KĀMA-JĀTAKA
Kāmajātaka (Ja 467)
“Ia yang menginginkan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang seorang brahmana.
Dikatakan bahwa ada seorang brahmana yang tinggal di Savatthi sedang menebang pepohonan yang ada di tepi sungai Aciravatī agar dapat digunakan untuk bercocok tanam. Sang Guru yang mengetahui tentang nasibnya102 pergi menemuinya untuk berbicara dengan baik kepadanya di saat Beliau mengunjungi kota Savatthi untuk berpindapata.
“Apa yang sedang Anda lakukan, brahmana?” tanya Beliau. “O Gotama,” kata laki-laki tersebut, “saya sedang menebang pepohonan untuk mendapatkan tempat agar dapat bercocok tanam.” “Bagus sekali,” jawab Beliau, “lanjutkanlah pekerjaan Anda, brahmana.” Dengan cara yang sama Sang Guru datang dan berbicara dengannya di saat ia telah menebang semua pohon yang ada di sana, dan di saat laki-laki tersebut sedang membersihkan daerah tersebut, kemudian di saat penggemburan tanah, juga di saat ia membuat sebuah lubang persegi untuk menampung air.
Di saat tiba waktunya untuk pembenihan, brahmana itu berkata, “Hari ini, O Gotama, adalah hari perayaan pembajakan tanahku103. Ketika tanaman jagung ini berbuah, saya akan memberikannya sebagai derma kepada para bhikkhu, dengan Sang Buddha sebagai pemimpin mereka.” Sang Guru menerima tawarannya ini dan kemudian pergi. Di hari berikutnya datang, Beliau melihat brahmana tersebut sedang mengamati tanaman jagungnya. “Apa yang sedang Anda lakukan, brahmana?” tanya Beliau. “Saya sedang mengamati tanaman jagung ini, O Gotama!” “Bagus sekali, brahmana,” kata Sang Guru dan kemudian Beliau pergi. Kemudian brahmana tersebut berpikir, “Betapa seringnya Petapa Gotama datang ke tempat ini! Tidak diragukan lagi, Beliau pasti menginginkan makanan. Baiklah, saya akan memberikan Beliau makanan.” Di saat pikiran ini muncul dalam pikirannya dan di saat ia pulang ke rumah, di sana sudah ada Sang Guru. Saat itu juga muncul di dalam dirinya kepercayaan yang menakjubkan.
Seiring berjalannya waktu, di saat tanaman jagung itu siap dipanen, brahmana itu memutuskan untuk memanennya keesokan harinya. Tetapi di saat ia tidur, hujan deras turun dan membuat sungai Aciravatī meluap dan menyebabkan banjir yang merusak semua tanaman jagung yang telah siap dipanen tersebut sampai tidak ada satu tongkol jagung pun yang tersisa.
Setelah banjirnya surut, brahmana itu melihat tanaman siap panennya yang habis semuanya, seolah ia tidak kuat untuk berdiri, sambil menekan dada dengan kedua tangannya (karena ia diliputi oleh penderitaan yang besar) ia pulang ke rumah dan berbaring sembari menangis.
Di pagi harinya Sang Guru melihat brahmana tersebut sedang diliputi oleh kesedihan dan berpikir, “Saya akan menjadi penyokong brahmana tersebut.” Maka keesokan harinya setelah berpindapata di Savatthi, dalam perjalanan pulang sesudah mendapatkan makanan, Beliau menyuruh para bhikkhu untuk kembali ke vihara sedangkan Beliau bersama dengan bhikkhu junior yang melayani diri-Nya pergi ke rumah brahmana tersebut. [168] Ketika brahmana mendengar kedatangan Beliau, ia menenangkan dirinya dan berpikir—“Temanku pasti datang untuk berbincang tentang hal yang baik.” Ia mempersilahkan Beliau duduk; Sang Guru duduk di tempat yang telah disiapkan dan bertanya, “Mengapa Anda bersedih hati, brahmana? Hal apa yang terjadi sehingga membuat Anda tidak bahagia?” “O Gotama!” kata laki-laki tersebut, “mulai dari waktu saya menebang pepohonan di tepi sungai Aciravatī, Anda sudah tahu apa yang saya kerjakan seterusnya. Saya telah berjanji untuk memberikan hasil panennya sebagai dana kepada Anda, tetapi sekarang banjir telah merusak hasil panenku sampai tidak ada yang tersisa! Biji-bijian telah rusak sampai mencapai seratus muatan gerobak kuda. Dan karena itulah saya sangat bersedih!”—“Mengapa demikian, apakah benda yang rusak itu dapat kembali dengan bersedih?”—“Tidak, Gotama, tidak akan bisa.”—“Jika memang demikian, mengapa harus bersedih? Harta benda semua makhluk di dunia ini, atau hasil panen mereka, di saat mereka memilikinya, itu adalah milik mereka, dan di saat harta benda itu hilang atau habis, itu sudah bukan milik mereka. Tidak ada benda di dunia ini yang kekal. Jangan bersedih karenanya.” Setelah demikian menghiburnya, Sang Guru mengucapkan teks kitab suci Kāma 104 yang sesuai dengan masalah brahmana itu. Di akhir mendengarkan Kāma tersebut, brahmana itu mencapai tingkat kesucian sotapanna. Sang Guru yang telah menyembuhkan rasa sakitnya, bangkit dari tempat duduk Beliau dan kembali ke vihara.
Seluruh isi kota mendengar bagaimana Sang Guru bertemu dengan seorang brahmana yang diselimuti dengan kesedihan yang datangnya tiba-tiba, menenangkan dirinya dan membuatnya mencapai tingkat kesucian sotapanna. Para bhikkhu membicarakan ini di dhammasabhā: “Dengar, Āvuso! Dasabala berteman dengan seorang brahmana, menjadi akrab, mengambil kesempatan untuk membabarkan Dhamma kepada dirinya, di saat ia berada dalam kesedihan yang tiba-tiba, menenangkan dirinya dan membuatnya mencapai tingkat kesucian sotapanna.”
Sang Guru masuk dan bertanya, “Apa yang sedang kalian bicarakan, para bhikkhu?” Mereka memberitahu Beliau. Beliau menjawab, “Ini bukan pertama kali, para bhikkhu, saya dapat menghilangkan kesedihannya, tetapi juga di masa lampau saya melakukan hal yang sama kepadanya,” dan dengan kata-kata ini, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala, Brahmadatta, raja Benares, mempunyai dua orang putra. Ia memberikan kerajaannya kepada yang sulung, sedangkan yang bungsu dijadikan sebagai Panglima Tertinggi.
Setelah Brahmadatta meninggal, para menteri istana berencana untuk menjadikan putra sulungnya sebagai raja dengan upacara pelantikan. Tetapi putra sulung raja berkata, “Saya tidak mempedulikan hal kerajaan. Biar adikku yang menjadi raja.” Mereka memohon dan mendesak dirinya, tetapi ia tetap tidak bersedia, hingga akhirnya putra bungsu yang dinobatkan menjadi raja dengan upacara tersebut.
Putra sulung itu tidak menginginkan kerajaan ataupun hal yang lainnya. Dan ketika mereka membujuknya untuk tetap tinggal di istana dan makan dari istana, ia berkata, “Tidak. Saya tidak mempunyai apa-apa untuk dilakukan di dalam kota ini,” [169] dan ia pergi meninggalkan kota Benares. Ia menuju ke daerah perbatasan dan tinggal bersama dengan sebuah keluarga saudagar yang kaya, melakukan pekerjaan dengan tangannya sendiri. Keluarga ini kemudian mengetahui bahwa ia adalah seorang anak raja, dan tidak membolehkannya untuk bekerja, tetapi mereka yang melayani dirinya sebagaimana layaknya seorang pangeran.
Setelah beberapa lama, pejabat istana datang ke desa tersebut untuk melihat keadaan ladang. Kemudian saudagar tersebut menjumpai pangeran dan berkata, “Tuanku, kami mendukung Anda. Maukah Anda mengirim surat kepada adik Anda untuk membebaskan pajak kami?” Ia setuju dengan hal ini, dan menulis surat yang berbunyi sebagai berikut: “Saat ini saya tinggal bersama dengan keluarga saudagar ini. Saya mohon Paduka dapat menghapuskan pajak mereka demi diriku.” Raja menyetujuinya dan melakukan permintaannya.
Karena hal ini, semua penduduk desa dan semua orang di penjuru negeri mendatanginya dan berkata, “Bebaskanlah pajak kami, dan kami akan membayar pajaknya kepada Anda.” Ia kemudian juga mengirimkan permohonan ini dan raja setuju untuk membebaskan pajak mereka. Setelah itu, orang-orang membayar pajak kepada dirinya. Kemudian hasil yang didapatkannya dan kehormatan dirinya menjadi besar, dan bersamaan dengan itu, keserakahan juga timbul dalam dirinya. Jadi secara bertahap ia meminta kekuasaan di semua daerah, kemudian meminta jabatan wakil raja, dan adiknya memenuhi semua permintaannya. Kemudian karena keserakahannya terus berkembang, ia tidak merasa puas hanya dengan jabatan wakil raja, ia bertekad untuk merebut kerajaan, yang kemudian ia menggabungkan kumpulan orang di luar istana dan mengirim surat kepada adiknya—“Berikan kerajaan kepadaku, atau saya akan bertarung untuk mendapatkannya.”
Adiknya berpikir, “Orang dungu ini dulu menolak menerima kerajaan dan jabatan wakil raja dan semuanya. Sekarang ia katakan ‘Saya akan mengambilnya dengan bertarung,’ Jika saya membunuhnya dalam pertarungan, itu akan menjadi sangat memalukan bagiku. Mengapa saya peduli siapa yang akan menjadi raja?” Maka ia mengirim pesan, “Saya tidak berkeinginan untuk berperang. Anda boleh memiliki kerajaan ini.” Abangnya menjadi raja, dan ia menjadikan adiknya sebagai wakil raja.
Mulai saat itu, ia yang memerintah kerajaan. Tetapi ia sangat serakah; satu kerajaan tidak cukup baginya sehingga ia mendambakan dua kerajaan, kemudian tiga, [170] dan keserakahannya ini seperti tiada batas.
Pada waktu itu, Sakka, raja para dewa, sedang mengamati penjuru negeri. “Siapakah mereka?” pikirnya, “yang dengan hati-hati merawat orang tua mereka? yang memberikan derma dan melakukan kebajikan? yang sedang berada dalam pengaruh keserakahan?” Ia mengetahui bahwa laki-laki ini diselimuti oleh keserakahan. “Orang dungu yang ada di sana,” pikirnya, “tidak merasa puas dengan menjadi raja Benares. Baiklah, saya akan memberinya pelajaran.”
Maka dengan menyamar sebagai seorang brahmana muda, ia berdiri di luar istana dan mengirim pesan kepada raja bahwa ada seorang laki-laki pintar sedang berdiri di luar pintu istana. Ia dipersilahkan masuk dan mengucapkan semoga Paduka tetap berjaya, kemudian raja berkata, “Ada keperluan apa Anda datang?” “Raja yang agung!” jawabnya, “saya ada sesuatu yang ingin dikatakan kepada Paduka, tetapi harus secara pribadi.” Dengan kekuatan seorang Sakka, pada saat itu juga orang-orang lainnya pergi.
Kemudian brahmana muda berkata, “O raja yang agung! Saya tahu tiga kerajaaan yang makmur, berpenduduk padat, memiliki pasukan pengawal dan kuda yang kuat. Dengan kekuatan diriku sendiri akan kudapatkan kekuasaan di semua kota tersebut dan memberikannya kepada Anda. Tetapi Anda tidak boleh menundanya, harus segera pergi.” Raja yang sedang dipenuhi dengan rasa serakah langsung menyetujuinya. (Dengan kekuatan Sakka, raja dibuat untuk tidak menanyakan, “Siapakah Anda? Datang darimana? dan Apa yang Anda inginkan?”). Setelah berkata demikian, Sakka kembali ke tempat kediamannya sendiri di alam Tavatimsa.
Kemudian raja memanggil para pejabat istananya dan memerintahkan mereka, “Tadi ada seorang pemuda datang ke sini, dengan berjanji untuk menaklukkan dan memberikan kepadaku kekuasaan daripada tiga kerajaan! Pergi carilah ia! Bunyikan drum di seluruh kota, kumpulkan pasukan, jangan tunda lagi karena saya akan mendapatkan tiga kerajaan!” “O raja agung!” kata mereka, “apakah Anda memberikan pelayanan yang ramah kepadanya, atau apakah Anda bertanya dimana ia tinggal?” “Tidak, tidak, saya tidak melayaninya dengan ramah dan saya tidak menanyakan dimana ia tinggal. Pergi dan cari ia!” Mereka pergi mencarinya tetapi tidak dapat menemukannya. Mereka memberitahukan raja bahwa mereka tidak bisa menemukan pemuda itu di seluruh kota.
Mendengar berita ini, raja menjadi sedih. “Kekuasaan akan tiga kerajaan telah hilang,” ia terus berpikir dan berpikir: Saya baru saja kehilangan kejayaan. Tidak diragukan lagi bahwa pemuda itu marah dan pergi dariku, karena saya tidak memberinya uang untuk ongkosnya dan tidak menawarkan ia tempat untuk tinggal.” [171] Kemudian di dalam dirinya muncul keserakahan yang membara. Dikarenakan rasa panas yang muncul dari rasa keserakahannya itu, usus dalam perutnya selalu mengalami gerakan yang terus berubah-ubah sehingga makanan yang masuk akan dimuntahkan kembali. Para tabib tidak dapat menyembuhkannya, raja menjadi sangat lemah. Penyakitnya ini tersebar ke seluruh kota.
Pada waktu itu, Bodhisatta kembali ke tempat orang tuanya di kota Benares dari Takkasila setelah menguasai semua ilmu pengetahuan. Ia mendengar berita tentang raja, langsung menuju ke pintu istana dengan tujuan untuk menyembuhkannya, dan mengirimkan pesan ke dalam bahwa ada seorang pemuda yang siap untuk mengobati raja. Raja berkata, “Para tabib yang hebat dan terkenal tidak dapat menyembuhkan saya. Apa yang bisa dilakukan oleh seorang pemuda? Berikan upahnya dan biarkan ia pergi.” Pemuda itu menjawab, “Saya tidak menginginkan upah untuk kemahiran pengobatanku. Saya hanya ingin menyembuhkan Paduka. Biar Paduka membayar hanya untuk harga obat-obatanya saja.” Ketika mendengar ini, raja menyetujuinya dan mempersilahkan ia masuk.
Pemuda itu memberi salam hormat kepada raja. “Jangan takut, O raja!” katanya, “Saya akan menyembuhkan Anda. Beritahukan saya tentang asal mula penyakit ini.” Raja menjawabnya dengan gusar, “Apa gunanya hal itu bagimu? Buat saja obatnya.” “O raja yang agung,” katanya, “ini adalah cara tabib, pertama untuk mengetahui sejak kapan suatu penyakit itu diderita, baru membuat obat yang sesuai.” “Baiklah, baiklah, anakku,” kata raja, dan mulai menceritakan asal mula penyakit yang dideritanya tersebut, dimulai dari bagaimana pemuda itu datang dan berjanji bahwa ia akan membawakan dan memberikan kekuasaan atas tiga kerajaan kepada raja. “Demikianlah, anakku, penyakit ini muncul dikarenakan keserakahan. Sekarang sembuhkanlah penyakit ini jika memang Anda bisa.” “Apa, O raja!” katanya, “dapatkah Anda menguasai tiga kerajaan hanya dengan bersedih?”—“Tidak, anakku. Mengapa?”—“Kalau memang begitu, mengapa harus bersedih, O raja agung? Semua benda, baik benda mati maupun benda hidup, akan musnah dan meninggalkan semuanya, bahkan tubuhnya sendiri. [172] Bahkan walaupun Anda mendapatkan kekuasaan untuk memerintah empat kerajaan, Anda tidak dapat makan dari empat piring yang berbeda pada waktu bersamaan, duduk bersantai di empat jenis kursi yang berbeda, mengenakan empat jenis jubah yang berbeda. Anda tidak seharusnya menjadi budak dari nafsu keinginan karena di saat nafsu keinginan berkembang, kita tidak akan dapat terbebas dari empat penderitaan.” Setelah menasehatinya demikian, Sang Mahasatwa membabarkan kebenaran di dalam bait kalimat berikut ini:
“Ia yang memiliki keinginan akan suatu benda,
dan kemudian keinginannya tercapai,
Ia pasti akan menjadi senang
karena ia mendapatkan keinginannya105.
“Ia yang memiliki keinginan akan suatu benda,
dan kemudian keinginannya tercapai,
Maka nafsu keinginannya akan terus menyerang dirinya,
seperti dahaga yang menyerang di saat panas.
“Seperti tanaman duri, durinya akan terus tumbuh besar:
Sama halnya dengan seorang dungu yang tidak memahami apapun,
Di saat orang tersebut tumbuh,
dahaganya juga akan terus berkembang dan tumbuh.
“Dengan memberikan semua beras dan jagung,
pelayan laki-laki, ternak, dan kuda,
Ini semua tidak akan cukup bagi orang tersebut:
Pahami hal ini dan tetaplah berada dalam jalurnya.
“Seorang raja yang menaklukkan seluruh isi dunia,
Seluruh dunia sampai termasuk kepada lautan,
Dari sisi ini bahwa laut tidak tertaklukkan
Akan menyebabkan orang tersebut mencari tahu
apa yang dapat ditemukan di luar sana.
“Menempatkan nafsu keinginan di dalam hati–
kepuasaan tidak akan pernah ada.
Barang siapa yang melakukan sebaliknya dan melihat kebenaran,
Ia akan merasa puas, yang dipuaskan oleh kebijaksanaannya.
“Adalah yang terbaik dipenuhi dengan kebijaksanaan,
ini tidak akan dikalahkan oleh nafsu;
Tidak pernah orang yang dipenuhi dengan kebijaksanaan
dapat menjadi budak dari hawa nafsu.
“Hancurkan nafsu keinginanmu,
dan jangan meminta terlalu banyak,
jangan serakah untuk menang dalam segala hal,
Jadilah seperti tukang sepatu, yang memotong sepatu sesuai dengan kulitnya.
[173] “Karena untuk setiap nafsu keinginan yang dihilangkan
akan mendatangkan kebahagiaan:
Ia yang memilki semua kebahagiaan
pasti telah menyelesaikan semua nafsu keinginannya.”
[174] Di saat Bodhisatta mengucapkan bait-bait kalimat ini, pikirannya terpusat pada payung putih raja dan kemudian di dalam dirinya muncul kebahagiaan semu yang didapatkan dari cahaya putih. Keadaan raja sendiri menjadi sehat kembali, ia bangkit dari duduknya dengan perasaan gembira dan berkata kepadanya sebagai berikut: “Di saat semua tabib tidak dapat menyembuhkanku, seorang pemuda bijak membuatku sembuh total dengan kebijaksanaan sebagai obatnya!” Dan kemudian ia mengucapkan bait kesepuluh berikut ini:
[175] “Delapan106 bait kalimat Anda ucapkan,
senilai seribu keping uang tiap baitnya:
Ambillah, O brahmana agung! ambil uang ini,
karena perkataan Anda tersebut adalah manis.”
Sang Mahasatwa kemudian mengucapkan bait kesebelas berikut:
“Baik itu seribu, seratus,
sejuta kali sejuta keping uang, saya tidak peduli:
Seperti bait terakhir yang saya katakan,
nafsu keinginan telah mati di dalam diriku.”
Karena merasa semakin gembira, raja mengucapkan bait terakhir berikut untuk memberikan pujian kepada Sang Mahasatwa:
“Pemuda ini benar-benar bijak dan baik hati,
mengetahui semua ilmu pengetahuan dunia:
Sebenarnya nafsu keinginan
adalah penyebab penderitaan.”
“Raja yang agung!” kata Bodhisatta, “Selalu berhati-hati dan jalan di arah yang benar.” Setelah memberikan nasehat kepada raja, ia pergi ke Himalaya melalui udara. Dengan hidup sebagai petapa dan menjalankan hari puasa dapat mengembangkan kesempurnaan dan menjadi terlahir di alam Brahma.
____________________
Setelah uraiannya selesai disampaikan, Sang Guru berkata, “Demikianlah, para bhikkhu, di masa lampau sama seperti sekarang ini, saya menyembuhkan brahmana ini secara keseluruhan.” Setelah berkata demikian, Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, brahmana adalah raja, dan saya sendiri adalah pemuda bijak tersebut.”
Dikatakan bahwa ada seorang brahmana yang tinggal di Savatthi sedang menebang pepohonan yang ada di tepi sungai Aciravatī agar dapat digunakan untuk bercocok tanam. Sang Guru yang mengetahui tentang nasibnya102 pergi menemuinya untuk berbicara dengan baik kepadanya di saat Beliau mengunjungi kota Savatthi untuk berpindapata.
“Apa yang sedang Anda lakukan, brahmana?” tanya Beliau. “O Gotama,” kata laki-laki tersebut, “saya sedang menebang pepohonan untuk mendapatkan tempat agar dapat bercocok tanam.” “Bagus sekali,” jawab Beliau, “lanjutkanlah pekerjaan Anda, brahmana.” Dengan cara yang sama Sang Guru datang dan berbicara dengannya di saat ia telah menebang semua pohon yang ada di sana, dan di saat laki-laki tersebut sedang membersihkan daerah tersebut, kemudian di saat penggemburan tanah, juga di saat ia membuat sebuah lubang persegi untuk menampung air.
Di saat tiba waktunya untuk pembenihan, brahmana itu berkata, “Hari ini, O Gotama, adalah hari perayaan pembajakan tanahku103. Ketika tanaman jagung ini berbuah, saya akan memberikannya sebagai derma kepada para bhikkhu, dengan Sang Buddha sebagai pemimpin mereka.” Sang Guru menerima tawarannya ini dan kemudian pergi. Di hari berikutnya datang, Beliau melihat brahmana tersebut sedang mengamati tanaman jagungnya. “Apa yang sedang Anda lakukan, brahmana?” tanya Beliau. “Saya sedang mengamati tanaman jagung ini, O Gotama!” “Bagus sekali, brahmana,” kata Sang Guru dan kemudian Beliau pergi. Kemudian brahmana tersebut berpikir, “Betapa seringnya Petapa Gotama datang ke tempat ini! Tidak diragukan lagi, Beliau pasti menginginkan makanan. Baiklah, saya akan memberikan Beliau makanan.” Di saat pikiran ini muncul dalam pikirannya dan di saat ia pulang ke rumah, di sana sudah ada Sang Guru. Saat itu juga muncul di dalam dirinya kepercayaan yang menakjubkan.
Seiring berjalannya waktu, di saat tanaman jagung itu siap dipanen, brahmana itu memutuskan untuk memanennya keesokan harinya. Tetapi di saat ia tidur, hujan deras turun dan membuat sungai Aciravatī meluap dan menyebabkan banjir yang merusak semua tanaman jagung yang telah siap dipanen tersebut sampai tidak ada satu tongkol jagung pun yang tersisa.
Setelah banjirnya surut, brahmana itu melihat tanaman siap panennya yang habis semuanya, seolah ia tidak kuat untuk berdiri, sambil menekan dada dengan kedua tangannya (karena ia diliputi oleh penderitaan yang besar) ia pulang ke rumah dan berbaring sembari menangis.
Di pagi harinya Sang Guru melihat brahmana tersebut sedang diliputi oleh kesedihan dan berpikir, “Saya akan menjadi penyokong brahmana tersebut.” Maka keesokan harinya setelah berpindapata di Savatthi, dalam perjalanan pulang sesudah mendapatkan makanan, Beliau menyuruh para bhikkhu untuk kembali ke vihara sedangkan Beliau bersama dengan bhikkhu junior yang melayani diri-Nya pergi ke rumah brahmana tersebut. [168] Ketika brahmana mendengar kedatangan Beliau, ia menenangkan dirinya dan berpikir—“Temanku pasti datang untuk berbincang tentang hal yang baik.” Ia mempersilahkan Beliau duduk; Sang Guru duduk di tempat yang telah disiapkan dan bertanya, “Mengapa Anda bersedih hati, brahmana? Hal apa yang terjadi sehingga membuat Anda tidak bahagia?” “O Gotama!” kata laki-laki tersebut, “mulai dari waktu saya menebang pepohonan di tepi sungai Aciravatī, Anda sudah tahu apa yang saya kerjakan seterusnya. Saya telah berjanji untuk memberikan hasil panennya sebagai dana kepada Anda, tetapi sekarang banjir telah merusak hasil panenku sampai tidak ada yang tersisa! Biji-bijian telah rusak sampai mencapai seratus muatan gerobak kuda. Dan karena itulah saya sangat bersedih!”—“Mengapa demikian, apakah benda yang rusak itu dapat kembali dengan bersedih?”—“Tidak, Gotama, tidak akan bisa.”—“Jika memang demikian, mengapa harus bersedih? Harta benda semua makhluk di dunia ini, atau hasil panen mereka, di saat mereka memilikinya, itu adalah milik mereka, dan di saat harta benda itu hilang atau habis, itu sudah bukan milik mereka. Tidak ada benda di dunia ini yang kekal. Jangan bersedih karenanya.” Setelah demikian menghiburnya, Sang Guru mengucapkan teks kitab suci Kāma 104 yang sesuai dengan masalah brahmana itu. Di akhir mendengarkan Kāma tersebut, brahmana itu mencapai tingkat kesucian sotapanna. Sang Guru yang telah menyembuhkan rasa sakitnya, bangkit dari tempat duduk Beliau dan kembali ke vihara.
Seluruh isi kota mendengar bagaimana Sang Guru bertemu dengan seorang brahmana yang diselimuti dengan kesedihan yang datangnya tiba-tiba, menenangkan dirinya dan membuatnya mencapai tingkat kesucian sotapanna. Para bhikkhu membicarakan ini di dhammasabhā: “Dengar, Āvuso! Dasabala berteman dengan seorang brahmana, menjadi akrab, mengambil kesempatan untuk membabarkan Dhamma kepada dirinya, di saat ia berada dalam kesedihan yang tiba-tiba, menenangkan dirinya dan membuatnya mencapai tingkat kesucian sotapanna.”
Sang Guru masuk dan bertanya, “Apa yang sedang kalian bicarakan, para bhikkhu?” Mereka memberitahu Beliau. Beliau menjawab, “Ini bukan pertama kali, para bhikkhu, saya dapat menghilangkan kesedihannya, tetapi juga di masa lampau saya melakukan hal yang sama kepadanya,” dan dengan kata-kata ini, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala, Brahmadatta, raja Benares, mempunyai dua orang putra. Ia memberikan kerajaannya kepada yang sulung, sedangkan yang bungsu dijadikan sebagai Panglima Tertinggi.
Setelah Brahmadatta meninggal, para menteri istana berencana untuk menjadikan putra sulungnya sebagai raja dengan upacara pelantikan. Tetapi putra sulung raja berkata, “Saya tidak mempedulikan hal kerajaan. Biar adikku yang menjadi raja.” Mereka memohon dan mendesak dirinya, tetapi ia tetap tidak bersedia, hingga akhirnya putra bungsu yang dinobatkan menjadi raja dengan upacara tersebut.
Putra sulung itu tidak menginginkan kerajaan ataupun hal yang lainnya. Dan ketika mereka membujuknya untuk tetap tinggal di istana dan makan dari istana, ia berkata, “Tidak. Saya tidak mempunyai apa-apa untuk dilakukan di dalam kota ini,” [169] dan ia pergi meninggalkan kota Benares. Ia menuju ke daerah perbatasan dan tinggal bersama dengan sebuah keluarga saudagar yang kaya, melakukan pekerjaan dengan tangannya sendiri. Keluarga ini kemudian mengetahui bahwa ia adalah seorang anak raja, dan tidak membolehkannya untuk bekerja, tetapi mereka yang melayani dirinya sebagaimana layaknya seorang pangeran.
Setelah beberapa lama, pejabat istana datang ke desa tersebut untuk melihat keadaan ladang. Kemudian saudagar tersebut menjumpai pangeran dan berkata, “Tuanku, kami mendukung Anda. Maukah Anda mengirim surat kepada adik Anda untuk membebaskan pajak kami?” Ia setuju dengan hal ini, dan menulis surat yang berbunyi sebagai berikut: “Saat ini saya tinggal bersama dengan keluarga saudagar ini. Saya mohon Paduka dapat menghapuskan pajak mereka demi diriku.” Raja menyetujuinya dan melakukan permintaannya.
Karena hal ini, semua penduduk desa dan semua orang di penjuru negeri mendatanginya dan berkata, “Bebaskanlah pajak kami, dan kami akan membayar pajaknya kepada Anda.” Ia kemudian juga mengirimkan permohonan ini dan raja setuju untuk membebaskan pajak mereka. Setelah itu, orang-orang membayar pajak kepada dirinya. Kemudian hasil yang didapatkannya dan kehormatan dirinya menjadi besar, dan bersamaan dengan itu, keserakahan juga timbul dalam dirinya. Jadi secara bertahap ia meminta kekuasaan di semua daerah, kemudian meminta jabatan wakil raja, dan adiknya memenuhi semua permintaannya. Kemudian karena keserakahannya terus berkembang, ia tidak merasa puas hanya dengan jabatan wakil raja, ia bertekad untuk merebut kerajaan, yang kemudian ia menggabungkan kumpulan orang di luar istana dan mengirim surat kepada adiknya—“Berikan kerajaan kepadaku, atau saya akan bertarung untuk mendapatkannya.”
Adiknya berpikir, “Orang dungu ini dulu menolak menerima kerajaan dan jabatan wakil raja dan semuanya. Sekarang ia katakan ‘Saya akan mengambilnya dengan bertarung,’ Jika saya membunuhnya dalam pertarungan, itu akan menjadi sangat memalukan bagiku. Mengapa saya peduli siapa yang akan menjadi raja?” Maka ia mengirim pesan, “Saya tidak berkeinginan untuk berperang. Anda boleh memiliki kerajaan ini.” Abangnya menjadi raja, dan ia menjadikan adiknya sebagai wakil raja.
Mulai saat itu, ia yang memerintah kerajaan. Tetapi ia sangat serakah; satu kerajaan tidak cukup baginya sehingga ia mendambakan dua kerajaan, kemudian tiga, [170] dan keserakahannya ini seperti tiada batas.
Pada waktu itu, Sakka, raja para dewa, sedang mengamati penjuru negeri. “Siapakah mereka?” pikirnya, “yang dengan hati-hati merawat orang tua mereka? yang memberikan derma dan melakukan kebajikan? yang sedang berada dalam pengaruh keserakahan?” Ia mengetahui bahwa laki-laki ini diselimuti oleh keserakahan. “Orang dungu yang ada di sana,” pikirnya, “tidak merasa puas dengan menjadi raja Benares. Baiklah, saya akan memberinya pelajaran.”
Maka dengan menyamar sebagai seorang brahmana muda, ia berdiri di luar istana dan mengirim pesan kepada raja bahwa ada seorang laki-laki pintar sedang berdiri di luar pintu istana. Ia dipersilahkan masuk dan mengucapkan semoga Paduka tetap berjaya, kemudian raja berkata, “Ada keperluan apa Anda datang?” “Raja yang agung!” jawabnya, “saya ada sesuatu yang ingin dikatakan kepada Paduka, tetapi harus secara pribadi.” Dengan kekuatan seorang Sakka, pada saat itu juga orang-orang lainnya pergi.
Kemudian brahmana muda berkata, “O raja yang agung! Saya tahu tiga kerajaaan yang makmur, berpenduduk padat, memiliki pasukan pengawal dan kuda yang kuat. Dengan kekuatan diriku sendiri akan kudapatkan kekuasaan di semua kota tersebut dan memberikannya kepada Anda. Tetapi Anda tidak boleh menundanya, harus segera pergi.” Raja yang sedang dipenuhi dengan rasa serakah langsung menyetujuinya. (Dengan kekuatan Sakka, raja dibuat untuk tidak menanyakan, “Siapakah Anda? Datang darimana? dan Apa yang Anda inginkan?”). Setelah berkata demikian, Sakka kembali ke tempat kediamannya sendiri di alam Tavatimsa.
Kemudian raja memanggil para pejabat istananya dan memerintahkan mereka, “Tadi ada seorang pemuda datang ke sini, dengan berjanji untuk menaklukkan dan memberikan kepadaku kekuasaan daripada tiga kerajaan! Pergi carilah ia! Bunyikan drum di seluruh kota, kumpulkan pasukan, jangan tunda lagi karena saya akan mendapatkan tiga kerajaan!” “O raja agung!” kata mereka, “apakah Anda memberikan pelayanan yang ramah kepadanya, atau apakah Anda bertanya dimana ia tinggal?” “Tidak, tidak, saya tidak melayaninya dengan ramah dan saya tidak menanyakan dimana ia tinggal. Pergi dan cari ia!” Mereka pergi mencarinya tetapi tidak dapat menemukannya. Mereka memberitahukan raja bahwa mereka tidak bisa menemukan pemuda itu di seluruh kota.
Mendengar berita ini, raja menjadi sedih. “Kekuasaan akan tiga kerajaan telah hilang,” ia terus berpikir dan berpikir: Saya baru saja kehilangan kejayaan. Tidak diragukan lagi bahwa pemuda itu marah dan pergi dariku, karena saya tidak memberinya uang untuk ongkosnya dan tidak menawarkan ia tempat untuk tinggal.” [171] Kemudian di dalam dirinya muncul keserakahan yang membara. Dikarenakan rasa panas yang muncul dari rasa keserakahannya itu, usus dalam perutnya selalu mengalami gerakan yang terus berubah-ubah sehingga makanan yang masuk akan dimuntahkan kembali. Para tabib tidak dapat menyembuhkannya, raja menjadi sangat lemah. Penyakitnya ini tersebar ke seluruh kota.
Pada waktu itu, Bodhisatta kembali ke tempat orang tuanya di kota Benares dari Takkasila setelah menguasai semua ilmu pengetahuan. Ia mendengar berita tentang raja, langsung menuju ke pintu istana dengan tujuan untuk menyembuhkannya, dan mengirimkan pesan ke dalam bahwa ada seorang pemuda yang siap untuk mengobati raja. Raja berkata, “Para tabib yang hebat dan terkenal tidak dapat menyembuhkan saya. Apa yang bisa dilakukan oleh seorang pemuda? Berikan upahnya dan biarkan ia pergi.” Pemuda itu menjawab, “Saya tidak menginginkan upah untuk kemahiran pengobatanku. Saya hanya ingin menyembuhkan Paduka. Biar Paduka membayar hanya untuk harga obat-obatanya saja.” Ketika mendengar ini, raja menyetujuinya dan mempersilahkan ia masuk.
Pemuda itu memberi salam hormat kepada raja. “Jangan takut, O raja!” katanya, “Saya akan menyembuhkan Anda. Beritahukan saya tentang asal mula penyakit ini.” Raja menjawabnya dengan gusar, “Apa gunanya hal itu bagimu? Buat saja obatnya.” “O raja yang agung,” katanya, “ini adalah cara tabib, pertama untuk mengetahui sejak kapan suatu penyakit itu diderita, baru membuat obat yang sesuai.” “Baiklah, baiklah, anakku,” kata raja, dan mulai menceritakan asal mula penyakit yang dideritanya tersebut, dimulai dari bagaimana pemuda itu datang dan berjanji bahwa ia akan membawakan dan memberikan kekuasaan atas tiga kerajaan kepada raja. “Demikianlah, anakku, penyakit ini muncul dikarenakan keserakahan. Sekarang sembuhkanlah penyakit ini jika memang Anda bisa.” “Apa, O raja!” katanya, “dapatkah Anda menguasai tiga kerajaan hanya dengan bersedih?”—“Tidak, anakku. Mengapa?”—“Kalau memang begitu, mengapa harus bersedih, O raja agung? Semua benda, baik benda mati maupun benda hidup, akan musnah dan meninggalkan semuanya, bahkan tubuhnya sendiri. [172] Bahkan walaupun Anda mendapatkan kekuasaan untuk memerintah empat kerajaan, Anda tidak dapat makan dari empat piring yang berbeda pada waktu bersamaan, duduk bersantai di empat jenis kursi yang berbeda, mengenakan empat jenis jubah yang berbeda. Anda tidak seharusnya menjadi budak dari nafsu keinginan karena di saat nafsu keinginan berkembang, kita tidak akan dapat terbebas dari empat penderitaan.” Setelah menasehatinya demikian, Sang Mahasatwa membabarkan kebenaran di dalam bait kalimat berikut ini:
“Ia yang memiliki keinginan akan suatu benda,
dan kemudian keinginannya tercapai,
Ia pasti akan menjadi senang
karena ia mendapatkan keinginannya105.
“Ia yang memiliki keinginan akan suatu benda,
dan kemudian keinginannya tercapai,
Maka nafsu keinginannya akan terus menyerang dirinya,
seperti dahaga yang menyerang di saat panas.
“Seperti tanaman duri, durinya akan terus tumbuh besar:
Sama halnya dengan seorang dungu yang tidak memahami apapun,
Di saat orang tersebut tumbuh,
dahaganya juga akan terus berkembang dan tumbuh.
“Dengan memberikan semua beras dan jagung,
pelayan laki-laki, ternak, dan kuda,
Ini semua tidak akan cukup bagi orang tersebut:
Pahami hal ini dan tetaplah berada dalam jalurnya.
“Seorang raja yang menaklukkan seluruh isi dunia,
Seluruh dunia sampai termasuk kepada lautan,
Dari sisi ini bahwa laut tidak tertaklukkan
Akan menyebabkan orang tersebut mencari tahu
apa yang dapat ditemukan di luar sana.
“Menempatkan nafsu keinginan di dalam hati–
kepuasaan tidak akan pernah ada.
Barang siapa yang melakukan sebaliknya dan melihat kebenaran,
Ia akan merasa puas, yang dipuaskan oleh kebijaksanaannya.
“Adalah yang terbaik dipenuhi dengan kebijaksanaan,
ini tidak akan dikalahkan oleh nafsu;
Tidak pernah orang yang dipenuhi dengan kebijaksanaan
dapat menjadi budak dari hawa nafsu.
“Hancurkan nafsu keinginanmu,
dan jangan meminta terlalu banyak,
jangan serakah untuk menang dalam segala hal,
Jadilah seperti tukang sepatu, yang memotong sepatu sesuai dengan kulitnya.
[173] “Karena untuk setiap nafsu keinginan yang dihilangkan
akan mendatangkan kebahagiaan:
Ia yang memilki semua kebahagiaan
pasti telah menyelesaikan semua nafsu keinginannya.”
[174] Di saat Bodhisatta mengucapkan bait-bait kalimat ini, pikirannya terpusat pada payung putih raja dan kemudian di dalam dirinya muncul kebahagiaan semu yang didapatkan dari cahaya putih. Keadaan raja sendiri menjadi sehat kembali, ia bangkit dari duduknya dengan perasaan gembira dan berkata kepadanya sebagai berikut: “Di saat semua tabib tidak dapat menyembuhkanku, seorang pemuda bijak membuatku sembuh total dengan kebijaksanaan sebagai obatnya!” Dan kemudian ia mengucapkan bait kesepuluh berikut ini:
[175] “Delapan106 bait kalimat Anda ucapkan,
senilai seribu keping uang tiap baitnya:
Ambillah, O brahmana agung! ambil uang ini,
karena perkataan Anda tersebut adalah manis.”
Sang Mahasatwa kemudian mengucapkan bait kesebelas berikut:
“Baik itu seribu, seratus,
sejuta kali sejuta keping uang, saya tidak peduli:
Seperti bait terakhir yang saya katakan,
nafsu keinginan telah mati di dalam diriku.”
Karena merasa semakin gembira, raja mengucapkan bait terakhir berikut untuk memberikan pujian kepada Sang Mahasatwa:
“Pemuda ini benar-benar bijak dan baik hati,
mengetahui semua ilmu pengetahuan dunia:
Sebenarnya nafsu keinginan
adalah penyebab penderitaan.”
“Raja yang agung!” kata Bodhisatta, “Selalu berhati-hati dan jalan di arah yang benar.” Setelah memberikan nasehat kepada raja, ia pergi ke Himalaya melalui udara. Dengan hidup sebagai petapa dan menjalankan hari puasa dapat mengembangkan kesempurnaan dan menjadi terlahir di alam Brahma.
____________________
Setelah uraiannya selesai disampaikan, Sang Guru berkata, “Demikianlah, para bhikkhu, di masa lampau sama seperti sekarang ini, saya menyembuhkan brahmana ini secara keseluruhan.” Setelah berkata demikian, Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, brahmana adalah raja, dan saya sendiri adalah pemuda bijak tersebut.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com