SĀLIKEDĀRA-JĀTAKA
Sālikedārajātaka (Ja 484)
[276] “Hasil panen padi,” dan seterusnya—Ini adalah sebuah kisah yang diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang menghidupi ibunya.
Situasi kejadian ini akan diuraikan di dalam Sāma-Jātaka170.
Kemudian Sang Guru memanggil bhikkhu ini dan bertanya kepadanya, “Benarkah apa yang saya dengar, bhikkhu, bahwa Anda menghidupi umat awam?” “Benar, Bhante.” “Siapakah mereka?” “Ibu dan ayah saya, Guru.” Kata Sang Guru, “Bagus sekali, bhikkhu! Walaupun orang bijak di masa lampau yang dalam wujud hewan tingkat rendah dengan terlahir sebagai burung nuri, tetapi, di saat induknya sudah tua, ia menempatkan mereka di dalam sangkar dan memberi mereka makanan yang dibawa dengan paruhnya sendiri.”
Setelah berkata demikian, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala seorang raja bernama raja Magadha berkuasa di Rajagaha. Pada waktu itu, ada sebuah desa brahmana yang bernama Sālindiya di sebelah timur laut dari kota tersebut. Daerah timur laut ini adalah daerah kepunyaan Magadha.
Ada seorang brahmana bernama Kosiyagotta171 yang tinggal di daerah ini, yang memiliki tanah seluas seribu hektar172 untuk menanam padi. Di saat tanaman padinya mulai meninggi, ia membuat pagar yang kuat dan memberikan tugas penjagaan tanah itu kepada orang-orangnya sendiri, ada yang satu orang lima puluh hektar, ada yang enam puluh hektar, sampai ia membagikan seluas lima ratus hektar tanah kepemilikannya. [277] Sisanya yang lima ratus hektar lagi ia percayakan kepada orang sewaan yang digajinya. Orang tersebut membuat sebuah gubuk untuk tinggal di sana siang dan malam.
Di sebelah timur laut dari daerah ini terdapat hutan yang dipenuhi dengan pohon simbali173 yang tumbuh di atas sebuah bukit yang datar, dan di dalam hutan ini hiduplah sejumlah besar burung nuri.
Waktu itu, Bodhisatta terlahir di dalam kawanan burung nuri tersebut sebagai anak dari raja burung nuri. Ia tumbuh menjadi tampan dan kuat, badannya besar seperti pusat roda kereta.
Ayahnya yang saat itu sudah tua berkata kepadanya, “Saya tidak bisa terbang pergi ke tempat yang jauh lagi. Anda sekarang yang menjaga kawanan burung ini,” dan menyerahkan kepemimpinan kepada anaknya. Mulai dari keesokan harinya, ia tidak mengizinkan induknya untuk pergi mencari makanan. Ia bersama dengan kawanan burung lainnya terbang ke bukit Himalaya dan setelah selesai makan tanaman padi yang tumbuh liar di sana, ia pulang dengan membawa makanan yang cukup untuk kedua induknya, kemudian memberi mereka makan.
Pada suatu hari, kawanan burung nuri itu menanyakan sebuah pertanyaan kepadanya, “Dulu padi yang ada di ladang Magadha sudah siap panen pada waktu seperti sekarang ini. Apakah sekarang ini sudah siap atau belum?” “Pergi lihatlah,” jawabnya, dan mengutus dua ekor burung nuri untuk mencari tahu jawabannya. Kedua burung itu pergi dan hinggap di ladang Magadha yang dijaga oleh orang sewaan tersebut. Mereka makan padinya dan mengambil satu tanaman padi kembali ke dalam hutan, kemudian menjatuhkannya di kaki Sang Mahasatwa sambil berkata, “Demikianlah bentuk padi yang ditanam di sana sekarang ini.”
Keesokan harinya, ia pergi ke ladang tersebut bersama dengan kawanannya. Orang sewaan yang menjaga ladang itu berlari ke sana dan kemari mencoba untuk menghalau burung-burung tersebut, tetapi tidak berhasil. Kawanan burung nuri memakan padinya dan terbang kembali dengan paruh yang kosong, sedangkan raja burung nuri mengumpulkan sejumlah padi dan membawakannya untuk kedua induknya.
Hari berikutnya, burung-burung nuri masih makan padi yang ada di sana dan demikian seterusnya. Kemudian penjaga tersebut mulai berpikir, [278] “Jika burung-burung ini masih makan padi selama beberapa hari lagi, tidak akan ada yang tersisa nantinya. Brahmana itu akan meminta ganti rugi atas padi-padi tersebut kepadaku. Saya akan pergi memberitahunya.” Dengan membawa segenggam penuh beras dan hadiah besertanya, ia pergi menjumpai brahmana tersebut, memberinya salam hormat dan berdiri di satu sisi. “Bagaimana, pelayanku yang baik,” kata sang majikan, “apakah hasil panennya bagus?” “Ya, hasilnya bagus,” jawabnya dan mengucapkan dua bait kalimat berikut ini:
“Hasil panen padi bagus, tetapi
ada yang saya ingin beritahukan kepada Anda,
Burung-burung nuri memakan hasil panen,
saya tidak bisa menghalau mereka.”
“Ada seekor burung, yang terbaik di antara semuanya,
yang pertama-tama memakan hasil panen,
Kemudian membawa pergi sejumlah padi di dalam paruhnya
untuk memenuhi kebutuhan di masa depannya.”
Ketika mendengar hal ini, brahmana tersebut memiliki ketertarikan dalam dirinya terhadap raja burung nuri itu. Ia berkata, “Saudaraku, apakah Anda tahu bagaimana cara membuat perangkap?” “Ya, saya tahu.” Majikan itu kemudian berkata kepadanya dalam bait kalimat berikut ini:
“Kalau begitu, buatlah sebuah perangkap
dari bulu kuda untuk menangkapnya;
Pastikan burung itu tetap hidup
dan bawa ia ke sini kepadaku.”
Penjaga ladang tersebut merasa sangat senang karena tidak ada ganti rugi yang dibebankan kepadanya dan juga tidak membicarakan tentang utang-piutang. Ia langsung pergi dan membuat perangkap bulu kuda, kemudian menyelidiki kapan burung-burung itu datang di hari itu, melihat tempat yang dihinggapi oleh raja kawanan burung itu.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia membuat sebuah sangkar sebesar kendi air dan menyiapkan perangkapnya, kemudian duduk di dalam gubuknya untuk menunggu kedatangan burung-burung tersebut. Raja burung nuri datang di antara kawanan burung lainnya; dikarenakan maksudnya untuk tidak serakah, [279] ia hinggap di tempat yang sama seperti hari kemarin, dengan kaki kanannya tepat masuk di dalam perangkap.
Di saat mengetahui bahwa kakinya terperangkap, ia berpikir, “Jika saya bersuara seperti burung yang tertangkap sekarang juga, saudara-saudaraku akan menjadi sangat ketakutan dan terbang pergi tanpa makan. Saya harus menahan ini sampai mereka selesai makan.”
Ketika akhirnya ia melihat bahwa mereka telah selesai makan, dengan rasa takut akan kehilangan nyawanya, ia tiga kali meneriakkan suara burung yang sedang tertangkap. Semua burung tersebut terbang melarikan diri. Kemudian ia berkata, “Semuanya adalah saudaraku dan tidak ada satupun yang kembali untuk menolongku! Perbuatan jahat apa yang telah kulakukan?” Kemudian ia mengucapkan bait kalimat berikut untuk memarahi mereka:
“Mereka makan, minum, dan
sekarang dengan tergesa-gesa mereka pergi,
Saya hanya masuk dalam perangkap:
perbuatan jahat apa yang telah kulakukan?”
Penjaga itu mendengar teriakannya dan juga suara burung lainnya yang terbang di udara. “Apa itu?” pikirnya. Ia keluar dari gubuknya dan pergi ke tempat ia meletakkan perangkapnya dan melihat raja burung nuri itu di sana. “Burung yang saya inginkan dengan membuat perangkap ini telah tertangkap!” teriaknya dengan sangat gembira. Ia mengeluarkan burung itu dari perangkapnya dan mengikat kedua kakinya bersama.
Ia pergi ke desa Sālindiya dan memberikan burung itu kepada brahmana tersebut. Brahmana yang sangat tertarik dengan Sang Mahasatwa itu menggenggam kuat dengan kedua tangan dan mendudukkannya di pangkuannya, sambil berkata kepadanya dalam dua bait kalimat berikut:
“Perut burung lain sangat jauh berbeda dengan perutmu:
Pertama-tama Anda makan padinya,
kemudian terbang pergi dengan membawa sejumlah padi juga!
“Apakah Anda mempunyai lumbung padi di sana?
atau apakah Anda sangat membenciku?
Saya bertanya kepadamu, beritahu saya yang sebenarnya—
dimana Anda simpan padi-padi itu?”
Mendengar ini, raja burung nuri menjawabnya dengan bahasa manusia yang semanis madu dalam bait ketujuh berikut:
[280] “Saya tidak membenci Anda, O Kosiya!
Saya juga tidak memiliki lumbung padi;
Suatu ketika di dalam hutan, saya membayar hutang,
dan juga memberikan pinjaman,
Dan di sana saya menyimpan harta karun:
demikianlah jawabanku.”
Kemudian brahmana tersebut bertanya kepadanya:
“Pinjaman apa yang Anda berikan?
Hutang apa yang Anda bayar?
Beritahukan saya harta karun yang Anda simpan itu,
dan Anda boleh terbang dengan bebas nantinya.”
Raja burung nuri menjawab permintaan dari brahmana tersebut dengan menjelaskannya dalam empat bait kalimat berikut:
“Anak-anakku yang masih kecil,
anak-anakku yang lembut yang baru menetas,
yang sayapnya belum tumbuh,
Yang nantinya akan menghidupiku:
kepada mereka saya memberikan pinjaman makanan tersebut.
“Kemudian orang tuaku yang sudah tua,
yang tidak bisa mencari makan seperti kami yang muda ini,
Saya bawakan mereka makanan di dalam paruhku,
kepada mereka saya membayar hutangku.
“Dan burung lain yang sedang terluka,
yang lemah dan sebagainya,
Kepada mereka saya berikan itu sebagai derma:
orang yang bijak menyebut ini sebagai simpananku.
“Inilah pinjaman yang saya berikan,
inilah hutang yang saya bayar,
dan inilah harta karun yang saya simpan.
Sekarang saya telah memberikan penjelasannya,”
Brahmana tersebut senang mendengar cerita berbudi ini dari Sang Mahasatwa dan ia mengucapkan dua bait kalimat berikut ini:
“Alangkah mulia prinsip hidupnya!
Betapa terberkatinya burung ini!
Dari begitu banyak manusia yang hidup di bumi ini
tidak pernah terdengar peraturan demikian.
[281] “Makanlah, makan dimana saja yang Anda inginkan,
dengan semua kawanan burungmu juga;
Dan, burung nuri! Semoga kita berjumpa lagi:
saya suka bertemu denganmu.”
Setelah berkata demikian, ia melihat ke arah Sang Mahasatwa dengan hati yang iba, seolah-olah seperti anak kandungnya sendiri. Kemudian ia melepaskan ikatan dari kakinya, menggosoknya dengan minyak sebanyak seratus kali untuk membersihkannya, mendudukkannya di tempat duduk yang terhormat, memberinya makan jagung manis yang diletakkan di piring emas, dan memberinya minum air gula. Setelah semuanya ini, raja burung nuri memperingatkan brahmana itu untuk berhati-hati, dengan mengucapkan bait kalimat berikut:
“O Kosiya! di tempat tinggalmu di sini
Saya mendapatkan makanan, minuman
dan persahabatan yang hangat.
Anda harus membantu mereka yang memiliki beban,
Hidupi orang tua Anda di masa tua mereka.”
Kemudian brahmana yang berhati gembira itu mengucapkan kebahagiaannya di dalam bait kalimat berikut:
“Pastinya dewi fortuna datang dengan sendirinya hari ini
Ketika saya melihat burung yang tiada bandingannya ini!
Saya akan melakukan kebajikan dan tidak pernah berhenti,
Karena saya mendengar suara yang manis dari burung nuri itu.”
Tetapi Sang Mahasatwa menolak untuk menerima seribu hektar ladang yang ditawarkan oleh brahmana itu kepadanya, hanya menerima delapan hektar. Brahmana tersebut membuat batu pembatas dan memberikan kepemilikannya kepada burung nuri.
Kemudian sambil menaikkan tangan ke atas kepalanya dengan hormat, ia berkata, “Pergilah dengan damai, Tuanku. Hiburlah orang tua Anda yang sedang bersedih,” dan melepaskannya pergi. Dengan perasaan yang amat bahagia, ia mengambil setumpuk padi, membawakannya untuk induknya, dan meletakkannya di depan mereka sambil berkata, “Bangunlah sekarang, orang tuaku tercinta!” Mereka bangun mendengar perkataannya, dengan wajah yang kusam. [282] Kemudian kawanan burung nuri lainnya mulai bertanya secara bersamaan, “Bagaimana Anda bisa bebas, Tuanku?” Ia pun menceritakan semuanya dari awal sampai akhir. Dan Kosiya mengikuti nasehat yang diberikan oleh raja burung nuri itu, memberikan banyak derma kepada orang yang membutuhkan, petapa, dan brahmana.
____________________
Bait kalimat yang terakhir berikut diucapkan oleh Sang Guru, sambil menjelaskan ini:
“Kosiya ini dengan kebahagiaan dan kegembiraan,
Membuat minuman dan makanan yang biasa dan berlimpah:
Dengan makanan dan minuman, ia memberikan kepuasaan dengan benar
Kepada brahmana dan orang suci, dirinya sendiri semuanya baik.”
Setelah selesai menyampaikan uraian ini, Sang Guru berkata, “Demikianlah, para bhikkhu, menghidupi orang tua adalah cara tradisional yang dijalankan oleh orang bijak dan baik di masa lampau.” Kemudian Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini:—(Di akhir kebenarannya, bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian sotapanna:)—“Pada masa itu, pengikut Sang Buddha adalah kawanan burung nuri, dua anggota keluarga kerajaan adalah ayah dan ibu burung nuri tersebut, Channa adalah penjaga ladang, Ananda adalah brahmana, dan saya sendiri adalah raja burung nuri.”
Situasi kejadian ini akan diuraikan di dalam Sāma-Jātaka170.
Kemudian Sang Guru memanggil bhikkhu ini dan bertanya kepadanya, “Benarkah apa yang saya dengar, bhikkhu, bahwa Anda menghidupi umat awam?” “Benar, Bhante.” “Siapakah mereka?” “Ibu dan ayah saya, Guru.” Kata Sang Guru, “Bagus sekali, bhikkhu! Walaupun orang bijak di masa lampau yang dalam wujud hewan tingkat rendah dengan terlahir sebagai burung nuri, tetapi, di saat induknya sudah tua, ia menempatkan mereka di dalam sangkar dan memberi mereka makanan yang dibawa dengan paruhnya sendiri.”
Setelah berkata demikian, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala seorang raja bernama raja Magadha berkuasa di Rajagaha. Pada waktu itu, ada sebuah desa brahmana yang bernama Sālindiya di sebelah timur laut dari kota tersebut. Daerah timur laut ini adalah daerah kepunyaan Magadha.
Ada seorang brahmana bernama Kosiyagotta171 yang tinggal di daerah ini, yang memiliki tanah seluas seribu hektar172 untuk menanam padi. Di saat tanaman padinya mulai meninggi, ia membuat pagar yang kuat dan memberikan tugas penjagaan tanah itu kepada orang-orangnya sendiri, ada yang satu orang lima puluh hektar, ada yang enam puluh hektar, sampai ia membagikan seluas lima ratus hektar tanah kepemilikannya. [277] Sisanya yang lima ratus hektar lagi ia percayakan kepada orang sewaan yang digajinya. Orang tersebut membuat sebuah gubuk untuk tinggal di sana siang dan malam.
Di sebelah timur laut dari daerah ini terdapat hutan yang dipenuhi dengan pohon simbali173 yang tumbuh di atas sebuah bukit yang datar, dan di dalam hutan ini hiduplah sejumlah besar burung nuri.
Waktu itu, Bodhisatta terlahir di dalam kawanan burung nuri tersebut sebagai anak dari raja burung nuri. Ia tumbuh menjadi tampan dan kuat, badannya besar seperti pusat roda kereta.
Ayahnya yang saat itu sudah tua berkata kepadanya, “Saya tidak bisa terbang pergi ke tempat yang jauh lagi. Anda sekarang yang menjaga kawanan burung ini,” dan menyerahkan kepemimpinan kepada anaknya. Mulai dari keesokan harinya, ia tidak mengizinkan induknya untuk pergi mencari makanan. Ia bersama dengan kawanan burung lainnya terbang ke bukit Himalaya dan setelah selesai makan tanaman padi yang tumbuh liar di sana, ia pulang dengan membawa makanan yang cukup untuk kedua induknya, kemudian memberi mereka makan.
Pada suatu hari, kawanan burung nuri itu menanyakan sebuah pertanyaan kepadanya, “Dulu padi yang ada di ladang Magadha sudah siap panen pada waktu seperti sekarang ini. Apakah sekarang ini sudah siap atau belum?” “Pergi lihatlah,” jawabnya, dan mengutus dua ekor burung nuri untuk mencari tahu jawabannya. Kedua burung itu pergi dan hinggap di ladang Magadha yang dijaga oleh orang sewaan tersebut. Mereka makan padinya dan mengambil satu tanaman padi kembali ke dalam hutan, kemudian menjatuhkannya di kaki Sang Mahasatwa sambil berkata, “Demikianlah bentuk padi yang ditanam di sana sekarang ini.”
Keesokan harinya, ia pergi ke ladang tersebut bersama dengan kawanannya. Orang sewaan yang menjaga ladang itu berlari ke sana dan kemari mencoba untuk menghalau burung-burung tersebut, tetapi tidak berhasil. Kawanan burung nuri memakan padinya dan terbang kembali dengan paruh yang kosong, sedangkan raja burung nuri mengumpulkan sejumlah padi dan membawakannya untuk kedua induknya.
Hari berikutnya, burung-burung nuri masih makan padi yang ada di sana dan demikian seterusnya. Kemudian penjaga tersebut mulai berpikir, [278] “Jika burung-burung ini masih makan padi selama beberapa hari lagi, tidak akan ada yang tersisa nantinya. Brahmana itu akan meminta ganti rugi atas padi-padi tersebut kepadaku. Saya akan pergi memberitahunya.” Dengan membawa segenggam penuh beras dan hadiah besertanya, ia pergi menjumpai brahmana tersebut, memberinya salam hormat dan berdiri di satu sisi. “Bagaimana, pelayanku yang baik,” kata sang majikan, “apakah hasil panennya bagus?” “Ya, hasilnya bagus,” jawabnya dan mengucapkan dua bait kalimat berikut ini:
“Hasil panen padi bagus, tetapi
ada yang saya ingin beritahukan kepada Anda,
Burung-burung nuri memakan hasil panen,
saya tidak bisa menghalau mereka.”
“Ada seekor burung, yang terbaik di antara semuanya,
yang pertama-tama memakan hasil panen,
Kemudian membawa pergi sejumlah padi di dalam paruhnya
untuk memenuhi kebutuhan di masa depannya.”
Ketika mendengar hal ini, brahmana tersebut memiliki ketertarikan dalam dirinya terhadap raja burung nuri itu. Ia berkata, “Saudaraku, apakah Anda tahu bagaimana cara membuat perangkap?” “Ya, saya tahu.” Majikan itu kemudian berkata kepadanya dalam bait kalimat berikut ini:
“Kalau begitu, buatlah sebuah perangkap
dari bulu kuda untuk menangkapnya;
Pastikan burung itu tetap hidup
dan bawa ia ke sini kepadaku.”
Penjaga ladang tersebut merasa sangat senang karena tidak ada ganti rugi yang dibebankan kepadanya dan juga tidak membicarakan tentang utang-piutang. Ia langsung pergi dan membuat perangkap bulu kuda, kemudian menyelidiki kapan burung-burung itu datang di hari itu, melihat tempat yang dihinggapi oleh raja kawanan burung itu.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia membuat sebuah sangkar sebesar kendi air dan menyiapkan perangkapnya, kemudian duduk di dalam gubuknya untuk menunggu kedatangan burung-burung tersebut. Raja burung nuri datang di antara kawanan burung lainnya; dikarenakan maksudnya untuk tidak serakah, [279] ia hinggap di tempat yang sama seperti hari kemarin, dengan kaki kanannya tepat masuk di dalam perangkap.
Di saat mengetahui bahwa kakinya terperangkap, ia berpikir, “Jika saya bersuara seperti burung yang tertangkap sekarang juga, saudara-saudaraku akan menjadi sangat ketakutan dan terbang pergi tanpa makan. Saya harus menahan ini sampai mereka selesai makan.”
Ketika akhirnya ia melihat bahwa mereka telah selesai makan, dengan rasa takut akan kehilangan nyawanya, ia tiga kali meneriakkan suara burung yang sedang tertangkap. Semua burung tersebut terbang melarikan diri. Kemudian ia berkata, “Semuanya adalah saudaraku dan tidak ada satupun yang kembali untuk menolongku! Perbuatan jahat apa yang telah kulakukan?” Kemudian ia mengucapkan bait kalimat berikut untuk memarahi mereka:
“Mereka makan, minum, dan
sekarang dengan tergesa-gesa mereka pergi,
Saya hanya masuk dalam perangkap:
perbuatan jahat apa yang telah kulakukan?”
Penjaga itu mendengar teriakannya dan juga suara burung lainnya yang terbang di udara. “Apa itu?” pikirnya. Ia keluar dari gubuknya dan pergi ke tempat ia meletakkan perangkapnya dan melihat raja burung nuri itu di sana. “Burung yang saya inginkan dengan membuat perangkap ini telah tertangkap!” teriaknya dengan sangat gembira. Ia mengeluarkan burung itu dari perangkapnya dan mengikat kedua kakinya bersama.
Ia pergi ke desa Sālindiya dan memberikan burung itu kepada brahmana tersebut. Brahmana yang sangat tertarik dengan Sang Mahasatwa itu menggenggam kuat dengan kedua tangan dan mendudukkannya di pangkuannya, sambil berkata kepadanya dalam dua bait kalimat berikut:
“Perut burung lain sangat jauh berbeda dengan perutmu:
Pertama-tama Anda makan padinya,
kemudian terbang pergi dengan membawa sejumlah padi juga!
“Apakah Anda mempunyai lumbung padi di sana?
atau apakah Anda sangat membenciku?
Saya bertanya kepadamu, beritahu saya yang sebenarnya—
dimana Anda simpan padi-padi itu?”
Mendengar ini, raja burung nuri menjawabnya dengan bahasa manusia yang semanis madu dalam bait ketujuh berikut:
[280] “Saya tidak membenci Anda, O Kosiya!
Saya juga tidak memiliki lumbung padi;
Suatu ketika di dalam hutan, saya membayar hutang,
dan juga memberikan pinjaman,
Dan di sana saya menyimpan harta karun:
demikianlah jawabanku.”
Kemudian brahmana tersebut bertanya kepadanya:
“Pinjaman apa yang Anda berikan?
Hutang apa yang Anda bayar?
Beritahukan saya harta karun yang Anda simpan itu,
dan Anda boleh terbang dengan bebas nantinya.”
Raja burung nuri menjawab permintaan dari brahmana tersebut dengan menjelaskannya dalam empat bait kalimat berikut:
“Anak-anakku yang masih kecil,
anak-anakku yang lembut yang baru menetas,
yang sayapnya belum tumbuh,
Yang nantinya akan menghidupiku:
kepada mereka saya memberikan pinjaman makanan tersebut.
“Kemudian orang tuaku yang sudah tua,
yang tidak bisa mencari makan seperti kami yang muda ini,
Saya bawakan mereka makanan di dalam paruhku,
kepada mereka saya membayar hutangku.
“Dan burung lain yang sedang terluka,
yang lemah dan sebagainya,
Kepada mereka saya berikan itu sebagai derma:
orang yang bijak menyebut ini sebagai simpananku.
“Inilah pinjaman yang saya berikan,
inilah hutang yang saya bayar,
dan inilah harta karun yang saya simpan.
Sekarang saya telah memberikan penjelasannya,”
Brahmana tersebut senang mendengar cerita berbudi ini dari Sang Mahasatwa dan ia mengucapkan dua bait kalimat berikut ini:
“Alangkah mulia prinsip hidupnya!
Betapa terberkatinya burung ini!
Dari begitu banyak manusia yang hidup di bumi ini
tidak pernah terdengar peraturan demikian.
[281] “Makanlah, makan dimana saja yang Anda inginkan,
dengan semua kawanan burungmu juga;
Dan, burung nuri! Semoga kita berjumpa lagi:
saya suka bertemu denganmu.”
Setelah berkata demikian, ia melihat ke arah Sang Mahasatwa dengan hati yang iba, seolah-olah seperti anak kandungnya sendiri. Kemudian ia melepaskan ikatan dari kakinya, menggosoknya dengan minyak sebanyak seratus kali untuk membersihkannya, mendudukkannya di tempat duduk yang terhormat, memberinya makan jagung manis yang diletakkan di piring emas, dan memberinya minum air gula. Setelah semuanya ini, raja burung nuri memperingatkan brahmana itu untuk berhati-hati, dengan mengucapkan bait kalimat berikut:
“O Kosiya! di tempat tinggalmu di sini
Saya mendapatkan makanan, minuman
dan persahabatan yang hangat.
Anda harus membantu mereka yang memiliki beban,
Hidupi orang tua Anda di masa tua mereka.”
Kemudian brahmana yang berhati gembira itu mengucapkan kebahagiaannya di dalam bait kalimat berikut:
“Pastinya dewi fortuna datang dengan sendirinya hari ini
Ketika saya melihat burung yang tiada bandingannya ini!
Saya akan melakukan kebajikan dan tidak pernah berhenti,
Karena saya mendengar suara yang manis dari burung nuri itu.”
Tetapi Sang Mahasatwa menolak untuk menerima seribu hektar ladang yang ditawarkan oleh brahmana itu kepadanya, hanya menerima delapan hektar. Brahmana tersebut membuat batu pembatas dan memberikan kepemilikannya kepada burung nuri.
Kemudian sambil menaikkan tangan ke atas kepalanya dengan hormat, ia berkata, “Pergilah dengan damai, Tuanku. Hiburlah orang tua Anda yang sedang bersedih,” dan melepaskannya pergi. Dengan perasaan yang amat bahagia, ia mengambil setumpuk padi, membawakannya untuk induknya, dan meletakkannya di depan mereka sambil berkata, “Bangunlah sekarang, orang tuaku tercinta!” Mereka bangun mendengar perkataannya, dengan wajah yang kusam. [282] Kemudian kawanan burung nuri lainnya mulai bertanya secara bersamaan, “Bagaimana Anda bisa bebas, Tuanku?” Ia pun menceritakan semuanya dari awal sampai akhir. Dan Kosiya mengikuti nasehat yang diberikan oleh raja burung nuri itu, memberikan banyak derma kepada orang yang membutuhkan, petapa, dan brahmana.
____________________
Bait kalimat yang terakhir berikut diucapkan oleh Sang Guru, sambil menjelaskan ini:
“Kosiya ini dengan kebahagiaan dan kegembiraan,
Membuat minuman dan makanan yang biasa dan berlimpah:
Dengan makanan dan minuman, ia memberikan kepuasaan dengan benar
Kepada brahmana dan orang suci, dirinya sendiri semuanya baik.”
Setelah selesai menyampaikan uraian ini, Sang Guru berkata, “Demikianlah, para bhikkhu, menghidupi orang tua adalah cara tradisional yang dijalankan oleh orang bijak dan baik di masa lampau.” Kemudian Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini:—(Di akhir kebenarannya, bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian sotapanna:)—“Pada masa itu, pengikut Sang Buddha adalah kawanan burung nuri, dua anggota keluarga kerajaan adalah ayah dan ibu burung nuri tersebut, Channa adalah penjaga ladang, Ananda adalah brahmana, dan saya sendiri adalah raja burung nuri.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com