PAÑC-ŪPOSATHA-JĀTAKA
Pañcuposathikajātaka (Ja 490)
“Anda pasti merasa puas,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang lima ratus upasaka yang menjalankan sila uposatha.
Dikatakan orang pada waktu itu, Sang Guru duduk di tempat duduk mulia Buddha, di dalam dhammasabhā, di antara empat jenis orang211, melihat sekeliling pada kumpulan orang itu dengan hati yang lembut, mengetahui bahwa hari ini ajarannya akan membahas cerita tentang upasaka212.
Kemudian Beliau menyapa mereka ini dan berkata, “Apakah upasaka itu telah mengambil sila uposatha?” “Ya, Bhante,” jawabannya. “Hal ini dikerjakan dengan baik, sila uposatha ini adalah latihan bagi orang bijak di masa lampau, saya katakan, laksanakanlah sila uposatha untuk menaklukkan kotoran batin berupa kesenangan inderawi.”
Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau atas permintaan mereka.
____________________
Dahulu kala terdapat sebuah hutan besar yang memisahkan kerajaan Magadha dari dua kerajaan yang berdekatan dengannya. Bodhisatta terlahir di Magadha, sebagai salah satu anggota keluarga brahmana yang agung.
Ketika dewasa, ia melepaskan nafsu keinginannya dan masuk ke dalam hutan, dimana ia membuat sebuah tempat petapaan untuk dirinya dan tinggal di sana. Waktu itu, tidak jauh dari tempat petapaan ini, di dalam sebuah kandang yang terbuat dari bambu, [326] hiduplah seekor ayam hutan jantan dengan pasangannya, di dalam sebuah lubang kecil hiduplah seekor ular, di dalam satu semak belukar terdapat sebuah sarang serigala, di semak belukar lainnya terdapat seekor beruang. Keempat makhluk ini biasanya mendatangi orang suci tersebut setiap waktu dan mendengarkan ajarannya.
Suatu hari, ayam hutan jantan dan pasangannya itu meninggalkan kandang pergi mencari makanan. Yang betina berjalan di bagian belakang dan ketika sedang berjalan, seekor rajawali menyambar dan membawanya pergi. Mendengar suara jeritannya, ayam jantan berbalik ke belakang dan melihat burung rajawali membawa pasangannya pergi. Rajawali membunuh ayam betina tersebut di tengah teriakannya dan memakannya.
Saat itu, ayam jantan terbakar dengan api cinta karena pasangannya dipisahkan darinya dengan cara demikian. Kemudian ia berpikir, “Cinta ini sangat menyiksa diriku. Saya tidak akan pergi mencari makanan sampai saya menemukan cara untuk menaklukkannya.” Maka untuk mempersingkat pencariannya menjadi pendek, ia pergi menjumpai petapa itu dan dengan mengambil sumpah untuk menaklukkan nafsu keinginan, ia berbaring di satu sisi.
Sang ular juga berpikir bahwa ia akan pergi mencari makanan, jadi ia keluar dari sarangnya dan mencari sesuatu untuk dimakan di jalur yang dilewati sapi di dekat desa perbatasan. Persis saat itu ada seekor sapi milik kepala desa, seekor makhluk besar yang seluruh tubuhnya berwarna putih, yang setelah selesai makan berjalan dengan lututnya di kaki suatu lubang kecil, bermain-main mengguncang tanahnya dengan tanduknya. Ular ketakutan mendengar suara tapak kaki sapi dan dengan segera meluncur ke depan menuju ke lubang kecil tersebut. Secara tidak sengaja, sapi menginjaknya, yang kemudian membuat ular menjadi marah dan balik menggigitnya. Sapi mati seketika itu juga di sana.
Ketika penduduk desa mengetahui bahwa sapi itu mati, mereka semua bersama lari sambil menangis, dan memberi penghormatan kepada yang mati dengan kalung bunga, menguburkannya, dan kembali ke rumah mereka. Ular itu keluar ketika orang-orang telah pergi, dan berpikir, “Karena kemarahan, saya telah mengambil nyawa makhluk ini dan menyebabkan penderitaan bagi hati banyak orang. Saya tidak akan keluar mencari makanan lagi sampai saya mempelajari cara menaklukkannya.” Kemudian ia berbalik arah dan pergi ke tempat petapaan itu, dan dengan mengambil sumpah untuk menaklukkan kemarahan, ia berbaring di satu sisi.
Serigala juga sama dengan yang lainnya pergi keluar mencari makanan, dan menemukan bangkai seekor gajah. Ia menjadi senang “Ada banyak makanan di sini!” teriaknya, dan mencuil bagian belalainya—terasa seperti menggigit batang pohon. Ia tidak menikmatinya, dan ia menggigit bagian gading— sepertinya ia menggigit sebuah batu. Ia mencoba bagian perutnya—seperti sebuah keranjang. Maka ia pindah ke bagian ekornya, [327] terasa seperti mangkuk besi. Kemudian ia beralih ke bagian bokongnya, dan anehnya itu terasa lembut seperti kue mentega. Ia begitu menyukainya sehingga terus memakannya sampai ke bagian dalam. Ia tetap berada di dalamnya, makan ketika merasa lapar, minum darahnya ketika merasa haus, dan berbaring tidur dengan beralaskan organ dalam dan paru-paru gajah tersebut. Ia berpikir, “Di sini saya mendapatkan makanan dan minuman, juga tempat tidur. Apa gunanya pergi ke tempat lain lagi?” Maka ia tinggal di sana, merasa sangat puas, di dalam perut gajah, dan tidak pernah keluar dari sana.
Tetapi akhirnya bangkai gajah tersebut menjadi kering karena angin dan panas, dan jalan keluar dari bagian belakang bangkai gajah itu tertutup. Serigala tersiksa di dalam oleh daging dan darah yang banyak, badannya menjadi berwarna kuning pucat, dan tidak dapat mencari cara untuk keluar. Kemudian pada suatu hari, terjadi badai yang tidak terduga; saluran bagian belakangnya menjadi basah, lembek, dan mulai menganga terbuka. Di saat melihat celah tersebut, serigala berteriak, “Saya sudah tersiksa terlalu lama di dalam sini. Sekarang saya akan keluar melalui lubang ini.” Kemudian ia keluar dengan bagian kepala terlebih dahulu. Saat itu, celah tersebut sempit dan ia melewatinya dengan buru-
buru sehingga badannya memar dan semua bulunya rontok di dalam. Ketika keluar, ia menjadi botak seperti batang pohon palem, tidak ada sehelai bulu pun di tubuhnya. “Ah,” pikirnya, “semua masalah ini terjadi kepadaku karena keserakahanku. Saya tidak akan pernah pergi keluar mencari makanan lagi sampai saya mempelajari cara untuk menaklukkannya.” Kemudian ia pergi ke tempat petapaan itu, mengambil sumpah untuk menaklukkan keserakahan, dan berbaring di satu sisi.
Sama juga halnya dengan beruang, ia pergi keluar mencari makanan. Menjadi budak dari keserakahan, beruang pergi ke sebuah desa perbatasan di kerajaan Mala. “Ada beruang di sini!” teriak para penduduk desa, dan mereka semua keluar dipersenjatai dengan busur, kayu, tongkat, dan lain-lain, dan mengepung semak-semak tempat beruang berada. Mengetahui dirinya dikepung oleh kerumunan orang, ia bergegas keluar dan lari. Ketika ia lari, mereka memanah dan memukulnya dengan tongkat. Beruang itu pulang dengan kepala luka dan berdarah. “Ah,” pikirnya, “semuanya ini terjadi kepadaku dikarenakan keserakahanku yang berlebihan. Saya tidak akan pernah pergi keluar mencari makanan lagi sampai saya mempelajari bagaimana menaklukkannya.” Maka ia pergi ke tempat petapaan itu dan mengambil sumpah untuk menaklukkan keserakahan. Ia pun berbaring di satu sisi. [328]
Tetapi petapa itu tidak bisa mendapatkan kegembiraan gaib karena ia diliputi dengan kesombongannya akan kelahiran mulianya. Selain menyadari bahwa petapa itu dikuasai oleh kesombongan, seorang Pacceka Buddha juga mengetahui bahwa ia bukan manusia biasa. “Laki-laki ini (pikirnya) ditakdirkan menjadi seorang Buddha dan dalam kehidupannya kali ini ia akan mencapai kebijaksanaan sempurna. Saya akan membantunya untuk menaklukkan kesombongan dirinya dan membuatnya mengembangkan pencapaian.” Maka ketika ia sedang duduk di dalam gubuk daunnya, Sang Pacceka Buddha turun dari Gunung Himalaya, dan duduk di potongan batu tempat duduk petapa itu.
Ia keluar dan melihat Sang Pacceka Buddha duduk di tempat duduknya; ia merasa bukan lagi seorang tuan bagi dirinya sendiri. Ia menghampiri beliau dan memetik jarinya sambil berkata, “Terkutuklah Anda, orang jahat yang tidak ada kebaikannya, orang munafik berkepala botak, mengapa Anda duduk di tempat dudukku?” “Orang suci,” katanya, “mengapa Anda dikuasai oleh kesombongan? Saya telah menembus kebijaksanaan dari seorang Pacceka Buddha. Dan saya bermaksud memberitahu Anda bahwa pada kelahiranmu kali ini juga, Anda akan menjadi Yang Maha Tahu. Anda ditakdirkan menjadi seorang Buddha! Di saat Anda telah melakukan kebajikan sempurna213, setelah periode waktu tertentu berlalu, Anda akan menjadi seorang Buddha. Dan di saat menjadi Buddha, Anda akan bernama Siddharta.”
Kemudian Pacceka Buddha itu memberitahunya tentang nama, suku, keluarga, siswa-siswa utama, dan sebagainya, dengan menambahkan, “Sekarang mengapa Anda begitu sombong dan bernafsu. Hal itu tidak pantas bagi dirimu,” demikianlah nasehat dari Pacceka Buddha. Ia tidak berkata apa-apapun terhadap perkataan ini, bahkan tidak memberikan hormat dan juga tidak menanyakan kapan atau dimana atau bagaimana ia bisa menjadi seorang Buddha. Kemudian sang tamu berkata, “Ketahuilah ukuran kekuatan kelahiranmu dan kekuatanku214 dengan ini. Jika Anda mampu, terbanglah di udara seperti yang kulakukan.” Setelah berkata demikian, beliau melayang di udara, membersihkan debu kakinya di atas ikat rambut yang dikenakan petapa itu di kepalanya, dan kemudian kembali ke Gunung Himalaya.
Setelah kepergiannya, petapa itu dirundung dengan rasa duka. “Ada seorang suci,” katanya, “dengan badan yang demikian berat, terbang di udara seperti butiran debu yang dihembus angin! Orang yang demikian, seorang Pacceka Buddha, dan saya tadi tidak mencium kakinya dikarenakan kesombongan diriku akan kelahiranku, tidak bertanya kepadanya kapan saya akan menjadi Buddha. Apa yang bisa dilakukan kelahiran ini kepadaku? Di dunia ini, hal berupa kekuatan adalah suatu kehidupan yang bagus; [329] tetapi kesombonganku ini akan membawaku ke alam Neraka. Saya tidak akan pernah pergi keluar mencari makanan lagi sampai saya mempelajari cara menaklukkan kesombonganku.” Kemudian ia masuk ke gubuk daunnya dan mengambil sumpah untuk menaklukkan kesombongan.
Dengan duduk di tempat duduk yang terbuat dari ranting, pemuda bijak yang mulia itu menaklukkan kesombongannya, memperoleh kesaktian dan pencapaian meditasi, kemudian berjalan keluar dan duduk di tempat duduk batu yang berada di ujung jalan yang tertutup.
Kemudian merpati dan hewan yang lainnya datang, memberi salam hormat kepadanya, dan duduk di satu sisi. Sang Mahasatwa berkata kepada merpati, “Pada hari-hari biasa di waktu seperti ini Anda tidak pernah datang ke sini, melainkan Anda pergi mencari makanan. Apakah Anda menjalankan sila uposatha hari ini?” “Ya, Bhante. Benar.” Kemudian ia berkata, “Mengapa demikian?” dengan mengucapkan bait pertama berikut ini:
“Anda merasa puas dengan jumlah yang sedikit, saya yakin itu.
Apakah sekarang Anda tidak menginginkan makanan, O burung merpati?
Rasa lapar dan rasa haus, mengapa Anda bersedia menahannya?
Mengapa Anda mengambil sila uposatha, Tuan?”
Yang kemudian dijawab oleh merpati dalam dua bait kalimat berikut ini:
“Suatu ketika penuh dengan keserakahan, saya dan pasanganku
Bercanda ria seperti sepasang kekasih di sekitar tempat ini.
Seekor burung rajawali menyambar dan terbang membawanya pergi:
Demikianlah, ia yang saya cintai dipisahkan dariku!
“Dengan cara yang beraneka ragam saya menyadari kehilanganku yang kejam ini;
Saya merasakan suatu kesedihan dalam semua yang kulihat;
Oleh karena itu, saya mencari bantuan dengan mengambil sila uposatha,
Semoga nafsu keinginan itu tidak pernah kembali kepadaku.”
[330] Ketika merpati telah demikian memuji tindakannya sendiri sehubungan dengan sumpah tersebut, Sang Mahasatwa menanyakan pertanyaan yang sama kepada ular dan semuanya satu per satu. Mereka masing-masing memaparkan masalahnya sebagaimana adanya.
“Penghuni pohon, tubuh yang melingkar–ular melata,
Dipersenjatai dengan gigi taring yang kuat dan racun yang cepat dan pasti,
Mengapa Anda berkeinginan mengambil sila uposatha?
Mengapa bersedia menahan rasa haus dan rasa lapar?”
“Sapi milik kepala desa, yang besar dan kuat,
Yang seluruh badannya berguncang, dengan punuk yang cantik dan indah,
Ia memijakku: dalam kemarahan saya menggigitnya:
Tertusuk dengan rasa sakit, ia mati seketika di sana.
“Para penduduk desa berhamburan keluar,
Sambil menangis dan meratap sedih atas apa yang mereka lihat.
Oleh karenanya saya beralih ke sila uposatha untuk mendapatkan bantuan,
Semoga nafsu keinginan tidak pernah kembali kepadaku.”
“Bagimu bangkai adalah makanan yang berharga dan luar biasa bagusnya,
Bangkai-bangkai yang berbaring membusuk di tanah pemakaman.
Mengapa seekor serigala menahan rasa haus dan rasa lapar?
Mengapa ia mengambil sila uposatha, mengapa?”
“Saya menemukan seekor gajah, dan menyukai dagingnya
Begitu menyukainya, di dalam perutnya saya tinggal.
Tetapi angin panas dan sinar matahari yang membakar
Mengeringkan saluran tempat saya lewati untuk masuk.
“Saya menjadi kurus dan pucat, Guru!
Tidak ada jalan untuk keluar, saya terpaksa tinggal di dalam.
Kemudian turun hujan badai yang amat kuat,
Melembabkan dan melembutkan jalan keluar itu.
“Kemudian untuk keluar, saya tidak melakukannya dengan lambat,
Seperti bulan yang keluar dari cengkeraman Rāhu215:
[331] Oleh karenanya saya beralih ke sila uposatha untuk mendapatkan bantuan
Semoga keserakahan menjauh dari diriku: itulah penyebabnya.”
“Adalah merupakan kebiasaanmu untuk memakan
Semut yang berada dalam sarangnya, Tuan Beruang:
Mengapa sekarang Anda bersedia merasakan lapar dan haus?
Mengapa sekarang bersedia mengambil sila uposatha?”
“Saya keluar dari tempat tinggalku sendiri karena keserakahan yang berlebihan,
Dengan cepat pergi menuju ke Malatā.
Semua penduduk keluar dari desa itu,
Dengan busur dan tongkat mereka memukulku.
“Dengan darah yang bercucuran dan kepala yang luka
Saya bergegas kembali ke tempat tinggalku.
Oleh karenanya sekarang saya beralih ke sila uposatha,
Semoga keserakahan tidak pernah datang menghampiriku lagi.”
Demikianlah mereka semua berempat memuji tindakan mereka sendiri dalam hal mengambil sumpah tersebut. Kemudian dengan bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Sang Mahasatwa, mereka menanyakannya pertanyaan berikut ini, “Bhante, pada hari-hari biasa di waktu seperti ini Anda keluar untuk mencari buah-buahan liar. Mengapa hari ini Anda tidak pergi, tetapi menjalankan sila uposatha?”
Mereka mengucapkan bait kalimat berikut ini:
“Hal itu, Guru, yang tadinya ingin Anda ketahui
Kami telah mengatakannya sesuai dengan keadaan kami:
Sekarang giliran kami yang bertanya:
Mengapa Anda, O brahmana, mengambil sila uposatha?”
[332] Ia menjelaskan jawabannya kepada mereka:
“Ada seorang Pacceka Buddha yang datang
Dan tinggal sebentar di dalam gubukku, menunjukkan
Kehidupanku di masa yang akan datang dan masa lampau, nama dan ketenaran,
Keluargaku, dan semua jalan masa depanku.
“Kemudian karena termakan oleh kesombonganku, saya tidak bersujud
Di depan kedua kakinya; saya juga tidak menanyakan yang lainnya lagi.
Oleh karena itu saya beralih ke sila uposatha untuk mendapatkan bantuan
Semoga kesombongan tidak datang menghampiriku lagi seperti sebelumnya.”
Dengan cara ini Sang Mahasatwa menjelaskan alasan dirinya mengambil sumpah tersebut. Kemudian ia memberikan nasehat kepada mereka dan meminta mereka kembali. Ia pun masuk ke dalam gubuknya. Yang lainnya juga kembali ke tempat tinggal mereka masing-masing. Tanpa terganggu kebahagiaannya, Sang Mahasatwa ditakdirkan terlahir kembali di alam Brahma, sedangkan yang lainnya dengan mengikuti nasehatnya, pergi menambah jumlah penghuni alam Surga.
____________________
Setelah selesai menyampaikan uraian ini, Sang Guru berkata, “Demikianlah, Upasaka, mengambil sila uposatha itu dulunya adalah kebiasaan para orang bijak di masa lampau, dan tetap harus dijalankan sampai sekarang.”
Kemudian Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini, “Pada masa itu, Anurudha adalah burung merpati jantan, Kassapa adalah beruang, Moggallana adalah serigala, Sariputta adalah ular, dan saya sendiri adalah petapa.”
Dikatakan orang pada waktu itu, Sang Guru duduk di tempat duduk mulia Buddha, di dalam dhammasabhā, di antara empat jenis orang211, melihat sekeliling pada kumpulan orang itu dengan hati yang lembut, mengetahui bahwa hari ini ajarannya akan membahas cerita tentang upasaka212.
Kemudian Beliau menyapa mereka ini dan berkata, “Apakah upasaka itu telah mengambil sila uposatha?” “Ya, Bhante,” jawabannya. “Hal ini dikerjakan dengan baik, sila uposatha ini adalah latihan bagi orang bijak di masa lampau, saya katakan, laksanakanlah sila uposatha untuk menaklukkan kotoran batin berupa kesenangan inderawi.”
Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau atas permintaan mereka.
____________________
Dahulu kala terdapat sebuah hutan besar yang memisahkan kerajaan Magadha dari dua kerajaan yang berdekatan dengannya. Bodhisatta terlahir di Magadha, sebagai salah satu anggota keluarga brahmana yang agung.
Ketika dewasa, ia melepaskan nafsu keinginannya dan masuk ke dalam hutan, dimana ia membuat sebuah tempat petapaan untuk dirinya dan tinggal di sana. Waktu itu, tidak jauh dari tempat petapaan ini, di dalam sebuah kandang yang terbuat dari bambu, [326] hiduplah seekor ayam hutan jantan dengan pasangannya, di dalam sebuah lubang kecil hiduplah seekor ular, di dalam satu semak belukar terdapat sebuah sarang serigala, di semak belukar lainnya terdapat seekor beruang. Keempat makhluk ini biasanya mendatangi orang suci tersebut setiap waktu dan mendengarkan ajarannya.
Suatu hari, ayam hutan jantan dan pasangannya itu meninggalkan kandang pergi mencari makanan. Yang betina berjalan di bagian belakang dan ketika sedang berjalan, seekor rajawali menyambar dan membawanya pergi. Mendengar suara jeritannya, ayam jantan berbalik ke belakang dan melihat burung rajawali membawa pasangannya pergi. Rajawali membunuh ayam betina tersebut di tengah teriakannya dan memakannya.
Saat itu, ayam jantan terbakar dengan api cinta karena pasangannya dipisahkan darinya dengan cara demikian. Kemudian ia berpikir, “Cinta ini sangat menyiksa diriku. Saya tidak akan pergi mencari makanan sampai saya menemukan cara untuk menaklukkannya.” Maka untuk mempersingkat pencariannya menjadi pendek, ia pergi menjumpai petapa itu dan dengan mengambil sumpah untuk menaklukkan nafsu keinginan, ia berbaring di satu sisi.
Sang ular juga berpikir bahwa ia akan pergi mencari makanan, jadi ia keluar dari sarangnya dan mencari sesuatu untuk dimakan di jalur yang dilewati sapi di dekat desa perbatasan. Persis saat itu ada seekor sapi milik kepala desa, seekor makhluk besar yang seluruh tubuhnya berwarna putih, yang setelah selesai makan berjalan dengan lututnya di kaki suatu lubang kecil, bermain-main mengguncang tanahnya dengan tanduknya. Ular ketakutan mendengar suara tapak kaki sapi dan dengan segera meluncur ke depan menuju ke lubang kecil tersebut. Secara tidak sengaja, sapi menginjaknya, yang kemudian membuat ular menjadi marah dan balik menggigitnya. Sapi mati seketika itu juga di sana.
Ketika penduduk desa mengetahui bahwa sapi itu mati, mereka semua bersama lari sambil menangis, dan memberi penghormatan kepada yang mati dengan kalung bunga, menguburkannya, dan kembali ke rumah mereka. Ular itu keluar ketika orang-orang telah pergi, dan berpikir, “Karena kemarahan, saya telah mengambil nyawa makhluk ini dan menyebabkan penderitaan bagi hati banyak orang. Saya tidak akan keluar mencari makanan lagi sampai saya mempelajari cara menaklukkannya.” Kemudian ia berbalik arah dan pergi ke tempat petapaan itu, dan dengan mengambil sumpah untuk menaklukkan kemarahan, ia berbaring di satu sisi.
Serigala juga sama dengan yang lainnya pergi keluar mencari makanan, dan menemukan bangkai seekor gajah. Ia menjadi senang “Ada banyak makanan di sini!” teriaknya, dan mencuil bagian belalainya—terasa seperti menggigit batang pohon. Ia tidak menikmatinya, dan ia menggigit bagian gading— sepertinya ia menggigit sebuah batu. Ia mencoba bagian perutnya—seperti sebuah keranjang. Maka ia pindah ke bagian ekornya, [327] terasa seperti mangkuk besi. Kemudian ia beralih ke bagian bokongnya, dan anehnya itu terasa lembut seperti kue mentega. Ia begitu menyukainya sehingga terus memakannya sampai ke bagian dalam. Ia tetap berada di dalamnya, makan ketika merasa lapar, minum darahnya ketika merasa haus, dan berbaring tidur dengan beralaskan organ dalam dan paru-paru gajah tersebut. Ia berpikir, “Di sini saya mendapatkan makanan dan minuman, juga tempat tidur. Apa gunanya pergi ke tempat lain lagi?” Maka ia tinggal di sana, merasa sangat puas, di dalam perut gajah, dan tidak pernah keluar dari sana.
Tetapi akhirnya bangkai gajah tersebut menjadi kering karena angin dan panas, dan jalan keluar dari bagian belakang bangkai gajah itu tertutup. Serigala tersiksa di dalam oleh daging dan darah yang banyak, badannya menjadi berwarna kuning pucat, dan tidak dapat mencari cara untuk keluar. Kemudian pada suatu hari, terjadi badai yang tidak terduga; saluran bagian belakangnya menjadi basah, lembek, dan mulai menganga terbuka. Di saat melihat celah tersebut, serigala berteriak, “Saya sudah tersiksa terlalu lama di dalam sini. Sekarang saya akan keluar melalui lubang ini.” Kemudian ia keluar dengan bagian kepala terlebih dahulu. Saat itu, celah tersebut sempit dan ia melewatinya dengan buru-
buru sehingga badannya memar dan semua bulunya rontok di dalam. Ketika keluar, ia menjadi botak seperti batang pohon palem, tidak ada sehelai bulu pun di tubuhnya. “Ah,” pikirnya, “semua masalah ini terjadi kepadaku karena keserakahanku. Saya tidak akan pernah pergi keluar mencari makanan lagi sampai saya mempelajari cara untuk menaklukkannya.” Kemudian ia pergi ke tempat petapaan itu, mengambil sumpah untuk menaklukkan keserakahan, dan berbaring di satu sisi.
Sama juga halnya dengan beruang, ia pergi keluar mencari makanan. Menjadi budak dari keserakahan, beruang pergi ke sebuah desa perbatasan di kerajaan Mala. “Ada beruang di sini!” teriak para penduduk desa, dan mereka semua keluar dipersenjatai dengan busur, kayu, tongkat, dan lain-lain, dan mengepung semak-semak tempat beruang berada. Mengetahui dirinya dikepung oleh kerumunan orang, ia bergegas keluar dan lari. Ketika ia lari, mereka memanah dan memukulnya dengan tongkat. Beruang itu pulang dengan kepala luka dan berdarah. “Ah,” pikirnya, “semuanya ini terjadi kepadaku dikarenakan keserakahanku yang berlebihan. Saya tidak akan pernah pergi keluar mencari makanan lagi sampai saya mempelajari bagaimana menaklukkannya.” Maka ia pergi ke tempat petapaan itu dan mengambil sumpah untuk menaklukkan keserakahan. Ia pun berbaring di satu sisi. [328]
Tetapi petapa itu tidak bisa mendapatkan kegembiraan gaib karena ia diliputi dengan kesombongannya akan kelahiran mulianya. Selain menyadari bahwa petapa itu dikuasai oleh kesombongan, seorang Pacceka Buddha juga mengetahui bahwa ia bukan manusia biasa. “Laki-laki ini (pikirnya) ditakdirkan menjadi seorang Buddha dan dalam kehidupannya kali ini ia akan mencapai kebijaksanaan sempurna. Saya akan membantunya untuk menaklukkan kesombongan dirinya dan membuatnya mengembangkan pencapaian.” Maka ketika ia sedang duduk di dalam gubuk daunnya, Sang Pacceka Buddha turun dari Gunung Himalaya, dan duduk di potongan batu tempat duduk petapa itu.
Ia keluar dan melihat Sang Pacceka Buddha duduk di tempat duduknya; ia merasa bukan lagi seorang tuan bagi dirinya sendiri. Ia menghampiri beliau dan memetik jarinya sambil berkata, “Terkutuklah Anda, orang jahat yang tidak ada kebaikannya, orang munafik berkepala botak, mengapa Anda duduk di tempat dudukku?” “Orang suci,” katanya, “mengapa Anda dikuasai oleh kesombongan? Saya telah menembus kebijaksanaan dari seorang Pacceka Buddha. Dan saya bermaksud memberitahu Anda bahwa pada kelahiranmu kali ini juga, Anda akan menjadi Yang Maha Tahu. Anda ditakdirkan menjadi seorang Buddha! Di saat Anda telah melakukan kebajikan sempurna213, setelah periode waktu tertentu berlalu, Anda akan menjadi seorang Buddha. Dan di saat menjadi Buddha, Anda akan bernama Siddharta.”
Kemudian Pacceka Buddha itu memberitahunya tentang nama, suku, keluarga, siswa-siswa utama, dan sebagainya, dengan menambahkan, “Sekarang mengapa Anda begitu sombong dan bernafsu. Hal itu tidak pantas bagi dirimu,” demikianlah nasehat dari Pacceka Buddha. Ia tidak berkata apa-apapun terhadap perkataan ini, bahkan tidak memberikan hormat dan juga tidak menanyakan kapan atau dimana atau bagaimana ia bisa menjadi seorang Buddha. Kemudian sang tamu berkata, “Ketahuilah ukuran kekuatan kelahiranmu dan kekuatanku214 dengan ini. Jika Anda mampu, terbanglah di udara seperti yang kulakukan.” Setelah berkata demikian, beliau melayang di udara, membersihkan debu kakinya di atas ikat rambut yang dikenakan petapa itu di kepalanya, dan kemudian kembali ke Gunung Himalaya.
Setelah kepergiannya, petapa itu dirundung dengan rasa duka. “Ada seorang suci,” katanya, “dengan badan yang demikian berat, terbang di udara seperti butiran debu yang dihembus angin! Orang yang demikian, seorang Pacceka Buddha, dan saya tadi tidak mencium kakinya dikarenakan kesombongan diriku akan kelahiranku, tidak bertanya kepadanya kapan saya akan menjadi Buddha. Apa yang bisa dilakukan kelahiran ini kepadaku? Di dunia ini, hal berupa kekuatan adalah suatu kehidupan yang bagus; [329] tetapi kesombonganku ini akan membawaku ke alam Neraka. Saya tidak akan pernah pergi keluar mencari makanan lagi sampai saya mempelajari cara menaklukkan kesombonganku.” Kemudian ia masuk ke gubuk daunnya dan mengambil sumpah untuk menaklukkan kesombongan.
Dengan duduk di tempat duduk yang terbuat dari ranting, pemuda bijak yang mulia itu menaklukkan kesombongannya, memperoleh kesaktian dan pencapaian meditasi, kemudian berjalan keluar dan duduk di tempat duduk batu yang berada di ujung jalan yang tertutup.
Kemudian merpati dan hewan yang lainnya datang, memberi salam hormat kepadanya, dan duduk di satu sisi. Sang Mahasatwa berkata kepada merpati, “Pada hari-hari biasa di waktu seperti ini Anda tidak pernah datang ke sini, melainkan Anda pergi mencari makanan. Apakah Anda menjalankan sila uposatha hari ini?” “Ya, Bhante. Benar.” Kemudian ia berkata, “Mengapa demikian?” dengan mengucapkan bait pertama berikut ini:
“Anda merasa puas dengan jumlah yang sedikit, saya yakin itu.
Apakah sekarang Anda tidak menginginkan makanan, O burung merpati?
Rasa lapar dan rasa haus, mengapa Anda bersedia menahannya?
Mengapa Anda mengambil sila uposatha, Tuan?”
Yang kemudian dijawab oleh merpati dalam dua bait kalimat berikut ini:
“Suatu ketika penuh dengan keserakahan, saya dan pasanganku
Bercanda ria seperti sepasang kekasih di sekitar tempat ini.
Seekor burung rajawali menyambar dan terbang membawanya pergi:
Demikianlah, ia yang saya cintai dipisahkan dariku!
“Dengan cara yang beraneka ragam saya menyadari kehilanganku yang kejam ini;
Saya merasakan suatu kesedihan dalam semua yang kulihat;
Oleh karena itu, saya mencari bantuan dengan mengambil sila uposatha,
Semoga nafsu keinginan itu tidak pernah kembali kepadaku.”
[330] Ketika merpati telah demikian memuji tindakannya sendiri sehubungan dengan sumpah tersebut, Sang Mahasatwa menanyakan pertanyaan yang sama kepada ular dan semuanya satu per satu. Mereka masing-masing memaparkan masalahnya sebagaimana adanya.
“Penghuni pohon, tubuh yang melingkar–ular melata,
Dipersenjatai dengan gigi taring yang kuat dan racun yang cepat dan pasti,
Mengapa Anda berkeinginan mengambil sila uposatha?
Mengapa bersedia menahan rasa haus dan rasa lapar?”
“Sapi milik kepala desa, yang besar dan kuat,
Yang seluruh badannya berguncang, dengan punuk yang cantik dan indah,
Ia memijakku: dalam kemarahan saya menggigitnya:
Tertusuk dengan rasa sakit, ia mati seketika di sana.
“Para penduduk desa berhamburan keluar,
Sambil menangis dan meratap sedih atas apa yang mereka lihat.
Oleh karenanya saya beralih ke sila uposatha untuk mendapatkan bantuan,
Semoga nafsu keinginan tidak pernah kembali kepadaku.”
“Bagimu bangkai adalah makanan yang berharga dan luar biasa bagusnya,
Bangkai-bangkai yang berbaring membusuk di tanah pemakaman.
Mengapa seekor serigala menahan rasa haus dan rasa lapar?
Mengapa ia mengambil sila uposatha, mengapa?”
“Saya menemukan seekor gajah, dan menyukai dagingnya
Begitu menyukainya, di dalam perutnya saya tinggal.
Tetapi angin panas dan sinar matahari yang membakar
Mengeringkan saluran tempat saya lewati untuk masuk.
“Saya menjadi kurus dan pucat, Guru!
Tidak ada jalan untuk keluar, saya terpaksa tinggal di dalam.
Kemudian turun hujan badai yang amat kuat,
Melembabkan dan melembutkan jalan keluar itu.
“Kemudian untuk keluar, saya tidak melakukannya dengan lambat,
Seperti bulan yang keluar dari cengkeraman Rāhu215:
[331] Oleh karenanya saya beralih ke sila uposatha untuk mendapatkan bantuan
Semoga keserakahan menjauh dari diriku: itulah penyebabnya.”
“Adalah merupakan kebiasaanmu untuk memakan
Semut yang berada dalam sarangnya, Tuan Beruang:
Mengapa sekarang Anda bersedia merasakan lapar dan haus?
Mengapa sekarang bersedia mengambil sila uposatha?”
“Saya keluar dari tempat tinggalku sendiri karena keserakahan yang berlebihan,
Dengan cepat pergi menuju ke Malatā.
Semua penduduk keluar dari desa itu,
Dengan busur dan tongkat mereka memukulku.
“Dengan darah yang bercucuran dan kepala yang luka
Saya bergegas kembali ke tempat tinggalku.
Oleh karenanya sekarang saya beralih ke sila uposatha,
Semoga keserakahan tidak pernah datang menghampiriku lagi.”
Demikianlah mereka semua berempat memuji tindakan mereka sendiri dalam hal mengambil sumpah tersebut. Kemudian dengan bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Sang Mahasatwa, mereka menanyakannya pertanyaan berikut ini, “Bhante, pada hari-hari biasa di waktu seperti ini Anda keluar untuk mencari buah-buahan liar. Mengapa hari ini Anda tidak pergi, tetapi menjalankan sila uposatha?”
Mereka mengucapkan bait kalimat berikut ini:
“Hal itu, Guru, yang tadinya ingin Anda ketahui
Kami telah mengatakannya sesuai dengan keadaan kami:
Sekarang giliran kami yang bertanya:
Mengapa Anda, O brahmana, mengambil sila uposatha?”
[332] Ia menjelaskan jawabannya kepada mereka:
“Ada seorang Pacceka Buddha yang datang
Dan tinggal sebentar di dalam gubukku, menunjukkan
Kehidupanku di masa yang akan datang dan masa lampau, nama dan ketenaran,
Keluargaku, dan semua jalan masa depanku.
“Kemudian karena termakan oleh kesombonganku, saya tidak bersujud
Di depan kedua kakinya; saya juga tidak menanyakan yang lainnya lagi.
Oleh karena itu saya beralih ke sila uposatha untuk mendapatkan bantuan
Semoga kesombongan tidak datang menghampiriku lagi seperti sebelumnya.”
Dengan cara ini Sang Mahasatwa menjelaskan alasan dirinya mengambil sumpah tersebut. Kemudian ia memberikan nasehat kepada mereka dan meminta mereka kembali. Ia pun masuk ke dalam gubuknya. Yang lainnya juga kembali ke tempat tinggal mereka masing-masing. Tanpa terganggu kebahagiaannya, Sang Mahasatwa ditakdirkan terlahir kembali di alam Brahma, sedangkan yang lainnya dengan mengikuti nasehatnya, pergi menambah jumlah penghuni alam Surga.
____________________
Setelah selesai menyampaikan uraian ini, Sang Guru berkata, “Demikianlah, Upasaka, mengambil sila uposatha itu dulunya adalah kebiasaan para orang bijak di masa lampau, dan tetap harus dijalankan sampai sekarang.”
Kemudian Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini, “Pada masa itu, Anurudha adalah burung merpati jantan, Kassapa adalah beruang, Moggallana adalah serigala, Sariputta adalah ular, dan saya sendiri adalah petapa.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com