:
“Pertama bagian tangan dan kaki,
kemudian hidung dan telinga,
walaupun demikian si korban masih akan tetap hidup,
Dan yang terakhir bagian kepala–
ini akan menyebabkan kematian yang terasa sakit.
“O pohon keberuntungan! penguasa hutan!
kesenangan apa yang dapat Anda rasakan,
Mengapa, atas alasan apa Anda ingin ditebang
bagian demi bagian seperti itu?”
Kemudian pohon keberuntungan tersebut menjawabnya dengan mengucapkan dua bait kalimat berikut:
“Alasan (dan ini adalah alasan yang mulia)
mengapa harus bagian demi bagian
Saya ditebang, O raja yang agung!
dengarkanlah apa yang akan saya katakan ini.
“Semua sanak keluargaku tumbuh dengan subur
dan terlindungi dengan baik:
Jika saya hancur dalam satu kali tebangan–
penderitaan mereka akan menjadi sangat besar.”
[157] Raja menjadi sangat senang ketika mendengar ini, dan berpikir, “Ia adalah dewa pohon yang baik. Ia tidak menginginkan sanak keluarganya kehilangan tempat tinggal hanya karena ia kehilangan tempat tinggal. Ia bertindak demikian untuk kebaikan sanak keluarganya.” Dan ia mengucapkan sisa bait kalimat berikut ini:
“O pohon keberuntungan! O penguasa hutan!
pemikiran Anda pastilah mulia:
Anda menolong sanak keluarga,
maka saya akan membebaskanmu dari rasa takut.”
Setelah dewa pohon menyampaikan semuanya itu, ia pun pergi. Dan raja melakukan sesuai dengan permintaannya tersebut, memberikan derma dan melakukan perbuatan kebajikan lainnya sampai akhirnya ia tumimbal lahir di alam Surga.
____________________
Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru berkata: “Demikianlah, para bhikkhu, Sang Tathagata melakukan hal tersebut untuk kebaikan sanak keluarganya,” dan kemudian Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, Ananda adalah raja, siswa Sang Buddha Gotama yang lainnya adalah dewa-dewa pohon yang menjelma dan tinggal di pohon sala, dan saya sendiri adalah pohon keberuntungan, raja dari para dewa pohon.”
Di kota Savatthi, di dalam rumah Anāthapiṇḍika (Anathapindika) selalu ada makanan yang tiada habisnya bagi lima ratus orang bhikkhu, sama halnya dengan Visākhā (Visakha) dan juga raja Kosala. Akan tetapi di dalam istana raja, tidak ada yang bersikap ramah terhadap mereka walaupun makanannya enak dan beraneka ragam. Sebagai akibatnya, mereka tidak pernah makan di dalam istana, mereka membawa makanannya dan pergi makan di rumah Anathapindika atau Visakha atau rumah sahabat mereka yang dapat dipercaya.
Pada suatu hari raja berkata, “Seseorang membawa hadiah. Bawalah hadiah ini untuk para bhikkhu,” dan kemudian raja mengirimkannya ke ruang makan. Sebuah jawaban yang berisikan bahwa tidak ada seorang bhikkhu pun di ruang makan disampaikan kepada raja. “Kemana perginya mereka?” tanya raja. Jawaban yang diberikan kepada raja adalah bahwa mereka sedang duduk dan makan di rumah sahabat mereka.
Maka setelah selesai sarapan pagi, raja pergi menemui Sang Guru dan bertanya kepada Beliau, “Bhante, jenis makanan apa yang paling baik?” “Makanan persahabatan adalah yang paling baik, raja yang agung,” kata Beliau, “bahkan bubur masam yang disajikan oleh seorang teman akan dapat menjadi manis.” “Kalau begitu, Bhante, dengan siapakah para bhikkhu bersahabat?” “Dengan sanak keluarganya, raja yang agung, atau dengan keluarga suku Sakya.”
Kemudian raja berpikir bagaimana bila ia menjadikan seorang wanita suku Sakya sebagai ratunya, kemudian para bhikkhu itu akan menjadi bersahabat dengannya, seperti sanak keluarga mereka sendiri.
[145] Setelah bangkit dari tempat duduknya, raja kembali ke istana dan mengirim pesan ke Kapilavatthu90 yang berbunyi : “Tolong berikan saya salah satu putri Anda untuk menikah denganku karena saya ingin dapat berhubungan dengan sanak keluarga Anda.” Setelah menerima pesan tersebut, suku Sakya berkumpul bersama dan membahasnya. “Kita tinggal di dalam wilayah yang dikuasai oleh raja Kosala. Jika kita menolaknya, ia akan menjadi sangat marah; dan jika kita memberikannya, adat istiadat dari suku kita akan hancur. Apa yang harus kita lakukan?”
Kemudian Mahānāma 91 berkata kepada mereka, “Jangan cemas karena hal ini. Saya mempunyai seorang putri yang bernama Vāsabhakhattiyā. Ibunya adalah seorang budak wanita, bernama Nāgamuṇḍā. Putri saya berusia enam belas tahun, mempunyai kecantikan yang luar biasa dan mempunyai harapan yang baik dan mulia92 dari sisi ayahnya. Kita akan mengirimnya sebagai wanita dengan kelahiran mulia”. Suku Sakya menyetujui hal ini, dan memanggil utusan raja tersebut dan mengatakan bahwa mereka bersedia memberikan seorang putri wanita dari suku mereka, serta mereka juga dapat membawanya ikut pergi segera.
Tetapi para utusan itu berpikir, “Suku Sakya ini adalah orang yang sombong, dalam hal kelahiran. Bagaimana jika mereka memberikan seorang wanita yang bukan berasal dari suku Sakya? Kami akan membawa wanita yang duduk dan makan bersama dengan mereka.” Maka mereka mengatakan, “Baik, kami akan membawanya, tetapi kami akan membawa wanita yang duduk dan makan bersama dengan kalian.”
Suku Sakya tersebut menyediakan tempat tinggal sementara bagi para utusan dan kemudian berpikir apa yang harus dilakukan. Mahānāma berkata, “Jangan cemas akan hal ini. Saya akan mencari cara. Di saat waktu makan saya, bawa masuk Vāsabhakhattiyā yang telah berpakaian bagus. Kemudian setelah saya memasukkan makanan satu kali ke dalam mulutku, keluarkanlah sebuah surat dan katakan, Tuanku, raja anu mengirim surat berikut kepada Anda; segeralah dengar pesannya dengan perasaan senang.”
Mereka menyetujuinya. Ketika Mahānāma sedang bersiap-siap untuk makan, mereka mendandani pelayan wanita tersebut. “Bawa putri saya kemari,” kata Mahānāma, “agar kami dapat makan bersama.” “Tunggu sebentar,” kata mereka, “sampai ia selesai dandan,” dan setelah beberapa saat, mereka membawanya masuk. Dengan harapan untuk makan bersama dengan ayahnya, ia memasukkan tangannya di piring yang sama. Mahānāma telah makan satu kali, ketika ia menjulurkan tangannya untuk yang kedua kalinya, mereka membawakannya sebuah surat dengan berkata, “Tuanku, raja anu mengirimkan Anda sebuah surat, segeralah dengar pesannya dengan senang hati.” Mahānāma berkata, “Lanjutkan makanmu, anakku,” [146] dan dengan tetap meletakkan tangan kanannya di atas piring, ia mengambil surat tersebut dengan tangan kiri dan membacanya. Selagi ia sibuk membaca surat, pelayan wanita itu tetap makan. setelah selesai makan, ia mencuci tangannya dan membasuh mulutnya. Para utusan itu menjadi benar-benar merasa yakin bahwa pelayan wanita itu adalah putrinya, karena mereka tidak mengetahui rahasia tersebut.
Maka Mahānāma mengirim putrinya dengan rombongan besar. Para utusan tersebut membawanya ke Savatthi, dan mengatakan bahwa wanita ini adalah anak kandung dari Mahānāma. Raja merasa senang dan meminta pengawal untuk menghiasi seluruh isi kota, menempatkan wanita tersebut di atas tahta kerajaan dan dengan upacara pelantikan menjadikannya sebagai ratu. Wanita tersebut sangat disayangi dan dicintai raja.
Dalam waktu yang tidak lama, ratu mengandung dan raja memerintahkan untuk melayaninya dengan sangat baik. Dan di akhir bulan kesepuluh, ia melahirkan seorang putra yang memiliki warna coklat keemasan. Di hari pemberian namanya, raja mengirimkan sebuah pesan kepada neneknya, yang berbunyi: “Vāsabhakhattiyā, putri dari suku Sakya, telah melahirkan seorang putra. Apakah nama yang cocok baginya?” Waktu itu, pengawal istana yang ditugaskan untuk pesan ini adalah orang yang agak tuli. Ia pun pergi menjumpai dan memberikan pesan itu kepada ibu dari raja. Ketika ibunya mendengar ini, ia berkata, “Bahkan sebelum Vāsabhakhattiyā melahirkan, ia sudah memiliki kedudukan yang tinggi. Sekarang ia pasti akan menjadi kesayangan raja.” Laki-laki tuli itu tidak mendengar dengan jelas kata “kesayangan”, yang didengarnya adalah “Viḍūḍabha,” maka ia kembali menjumpai raja dan memberitahunya untuk memberikannya nama pangeran Viḍūḍabha. Ketika mendengar nama tersebut, raja mengira bahwa itu adalah nama keluarga zaman dahulu dan kemudian memberinya nama Viḍūḍabha.
Pangeran tersebut tumbuh dengan perlakuan sebagaimana mestinya seorang pangeran dirawat.
Di saat ia berusia tujuh tahun, ia melihat pangeran-pangeran yang lain mendapatkan hadiah berupa gajah mainan, kuda mainan dan mainan lainnya dari keluarga ayah dan ibunya. Pangeran tersebut berkata kepada ibunya, “Ibu, mereka mendapatkan hadiah dari keluarga ibu mereka, sedangkan tidak ada seorangpun yang memberikan hadiah kepadaku. Apakah ibu adalah seorang yatim?” Kemudian ia menjawab, “Anakku, kakek nenekmu adalah raja dari suku Sakya dan mereka tinggalnya jauh sekali dari sini. Oleh karena itulah mereka tidak memberikan hadiah apa-apa kepadamu.”
Di saat berusia enam belas tahun, pangeran itu berkata, “Ibu, saya ingin berjumpa dengan keluarga ayah dari ibu.” “Jangan membicarakan tentang itu, anakku,” katanya. “Apa yang akan Anda lakukan ketika Anda sampai di sana?” Walaupun ibunya selalu tidak menjawabnya, pangeran terus bertanya kepadanya secara berulang-ulang. Akhirnya, wanita itu berkata, [147] “Baik, kalau memang begitu, pergilah.” Maka pangeran meminta izin dari ayahnya dan berangkat dengan sejumlah pengawal.
Vāsabhakhattiyā mengirim surat sebelum pangeran itu sampai, yang isinya berbunyi: “Saya bahagia tinggal di sini. Tuan-Tuanku tolong jangan beritahu pangeran tentang rahasia tersebut.” Tetapi suku Sakya yang mendengar kedatangan Viḍūḍabha, menyuruh semua pemuda mereka untuk pergi ke desa. Mereka berkata, “Tidak mungkin menyambut dirinya dengan hormat.”
Ketika pangeran tiba di Kapilavatthu, semua suku Sakya telah berkumpul di tempat peristirahatan yang megah. Pangeran berjalan ke arah tempat tersebut dan menunggu. Kemudian mereka berkata kepadanya, “Ini adalah ayah dari ibumu, itu adalah abangnya,” sambil menunjuk kepada mereka. Pangeran melihat mereka satu per satu sembari memberi salam hormat. Walaupun ia menundukan kepalanya sampai sakit, tidak seorang pun di antara mereka yang memberikan salam kepadanya. Maka ia berkata, “Mengapa tidak ada seorang pun dari kalian yang memberikan salam balik kepadaku?” Suku Sakya itu menjawab, “Anakku, semua pangeran muda yang lain ada di negara,” kemudian mereka menjamunya dengan mewah.
Setelah tinggal beberapa hari, ia pulang kembali ke istana dengan rombongan pengawalnya. Sewaktu mereka baru saja berangkat pergi, seorang pelayan wanita mencuci tempat duduk yang digunakan oleh pangeran di dalam tempat peristirahatan dengan air susu dan berkata dengan menghina, “Ini adalah tempat duduk yang digunakan oleh putra Vāsabhakhattiyā, si pelayan wanita!” Seorang pengawal yang tombaknya ketinggalan kembali untuk mengambilnya dan dengan tidak sengaja mendengar pelecehan terhadap Pangeran Viḍūḍabha tersebut. Ia bertanya apa maksud dari perkataannya tersebut. Ia diberitahukan bahwa Vāsabhakhattiyā sebenarnya adalah pelayan dari Mahānāma, orang suku Sakya. Pengawal tersebut memberitahukan hal ini kepada pasukan pengawal lainnya. Terjadi kegemparan yang besar, semuanya berteriak— “Vāsabhakhattiyā adalah seorang anak dari pelayan wanita, itu yang dikatakan mereka!” Pangeran mendengarnya. Ia berpikir, “Ya, biarkan saja mereka menuangkan air susu untuk membersihkan tempat duduk yang saya gunakan tadi! Di saat saya menjadi raja, saya akan mencuci tempat tersebut dengan darah mereka!”
Ketika ia kembali ke Savatthi, pengawal istana mengatakan semuanya kepada raja. Raja menjadi sangat marah kepada orang suku Sakya karena memberikan seorang putri dari pelayan wanita kepadanya untuk dijadikan istri. Ia menghentikan pemberian uang kepada Vāsabhakhattiyā dan anaknya, dan memberikan kepada mereka apa yang pantas diberikan kepada pelayan laki-laki dan wanita.
Beberapa hari kemudian, Sang Guru datang ke istana, dan duduk di dalamnya. Raja datang menjumpai beliau, menyapanya dengan berkata: “Paduka, saya mendengar bahwa suku Sakya memberikanmu seorang putri pelayan wanita untuk dijadikan istri. Saya telah menghentikan pemberian uang kepada mereka, ibu dan anak, dan hanya memberikan mereka apa yang pantas didapatkan oleh pelayan.” Sang Guru berkata, “Orang suku Sakya telah berbuat kesalahan, O raja yang agung! [148] Jika mereka hendak memberikan seseorang, mereka seharusnya memberikan seseorang yang berasal dari keturunan mereka sendiri. Akan tetapi, O raja, saya katakan ini: Vāsabhakhattiyā adalah putri seorang raja, dan di rumah seorang raja yang mulia ia telah menjalani upacara pelantikan. Viḍūḍabha juga lahir di dunia ini karena adanya seorang raja yang mulia. Orang bjiak di masa lampau pernah mengatakan ini, apa pentingnya status kelahiran sang ibu? Status kelahiran ayah adalah tolak ukurnya. Bila ia menjadikan seorang wanita miskin, seorang pengumpul kayu sebagai istri sekaligus ratunya, maka putra yang lahir dari mereka itu akan mendapatkan kekuasaan terhadap Benares, yang luasnya dua belas yojana dan nantinya akan menjadi raja Kaṭṭha-vāhana, si pembawa kayu,” yang kemudian beliau menceritakan sebuah kisah tentang Kaṭṭhahāri-Jātaka93. Ketika raja mendengar tentang ini, ia menjadi merasa senang dan berkata dalam dirinya sendiri, “Status kelahiran ayah yang menjadi tolak ukurnya,” kemudian ia mengembalikan semua perlakuan yang tadinya diberikan kepada ibu dan anak tersebut.
Waktu itu, panglima tertinggi raja adalah seorang laki-laki yang bernama Bandhula. Istrinya, Mallikā (Mallika), adalah wanita mandul dan ia mengirimnya pulang ke Kusināra, dengan berpesan padanya agar ia kembali ke keluarganya sendiri. “Saya akan pergi,” kata istrinya, “setelah saya memberikan penghormatan kepada Sang Guru.” Ia pergi ke Jetavana, memberi salam hormat kepada Sang Tathagata dan berdiri menunggu di satu sisi. Beliau bertanya, “Anda akan pergi kemana?” Ia menjawab, “Suamiku menyuruh saya untuk pulang ke rumahku sendiri, Guru.” “Mengapa?” tanya Sang Guru. “Saya adalah seorang wanita yang mandul, Guru. Saya tidak mempunyai seorang putra.” Beliau berkata, “Jika itu masalahnya, tidak ada alasan yang kuat mengapa Anda harus pergi. Kembalilah.” Ia menjadi sangat senang dan kemudian pulang ke rumah setelah memberi penghormatan kepada Sang Guru. Suaminya bertanya mengapa ia kembali. Ia menjawab, “Dasabala yang menyuruhku kembali, suamiku.” Panglima tersebut kemudian berkata, “Kalau begitu Sang Tathagata pasti telah melihat suatu alasan yang bagus.” Tidak lama setelah wanita tersebut hamil, ia mulai mengidam dan memberitahukan suaminya tentang keinginannya itu. Suaminya bertanya, “Apa yang Anda inginkan?” “Suamiku, saya berkeinginan untuk pergi mandi dan minum air dari kolam yang ada di kota Vesāli tempat dimana keluarga raja mengambil air untuk upacara pelantikan.” Panglima tertinggi tersebut berjanji untuk berusaha melakukannya. Ia membawa busurnya yang sama kuatnya dengan seribu buah busur, kemudian ia membawa istrinya masuk ke dalam kereta dan mengemudikan keretanya meninggalkan kota Savatthimenuju ke kota Vesālī.
Waktu itu, di dekat pintu gerbang hiduplah seorang suku Licchavi yang bernama Mahāli94, yang juga telah diajar oleh guru yang sama yang mengajar jenderal raja Kosala, Bandhula. Laki-laki ini buta dan biasa memberikan nasehat kepada kaum Licchavi atas berbagai masalah, baik temporal maupun spiritual. Karena mendengar derap langkah kuda yang berasal dari kereta panglima tersebut sewaktu melewati ambang pintunya, ia berkata, “Suara ribut dari kereta dari Bandhula si Mallian! [149] Hari ini akan ada hal yang menakutkan bagi kaum Licchavi!”
Dekat kolam tersebut ada penjagaan yang ketat, baik di dalam maupun di luar, di atasnya dibentangkan jaring besi, bahkan seekor burung pun tidak dapat menemukan celah untuk melewatinya. Tetapi Panglima tersebut turun dari keretanya dan bertarung dengan para penjaga dengan menggunakan pedangnya dan menghancurkan jaring besi tersebut. Kemudian ia memandikan istrinya di dalam kolam dan memberinya minum air dari kolam tersebut. Sesudah semuanya itu, ia mandi dan membawa Mallika kembali ke dalam kereta dan meninggalkan kota itu dengan melalui jalan yang dilewatinya waktu datang.
Para penjaga tersebut pergi memberitahu semuanya kepada kaum Licchavi. Para raja kaum Licchavi menjadi marah, kemudian lima ratus dari kaum mereka naik lima ratus kereta berangkat untuk menangkap Badhula si Mallian. Mereka juga memberitahu Mahāli tentang hal ini dan ia berkata, “Jangan pergi! Ia akan membunuh kalian semua.” Tetapi mereka berkata, “Tidak, kami akan pergi.” “Kalau begitu, jika kalian sampai di suatu tempat dimana terlihat sebuah roda tertanam di bagian tengah, kalian harus segera kembali. Jika kalian tidak ingin kembali saat itu, kembalilah dari tempat itu ketika mendengar suara halilintar. Jika kalian juga tidak ingin kembali saat itu, kembalilah sewaktu melihat sebuah tempat yang berlubang di depan kereta kalian. Jangan melanjutkan perjalanan lagi saat itu!” Akan tetapi, mereka tidak mendengar kata-katanya untuk kembali, mereka terus melanjutkan perjalanan.
Mallika melihat mereka dari kejauhan dan berkata, “Suamiku, ada kereta-kereta yang datang mengejar.” “Kalau begitu beritahu saya di saat mereka terlihat seperti dalam satu garis.” Ketika mereka berada dalam satu garis kelihatan seperti satu kereta, wanita itu berkata, “Suamiku, saya melihat mereka seperti hanya satu kereta sekarang.” “Pegang tali kekangnya,” katanya sembari memberikannya kepada istrinya. Ia berdiri tegak di atas keretanya dan meregangkan busurnya. Roda keretanya masuk ke dalam tanah sedalam perut bumi. Kaum Licchavi sampai ke tempat tersebut, melihat bekasnya, tetapi tidak kembali. Panglima itu berada di depan mereka dengan jarak yang terpisah agak jauh, dan ia mendentingkan tali busurnya sehingga muncul suara yang menyerupai halilintar. Walaupun demikian, kaum Licchavi tidak juga kembali, tetap melakukan pengejaran. Bhandula berdiri di keretanya dan menembakkan sebatang anak panah dan panah itu memutuskan kepala dari lima ratus kereta kuda tersebut, yang juga menembus kepada lima ratus raja kaum Licchavi di tempat sabuk diikatkan dan akhirnya jatuh ke tanah. Mereka yang tidak menyadari bahwa mereka terluka, tetap melakukan pengejaran, sambil meneriakkan, “Berhenti, berhenti!” Bhandula menghentikan laju kudanya dan berkata, “Kalian semua adalah orang mati dan saya tidak dapat bertarung dengan orang mati.” “Apa!” kata mereka, “mati, sekarang ini?” “Lepaskan sabuk dari laki-laki pertama tersebut,” kata Bandhula. [150] Mereka melepaskan ikatan sabuknya, dan saat itu juga, laki-laki tersebut jatuh dan mati. Kemudian ia berkata kepada mereka, “Kalian semua berada dalam keadaan yang sama seperti ini, pulanglah ke rumah kalian, dan beritahukan apa yang harus dilakukan, beri pesan kepada istri dan keluarga, dan kemudian lepaskan baju perang tersebut.” Mereka melakukan apa yang dikatakannya, dan kemudian mereka semua menjadi hantu95.
Dan Bandhula membawa Mallika kembali ke Savatthi. Ia melahirkan putra kembar enam belas kali secara berturut-turut, dan mereka semua adalah laki-laki dan pahlawan yang kuat dan sempurna dalam semua kemahiran. Mereka masing-masing memiliki seribu pengawal untuk menjaganya, dan ketika mereka bersama dengan ayah mereka untuk menunggui raja, mereka sendiri yang akan mengisi halaman istana sampai meluap.
Pada suatu hari beberapa laki-laki kalah dijatuhi hukuman oleh pengadilan atas tuduhan palsu. Ketika melihat Bandhula datang, mereka langsung berteriak dan memberitahu dirinya bahwa pengadilan telah memberikan tuduhan palsu terhadap mereka. Maka Bandhula pergi ke pengadilan tersebut menyelidiki kasus itu, dan memberikan keputusan yang adil.
Kerumunan orang di sana memberikan sahutan tepuk tangan yang keras. Raja menanyakan apa arti dari semua itu dan ketika mendengar permasalahannya, raja menjadi sangat senang. Raja memecat semua pegawai pengadilan yang bersalah dan memberikan kedudukan hakim istana kepada Bandhula. Mulai saat itu, ia mengadili kasus dengan sebenar-benarnya.
Para hakim terdahulu menjadi jatuh miskin karena mereka tidak bisa lagi menerima uang suap, dan memfitnah Bandhula di hadapan raja dengan menuduhnya bertujuan untuk menduduki kerajaan. Raja mendengar perkataan mereka dan tidak bisa mengendalikan kecurigaannya. Ia berpikir, “Jika ia dibunuh di sini, saya pasti disalahkan.” Raja menyuruh beberapa orang untuk mengacau di daerah perbatasan, kemudian memanggil Bandhula dan berkata, “Daerah perbatasan sekarang ini lagi kacau. Pergilah dengan putra-putramu dan tangkap para pengacau tersebut.” Raja juga mengirim beberapa orang untuk pergi bersamanya, yang hebat dalam berperang, yang ditugaskan untuk membunuh Bandhula beserta ketiga puluh dua putranya dengan memenggal kepala mereka dan membawanya kembali.
Sewaktu Bandhula masih dalam perjalanan menuju perbatasan, para pengacau yang disewa raja tersebut mendengar kabar kedatangan jenderal itu dan melarikan diri. Ia menenangkan kembali suasana di daerah perbatasan dan kemudian berangkat pulang. Di saat ia berada tidak jauh dari kota, para ksatria suruhan raja tersebut memenggal kepalanya dan juga para putranya.
Pada hari yang sama, Mallika telah mengirimkan undangan kepada dua orang siswa utama bersama dengan lima ratus bhikkhu lainnya sebelum tengah hari, sebuah surat ditujukan kepadanya dengan berita yang mengatakan bahwa suami dan putra-putranya telah kehilangan kepala mereka. [151] Ketika ia mendengar ini, tanpa satu kata pun di dalam hatinya, ia memasukkan surat itu ke dalam pakaiannya dan melayani rombongan para bhikkhu. Para pembantunya memberikan nasi kepada para bhikkhu dan di saat membawa masuk mangkuk mentega, tidak sengaja mereka memecahkan mangkuk tersebut di hadapan para tetua.
Kemudian Panglima Dhamma (dhammasenāpati) berkata, “Mangkuk dibuat untuk dipecahkan, jangan cemas akan hal ini.” Mallika mengeluarkan surat dari lipatan pakaiannya dan berkata, “Di sini saya ada sebuah surat yang memberitahuku bahwa istri dan ketiga puluh dua putraku telah dipenggal kepalanya. Jika saya tidak dicemaskan karena hal itu, apakah saya harus cemas ketika sebuah mangkuk pecah?” Panglima Dhamma berkata, “Tidak terlihat, tidak diketahui96,” dan seterusnya, kemudian bangkit dari tempat ia duduk, memberikan khotbah dan pulang kembali. Mallika memanggil ketiga puluh dua menantunya dan berkata, “Suami-suami kalian, walaupun tidak berdosa, telah menuai hasil dari perbuatan terdahulu mereka. Jangan bersedih, dan jangan melakukan perbuatan dosa yang lebih buruk daripada yang dilakukan oleh raja.” Ini adalah nasehatnya.
Mata-mata raja yang mendengar perkataannya ini memberitahukan raja bahwa mereka tidak marah. Kemudian raja merasa menyesal dan pergi ke rumah Mallika untuk meminta maaf kepadanya dan juga para istri dari putra-putranya, dan juga menawarkan untuk memberikan hadiah. Ia menjawab, “Terimalah itu.” Ia mengadakan upacara pemakaman, dan sesudahnya mandi, kemudian pergi menjumpai raja. “Paduka,” katanya, “Anda menawarkan saya sebuah hadiah. Saya tidak menginginkan yang lain, kecuali ini: tolong Anda ijinkan saya dan ketiga puluh dua menantu saya untuk kembali ke rumah kami.” Raja menyetujuinya. Mallika membawa ketiga puluh dua menantunya pulang ke rumah keluarganya di kota Kusināra. Dan raja memberikan jabatan panglima tertinggi kepada seorang Dighakārāyana, putra dari adik Jenderal Bandhula. Akan tetapi, panglima ini terus-terusan mencari kesalahan dengan raja dan berkata, “Ia membunuh pamanku.”
Sejak pembunuhan diri Bandhula yang tidak bersalah, raja diliputi perasaan menyesal dan tidak bisa mendapatkan ketenangan pikiran, tidak dapat menikmati kesenangan menjadi seorang raja. Pada waktu itu, Sang Guru sedang bertempat tinggal di sebuah desa suku Sakya yang disebut Uḷumpa. Raja pergi ke sana dan mendirikan kemah tidak jauh dari taman. Dengan beberapa orang pengawalnya, raja pergi ke vihara untuk memberi salam hormat kepada Sang Guru. Lima lambang kerajaan diserahkannya kepada Kārāyana, dan sendirian ia masuk ke dalam gandhakuṭi . Kisah selanjutnya telah diceritakan di dalam Dhammacetiya Sutta. Ketika ia masuk ke dalam ruangan tersebut, Kārāyana mengambil lambang-lambang kerajaan tersebut, [152] dan menjadikan Viḍūḍabha sebagai raja. Kemudian dengan meninggalkan seekor kuda dan seorang pelayan wanita untuk raja, ia kembali ke Savatthi.
Setelah berbincang dengan Sang Guru, raja kembali dan tidak melihat rombongan pengawal istananya. Ia bertanya kepada wanita tersebut dan baru mengetahui apa yang telah terjadi. Kemudian ia berangkat menuju ke kota Rajagaha, memutuskan untuk membawa keponakannya bersama dengannya dan menangkap Viḍūḍabha. Hari sudah gelap ketika ia sampai di sana dan gerbang kota telah ditutup. Karena hanya dapat berbaring di dalam barak, merasa sangat kelelahan disebabkan oleh angin dan sinar matahari, ia pun meninggal di sana. Di saat fajar mulai menyingsing, pelayan wanita itu pun mulai meratap sedih, “Tuanku, raja Kosala telah meninggal, tolong!” Suara ratapan ini terdengar oleh orang-orang dan akhirnya sampai pada raja. Ia melakukan upacara pemakaman untuk pamannya dengan megah.
Viḍūḍabha menjadi naik tahta kerajaan dan teringat akan rasa dendamnya yang bertekad untuk menghancurkan suku Sakya semuanya. Ia berangkat ke sana dengan pasukan pengawal yang banyak. Di subuh hari itu juga, Sang Guru yang sedang meneliti dunia ini mengetahui bahwa kehancuran sedang mengancam sanak keluarganya. “Saya harus menolong sanak saudaraku,” pikir Beliau.
Sebelum tengah hari Beliau pergi berpindapata dan kemudian setelah selesai makan, Beliau berbaring seperti singa di dalam ruangannya dan di sore harinya Beliau pergi ke suatu tempat yang dekat dengan Kapilavatthu dengan melayang di udara, duduk di sebuah pohon yang memberikan tempat teduh yang sedikit. Merasa kesulitan dengan tempat tersebut, sebuah pohon beringin yang besar dan sangat teduh menghalangi jalan Viḍūḍabha. Viḍūḍabha melihat Sang Guru dan mendatanginya dengan berkata, “Mengapa Guru duduk di sini, di bawah pohon yang tidak teduh ini dalam cuaca yang demikian panas? Duduklah di bawah pohon beringin ini, Guru.” Beliau menjawab, “Tidak apa-apa, O raja! Tempat teduh yang diberikan oleh sanak keluargaku sudah cukup membuat diriku tidak kepanasan.”—“Sang Guru,” pikir raja, “pasti datang kemari untuk melindungi sanak keluarganya.” Maka ia memberi salam hormat kepada Sang Guru dan kembali lagi ke Savatthi. Dan Sang Guru bangkit, kembali ke Jetavana.
Untuk kedua kalinya, raja teringat akan rasa dendamnya, tetapi masih bertemu dengan Sang Guru di tempat yang sama dan kemudian kembali lagi. Untuk keempat kalinya ia pergi ke sana, dan Sang Guru yang melihat perbuatan suku Sakya sebelumnya, mengetahui bahwa tidak ada yang dapat membela perbuatan jahat mereka di masa lampau dengan memasukkan racun ke dalam sungai; maka Beliau tidak pergi ke sana untuk keempat kalinya. Kemudian raja Viḍūḍabha membunuh semua suku Sakya, mulai dari bayi yang masih menyusu pada ibunya dan kemudian dengan darah mereka mencuci kursi tempat duduk dan akhirnya kembali ke istana.
Di hari dimana Sang Guru pergi dan kembali sebanyak tiga kali, Beliau, [153] beristirahat di dalam gandhakuṭi setelah berpindapata dan selesai makan. Para bhikkhu berkumpul dari semua tempat di dhammasabhā dan mulai membicarakan tentang kebajikan Sang Mahasatwa. “Āvuso, Sang Guru sendiri yang muncul dan membuat raja kembali, membebaskan rasa takut akan kematian dalam diri sanak keluarganya! Betapa seorang yang sangat membantu bagi sanak keluarganya!”
Sang Guru masuk dan menanyakan apa yang sedang dibicarakan mereka. Mereka memberitahu Beliau. Kemudian Beliau berkata, “Bukan hanya kali ini, para bhikkhu, Sang Tathagata bertindak untuk melindungi sanak keluarganya, tetapi juga di masa lampau Beliau melakukan hal yang sama pula.”
Dengan perkataan ini, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala Brahmadatta berkuasa sebagai raja di Benares dan ia menjalankan sepuluh kualitas seorang raja (rajadhamma97). Ia berpikir, “Di seluruh India, semua raja tinggal di dalam istana yang terdiri dari banyak tiang. Tidak ada hal yang luar biasa di dalam ruangan yang terdapat banyak tiang. Bagaimana bila saya membuat istana yang disanggah oleh satu tiang saja? Kemudian saya akan menjadi raja dari para raja!”
Jadi ia memanggil tukang bangunan dan memerintahkan mereka untuk membangun sebuah istana yang megah hanya dengan satu tiang. “Baiklah,” kata mereka, dan mereka pergi ke dalam hutan.
Di sana mereka melihat begitu banyak pohon, lurus dan besar, cocok untuk dijadikan sebagai tiang tunggal penyangga istana yang demikian. “Ini dia pohon-pohonnya,” kata mereka, “tetapi jalannya rusak dan kita tidak akan pernah bisa dapat membawa pohon-pohon ini. Kita akan pergi bertanya kepada raja tentang hal ini.”
Ketika mereka memberitahu raja, ia berkata, “Dengan cara apapun, kalian harus membawa pohon-pohon itu kemari dan cepat.” Tetapi mereka menjawab, “Dengan cara apapun, hal ini tidak bisa dilakukan.” “Kalau begitu,” kata raja, “carilah pohon yang ada di dalam taman saya.”
Para tukang bangunan itu pergi ke taman dan di sana mereka melihat sebuah pohon sal yang besar, lurus dan tumbuh dengan bagus, yang dipuja oleh orang desa dan kota, dan biasanya keluarga kerajaan memberikan sesajian dan persembahan lainnya, dan kemudian mereka memberitahu raja. “Di tamanku kalian telah menemukan sebuah pohon yang cocok: Bagus—pergi tebang pohon tersebut.” “Baiklah,” kata mereka dan kembali ke taman, dengan tangan mereka yang penuh dengan kalung bunga dan yang lainnya; kemudian dengan menggantungkan sebuah kalung bunga yang disemprot lima kali, melingkarinya dengan benang, mengikatnya pada seikat bunga, dan menyalakan lampu, mereka melakukan pemujaan sambil menjelaskan, [154] “Di hari ketujuh, mulai dari hari ini, kami akan menebang pohon ini. Ini adalah perintah dari raja untuk melakukan penebangan. Mohon dewa yang tinggal di dalam pohon ini dapat pergi ke tempat yang lain dan tidak menyalahkan kami.”
Dewa, yang tinggal di dalam pohon tersebut mendengar perkataan ini, berpikir dalam dirinya: “Para tukang bangunan ini telah bertekad untuk menebang pohon ini dan menghancurkan tempat tinggalku. Sekarang ini, nyawaku hanya bertahan selama tempat tinggal ini ada. Dan semua pohon sala yang masih muda yang tumbuh di sekitar ini, dimana merupakan tempat tinggal para sanak keluargaku, dan ada banyak dari mereka, akan menjadi musnah. Kehancuranku tidak berarti dibandingkan dengan kehancuran anak-anakku. Oleh karena itu, saya harus melindungi nyawa mereka.” Disebabkan oleh hal tersebut, pada tengah malam, dengan mengenakan pakaian dewa yang bagus, ia masuk ke dalam kamar tidur raja dan mengisi ruangan itu dengan cahaya yang terang, berdiri sambil menangis di samping bantal raja. Ketika melihatnya, raja mengatasi rasa takutnya dan mengucapkan bait pertama berikut ini:
“Siapakah Anda, yang berdiri melayang di udara,
dengan mengenakan pakaian dewa:
Apa yang menimbulkan rasa takut Anda,
mengapa air mata menetes keluar dan membasahi mata Anda?
Ketika mendengar ini, dewa tersebut mengucapkan dua bait kalimat berikut ini:
“Di dalam daerah kekuasaan Anda, O raja,
mereka mengenalku dengan nama Pohon Keberuntungan:
Saya sudah ada selama enam ribu tahun, dan semuanya memuja diriku.
“Walaupun mereka pernah membangun banyak rumah
dan juga istana tempat tinggal raja,
Mereka sebelumnya tidak pernah menggangguku, tidak pernah melukaiku:
Dan bahkan saat mereka menyembahku, seperti menyembah Anda, O raja!”
[155] Kemudian raja mengucapkan dua bait kalimat berikut ini:
“Tetapi saya tidak melihat
ada pohon yang lebih kuat daripada ini,
Sebuah pohon yang sangat bagus
dan tinggi, tebal dan kuat.
“Sebuah istana yang indah akan saya bangun,
yang membutuhkan hanya satu tiang:
Di sana nantinya saya akan memberikanmu tempat tinggal–
kehidupanmu tidak akan berakhir.”
Mendengar perkataan ini, dewa pohon tersebut mengucapkan dua bait kalimat berikut ini:
“Karena Anda akan menebang pohonku,
mohon Anda memotongnya dengan kecil,
Dan tebanglah bagian demi bagian, dahan demi dahan, O raja,
kalau tidak jangan Anda menebang pohonku.
[156] “Tebang terlebih dahulu bagian atas,
kemudian bagian tengah, dan yang terakhir bagian akar:
Jika Anda menebang mengikuti permintaanku, O raja,
kematiannya tidak akan menyakitkan.”
Kemudian raja mengucapkan dua bait kalimat berikut:
“Pertama bagian tangan dan kaki,
kemudian hidung dan telinga,
walaupun demikian si korban masih akan tetap hidup,
Dan yang terakhir bagian kepala–
ini akan menyebabkan kematian yang terasa sakit.
“O pohon keberuntungan! penguasa hutan!
kesenangan apa yang dapat Anda rasakan,
Mengapa, atas alasan apa Anda ingin ditebang
bagian demi bagian seperti itu?”
Kemudian pohon keberuntungan tersebut menjawabnya dengan mengucapkan dua bait kalimat berikut:
“Alasan (dan ini adalah alasan yang mulia)
mengapa harus bagian demi bagian
Saya ditebang, O raja yang agung!
dengarkanlah apa yang akan saya katakan ini.
“Semua sanak keluargaku tumbuh dengan subur
dan terlindungi dengan baik:
Jika saya hancur dalam satu kali tebangan–
penderitaan mereka akan menjadi sangat besar.”
[157] Raja menjadi sangat senang ketika mendengar ini, dan berpikir, “Ia adalah dewa pohon yang baik. Ia tidak menginginkan sanak keluarganya kehilangan tempat tinggal hanya karena ia kehilangan tempat tinggal. Ia bertindak demikian untuk kebaikan sanak keluarganya.” Dan ia mengucapkan sisa bait kalimat berikut ini:
“O pohon keberuntungan! O penguasa hutan!
pemikiran Anda pastilah mulia:
Anda menolong sanak keluarga,
maka saya akan membebaskanmu dari rasa takut.”
Setelah dewa pohon menyampaikan semuanya itu, ia pun pergi. Dan raja melakukan sesuai dengan permintaannya tersebut, memberikan derma dan melakukan perbuatan kebajikan lainnya sampai akhirnya ia tumimbal lahir di alam Surga.
____________________
Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru berkata: “Demikianlah, para bhikkhu, Sang Tathagata melakukan hal tersebut untuk kebaikan sanak keluarganya,” dan kemudian Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, Ananda adalah raja, siswa Sang Buddha Gotama yang lainnya adalah dewa-dewa pohon yang menjelma dan tinggal di pohon sala, dan saya sendiri adalah pohon keberuntungan, raja dari para dewa pohon.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com