SURUCI-JĀTAKA
Surucijātaka (Ja 489)
“Saya adalah,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di dekat kota Savatthi dalam rumah besar ibu Migāra 203, tentang bagaimana ia, Visakha, upasika yang agung mendapatkan delapan hadiah.
Suatu hari ia mendengar khotbah Dhamma dibabarkan di Jetavana dan pulang ke rumah setelah mengundang Sang Buddha dan rombongan bhikkhu untuk datang keesokan harinya. Tetapi di larut malam hari itu, badai besar menghantam empat benua dunia.
[315] Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut, “Di saat hujan turun di Jetavana, para bhikkhu, demikian juga hujan turun di empat benua dunia. Biarlah diri kalian basah kuyup. Ini adalah badai besar duniaku yang terakhir!”
Maka dengan para bhikkhu, yang semua badannya basah kuyup, dengan kekuatan gaibnya ia menghilang dari Jetavana dan muncul di sebuah ruangan dalam rumah besar Visakha. Visakha berkata dengan keras, “Benar-benar luar biasa! Suatu hal yang misterius! O mukjizat yang dilakukan dengan kekuatan dari Sang Tathagata! Dengan luapan air setinggi lutut, ya, dengan luapan air setinggi pinggang, tidak kaki ataupun jubah dari seorang bhikkhu pun yang menjadi basah!”
Dalam kebahagiaan dan kegembiraan, ia melayani Sang Buddha dan rombongan-Nya. Setelah selesai makan, ia berkata kepada Sang Buddha, “Sebenarnya saya mendambakan hadiah dari Sang Bhagava.” “Visakha, para Tathagata memiliki hadiah di luar jangkauan204.” “Tetapi bagaimana yang diizinkan, bagaimana yang tidak disalahkan?” “Lanjutkan perkataanmu, Visakha.” “Saya mendambakan bahwa sepanjang hidupku, saya berhak untuk memberikan jubah kepada bhikkhu di musim hujan, makanan kepada siapa saja yang datang sebagai tamu, makanan kepada para pendeta yang mengembara, makanan kepada yang sakit, makanan kepada yang melayani si sakit, obat kepada yang sakit, pembagian bubur beras yang tiada hentinya, dan jubah untuk mandi kepada para bhikkhuni seumur hidupku.”
Sang Guru menjawabnya, “Berkah apa yang ada di dalam pandanganmu, Visakha, ketika Anda meminta delapan hadiah ini dari Sang Tathagata?” Ia memberitahu Beliau tentang keuntungan apa yang diharapkannya, dan Beliau berkata, “Bagus, bagus, Visakha, benar-benar bagus, Visakha, bahwasannya ini adalah keuntungan yang Anda harapkan dengan meminta delapan hadiah dari Tathagata.” Kemudian Beliau berkata, “Saya mengabulkan permintaanmu, Visakha.” Setelah mengabulkan permintaannya dan berterima kasih, Beliau pun pergi.
Suatu hari ketika Sang Guru berdiam di taman sebelah timur, mereka mulai membicarakan hal ini di dhammasabhā: “Āvuso, Visakha, si upsika yang agung, meskipun adalah seorang wanita, mendapatkan delapan hadiah dari tangan Dasabala. Ah, alangkah besar sifat-sifat kebajikan dirinya!” Sang Guru masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan. Mereka memberitahu Beliau. Beliau berkata, “Para bhikkhu, ini bukan pertama kalinya wanita ini mendapatkan hadiah dariku, tetapi ia juga mendapatkannya di kehidupan masa lampau,” dan menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka.
____________________
Dahulu kala, berkuasalah seorang raja Suruci di Mithilā (Mithila). Sewaktu mendapatkan seorang putra, raja ini memberinya nama Suruci-Kumāra atau Pangeran Hebat.
Ketika dewasa, ia bertekad untuk belajar di Takkasila. Maka ia pergi ke sana dan duduk di dalam sebuah aula di gerbang kota. [316] Waktu itu, putra dari raja Benares juga, yang bernama Pangeran Brahmadatta, pergi ke tempat yang sama dan duduk di tempat duduk yang sama dengan Suruci. Mereka berbincang, berteman dan pergi menjumpai guru mereka bersama. Mereka membayar uang sekolah dan belajar, tidak lama kemudian mereka menyelesaikan pendidikannya. Kemudian mereka berpamitan kepada guru mereka dan berjalan pulang bersama.
Setelah berjalan beberapa jauh, mereka berhenti di tempat dimana jalannya bercabang. Kemudian mereka berpelukan, dan untuk tetap menjaga kelangsungan persahabatan, mereka membuat kesepakatan bersama: “Jika saya memiliki seorang putra dan Anda memiliki seorang putri, atau jika Anda memiliki seorang putra dan saya seorang putri, kita akan menjodohkan mereka berdua.”
Di saat mereka naik tahta, raja Suruci mendapatkan seorang putra dan kepadanya juga diberikan nama Pangeran Suruci. Brahmadatta mendapatkan seorang putri dan diberi nama Sumedha, wanita yang bijak. Seiring berjalannya waktu, pangeran Suruci tumbuh dewasa, pergi ke Takkasila untuk pendidikannya, dan kembali ke rumah setelah menyelesaikannya.
Kemudian dengan keinginan untuk menunjuknya sebagai raja dengan upacara pemberkatan, ayahnya berpikir dalam dirinya sendiri, “Temanku, raja Benares, memiliki seorang putri, demikian yang dikatakan orang. Saya akan menjadikan putrinya sebagai istri dari anakku.” Dengan tujuan ini, ia mengutus pergi seorang duta dengan membawa hadiah-hadiah mewah.
Tetapi sebelum utusan datang, raja Benares bertanya kepada ratunya, “Ratu, apa penderitaan yang paling menyedihkan bagi seorang wanita?” “Bertengkar dengan sesama istri.” “Kalau begitu, ratuku, untuk menyelamatkan putri kita satusatunya, putri Sumedha, dari penderitaan ini, kita akan menikahkannya dengan orang yang hanya akan memiliki satu istri.” Maka ketika para utusan tersebut datang dan menyebutkan nama putrinya, ia berkata kepada mereka, “Teman-temanku yang baik, benar saya dulu pernah berjanji untuk menikahkan putriku dengan putra temanku. Akan tetapi, kami tidak ingin menempatkannya dalam kerumunan wanita, kami akan menikahkannya dengan orang yang hanya ingin memiliki satu istri, tidak lebih.” Pesan ini disampaikan kepada raja. Raja menjadi tidak senang. “Kerajaan kita adalah kerajaan besar,” katanya, “kota Mithila memiliki luas tujuh yojana dan ukuran luas seluruh kerajaan adalah tiga ratus yojana. Raja yang menguasai daerah demikian sepantasnya memiliki enam belas ribu wanita setidaknya.” Tetapi pangeran Suruci yang mendengar tentang kecantikan Sumedha yang luar biasa, [317] jatuh cinta kepadanya hanya dari mendengar kabarnya. Maka ia mengirim pesan kepada orang tuanya yang berbunyi, “Saya akan menikahinya dan tidak dengan yang lainnya lagi. Apa yang saya inginkan dari kerumunan wanita? Bawalah dia.” Mereka tidak menghalangi keinginan putranya ini dan mengirimkan hadiah mewah dan utusan untuk membawanya ke rumah. Kemudian ia dijadikan ratu, dan mereka berdua disahkan dengan pemberkatan.
Putranya menjadi raja Suruci. Memerintah dengan keadilan, ia menjalani kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan dengan ratunya. Akan tetapi ia tidak memiliki anak dari raja meskipun telah tinggal di dalam istana selama sepuluh ribu tahun.
Kemudian semua penduduk berkumpul bersama di halaman istana, dengan kemarahan. “Ada apa ini?” tanya raja. “Kami tidak memiliki masalah dengan yang lain kecuali ini, bahwasannya Anda tidak memiliki anak untuk menjaga garis keturunan. Anda hanya memiliki seorang ratu, dimana seharusnya seorang pangeran kerajaan memiliki setidaknya enam belas ribu istri. Pilihlah untuk memiliki mereka, Paduka. Istri-istri layak yang lain akan memberikan Anda seorang putra.” “Teman-teman, apa yang kalian katakan ini? Saya telah berjanji untuk tidak beristri lebih dari satu orang, dan karena janji saya inilah saya mendapatkannya sebagai istri. Saya tidak boleh mengingkari janji, tidak boleh ada kerumunan wanita bagiku.” Demikianlah ia menolak permintaan mereka dan mereka pun pergi.
Tetapi Sumedha mendengar apa yang mereka bicarakan tadi. “Raja menolak untuk mengambil selir dikarenakan janji kebenarannya,” pikirnya, “baiklah, saya akan mencari seseorang untuknya.” Dengan menjalankan peranan seorang ibu dan istri bagi raja, Sumedha sendiri memilih seribu orang wanita dari kasta ksatria, seribu dari kalangan pejabat istana, seribu dari perumah tangga, seribu dari semua jenis wanita penari, yang semuanya berjumlah empat ribu, dan memberikan semuanya kepada raja. Dan semua wanita tersebut tinggal di dalam istana selama sepuluh ribu tahun, tetapi tetap tidak ada putra atau putri yang didapatkan oleh raja dari mereka.
Dengan cara yang sama ini, Sumedha membawakan kepada raja empat ribu wanita sebanyak tiga kali, tetapi tetap tidak ada putra atau putri. Demikianlah ia membawakan raja enam belas ribu wanita semuanya. Empat puluh ribu tahun berlalu, yang bisa dikatakan lima puluh ribu tahun waktu yang berlalu, termasuk sepuluh ribu tahun pertama yang dilewati raja berdua dengan Sumedha.
Kemudian semua rakyat berkumpul bersama lagi dengan celaan. “Ada apa lagi sekarang?” tanya raja. [318] “Paduka, perintahkan wanita-wanita Anda berdoa untuk mendapatkan seorang putra.” Raja tidak menolaknya dan memberi perintah kepada mereka untuk melakukannya. Mulai saat itu berdoa untuk mendapatkan putra, mereka menyembah segala macam dewa dan memberikan segala macam sumpah. Akan tetapi, tetap tidak ada putra yang lahir. Kemudian raja memerintahkan Sumedha berdoa untuk mendapatkan seorang putra, dan Sumedha menyetujuinya.
Di hari Uposatha tanggal lima belas bulan itu, ia mengucapkan delapan sila uposatha205 dan duduk bermeditasi dengan objek kebajikan di dalam sebuah ruangan yang megah di sebuah kursi yang nyaman. Sedangkan selir-selir lain berada di taman, membuat sumpah untuk memberikan korban persembahan berupa kambing atau sapi. Dengan besarnya kebajikan dari Sumedha, tempat kediaman Dewa Sakka mulai bergetar. Sakka merenungkan penyebabnya dan mengetahui bahwa Sumedha berdoa untuk mendapatkan seorang putra; Memang ia sudah seharusnya memiliki seorang anak. “Tetapi saya tidak bisa memberikannya putra sembarangan yang tidak bermutu. Saya akan mencari seorang putra yang cocok untuknya.”
Kemudian ia melihat seorang dewa muda yang bernama NaḷaKāra, si penenun keranjang. Ketika ini terjadi pada dirinya, ia sedang dilimpahi dengan pencapaian yang di kehidupan masa lampaunya tinggal di Benares. Di masa pembibitan, ketika sedang dalam perjalanannya ke ladang, ia melihat seorang Pacceka Buddha. Ia menyuruh para pekerja ladangnya untuk menabur benih, sedangkan ia sendiri membawa Pacceka Buddha ke rumahnya, memberikan tempat duduk kepada beliau, dan kemudian mengantarnya ke tepi sungai Gangga. Ia bersama dengan putranya membuat sebuah gubuk, batang pohon ara sebagai fondasinya dan rerumputan yang disatukan sebagai dindingnya; ia juga membuatkan pintu dan jalan setapak untuk tempat berjalan. Ia meminta Pacceka Buddha tersebut tinggal di sana selama tiga bulan, dan setelah musim hujan berakhir, mereka berdua, ayah dan anak, memakaikan tiga jubah kepada beliau dan membiarkan beliau pergi.
Dengan cara yang sama, mereka melayani tujuh orang Pacceka Buddha di dalam gubuk tersebut, memberikan mereka tiga jubah dan membiarkan mereka melanjutkan perjalanan. Demikianlah orang-orang menceritakan bagaimana kedua orang ini, ayah dan anak penenun keranjang, ketika mencari pohon bambu di tepi sungai Gangga dan melihat seorang Pacceka Buddha, akan melakukan hal yang telah disebutkan sebelumnya.
Setelah meninggal, mereka berdua terlahir di alam Tavatimsa dan tinggal di enam alam Dewa secara bergantian dalam urutan yang langsung dan bergiliran, menikmati kemuliaan yang agung di antara para dewa. Keduanya ini berkeinginan untuk mendapatkan tempat di alam Dewa yang lebih tinggi setelah masa mereka habis di tempat yang sebelumnya. Sakka, yang mengetahui bahwa salah satu dari mereka berdua akan menjadi Sang Tathagata, [319] pergi ke depan rumah besar mereka, memberi salam hormat kepadanya, ketika ia bangkit dan menghampirinya, Sakka berkata, “Dewa, Anda harus turun ke alam Manusia.” Tetapi ia menjawab, “O raja, alam Manusia itu penuh kebencian dan menjijikan. Mereka yang hidup di sana melakukan kebajikan dan memberikan derma dengan mendambakan terlahir di alam Dewa. Apa yang harus saya lakukan dengan berada di sana?” “Dewa, Anda akan menikmati semua yang dapat dinikmati di sana dalam kesempurnaan. Anda akan tinggal di dalam sebuah istana yang terbuat dari batu berharga, dua puluh lima yojana tingginya. Semoga Anda menyetujui ini.” Ia menyetujuinya.
Setelah mendapatkan janji persetujuannya, dalam samaran sebagai orang suci, Sakka turun ke taman raja, memperlihatkan dirinya berkeliaran ke sana ke sini di atas para selir tersebut dan berkata, “Kepada siapakah saya harus memberikan berkah seorang putra, orang yang memohon berkah seorang putra?” “Kepada saya, Tuan, kepada saya!” beribu-ribu tangan menunjuk ke atas. Kemudian Sakka berkata lagi, “Saya memberikan putra kepada orang yang bajik. Apa kebajikanmu, bagaimana kehidupanmu dan apa perkataanmu?” Mereka menurunkan tangan mereka sambil berkata, “Jika Anda ingin memberikan hadiah kebajikan, pergilah cari Sumedha.” Ia pun terbang di udara dan berhenti di depan jendela kamar tidurnya.
Kemudian mereka datang kepadanya dan berkata, “Lihat, ratu, seorang raja para dewa turun datang dari udara dan sedang berdiri di depan jendela kamar tidur Anda, dengan menawarkan hadiah seorang putra!” Dengan gerakan yang cepat, ia beranjak ke sana, membuka jendela dan berkata, “Apakah ini benar, Tuan, apa yang saya dengar bahwa Anda menawarkan berkah seorang putra kepada seorang wanita yang bajik?” “Benar, dan itu yang saya lakukan.” “Kalau begitu, berikanlah itu kepadaku.” “Apa kebajikanmu, beritahu saya. Dan jika Anda dapat membuatku merasa senang, saya akan memberikan hadiah ini kepadamu.” Kemudian untuk memaparkan kebajikannya, Sumedha mengucapkan lima belas bait kalimat berikut:
“Saya adalah ratu yang berkuasa dari raja Suruci,
wanita pertama yang dinikahinya;
Dengan Suruci, saya melewati masa perkawinan
selama sepuluh ribu tahun.
“Suruci, raja Mithila, tempat utama Videha,
Saya tidak pernah menolak keinginannya, atau
memperlakukannya dengan jahat atau keji,
Dalam perbuatan atau pikiran atau perkataan,
baik di belakang maupun di depannya.
[320] “Jika ini benar, O yang suci, maka putra itu
dapat diberikan kepadaku:
Tetapi jika bibir saya mengucapkan kata-kata bohong,
maka kepala saya akan hancur menjadi tujuh bagian.
“Orang tua tercinta dari suamiku,
selama ini mereka memberikan arahan,
Di saat mereka hidup, memberikanku
pelatihan dengan cara yang benar.
“Keinginanku adalah untuk tidak melukai kehidupan apapun,
dan bersedia melakukan kebajikan:
Saya melayani mereka dengan penuh perhatian,
siang dan malam.
“Jika ini benar, dan seterusnya.
“Tidak kurang dari enam belas ribu orang wanita
menjadi rekan sesama istri:
Walaupun demikian, brahmana, tidak pernah ada kecemburuan
atau kemurkaan di antara kami.
“Saya bergembira atas nasib baik mereka,
mereka masing-masing adalah wanita yang baik;
Hatiku lembut terhadap semua istri ini
sama seperti terhadap diriku sendiri.
“Jika ini benar, dan seterusnya.
“Para budak, utusan dan pelayan,
semua yang berada di tempat ini,
saya berikan mereka makanan, saya memperlakukan mereka dengan baik,
dengan wajah senang nan ceria.
“Jika ini benar, dan seterusnya.
“Para petapa, brahmana, atau orang apapun yang terlihat
datang meminta derma kemari,
Selalu saya hibur dengan makanan dan minuman,
dengan kedua tanganku ini yang dicuci bersih.
“Jika ini benar, dan seterusnya.
“Dalam setiap dua minggu pada tanggal delapan,
tanggal empat belas, lima belas,
Saya menjalankan hari puasa khusus,
saya berjalan dalam cara-cara yang suci206.
“Jika ini benar, O yang suci, maka anak itu
dapat diberikan kepadaku:
Tetapi jika bibir saya mengucapkan kata-kata bohong,
maka kepala saya akan hancur menjadi tujuh bagian.”
[321] Sebenarnya seratus syair atau seribu syair tidak cukup untuk memuji kebajikannya. Tetapi Sakka mengizinkannya untuk mengucapkan kebajikannya dalam lima belas bait kalimat tadi tanpa dipotong meskipun ia mempunyai banyak hal yang harus dilakukan di tempat yang lain, dan kemudian ia berkata, “Kebajikan Anda banyak sekali dan luar biasa,” dan mengucapkan dua bait kalimat berikut ini:
“Semua kebajikan luar biasa ini,
wanita yang berjaya, O putri dari seorang raja,
Ada di dalam diri Anda, yang Anda sendiri,
O ratu, katakan tadi.
“Seorang ksatria, terlahir dari keturunan mulia,
yang berjaya dan bijak,
Raja Videha yang adil,
putramu akan segera muncul.”
Ketika mendengar perkataan ini, dengan kebahagiaan yang amat sangat ia mengucapkan dua bait kalimat berikut dengan bertanya kepadanya:
[322] “Berpenampilan kusut, dengan ditutupi oleh debu dan kotoran,
melayang tinggi di udara,
Anda berbicara dengan suara indah
yang menyentuh hatiku.
“Apakah Anda adalah seorang dewa yang agung,
O yang suci, dan tinggal di alam Surga di atas sana?
Beritahu saya dari mana Anda datang,
beritahu saya siapakah diri Anda sebenarnya!”
Sakka memberitahunya dalam enam bait kalimat berikut:
“Yang Anda lihat adalah Sakka si mata seratus,
demikianlah para dewa menyebutku
Ketika mereka biasa berkumpul bersama
di Aula Keadilan surga.
“Ketika para wanita yang bajik, bijak
dan bagus ditemukan di dunia ini,
Para istri yang sejati, bersikap baik kepada ibu sang suami,
seperti dalam batas kewajibannya,
“Ketika seorang wanita yang hatinya demikian bijak dan baik
dalam perbuatan diketahui oleh mereka,
Kepadanya, meskipun wanita, mereka para dewa
akan datang dengan sendirinya.
“Jadi ratu, melalui kehidupan yang berharga, melalui
simpanan dari perbuatan kebajikan yang dilakukan,
Seorang putra akan lahir, segala kebahagiaan yang didambakan hati,
telah Anda dapatkan.
“Demikian Anda menuai hasil perbuatanmu, putri,
dengan kejayaan di bumi,
Dan sesudahnya akan menjalani
kelahiran yang baru di alam Dewa.
“O yang bijak, O yang terberkati!
Tetaplah hidup, lestarikanlah perbuatan benarmu:
Sekarang saya harus kembali ke alam Surga,
diliputi dengan rasa senang melihatmu.”
[323] “Saya ada urusan yang harus dilakukan di alam Dewa,” katanya, “oleh karena itu, saya akan pergi, tetapi tetaplah Anda menjadi waspada (jangan lengah).” Setelah memberikan nasehat ini, ia pun pergi.
Di pagi hari, dewa NaḷaKāra didapatkan di dalam rahim Sumedha. Ketika mengetahuinya, ia memberitahu raja dan raja melakukan apa saja yang dibutuhkan oleh seorang wanita dengan anaknya 207 . Di akhir bulan kesepuluh, Sumedha melahirkan seorang putra, dan mereka memberinya nama Mahāpanāda.
Semua penduduk dari kedua negeri datang dengan meneriakkan, “Paduka, kami bawakan ini untuk uang susu anak Anda,” dan mereka masing-masing melemparkan satu koin ke dalam halaman istana raja, sampai terdapat sebuah tumpukan yang besar sekali. Raja tidak berkeinginan untuk menerima ini, tetapi mereka tidak mau mengambil kembali uangnya, tetapi ketika hendak pergi, mereka berkata, “Paduka, ketika anak itu tumbuh dewasa, simpanan uang tersebut akan berguna untuknya.”
Anak laki-laki itu dibesarkan di tengah-tengah kemewahan dan ketika ia dewasa, ya, tidak lebih dari enam belas tahun, ia sudah sempurna dalam semua keahlian. Memikirkan tentang usia anaknya, raja berkata kepada ratu, “Ratuku, di saat tiba waktunya untuk upacara pelantikan anak kita, mari kita membuatkan sebuah istana yang bagus untuknya dalam kesempatan itu.” Sumedha bersedia melakukan hal tersebut.
Raja memanggil orang-orang yang ahli dalam menentukan tempat yang beruntung dari suatu bangunan dan berkata, “Teman-temanku, dapatkan seorang tukang batu yang hebat dan bangunlah sebuah istana yang letaknya tidak jauh dari istanaku. Istana ini untuk putraku yang nantinya akan disahkan sebagai pengganti diriku.” Mereka mengiyakannya dan kemudian mencari di permukaan bumi.
Pada waktu itu, tahta Dewa Sakka menjadi panas. Setelah mengetahui hal ini, ia memanggil Vissakamma dan berkata, “Pergilah, Vissakamma-ku yang baik, buat sebuah istana yang panjang dan lebarnya setengah yojana dan tingginya dua puluh yojana, semuanya dengan batu berharga.” Vissakamma mengubah wujudnya menjadi seorang tukang batu, menghampiri para pekerja yang lain itu dan berkata, “Pergilah makan sarapan pagi kalian, kemudian baru kembali.” Setelah demikian menyingkirkan orang-orang tersebut, dengan anggotanya ia pun bekerja; saat itu juga terbangunlah sebuah istana, tujuh tingkat tingginya, dengan ukuran yang telah disebutkan sebelumnya.
Kemudian ketiga upacara berikut ini dilaksanakan secara bersamaan bagi Mahā-panāda: upacara untuk mengesahkan istana, upacara untuk membentangkan payung kerajaan di atasnya, upacara untuk pernikahannya. Pada saat upacara, semua penduduk dari kedua negeri berkumpul bersama dan menghabiskan waktu selama tujuh tahun untuk berpesta, tetapi raja juga tidak membubarkan mereka. Pakaian mereka, perhiasan, makanan, minuman [324] dan semuanya, benda-benda ini disediakan oleh keluarga kerajaan. Di akhir tahun ketujuh, mereka mulai menggerutu, dan raja Suruci menanyakan sebabnya. “Paduka,” kata mereka, “Sementara kita bersenang-senang di pesta ini, tujuh tahun telah berlalu. Kapankah pesta ini akan berakhir?” Ia menjawab, “Teman-teman baikku, meskipun ada semua ini, tetapi putraku tidak pernah tertawa satu kali pun. Jadi di saat ia tertawa, baru kita akan bubar.”
Kemudian kerumunan orang tersebut memukul drum untuk mengumpulkan para pemain akrobat dan pemain sulap. Ribuan pemain akrobat terkumpul, dan mereka membagi diri di dalam tujuh kelompok dan menari. Akan tetapi mereka tidak dapat membuat pangeran tertawa. Tentu saja ia yang sudah pernah melihat tarian penari surga tidak akan menyukai tarian yang demikian ini. Kemudian datang dua orang pemain sulap yang pintar, Bhaṇḍu-kaṇṇa dan Paṇḍu-kaṇṇa, Telinga pendek dan Telinga kuning, dan mereka berkata, “Kami akan membuat pangeran tertawa.” Bhaṇḍu-kaṇṇa membuat sebuah pohon mangga yang besar, yang dinamakannya Sanspareil, tumbuh di depan pintu istana. Kemudian ia melempar segulung tali, membuatnya sangkut di cabang pohon mangga itu, dan memanjat naik ke pohon mangga Sanspareil. Waktu itu, mangga Sanspareil disebut orang sebagai mangga Vessavaṇa 208. Dan seperti biasa, para budak Vessavaṇa menangkapnya, memotongnya menjadi berkeping-keping dan melemparkan potongan-potongannya ke bawah.
Pemain sulap yang satunya lagi mengumpulkan dan menuangkan air pada potongan-potongan tersebut. Laki-laki itu bangkit kembali dengan mengenakan pakaian atas dan bawah yang terbuat dari bunga dan mulai menari kembali. Bahkan tontonan seperti ini tidak membuat pangeran tertawa. Kemudian Paṇḍu-kaṇṇa meminta anak buahnya untuk menumpukkan kayu bakar di halaman istana dan masuk ke dalam bara api bersama dengan mereka. Ketika api telah padam, orang-orang memercikkan air pada tumpukan kayu bakar tersebut. Paṇḍu-kaṇṇa bersama dengan anak buahnya bangkit kembali sambil menari dengan mengenakan pakaian atas dan bawah yang terbuat dari bunga. Ketika mengetahui bahwa pemain sulap ini tidak dapat membuat pangeran tertawa, orang-orang menjadi marah. Sakka, yang mengetahui masalah ini, mengutus seorang penari surga dengan memintanya untuk membuat pangeran Mahā-panāda tertawa. Kemudian penari itu datang dan tetap melayang di udara di atas halaman istana kerajaan, [325] dan melakukan apa yang disebut dengan tarian setengah badan: satu tangan, satu kaki, satu mata, satu gigi, menari-nari, melompat-lompat, munculmenghilang di sana sini, sedangkan anggota tubuh yang lainnya lagi tetap diam. Mahā-panāda tersenyum sedikit sewaktu melihat ini. Tetapi kerumunan orang itu tertawa terbahak-bahak, tidak bisa berhenti tertawa, tertawa sampai kehilangan akal sehat, tidak bisa mengendalikan tubuh mereka, berguling-guling di halaman istana kerajaan. Itulah akhir dari pesta tersebut. Sisanya—
Panāda yang agung, raja yang berkuasa,
Dengan istananya yang semuanya terbuat dari emas,
—akan dijelaskan di dalam Mahā-Panāda-Jātaka209.
Raja Mahā-panāda melakukan kebajikan dan memberikan derma. Setelah meninggal dunia, terlahir di alam Dewa210.
____________________
Setelah selesai menyampaikan uraian ini, Sang Guru berkata, “Demikianlah, para bhikkhu, Visakha mendapatkan hadiah dariku sebelumnya,” dan kemudian Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, Bhaddaji adalah Mahā-panāda, Visakha adalah ratu Sumedha, Ananda adalah Vissakamma, dan saya sendiri adalah Sakka.”
Suatu hari ia mendengar khotbah Dhamma dibabarkan di Jetavana dan pulang ke rumah setelah mengundang Sang Buddha dan rombongan bhikkhu untuk datang keesokan harinya. Tetapi di larut malam hari itu, badai besar menghantam empat benua dunia.
[315] Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut, “Di saat hujan turun di Jetavana, para bhikkhu, demikian juga hujan turun di empat benua dunia. Biarlah diri kalian basah kuyup. Ini adalah badai besar duniaku yang terakhir!”
Maka dengan para bhikkhu, yang semua badannya basah kuyup, dengan kekuatan gaibnya ia menghilang dari Jetavana dan muncul di sebuah ruangan dalam rumah besar Visakha. Visakha berkata dengan keras, “Benar-benar luar biasa! Suatu hal yang misterius! O mukjizat yang dilakukan dengan kekuatan dari Sang Tathagata! Dengan luapan air setinggi lutut, ya, dengan luapan air setinggi pinggang, tidak kaki ataupun jubah dari seorang bhikkhu pun yang menjadi basah!”
Dalam kebahagiaan dan kegembiraan, ia melayani Sang Buddha dan rombongan-Nya. Setelah selesai makan, ia berkata kepada Sang Buddha, “Sebenarnya saya mendambakan hadiah dari Sang Bhagava.” “Visakha, para Tathagata memiliki hadiah di luar jangkauan204.” “Tetapi bagaimana yang diizinkan, bagaimana yang tidak disalahkan?” “Lanjutkan perkataanmu, Visakha.” “Saya mendambakan bahwa sepanjang hidupku, saya berhak untuk memberikan jubah kepada bhikkhu di musim hujan, makanan kepada siapa saja yang datang sebagai tamu, makanan kepada para pendeta yang mengembara, makanan kepada yang sakit, makanan kepada yang melayani si sakit, obat kepada yang sakit, pembagian bubur beras yang tiada hentinya, dan jubah untuk mandi kepada para bhikkhuni seumur hidupku.”
Sang Guru menjawabnya, “Berkah apa yang ada di dalam pandanganmu, Visakha, ketika Anda meminta delapan hadiah ini dari Sang Tathagata?” Ia memberitahu Beliau tentang keuntungan apa yang diharapkannya, dan Beliau berkata, “Bagus, bagus, Visakha, benar-benar bagus, Visakha, bahwasannya ini adalah keuntungan yang Anda harapkan dengan meminta delapan hadiah dari Tathagata.” Kemudian Beliau berkata, “Saya mengabulkan permintaanmu, Visakha.” Setelah mengabulkan permintaannya dan berterima kasih, Beliau pun pergi.
Suatu hari ketika Sang Guru berdiam di taman sebelah timur, mereka mulai membicarakan hal ini di dhammasabhā: “Āvuso, Visakha, si upsika yang agung, meskipun adalah seorang wanita, mendapatkan delapan hadiah dari tangan Dasabala. Ah, alangkah besar sifat-sifat kebajikan dirinya!” Sang Guru masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan. Mereka memberitahu Beliau. Beliau berkata, “Para bhikkhu, ini bukan pertama kalinya wanita ini mendapatkan hadiah dariku, tetapi ia juga mendapatkannya di kehidupan masa lampau,” dan menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka.
____________________
Dahulu kala, berkuasalah seorang raja Suruci di Mithilā (Mithila). Sewaktu mendapatkan seorang putra, raja ini memberinya nama Suruci-Kumāra atau Pangeran Hebat.
Ketika dewasa, ia bertekad untuk belajar di Takkasila. Maka ia pergi ke sana dan duduk di dalam sebuah aula di gerbang kota. [316] Waktu itu, putra dari raja Benares juga, yang bernama Pangeran Brahmadatta, pergi ke tempat yang sama dan duduk di tempat duduk yang sama dengan Suruci. Mereka berbincang, berteman dan pergi menjumpai guru mereka bersama. Mereka membayar uang sekolah dan belajar, tidak lama kemudian mereka menyelesaikan pendidikannya. Kemudian mereka berpamitan kepada guru mereka dan berjalan pulang bersama.
Setelah berjalan beberapa jauh, mereka berhenti di tempat dimana jalannya bercabang. Kemudian mereka berpelukan, dan untuk tetap menjaga kelangsungan persahabatan, mereka membuat kesepakatan bersama: “Jika saya memiliki seorang putra dan Anda memiliki seorang putri, atau jika Anda memiliki seorang putra dan saya seorang putri, kita akan menjodohkan mereka berdua.”
Di saat mereka naik tahta, raja Suruci mendapatkan seorang putra dan kepadanya juga diberikan nama Pangeran Suruci. Brahmadatta mendapatkan seorang putri dan diberi nama Sumedha, wanita yang bijak. Seiring berjalannya waktu, pangeran Suruci tumbuh dewasa, pergi ke Takkasila untuk pendidikannya, dan kembali ke rumah setelah menyelesaikannya.
Kemudian dengan keinginan untuk menunjuknya sebagai raja dengan upacara pemberkatan, ayahnya berpikir dalam dirinya sendiri, “Temanku, raja Benares, memiliki seorang putri, demikian yang dikatakan orang. Saya akan menjadikan putrinya sebagai istri dari anakku.” Dengan tujuan ini, ia mengutus pergi seorang duta dengan membawa hadiah-hadiah mewah.
Tetapi sebelum utusan datang, raja Benares bertanya kepada ratunya, “Ratu, apa penderitaan yang paling menyedihkan bagi seorang wanita?” “Bertengkar dengan sesama istri.” “Kalau begitu, ratuku, untuk menyelamatkan putri kita satusatunya, putri Sumedha, dari penderitaan ini, kita akan menikahkannya dengan orang yang hanya akan memiliki satu istri.” Maka ketika para utusan tersebut datang dan menyebutkan nama putrinya, ia berkata kepada mereka, “Teman-temanku yang baik, benar saya dulu pernah berjanji untuk menikahkan putriku dengan putra temanku. Akan tetapi, kami tidak ingin menempatkannya dalam kerumunan wanita, kami akan menikahkannya dengan orang yang hanya ingin memiliki satu istri, tidak lebih.” Pesan ini disampaikan kepada raja. Raja menjadi tidak senang. “Kerajaan kita adalah kerajaan besar,” katanya, “kota Mithila memiliki luas tujuh yojana dan ukuran luas seluruh kerajaan adalah tiga ratus yojana. Raja yang menguasai daerah demikian sepantasnya memiliki enam belas ribu wanita setidaknya.” Tetapi pangeran Suruci yang mendengar tentang kecantikan Sumedha yang luar biasa, [317] jatuh cinta kepadanya hanya dari mendengar kabarnya. Maka ia mengirim pesan kepada orang tuanya yang berbunyi, “Saya akan menikahinya dan tidak dengan yang lainnya lagi. Apa yang saya inginkan dari kerumunan wanita? Bawalah dia.” Mereka tidak menghalangi keinginan putranya ini dan mengirimkan hadiah mewah dan utusan untuk membawanya ke rumah. Kemudian ia dijadikan ratu, dan mereka berdua disahkan dengan pemberkatan.
Putranya menjadi raja Suruci. Memerintah dengan keadilan, ia menjalani kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan dengan ratunya. Akan tetapi ia tidak memiliki anak dari raja meskipun telah tinggal di dalam istana selama sepuluh ribu tahun.
Kemudian semua penduduk berkumpul bersama di halaman istana, dengan kemarahan. “Ada apa ini?” tanya raja. “Kami tidak memiliki masalah dengan yang lain kecuali ini, bahwasannya Anda tidak memiliki anak untuk menjaga garis keturunan. Anda hanya memiliki seorang ratu, dimana seharusnya seorang pangeran kerajaan memiliki setidaknya enam belas ribu istri. Pilihlah untuk memiliki mereka, Paduka. Istri-istri layak yang lain akan memberikan Anda seorang putra.” “Teman-teman, apa yang kalian katakan ini? Saya telah berjanji untuk tidak beristri lebih dari satu orang, dan karena janji saya inilah saya mendapatkannya sebagai istri. Saya tidak boleh mengingkari janji, tidak boleh ada kerumunan wanita bagiku.” Demikianlah ia menolak permintaan mereka dan mereka pun pergi.
Tetapi Sumedha mendengar apa yang mereka bicarakan tadi. “Raja menolak untuk mengambil selir dikarenakan janji kebenarannya,” pikirnya, “baiklah, saya akan mencari seseorang untuknya.” Dengan menjalankan peranan seorang ibu dan istri bagi raja, Sumedha sendiri memilih seribu orang wanita dari kasta ksatria, seribu dari kalangan pejabat istana, seribu dari perumah tangga, seribu dari semua jenis wanita penari, yang semuanya berjumlah empat ribu, dan memberikan semuanya kepada raja. Dan semua wanita tersebut tinggal di dalam istana selama sepuluh ribu tahun, tetapi tetap tidak ada putra atau putri yang didapatkan oleh raja dari mereka.
Dengan cara yang sama ini, Sumedha membawakan kepada raja empat ribu wanita sebanyak tiga kali, tetapi tetap tidak ada putra atau putri. Demikianlah ia membawakan raja enam belas ribu wanita semuanya. Empat puluh ribu tahun berlalu, yang bisa dikatakan lima puluh ribu tahun waktu yang berlalu, termasuk sepuluh ribu tahun pertama yang dilewati raja berdua dengan Sumedha.
Kemudian semua rakyat berkumpul bersama lagi dengan celaan. “Ada apa lagi sekarang?” tanya raja. [318] “Paduka, perintahkan wanita-wanita Anda berdoa untuk mendapatkan seorang putra.” Raja tidak menolaknya dan memberi perintah kepada mereka untuk melakukannya. Mulai saat itu berdoa untuk mendapatkan putra, mereka menyembah segala macam dewa dan memberikan segala macam sumpah. Akan tetapi, tetap tidak ada putra yang lahir. Kemudian raja memerintahkan Sumedha berdoa untuk mendapatkan seorang putra, dan Sumedha menyetujuinya.
Di hari Uposatha tanggal lima belas bulan itu, ia mengucapkan delapan sila uposatha205 dan duduk bermeditasi dengan objek kebajikan di dalam sebuah ruangan yang megah di sebuah kursi yang nyaman. Sedangkan selir-selir lain berada di taman, membuat sumpah untuk memberikan korban persembahan berupa kambing atau sapi. Dengan besarnya kebajikan dari Sumedha, tempat kediaman Dewa Sakka mulai bergetar. Sakka merenungkan penyebabnya dan mengetahui bahwa Sumedha berdoa untuk mendapatkan seorang putra; Memang ia sudah seharusnya memiliki seorang anak. “Tetapi saya tidak bisa memberikannya putra sembarangan yang tidak bermutu. Saya akan mencari seorang putra yang cocok untuknya.”
Kemudian ia melihat seorang dewa muda yang bernama NaḷaKāra, si penenun keranjang. Ketika ini terjadi pada dirinya, ia sedang dilimpahi dengan pencapaian yang di kehidupan masa lampaunya tinggal di Benares. Di masa pembibitan, ketika sedang dalam perjalanannya ke ladang, ia melihat seorang Pacceka Buddha. Ia menyuruh para pekerja ladangnya untuk menabur benih, sedangkan ia sendiri membawa Pacceka Buddha ke rumahnya, memberikan tempat duduk kepada beliau, dan kemudian mengantarnya ke tepi sungai Gangga. Ia bersama dengan putranya membuat sebuah gubuk, batang pohon ara sebagai fondasinya dan rerumputan yang disatukan sebagai dindingnya; ia juga membuatkan pintu dan jalan setapak untuk tempat berjalan. Ia meminta Pacceka Buddha tersebut tinggal di sana selama tiga bulan, dan setelah musim hujan berakhir, mereka berdua, ayah dan anak, memakaikan tiga jubah kepada beliau dan membiarkan beliau pergi.
Dengan cara yang sama, mereka melayani tujuh orang Pacceka Buddha di dalam gubuk tersebut, memberikan mereka tiga jubah dan membiarkan mereka melanjutkan perjalanan. Demikianlah orang-orang menceritakan bagaimana kedua orang ini, ayah dan anak penenun keranjang, ketika mencari pohon bambu di tepi sungai Gangga dan melihat seorang Pacceka Buddha, akan melakukan hal yang telah disebutkan sebelumnya.
Setelah meninggal, mereka berdua terlahir di alam Tavatimsa dan tinggal di enam alam Dewa secara bergantian dalam urutan yang langsung dan bergiliran, menikmati kemuliaan yang agung di antara para dewa. Keduanya ini berkeinginan untuk mendapatkan tempat di alam Dewa yang lebih tinggi setelah masa mereka habis di tempat yang sebelumnya. Sakka, yang mengetahui bahwa salah satu dari mereka berdua akan menjadi Sang Tathagata, [319] pergi ke depan rumah besar mereka, memberi salam hormat kepadanya, ketika ia bangkit dan menghampirinya, Sakka berkata, “Dewa, Anda harus turun ke alam Manusia.” Tetapi ia menjawab, “O raja, alam Manusia itu penuh kebencian dan menjijikan. Mereka yang hidup di sana melakukan kebajikan dan memberikan derma dengan mendambakan terlahir di alam Dewa. Apa yang harus saya lakukan dengan berada di sana?” “Dewa, Anda akan menikmati semua yang dapat dinikmati di sana dalam kesempurnaan. Anda akan tinggal di dalam sebuah istana yang terbuat dari batu berharga, dua puluh lima yojana tingginya. Semoga Anda menyetujui ini.” Ia menyetujuinya.
Setelah mendapatkan janji persetujuannya, dalam samaran sebagai orang suci, Sakka turun ke taman raja, memperlihatkan dirinya berkeliaran ke sana ke sini di atas para selir tersebut dan berkata, “Kepada siapakah saya harus memberikan berkah seorang putra, orang yang memohon berkah seorang putra?” “Kepada saya, Tuan, kepada saya!” beribu-ribu tangan menunjuk ke atas. Kemudian Sakka berkata lagi, “Saya memberikan putra kepada orang yang bajik. Apa kebajikanmu, bagaimana kehidupanmu dan apa perkataanmu?” Mereka menurunkan tangan mereka sambil berkata, “Jika Anda ingin memberikan hadiah kebajikan, pergilah cari Sumedha.” Ia pun terbang di udara dan berhenti di depan jendela kamar tidurnya.
Kemudian mereka datang kepadanya dan berkata, “Lihat, ratu, seorang raja para dewa turun datang dari udara dan sedang berdiri di depan jendela kamar tidur Anda, dengan menawarkan hadiah seorang putra!” Dengan gerakan yang cepat, ia beranjak ke sana, membuka jendela dan berkata, “Apakah ini benar, Tuan, apa yang saya dengar bahwa Anda menawarkan berkah seorang putra kepada seorang wanita yang bajik?” “Benar, dan itu yang saya lakukan.” “Kalau begitu, berikanlah itu kepadaku.” “Apa kebajikanmu, beritahu saya. Dan jika Anda dapat membuatku merasa senang, saya akan memberikan hadiah ini kepadamu.” Kemudian untuk memaparkan kebajikannya, Sumedha mengucapkan lima belas bait kalimat berikut:
“Saya adalah ratu yang berkuasa dari raja Suruci,
wanita pertama yang dinikahinya;
Dengan Suruci, saya melewati masa perkawinan
selama sepuluh ribu tahun.
“Suruci, raja Mithila, tempat utama Videha,
Saya tidak pernah menolak keinginannya, atau
memperlakukannya dengan jahat atau keji,
Dalam perbuatan atau pikiran atau perkataan,
baik di belakang maupun di depannya.
[320] “Jika ini benar, O yang suci, maka putra itu
dapat diberikan kepadaku:
Tetapi jika bibir saya mengucapkan kata-kata bohong,
maka kepala saya akan hancur menjadi tujuh bagian.
“Orang tua tercinta dari suamiku,
selama ini mereka memberikan arahan,
Di saat mereka hidup, memberikanku
pelatihan dengan cara yang benar.
“Keinginanku adalah untuk tidak melukai kehidupan apapun,
dan bersedia melakukan kebajikan:
Saya melayani mereka dengan penuh perhatian,
siang dan malam.
“Jika ini benar, dan seterusnya.
“Tidak kurang dari enam belas ribu orang wanita
menjadi rekan sesama istri:
Walaupun demikian, brahmana, tidak pernah ada kecemburuan
atau kemurkaan di antara kami.
“Saya bergembira atas nasib baik mereka,
mereka masing-masing adalah wanita yang baik;
Hatiku lembut terhadap semua istri ini
sama seperti terhadap diriku sendiri.
“Jika ini benar, dan seterusnya.
“Para budak, utusan dan pelayan,
semua yang berada di tempat ini,
saya berikan mereka makanan, saya memperlakukan mereka dengan baik,
dengan wajah senang nan ceria.
“Jika ini benar, dan seterusnya.
“Para petapa, brahmana, atau orang apapun yang terlihat
datang meminta derma kemari,
Selalu saya hibur dengan makanan dan minuman,
dengan kedua tanganku ini yang dicuci bersih.
“Jika ini benar, dan seterusnya.
“Dalam setiap dua minggu pada tanggal delapan,
tanggal empat belas, lima belas,
Saya menjalankan hari puasa khusus,
saya berjalan dalam cara-cara yang suci206.
“Jika ini benar, O yang suci, maka anak itu
dapat diberikan kepadaku:
Tetapi jika bibir saya mengucapkan kata-kata bohong,
maka kepala saya akan hancur menjadi tujuh bagian.”
[321] Sebenarnya seratus syair atau seribu syair tidak cukup untuk memuji kebajikannya. Tetapi Sakka mengizinkannya untuk mengucapkan kebajikannya dalam lima belas bait kalimat tadi tanpa dipotong meskipun ia mempunyai banyak hal yang harus dilakukan di tempat yang lain, dan kemudian ia berkata, “Kebajikan Anda banyak sekali dan luar biasa,” dan mengucapkan dua bait kalimat berikut ini:
“Semua kebajikan luar biasa ini,
wanita yang berjaya, O putri dari seorang raja,
Ada di dalam diri Anda, yang Anda sendiri,
O ratu, katakan tadi.
“Seorang ksatria, terlahir dari keturunan mulia,
yang berjaya dan bijak,
Raja Videha yang adil,
putramu akan segera muncul.”
Ketika mendengar perkataan ini, dengan kebahagiaan yang amat sangat ia mengucapkan dua bait kalimat berikut dengan bertanya kepadanya:
[322] “Berpenampilan kusut, dengan ditutupi oleh debu dan kotoran,
melayang tinggi di udara,
Anda berbicara dengan suara indah
yang menyentuh hatiku.
“Apakah Anda adalah seorang dewa yang agung,
O yang suci, dan tinggal di alam Surga di atas sana?
Beritahu saya dari mana Anda datang,
beritahu saya siapakah diri Anda sebenarnya!”
Sakka memberitahunya dalam enam bait kalimat berikut:
“Yang Anda lihat adalah Sakka si mata seratus,
demikianlah para dewa menyebutku
Ketika mereka biasa berkumpul bersama
di Aula Keadilan surga.
“Ketika para wanita yang bajik, bijak
dan bagus ditemukan di dunia ini,
Para istri yang sejati, bersikap baik kepada ibu sang suami,
seperti dalam batas kewajibannya,
“Ketika seorang wanita yang hatinya demikian bijak dan baik
dalam perbuatan diketahui oleh mereka,
Kepadanya, meskipun wanita, mereka para dewa
akan datang dengan sendirinya.
“Jadi ratu, melalui kehidupan yang berharga, melalui
simpanan dari perbuatan kebajikan yang dilakukan,
Seorang putra akan lahir, segala kebahagiaan yang didambakan hati,
telah Anda dapatkan.
“Demikian Anda menuai hasil perbuatanmu, putri,
dengan kejayaan di bumi,
Dan sesudahnya akan menjalani
kelahiran yang baru di alam Dewa.
“O yang bijak, O yang terberkati!
Tetaplah hidup, lestarikanlah perbuatan benarmu:
Sekarang saya harus kembali ke alam Surga,
diliputi dengan rasa senang melihatmu.”
[323] “Saya ada urusan yang harus dilakukan di alam Dewa,” katanya, “oleh karena itu, saya akan pergi, tetapi tetaplah Anda menjadi waspada (jangan lengah).” Setelah memberikan nasehat ini, ia pun pergi.
Di pagi hari, dewa NaḷaKāra didapatkan di dalam rahim Sumedha. Ketika mengetahuinya, ia memberitahu raja dan raja melakukan apa saja yang dibutuhkan oleh seorang wanita dengan anaknya 207 . Di akhir bulan kesepuluh, Sumedha melahirkan seorang putra, dan mereka memberinya nama Mahāpanāda.
Semua penduduk dari kedua negeri datang dengan meneriakkan, “Paduka, kami bawakan ini untuk uang susu anak Anda,” dan mereka masing-masing melemparkan satu koin ke dalam halaman istana raja, sampai terdapat sebuah tumpukan yang besar sekali. Raja tidak berkeinginan untuk menerima ini, tetapi mereka tidak mau mengambil kembali uangnya, tetapi ketika hendak pergi, mereka berkata, “Paduka, ketika anak itu tumbuh dewasa, simpanan uang tersebut akan berguna untuknya.”
Anak laki-laki itu dibesarkan di tengah-tengah kemewahan dan ketika ia dewasa, ya, tidak lebih dari enam belas tahun, ia sudah sempurna dalam semua keahlian. Memikirkan tentang usia anaknya, raja berkata kepada ratu, “Ratuku, di saat tiba waktunya untuk upacara pelantikan anak kita, mari kita membuatkan sebuah istana yang bagus untuknya dalam kesempatan itu.” Sumedha bersedia melakukan hal tersebut.
Raja memanggil orang-orang yang ahli dalam menentukan tempat yang beruntung dari suatu bangunan dan berkata, “Teman-temanku, dapatkan seorang tukang batu yang hebat dan bangunlah sebuah istana yang letaknya tidak jauh dari istanaku. Istana ini untuk putraku yang nantinya akan disahkan sebagai pengganti diriku.” Mereka mengiyakannya dan kemudian mencari di permukaan bumi.
Pada waktu itu, tahta Dewa Sakka menjadi panas. Setelah mengetahui hal ini, ia memanggil Vissakamma dan berkata, “Pergilah, Vissakamma-ku yang baik, buat sebuah istana yang panjang dan lebarnya setengah yojana dan tingginya dua puluh yojana, semuanya dengan batu berharga.” Vissakamma mengubah wujudnya menjadi seorang tukang batu, menghampiri para pekerja yang lain itu dan berkata, “Pergilah makan sarapan pagi kalian, kemudian baru kembali.” Setelah demikian menyingkirkan orang-orang tersebut, dengan anggotanya ia pun bekerja; saat itu juga terbangunlah sebuah istana, tujuh tingkat tingginya, dengan ukuran yang telah disebutkan sebelumnya.
Kemudian ketiga upacara berikut ini dilaksanakan secara bersamaan bagi Mahā-panāda: upacara untuk mengesahkan istana, upacara untuk membentangkan payung kerajaan di atasnya, upacara untuk pernikahannya. Pada saat upacara, semua penduduk dari kedua negeri berkumpul bersama dan menghabiskan waktu selama tujuh tahun untuk berpesta, tetapi raja juga tidak membubarkan mereka. Pakaian mereka, perhiasan, makanan, minuman [324] dan semuanya, benda-benda ini disediakan oleh keluarga kerajaan. Di akhir tahun ketujuh, mereka mulai menggerutu, dan raja Suruci menanyakan sebabnya. “Paduka,” kata mereka, “Sementara kita bersenang-senang di pesta ini, tujuh tahun telah berlalu. Kapankah pesta ini akan berakhir?” Ia menjawab, “Teman-teman baikku, meskipun ada semua ini, tetapi putraku tidak pernah tertawa satu kali pun. Jadi di saat ia tertawa, baru kita akan bubar.”
Kemudian kerumunan orang tersebut memukul drum untuk mengumpulkan para pemain akrobat dan pemain sulap. Ribuan pemain akrobat terkumpul, dan mereka membagi diri di dalam tujuh kelompok dan menari. Akan tetapi mereka tidak dapat membuat pangeran tertawa. Tentu saja ia yang sudah pernah melihat tarian penari surga tidak akan menyukai tarian yang demikian ini. Kemudian datang dua orang pemain sulap yang pintar, Bhaṇḍu-kaṇṇa dan Paṇḍu-kaṇṇa, Telinga pendek dan Telinga kuning, dan mereka berkata, “Kami akan membuat pangeran tertawa.” Bhaṇḍu-kaṇṇa membuat sebuah pohon mangga yang besar, yang dinamakannya Sanspareil, tumbuh di depan pintu istana. Kemudian ia melempar segulung tali, membuatnya sangkut di cabang pohon mangga itu, dan memanjat naik ke pohon mangga Sanspareil. Waktu itu, mangga Sanspareil disebut orang sebagai mangga Vessavaṇa 208. Dan seperti biasa, para budak Vessavaṇa menangkapnya, memotongnya menjadi berkeping-keping dan melemparkan potongan-potongannya ke bawah.
Pemain sulap yang satunya lagi mengumpulkan dan menuangkan air pada potongan-potongan tersebut. Laki-laki itu bangkit kembali dengan mengenakan pakaian atas dan bawah yang terbuat dari bunga dan mulai menari kembali. Bahkan tontonan seperti ini tidak membuat pangeran tertawa. Kemudian Paṇḍu-kaṇṇa meminta anak buahnya untuk menumpukkan kayu bakar di halaman istana dan masuk ke dalam bara api bersama dengan mereka. Ketika api telah padam, orang-orang memercikkan air pada tumpukan kayu bakar tersebut. Paṇḍu-kaṇṇa bersama dengan anak buahnya bangkit kembali sambil menari dengan mengenakan pakaian atas dan bawah yang terbuat dari bunga. Ketika mengetahui bahwa pemain sulap ini tidak dapat membuat pangeran tertawa, orang-orang menjadi marah. Sakka, yang mengetahui masalah ini, mengutus seorang penari surga dengan memintanya untuk membuat pangeran Mahā-panāda tertawa. Kemudian penari itu datang dan tetap melayang di udara di atas halaman istana kerajaan, [325] dan melakukan apa yang disebut dengan tarian setengah badan: satu tangan, satu kaki, satu mata, satu gigi, menari-nari, melompat-lompat, munculmenghilang di sana sini, sedangkan anggota tubuh yang lainnya lagi tetap diam. Mahā-panāda tersenyum sedikit sewaktu melihat ini. Tetapi kerumunan orang itu tertawa terbahak-bahak, tidak bisa berhenti tertawa, tertawa sampai kehilangan akal sehat, tidak bisa mengendalikan tubuh mereka, berguling-guling di halaman istana kerajaan. Itulah akhir dari pesta tersebut. Sisanya—
Panāda yang agung, raja yang berkuasa,
Dengan istananya yang semuanya terbuat dari emas,
—akan dijelaskan di dalam Mahā-Panāda-Jātaka209.
Raja Mahā-panāda melakukan kebajikan dan memberikan derma. Setelah meninggal dunia, terlahir di alam Dewa210.
____________________
Setelah selesai menyampaikan uraian ini, Sang Guru berkata, “Demikianlah, para bhikkhu, Visakha mendapatkan hadiah dariku sebelumnya,” dan kemudian Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, Bhaddaji adalah Mahā-panāda, Visakha adalah ratu Sumedha, Ananda adalah Vissakamma, dan saya sendiri adalah Sakka.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com