SAMUDDA-VĀṆIJA-JĀTAKA
Samuddavāṇijajātaka (Ja 466)
[158] “Sebagian menabur benih,” dan seterusnya—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang Devadatta, di saat ia telah terlahir di alam Neraka, ia juga membawa lima ratus keluarga bersama dengannya.
Waktu itu, di saat para siswa utama99 telah pergi dengan membawa pengikutnya bersama mereka, Devadatta tidak dapat menahan rasa sakitnya, mengeluarkan darah dari mulutnya dan kemudian pergi. Kemudian saat tersiksa oleh rasa sakit yang amat sangat, ia teringat pada kebajikan Sang Tathagata dan berkata kepada dirinya sendiri, “Selama sembilan bulan, saya telah berpikiran jahat terhadap Sang Tathagata, tetapi di dalam hati Beliau tidak pernah berpikiran jahat terhadap diriku. Di dalam diri delapan puluh siswa utama tidak pernah mereka membenciku. Dikarenakan perbuatan yang kulakukan sendiri sekarang ini saya menjadi rasa bersedih, saya ditinggalkan oleh Sang Guru, oleh para bhikkhu utama, oleh Rahula Thera sebagai pemimpin keluargaku dan oleh semua anggota kerajaan yang berasal dari suku Sakya. Saya akan pergi menjumpai Sang Guru dan berdamai dengan Beliau.” Maka ia memanggil semua pengikutnya dan menyuruh mereka membawanya di dalam tandu menuju ke arah kota Kosala.
Ananda Thera memberitahu Sang Guru dengan mengatakan, “Katanya, Devadatta akan datang untuk berdamai dengan Guru.”—“Ananda, Devadatta tidak akan datang mengunjungiku.” Ketika Devadatta tiba di kota Savatthi, Yang Mulia Ananda memberitahu Sang Guru kembali, dan Sang Bhagava memberikan jawaban yang sama seperti sebelumnya.
Ketika Devadatta berada di depan pintu gerbang Jetavana dan bergerak menuju ke danau Jetavana, kamma buruknya telah matang: suhu panas yang tinggi menyerang badannya sehingga ia ingin mandi dan minum. Ia memerintahkan mereka untuk mengeluarkannya dari dalam tandu sehingga ia dapat minum. Tidak lama setelah ia berhenti dan berdiri di atas tanah, kemudian belum sempat ia menyegarkan dirinya bumi yang megah ini terbuka dengan lebar, kobaran api muncul dari alam Neraka Avīci yang paling rendah dan mengelilinginya. Kemudian ia mengetahui bahwa kamma buruknya telah matang. Dengan mengingat kebajikan dari Sang Tathāgatha, ia mengucapkan bait kalimat berikut ini100:
“Dengan ini perbuatan jahatku kepada Yang Maha Agung,
Ditandai dengan seratus tanda keberuntungan, yang dapat dilihat semuanya,
Dewa, melebihi dewa, yang dapat menjinakkan kemarahan jiwa manusia,
Dengan segenap jiwa, saya akan pergi menjumpai Sang Buddha!”
Tetapi di saat terjadinya tindakan untuk mendapatkan tempat perlindungan, Devadatta jatuh ke dalam Neraka Avīci. Dan ada lima ratus keluarga dari pelayannya yang mengikutinya sewaktu mencaci maki Dasabala dan menyakiti Beliau, juga ikut terlahir di alam Neraka Avīci. Demikianlah Devadatta masuk ke alam Neraka Avīci dengan membawa lima ratus keluarga ikut bersama dengannya.
Suatu hari, mereka membicarakan ini: “Āvuso, Devadatta yang penuh dengan dosa, [159] dikarenakan keserakahannya untuk mendapatkan segala sesuatu, mencaci maki Buddha Yang Maha Agung tanpa memikirkan akibat di kemudian hari bersama dengan lima ratus keluarga lainnya, yang akhirnya mereka semua terlahir di alam Neraka Avīci.”
Sang Guru masuk ke dalam dan bertanya apa yang sedang mereka bicarakan. Mereka memberitahu Beliau. Beliau kemudian berkata, “Para bhikkhu, Devadatta menjadi serakah untuk mendapatkan segala sesuatu dan untuk kehormatan, tanpa mempedulikan tentang apa yang akan terjadi nantinya; dan di masa lampau, sama seperti sekarang, tanpa mempedulikan tentang akibat dari perbuatannya di masa yang akan datang, ia bersama dengan para pengikutnya mendapatkan kehancuran karena keserakahan mereka terhadap kebahagiaan sesaat.”
Setelah berkata demikian, Sang Guru menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta berkuasa sebagai raja Benares, ada sebuah kota tukang kayu yang besar yang terdapat di dekat Benares, dihuni oleh seribu keluarga. Tukang kayu dari kota ini menyatakan bahwa mereka dapat membuat ranjang tempat tidur, kursi, atau rumah, dan setelah menerima sejumlah besar uang muka, mereka ternyata tidak dapat membuat apapun. Orang-orang menjadi terbiasa mencela setiap tukang kayu yang mereka jumpai dan berdebat dengan mereka. Jadi orang yang menerima uang tersebut menjadi sangat malu sehingga tidak dapat tinggal di sana lagi. Mereka berkata, “Mari kita pergi ke tempat yang asing dan cari tempat yang cocok untuk tinggal,” maka mereka pun masuk ke dalam hutan.
Mereka menebang pepohonan, mereka membuat sebuah kapal yang besar dan menggunakannya di sungai, membawanya keluar dari kota tersebut dan di jarak sekitar tiga per empat yojana mereka menyiapkannya untuk berlayar. Di tengah malam mereka kembali ke kota untuk menjemput keluarga mereka yang kemudian dinaikkan ke kapal dan berlayar di laut. Di sana mereka berlayar sesuai dengan arah angin, sampai akhirnya mereka tiba di sebuah pulau yang terletak di tengah lautan.
Di pulau itu tumbuh berbagai buah dan tanaman liar, beras, tebu, pisang, mangga, jambu, nangka, kelapa dan lain-lain. Ada seorang laki-laki yang kapalnya karam dan menempati pulau tersebut sebelum mereka datang, tinggal di sana dengan memakan beras, tebu, dan yang lainnya sehingga ia tumbuh menjadi kuat dan kekar; ia tidak mengenakan pakaian, rambut dan janggutnya dibiarkan tumbuh panjang. Tukang kayu itu berpikir, “Jika pulau di sana dihuni oleh setan (rakkhasa), kami semua akan mati. Maka kami perlu menjelajahinya terlebih dahulu.” Kemudian tujuh laki-laki yang pemberani [160] dan kuat, mempersenjatai diri dengan lima jenis senjata, turun dari kapal dan pergi menjelajahi pulau itu.
Pada waktu itu, orang yang kapalnya karam tersebut baru saja selesai sarapan pagi dan menikmati air tebu, dan dengan rasa puas yang tinggi ia berbaring di tempat yang nyaman, sejuk di bawah teduhan dan di atas pasir yang berkilau seperti piring perak, dan ia sedang berpikir, “Tidak ada kebahagiaan seperti ini yang dimiliki oleh mereka yang tinggal di India, yang membajak dan menabur benih. Bagiku pulau ini lebih baik dibandingkan dengan India!” Kemudian ia bernyanyi karena gembira dan sedang berada di puncak kegembiraannya.
Sang Guru mengucapkan bait pertama berikut ini untuk menjelaskan bagaimana orang yang kapalnya karam tersebut dapat bernyanyi dengan gembira dan berada di puncak kegembiraannya:
“Sebagian orang menabur benih
dan sebagian lagi membajak sawah,
Dahi selalu dipenuhi dengan air keringat;
Di tempatku ini mereka tidak memiliki apapun:
India? tempat ini jauh lebih baik!”
Para penjelajah yang sedang menjelajahi pulau kecil tersebut mendengar suara nyanyiannya tersebut dan berkata, “Kedengarannya seperti suara manusia, mari kita berteman dengannya.” Dengan mengikuti asal suara tersebut, mereka sampai ke tempat laki-laki tersebut, tetapi penampilannya membuat mereka terkejut. “Ia adalah yakkha!” teriak mereka dan meletakkan anak panah pada busurnya. Ketika laki-laki itu melihat mereka, ia merasa takut akan dilukai sehingga ia berteriak—“Saya bukan yakkha. Jangan bunuh saya!”—“Apa!” kata mereka, “apakah manusia akan berkeliaran tanpa mengenakan pakaian dan pertahanan seperti kamu?” dan mereka terus-menerus menanyakan pertanyaan kepadanya, tetapi jawabannya selalu sama, bahwa ia memang adalah seorang manusia.
Akhirnya mereka berjalan mendekatinya, mulai berbicara dengan enak bersama dan para pendatang tersebut menanyakan bagaimana ia bisa sampai di pulau itu. Ia menceritakan yang sebenarnya kepada mereka. Ia berkata, “Sebagai hasil dari perbuatan baik kalian, maka kalian dapat datang kemari. Ini adalah sebuah pulau nomor satu yang sangat bagus. Tidak perlu bekerja dengan tangan untuk menyambung hidup. Beras, tebu, dan lain sebagainya tidak ada habis-habisnya di sini, semuanya tumbuh liar. Kalian bisa tinggal di sini tanpa adanya kecemasan.” “Tidak adakah sesuatu,” tanya mereka, [161] “yang dapat mengganggu kehidupan di sini?” “Tidak ada yang perlu ditakutkan kecuali ini: pulau kecil ini dihuni juga oleh makhluk bukan manusia (amanussa) dan mereka akan marah bila melihat kotoran badanmu, jadi setelah Anda selesai membuang kotoran, galilah sebuah lubang di dalam pasir dan tutuplah; Harus selalu berhati-hati di bagian ini.”
Kemudian mereka membuat tempat tinggal di tempat tersebut.
Tetapi di antara ribuan anggota keluarga tersebut ada dua pemimpin, yang masing-masing mengepalai lima ratus orang. Satu di antara mereka adalah orang yang bodoh dan serakah bila melihat makanan enak, sedangkan yang satunya lagi adalah orang yang bijak dan tidak cenderung untuk harus mendapatkan hal yang terbaik.
Seiring berjalannya waktu dengan mereka tumbuh menjadi kuat dan kekar selama tinggal di dalam pulau tersebut. Kemudian mereka berpikir, “Kita masih belum menjadi orang yang gembira selama ini. Kita akan membuat sejenis minuman keras dari air tebu.” Maka mereka membuat minuman keras tersebut, kemudian setelah mereka mabuk, mereka bernyanyi, bersenda gurau, dan tanpa berpikir lagi sesuka hati membuang kotoran di sana sini, dimana-mana tanpa ditutupi dengan pasir sampai pulau itu menjadi berbau busuk dan menjijikan.
Makhluk dewa yang ada di sana menjadi marah karena orang-orang tersebut membuat tempat mereka bermain menjadi berbau busuk. “Haruskah kita membawa air laut untuk membersihkan semua ini?” mereka berunding. Ini adalah hari keempat belas dan pertemuan kita menjadi rusak. Baiklah, di hari kelima belas mulai dari sekarang, di bulan purnama pertama, di saat bulan muncul, kita akan membawa air laut untuk mengakhiri mereka semua.” Demikianlah mereka menetapkan harinya.
Saat itu ada seorang dewa yang baik di antara mereka berpikir, “Saya tidak bisa melihat mereka semua mati di depan mataku.” Maka karena belas kasihannya, di saat orang-orang tersebut duduk di depan pintu dan berbincang-bincang setelah selesai makan malam ia membuat seberkas cahaya dan dengan mengenakan pakaian yang sangat bagus, ia berdiri melayang di udara menghadap ke arah utara berbicara kepada mereka sebagai berikut: “O kalian, para tukang kayu! Makhluk-makhluk dewa di sini telah menjadi marah dengan kalian. Tinggalkan tempat ini segera karena dalam waktu setengah bulan dari sekarang, mereka akan menaikkan air laut, [162] dan memusnahkan kalian semuanya. Oleh sebab itu, pergilah dari tempat ini.” Dan ia mengucapkan bait kedua berikut:
“Dalam tiga kali lima hari berikutnya, bulan purnama akan muncul:
Kemudian dari lautan luas itu akan menimbulkan banjir
Membersihkan pulau ini: Kalau begitu, bergegaslah,
Ke tempat berlindung yang lain sehingga kalian tidak terluka.”
Setelah memberikan nasehat tersebut, ia kembali ke tempat kediamannya sendiri. Sesudah ia pergi, seorang temannya, dewa yang kejam, berpikir, “Kemungkinan mereka akan mengikuti nasehatnya untuk melarikan diri. Saya akan mencegah kepergian mereka dan membawa mereka kepada kehancuran.” Maka dengan mengenakan pakaian yang bagus, ia memunculkan seberkas cahaya di tempat tersebut dan mendekati mereka, dengan tetap melayang di udara menghadap arah selatan, dan ia bertanya, “Apakah ada dewa yang datang kemari sebelumnya?” “Ada,” jawab mereka. “Apa yang dikatakannya kepada kalian?” Mereka menjawab, “Begini, Tuanku.” Kemudian ia berkata, “Dewa ini tidak menginginkan kalian tinggal di sini dan mengatakan itu dalam kemarahannya. Tidak usah pergi ke tempat lain, tetap di sini saja.” Dan dengan kata-kata ini, ia mengucapkan dua bait kalimat berikut ini:
“Bagiku banyak tanda yang membuat ini menjadi jelas,
Bahwa banjir dari lautan luas yang kalian dengar itu
Tidak akan melanda pulau ini:
Bersenang-senanglah, jangan bersedih dan takut.
“Di sini kalian mempunyai tempat tinggal yang luas,
Dilimpahi dengan makanan dan minuman;
Saya merasa tidak ada bahaya bagi kalian, nikmati saja
Sampai kepada keturunan kalian nantinya kebaikan ini.”
[163] Setelah mengucapkan dua bait kalimat untuk menenangkan kecemasan mereka, ia pun pergi. Setelah ia pergi, si tukang kayu yang bodoh tersebut mengeluarkan suaranya dan dengan tidak mempedulikan perkataan dari dewa yang baik tersebut, ia berkata, “Mari semuanya, dengarkan saya!” dan menyapa mereka semua dalam bait kelima berikut:
“Makhluk dewa itu, yang datang dari arah selatan telah mengatakan dengan jelas,
Meneriakkan bahwa semuanya aman! dari dirinya kita mendengar kebenaran;
Harus takut atau tidak, yang datang dari arah utara itu tidak tahu sama sekali:
Mengapa harus bersedih kalau begitu? cerialah—jangan takut!”
Mendengarnya berkata demikian, kelima ratus tukang kayu yang serakah akan semua benda yang bagus mengikuti arahan pemimpin yang bodoh tersebut. Kemudian pemimpin yang bijak tidak mau mendengar perkataannya itu, dan mengucapkan empat bait kalimat berikut ini:
“Kedua makhluk dewa tersebut masing-masing berdebat,
Yang satu mengatakan bahaya, yang satunya lagi mengatakan aman,
Coba dengar saudara-saudaraku, kalau tidak cepat keluar dari sini
Kita semua akan mati.
“Mari kita semua bergabung membuat sebuah kapal yang besar,
Sebuah kapal yang kokoh dan letakkan di dalamnya
Semua alat perlengkapan: Jika yang selatan tersebut yang berkata benar,
Dan yang utara berbohong, tetap kita tidak akan kehilangan apa-apa.
“Kapal ini nantinya akan berguna bagi kita;
Di saat kita akan meninggalkan pulau ini;
Tetapi jika yang utara yang berkata benar
Dan yang selatan yang tidak jujur–
[164] Maka kita semua dapat naik ke dalam kapal,
Dan pergi ke tempat yang aman, semuanya ke sana.
“Jangan mengatakan baik atau buruk atas apa yang Anda dengar;
Tetapi barang siapa yang mau mendengarnya,
Kemudian mempertimbangkan apa maknanya,
Orang tersebut yang akan membawa kita ke dermaga yang paling aman.”
Setelah ini, ia berkata lagi: “Ayo, mari kita ikuti kata-kata dari kedua makhluk dewa tersebut. Mari kita buat sebuah kapal, dan jika kata dewa yang pertama itu yang benar, kita akan naik ke kapal dan pergi; tetapi jika yang kedua yang benar, kita akan menghanyutkan kapal itu dan tetap tinggal di sini.” Setelah ia berkata demikian, tukang kayu yang bodoh tersebut berkata: [165] “Pergilah! kalian sedang melihat seekor buaya di dalam cangkir! kalian terlalu lambat! Dewa yang pertama berbicara dengan nada penuh kemarahan, sedangkan yang kedua dengan nada penuh kasih sayang. Jika kita meninggalkan pulau ini, kemana kita harus pergi? Tetapi jika memang kamu ingin pergi, bawalah ekormu bersama, dan buatlah kapalmu. Kami tidak menginginkan kapal, kami!”
Pemimpin yang bijak tersebut beserta orang yang bersedia mengikutinya membuat sebuah kapal dan meletakkan semua perlengkapan mereka di dalam kapal, kemudian mereka semua berdiri di dalam kapal. Kemudian di saat bulan purnama, di saat bulan muncul, dari laut ombak naik dan sedalam lutut membanjiri seluruh pulau. Laki-laki bijak yang melihat ombak mulai naik tadi melepaskan ikatan tali kapal.
Mereka yang mengikuti pemimpin yang bodoh itu, ada lima ratus keluarga, hanya bisa duduk diam sambil berkata kepada satu sama lainnya, “Ombak telah naik, membanjiri pulau ini, tetapi tidak akan membuatnya lebih dalam lagi.” Kemudian ombak setinggi pinggang, setinggi orang dewasa, setinggi pohon palem, setinggi tujuh pohon palem menghantam pulau itu. Laki-laki bijak yang berpikiran panjang, tidak dibutakan oleh rasa serakah terhadap benda-benda di pulau itu, menjadi dapat pergi dengan selamat; sedangkan laki-laki yang bodoh itu, dibutakan oleh rasa serakah terhadap benda-benda di pulau tersebut dan tidak mempedulikan akibatnya di masa yang akan datang, bersama dengan lima ratus keluarganya musnah di pulau tersebut.
____________________
Tiga bait kalimat berikut, yang penuh dengan petunjuk, yang juga menggambarkan tentang masalah ini adalah bait yang diucapkan atas kebijaksanaan yang sempurna:
“Berlayar ke tengah lautan, mereka lakukan itu,
Para pedagang tersebut menyelamatkan diri:
Orang-orang bijak memahami kebohongan yang tersembunyi
Dalam hal masa yang akan datang, tidak akan melewatkan kemungkinan sekecil apapun.
“Orang-orang dungu yang terjebak dalam kebodohan mereka, termakan oleh keserakahan
Yang tidak dapat memahami bahaya yang akan datang,
Menjadi tenggelam, karena hanya memikirkan kebutuhan masa sekarang,
Menemui ajal mereka seperti berada di tengah lautan.
[166] “Selesaikan pekerjaan sebelum menuntut hasilnya,
Jangan karena kekurangan sesuatu sekarang ini menjadi merusak apa yang semestinya dilakukan untuk masa depan.
Barang siapa yang melakukan perbuatan yang seharusnya dikerjakan sesuai dengan waktunya
Di saat waktunya tiba, tidak akan menghadapi penderitaan.”
Ketika Sang Guru selesai menyampaikan uraian ini, Beliau berkata, “Bukan hanya kali ini, para bhikkhu, tetapi juga di masa lampau Devadatta terperangkap dalam kesenangan masa sekarang, tanpa memikirkan masa yang akan datang, mengalami kehancuran bersama dengan semua pengikutnya.” Setelah berkata demikian, Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, Devadatta adalah tukang kayu yang bodoh, Kokālika (Kokalika) adalah dewa jahat yang menguasai daerah bagian selatan, Sariputta adalah dewa baik yang menguasai daerah bagian utara, dan saya sendiri adalah tukang kayu yang bijak.”
Waktu itu, di saat para siswa utama99 telah pergi dengan membawa pengikutnya bersama mereka, Devadatta tidak dapat menahan rasa sakitnya, mengeluarkan darah dari mulutnya dan kemudian pergi. Kemudian saat tersiksa oleh rasa sakit yang amat sangat, ia teringat pada kebajikan Sang Tathagata dan berkata kepada dirinya sendiri, “Selama sembilan bulan, saya telah berpikiran jahat terhadap Sang Tathagata, tetapi di dalam hati Beliau tidak pernah berpikiran jahat terhadap diriku. Di dalam diri delapan puluh siswa utama tidak pernah mereka membenciku. Dikarenakan perbuatan yang kulakukan sendiri sekarang ini saya menjadi rasa bersedih, saya ditinggalkan oleh Sang Guru, oleh para bhikkhu utama, oleh Rahula Thera sebagai pemimpin keluargaku dan oleh semua anggota kerajaan yang berasal dari suku Sakya. Saya akan pergi menjumpai Sang Guru dan berdamai dengan Beliau.” Maka ia memanggil semua pengikutnya dan menyuruh mereka membawanya di dalam tandu menuju ke arah kota Kosala.
Ananda Thera memberitahu Sang Guru dengan mengatakan, “Katanya, Devadatta akan datang untuk berdamai dengan Guru.”—“Ananda, Devadatta tidak akan datang mengunjungiku.” Ketika Devadatta tiba di kota Savatthi, Yang Mulia Ananda memberitahu Sang Guru kembali, dan Sang Bhagava memberikan jawaban yang sama seperti sebelumnya.
Ketika Devadatta berada di depan pintu gerbang Jetavana dan bergerak menuju ke danau Jetavana, kamma buruknya telah matang: suhu panas yang tinggi menyerang badannya sehingga ia ingin mandi dan minum. Ia memerintahkan mereka untuk mengeluarkannya dari dalam tandu sehingga ia dapat minum. Tidak lama setelah ia berhenti dan berdiri di atas tanah, kemudian belum sempat ia menyegarkan dirinya bumi yang megah ini terbuka dengan lebar, kobaran api muncul dari alam Neraka Avīci yang paling rendah dan mengelilinginya. Kemudian ia mengetahui bahwa kamma buruknya telah matang. Dengan mengingat kebajikan dari Sang Tathāgatha, ia mengucapkan bait kalimat berikut ini100:
“Dengan ini perbuatan jahatku kepada Yang Maha Agung,
Ditandai dengan seratus tanda keberuntungan, yang dapat dilihat semuanya,
Dewa, melebihi dewa, yang dapat menjinakkan kemarahan jiwa manusia,
Dengan segenap jiwa, saya akan pergi menjumpai Sang Buddha!”
Tetapi di saat terjadinya tindakan untuk mendapatkan tempat perlindungan, Devadatta jatuh ke dalam Neraka Avīci. Dan ada lima ratus keluarga dari pelayannya yang mengikutinya sewaktu mencaci maki Dasabala dan menyakiti Beliau, juga ikut terlahir di alam Neraka Avīci. Demikianlah Devadatta masuk ke alam Neraka Avīci dengan membawa lima ratus keluarga ikut bersama dengannya.
Suatu hari, mereka membicarakan ini: “Āvuso, Devadatta yang penuh dengan dosa, [159] dikarenakan keserakahannya untuk mendapatkan segala sesuatu, mencaci maki Buddha Yang Maha Agung tanpa memikirkan akibat di kemudian hari bersama dengan lima ratus keluarga lainnya, yang akhirnya mereka semua terlahir di alam Neraka Avīci.”
Sang Guru masuk ke dalam dan bertanya apa yang sedang mereka bicarakan. Mereka memberitahu Beliau. Beliau kemudian berkata, “Para bhikkhu, Devadatta menjadi serakah untuk mendapatkan segala sesuatu dan untuk kehormatan, tanpa mempedulikan tentang apa yang akan terjadi nantinya; dan di masa lampau, sama seperti sekarang, tanpa mempedulikan tentang akibat dari perbuatannya di masa yang akan datang, ia bersama dengan para pengikutnya mendapatkan kehancuran karena keserakahan mereka terhadap kebahagiaan sesaat.”
Setelah berkata demikian, Sang Guru menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta berkuasa sebagai raja Benares, ada sebuah kota tukang kayu yang besar yang terdapat di dekat Benares, dihuni oleh seribu keluarga. Tukang kayu dari kota ini menyatakan bahwa mereka dapat membuat ranjang tempat tidur, kursi, atau rumah, dan setelah menerima sejumlah besar uang muka, mereka ternyata tidak dapat membuat apapun. Orang-orang menjadi terbiasa mencela setiap tukang kayu yang mereka jumpai dan berdebat dengan mereka. Jadi orang yang menerima uang tersebut menjadi sangat malu sehingga tidak dapat tinggal di sana lagi. Mereka berkata, “Mari kita pergi ke tempat yang asing dan cari tempat yang cocok untuk tinggal,” maka mereka pun masuk ke dalam hutan.
Mereka menebang pepohonan, mereka membuat sebuah kapal yang besar dan menggunakannya di sungai, membawanya keluar dari kota tersebut dan di jarak sekitar tiga per empat yojana mereka menyiapkannya untuk berlayar. Di tengah malam mereka kembali ke kota untuk menjemput keluarga mereka yang kemudian dinaikkan ke kapal dan berlayar di laut. Di sana mereka berlayar sesuai dengan arah angin, sampai akhirnya mereka tiba di sebuah pulau yang terletak di tengah lautan.
Di pulau itu tumbuh berbagai buah dan tanaman liar, beras, tebu, pisang, mangga, jambu, nangka, kelapa dan lain-lain. Ada seorang laki-laki yang kapalnya karam dan menempati pulau tersebut sebelum mereka datang, tinggal di sana dengan memakan beras, tebu, dan yang lainnya sehingga ia tumbuh menjadi kuat dan kekar; ia tidak mengenakan pakaian, rambut dan janggutnya dibiarkan tumbuh panjang. Tukang kayu itu berpikir, “Jika pulau di sana dihuni oleh setan (rakkhasa), kami semua akan mati. Maka kami perlu menjelajahinya terlebih dahulu.” Kemudian tujuh laki-laki yang pemberani [160] dan kuat, mempersenjatai diri dengan lima jenis senjata, turun dari kapal dan pergi menjelajahi pulau itu.
Pada waktu itu, orang yang kapalnya karam tersebut baru saja selesai sarapan pagi dan menikmati air tebu, dan dengan rasa puas yang tinggi ia berbaring di tempat yang nyaman, sejuk di bawah teduhan dan di atas pasir yang berkilau seperti piring perak, dan ia sedang berpikir, “Tidak ada kebahagiaan seperti ini yang dimiliki oleh mereka yang tinggal di India, yang membajak dan menabur benih. Bagiku pulau ini lebih baik dibandingkan dengan India!” Kemudian ia bernyanyi karena gembira dan sedang berada di puncak kegembiraannya.
Sang Guru mengucapkan bait pertama berikut ini untuk menjelaskan bagaimana orang yang kapalnya karam tersebut dapat bernyanyi dengan gembira dan berada di puncak kegembiraannya:
“Sebagian orang menabur benih
dan sebagian lagi membajak sawah,
Dahi selalu dipenuhi dengan air keringat;
Di tempatku ini mereka tidak memiliki apapun:
India? tempat ini jauh lebih baik!”
Para penjelajah yang sedang menjelajahi pulau kecil tersebut mendengar suara nyanyiannya tersebut dan berkata, “Kedengarannya seperti suara manusia, mari kita berteman dengannya.” Dengan mengikuti asal suara tersebut, mereka sampai ke tempat laki-laki tersebut, tetapi penampilannya membuat mereka terkejut. “Ia adalah yakkha!” teriak mereka dan meletakkan anak panah pada busurnya. Ketika laki-laki itu melihat mereka, ia merasa takut akan dilukai sehingga ia berteriak—“Saya bukan yakkha. Jangan bunuh saya!”—“Apa!” kata mereka, “apakah manusia akan berkeliaran tanpa mengenakan pakaian dan pertahanan seperti kamu?” dan mereka terus-menerus menanyakan pertanyaan kepadanya, tetapi jawabannya selalu sama, bahwa ia memang adalah seorang manusia.
Akhirnya mereka berjalan mendekatinya, mulai berbicara dengan enak bersama dan para pendatang tersebut menanyakan bagaimana ia bisa sampai di pulau itu. Ia menceritakan yang sebenarnya kepada mereka. Ia berkata, “Sebagai hasil dari perbuatan baik kalian, maka kalian dapat datang kemari. Ini adalah sebuah pulau nomor satu yang sangat bagus. Tidak perlu bekerja dengan tangan untuk menyambung hidup. Beras, tebu, dan lain sebagainya tidak ada habis-habisnya di sini, semuanya tumbuh liar. Kalian bisa tinggal di sini tanpa adanya kecemasan.” “Tidak adakah sesuatu,” tanya mereka, [161] “yang dapat mengganggu kehidupan di sini?” “Tidak ada yang perlu ditakutkan kecuali ini: pulau kecil ini dihuni juga oleh makhluk bukan manusia (amanussa) dan mereka akan marah bila melihat kotoran badanmu, jadi setelah Anda selesai membuang kotoran, galilah sebuah lubang di dalam pasir dan tutuplah; Harus selalu berhati-hati di bagian ini.”
Kemudian mereka membuat tempat tinggal di tempat tersebut.
Tetapi di antara ribuan anggota keluarga tersebut ada dua pemimpin, yang masing-masing mengepalai lima ratus orang. Satu di antara mereka adalah orang yang bodoh dan serakah bila melihat makanan enak, sedangkan yang satunya lagi adalah orang yang bijak dan tidak cenderung untuk harus mendapatkan hal yang terbaik.
Seiring berjalannya waktu dengan mereka tumbuh menjadi kuat dan kekar selama tinggal di dalam pulau tersebut. Kemudian mereka berpikir, “Kita masih belum menjadi orang yang gembira selama ini. Kita akan membuat sejenis minuman keras dari air tebu.” Maka mereka membuat minuman keras tersebut, kemudian setelah mereka mabuk, mereka bernyanyi, bersenda gurau, dan tanpa berpikir lagi sesuka hati membuang kotoran di sana sini, dimana-mana tanpa ditutupi dengan pasir sampai pulau itu menjadi berbau busuk dan menjijikan.
Makhluk dewa yang ada di sana menjadi marah karena orang-orang tersebut membuat tempat mereka bermain menjadi berbau busuk. “Haruskah kita membawa air laut untuk membersihkan semua ini?” mereka berunding. Ini adalah hari keempat belas dan pertemuan kita menjadi rusak. Baiklah, di hari kelima belas mulai dari sekarang, di bulan purnama pertama, di saat bulan muncul, kita akan membawa air laut untuk mengakhiri mereka semua.” Demikianlah mereka menetapkan harinya.
Saat itu ada seorang dewa yang baik di antara mereka berpikir, “Saya tidak bisa melihat mereka semua mati di depan mataku.” Maka karena belas kasihannya, di saat orang-orang tersebut duduk di depan pintu dan berbincang-bincang setelah selesai makan malam ia membuat seberkas cahaya dan dengan mengenakan pakaian yang sangat bagus, ia berdiri melayang di udara menghadap ke arah utara berbicara kepada mereka sebagai berikut: “O kalian, para tukang kayu! Makhluk-makhluk dewa di sini telah menjadi marah dengan kalian. Tinggalkan tempat ini segera karena dalam waktu setengah bulan dari sekarang, mereka akan menaikkan air laut, [162] dan memusnahkan kalian semuanya. Oleh sebab itu, pergilah dari tempat ini.” Dan ia mengucapkan bait kedua berikut:
“Dalam tiga kali lima hari berikutnya, bulan purnama akan muncul:
Kemudian dari lautan luas itu akan menimbulkan banjir
Membersihkan pulau ini: Kalau begitu, bergegaslah,
Ke tempat berlindung yang lain sehingga kalian tidak terluka.”
Setelah memberikan nasehat tersebut, ia kembali ke tempat kediamannya sendiri. Sesudah ia pergi, seorang temannya, dewa yang kejam, berpikir, “Kemungkinan mereka akan mengikuti nasehatnya untuk melarikan diri. Saya akan mencegah kepergian mereka dan membawa mereka kepada kehancuran.” Maka dengan mengenakan pakaian yang bagus, ia memunculkan seberkas cahaya di tempat tersebut dan mendekati mereka, dengan tetap melayang di udara menghadap arah selatan, dan ia bertanya, “Apakah ada dewa yang datang kemari sebelumnya?” “Ada,” jawab mereka. “Apa yang dikatakannya kepada kalian?” Mereka menjawab, “Begini, Tuanku.” Kemudian ia berkata, “Dewa ini tidak menginginkan kalian tinggal di sini dan mengatakan itu dalam kemarahannya. Tidak usah pergi ke tempat lain, tetap di sini saja.” Dan dengan kata-kata ini, ia mengucapkan dua bait kalimat berikut ini:
“Bagiku banyak tanda yang membuat ini menjadi jelas,
Bahwa banjir dari lautan luas yang kalian dengar itu
Tidak akan melanda pulau ini:
Bersenang-senanglah, jangan bersedih dan takut.
“Di sini kalian mempunyai tempat tinggal yang luas,
Dilimpahi dengan makanan dan minuman;
Saya merasa tidak ada bahaya bagi kalian, nikmati saja
Sampai kepada keturunan kalian nantinya kebaikan ini.”
[163] Setelah mengucapkan dua bait kalimat untuk menenangkan kecemasan mereka, ia pun pergi. Setelah ia pergi, si tukang kayu yang bodoh tersebut mengeluarkan suaranya dan dengan tidak mempedulikan perkataan dari dewa yang baik tersebut, ia berkata, “Mari semuanya, dengarkan saya!” dan menyapa mereka semua dalam bait kelima berikut:
“Makhluk dewa itu, yang datang dari arah selatan telah mengatakan dengan jelas,
Meneriakkan bahwa semuanya aman! dari dirinya kita mendengar kebenaran;
Harus takut atau tidak, yang datang dari arah utara itu tidak tahu sama sekali:
Mengapa harus bersedih kalau begitu? cerialah—jangan takut!”
Mendengarnya berkata demikian, kelima ratus tukang kayu yang serakah akan semua benda yang bagus mengikuti arahan pemimpin yang bodoh tersebut. Kemudian pemimpin yang bijak tidak mau mendengar perkataannya itu, dan mengucapkan empat bait kalimat berikut ini:
“Kedua makhluk dewa tersebut masing-masing berdebat,
Yang satu mengatakan bahaya, yang satunya lagi mengatakan aman,
Coba dengar saudara-saudaraku, kalau tidak cepat keluar dari sini
Kita semua akan mati.
“Mari kita semua bergabung membuat sebuah kapal yang besar,
Sebuah kapal yang kokoh dan letakkan di dalamnya
Semua alat perlengkapan: Jika yang selatan tersebut yang berkata benar,
Dan yang utara berbohong, tetap kita tidak akan kehilangan apa-apa.
“Kapal ini nantinya akan berguna bagi kita;
Di saat kita akan meninggalkan pulau ini;
Tetapi jika yang utara yang berkata benar
Dan yang selatan yang tidak jujur–
[164] Maka kita semua dapat naik ke dalam kapal,
Dan pergi ke tempat yang aman, semuanya ke sana.
“Jangan mengatakan baik atau buruk atas apa yang Anda dengar;
Tetapi barang siapa yang mau mendengarnya,
Kemudian mempertimbangkan apa maknanya,
Orang tersebut yang akan membawa kita ke dermaga yang paling aman.”
Setelah ini, ia berkata lagi: “Ayo, mari kita ikuti kata-kata dari kedua makhluk dewa tersebut. Mari kita buat sebuah kapal, dan jika kata dewa yang pertama itu yang benar, kita akan naik ke kapal dan pergi; tetapi jika yang kedua yang benar, kita akan menghanyutkan kapal itu dan tetap tinggal di sini.” Setelah ia berkata demikian, tukang kayu yang bodoh tersebut berkata: [165] “Pergilah! kalian sedang melihat seekor buaya di dalam cangkir! kalian terlalu lambat! Dewa yang pertama berbicara dengan nada penuh kemarahan, sedangkan yang kedua dengan nada penuh kasih sayang. Jika kita meninggalkan pulau ini, kemana kita harus pergi? Tetapi jika memang kamu ingin pergi, bawalah ekormu bersama, dan buatlah kapalmu. Kami tidak menginginkan kapal, kami!”
Pemimpin yang bijak tersebut beserta orang yang bersedia mengikutinya membuat sebuah kapal dan meletakkan semua perlengkapan mereka di dalam kapal, kemudian mereka semua berdiri di dalam kapal. Kemudian di saat bulan purnama, di saat bulan muncul, dari laut ombak naik dan sedalam lutut membanjiri seluruh pulau. Laki-laki bijak yang melihat ombak mulai naik tadi melepaskan ikatan tali kapal.
Mereka yang mengikuti pemimpin yang bodoh itu, ada lima ratus keluarga, hanya bisa duduk diam sambil berkata kepada satu sama lainnya, “Ombak telah naik, membanjiri pulau ini, tetapi tidak akan membuatnya lebih dalam lagi.” Kemudian ombak setinggi pinggang, setinggi orang dewasa, setinggi pohon palem, setinggi tujuh pohon palem menghantam pulau itu. Laki-laki bijak yang berpikiran panjang, tidak dibutakan oleh rasa serakah terhadap benda-benda di pulau itu, menjadi dapat pergi dengan selamat; sedangkan laki-laki yang bodoh itu, dibutakan oleh rasa serakah terhadap benda-benda di pulau tersebut dan tidak mempedulikan akibatnya di masa yang akan datang, bersama dengan lima ratus keluarganya musnah di pulau tersebut.
____________________
Tiga bait kalimat berikut, yang penuh dengan petunjuk, yang juga menggambarkan tentang masalah ini adalah bait yang diucapkan atas kebijaksanaan yang sempurna:
“Berlayar ke tengah lautan, mereka lakukan itu,
Para pedagang tersebut menyelamatkan diri:
Orang-orang bijak memahami kebohongan yang tersembunyi
Dalam hal masa yang akan datang, tidak akan melewatkan kemungkinan sekecil apapun.
“Orang-orang dungu yang terjebak dalam kebodohan mereka, termakan oleh keserakahan
Yang tidak dapat memahami bahaya yang akan datang,
Menjadi tenggelam, karena hanya memikirkan kebutuhan masa sekarang,
Menemui ajal mereka seperti berada di tengah lautan.
[166] “Selesaikan pekerjaan sebelum menuntut hasilnya,
Jangan karena kekurangan sesuatu sekarang ini menjadi merusak apa yang semestinya dilakukan untuk masa depan.
Barang siapa yang melakukan perbuatan yang seharusnya dikerjakan sesuai dengan waktunya
Di saat waktunya tiba, tidak akan menghadapi penderitaan.”
Ketika Sang Guru selesai menyampaikan uraian ini, Beliau berkata, “Bukan hanya kali ini, para bhikkhu, tetapi juga di masa lampau Devadatta terperangkap dalam kesenangan masa sekarang, tanpa memikirkan masa yang akan datang, mengalami kehancuran bersama dengan semua pengikutnya.” Setelah berkata demikian, Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, Devadatta adalah tukang kayu yang bodoh, Kokālika (Kokalika) adalah dewa jahat yang menguasai daerah bagian selatan, Sariputta adalah dewa baik yang menguasai daerah bagian utara, dan saya sendiri adalah tukang kayu yang bijak.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com