Sariputta | Suttapitaka | TACCHA-SŪKARA-JĀTAKA Sariputta

TACCHA-SŪKARA-JĀTAKA

Taccha­sū­karajā­taka (Ja 492)

“Saya berkelana, mencari dimana-mana,” dan seterusnya—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang dua orang Thera yang kuno.

Dikatakan bahwa Mahā-Kosala, sewaktu memberikan putrinya kepada raja Bimbisara, memberikan kepada putrinya itu bagian berupa sebuah desa Kasi untuk uang permandian.

[343] Setelah Ajātasattu membunuh ayahnya 222 , raja Pasenadi menghancurkan desa itu. Dalam peperangan di antara mereka, kemenangan mulanya berpihak kepada Ajātasattu . Dan ketika mengalami kekalahan, raja Kosala bertanya kepada para penasehatnya, “Apa yang dapat kita rancang untuk mengalahkan Ajātasattu?” Mereka menjawab, “Raja yang agung, para bhikkhu menguasai keahlian dari kekuatan gaib. Kirimlah utusan ke sana, di vihara, dan dapatkan pendapat mereka.” Jawaban ini membuat raja menjadi senang. Oleh sebab itu, ia mengutus anak buahnya untuk pergi ke sana dan dengan bersembunyi mencuri dengar apa yang akan dikatakan oleh para bhikkhu tersebut nantinya.
Waktu itu, di Jetavana terdapat banyak pejabat istana yang telah meninggalkan kehidupan duniawi. Dua di antara mereka, sepasang Thera yang tua, tinggal di dalam satu gubuk daun di luar vihara tersebut. Nama mereka adalah Dhanuggahatissa dan Mantidatta.

Mereka ini sudah tidur sepanjang malam dan bangun di saat hari menjelang siang. Dhanuggaha-tissa berkata, sambil menyalakan api, “Bhante Datta.” “Ya, Bhante.” “Apakah Anda tertidur?” “Tidak, saya tidak tidur. Apa yang harus dilakukan sekarang?” “Raja Kosala itu adalah seorang manusia yang dungu dari lahir. Yang ia tahu hanyalah bagaimana caranya memakan setumpuk makanan.” “Apa maksudmu, Bhante?” “Ia membiarkan dirinya kalah dari Ajātasattu, yang tidak lebih baik daripada seekor cacing di dalam perutnya sendiri.” “Kalau begitu, apa yang seharusnya ia lakukan?”

“Baiklah, Bhante Datta, Anda tahu cara perang itu ada tiga jenis: Peperangan Kereta perang Peperangan Roda dan Peperangan Teratai 223 . Peperangan kereta peranglah yang harus digunakannya untuk dapat menangkap Ajātasattu. Ia harus menempatkan orang-orang yang gagah berani di kedua sisi di puncak bukit, dan kemudian perlihatkan perang utamanya ada di depan. Begitu lawan berada di antaranya, keluarlah dengan teriakan dan lompatan dan mereka akan mendapatkannya seperti seekor ikan yang berada di dalam tempat udang galah. Begitulah cara menangkapnya.”

Waktu itu, para utusan mendengar semuanya ini, dan kemudian kembali memberitahu raja. Dengan cepat ia berangkat dengan pasukan yang besar dan menawan Ajātasattu, dan mengikatnya dengan rantai. Setelah menghukumnya demikian selama beberapa hari, ia membebaskannya dengan memberikan nasehat agar ia tidak mengucapkan perbuatan tersebut. Dan sebagai jalan pelipur lara, ia menikahkan putrinya, Putri Vajirā, dengannya dan akhirnya membiarkannya pergi dengan rombongan besar.

Ada banyak kabar angin tentang hal ini di antara para bhikkhu di bagian dalam vihara: “Ajātasattu tertangkap oleh raja Kosala dengan mengikuti petunjuk dari Dhanuggaha-tissa!” Mereka membicarakan hal yang sama di dhammasabhā, dan ketika berjalan masuk ke dalam, Sang Guru menanyakan apa yang sedang dibicarakan.

Mereka memberitahu Beliau. Kemudian Beliau berkata. “Ini bukan pertama kalinya, para bhikkhu, bahwa Dhanuggaha-tissa telah menunjukkan bahwa dirinya ahli dalam strategi.”

Dan Beliau menceritakan sebuah kisah lampau.
____________________

[344] Dahulu kala, seorang tukang kayu yang tinggal di sebuah desa dekat gerbang kota Benares, pergi ke hutan untuk memotong kayu. Ia menemukan seekor anak babi terjatuh ke dalam sebuah lubang, yang kemudian dibawanya pulang ke rumah dan dipeliharanya, dengan memberinya nama Babi si tukang kayu.


Babi itu menjadi pembantunya, ia menjatuhkan pohon dengan moncongnya dan membawakan kepada majikannya. Ia mengikatkan tali di sekitar tanduk gadingnya dan menariknya, mengambil dan membawa alat ukir, pahat, dan palu dengan giginya.

Ketika dewasa, ia menjadi hewan besar yang perkasa. Sang tukang kayu, yang menyayanginya seperti anaknya sendiri dan merasa takut kalau-kalau ada orang yang ingin berbuat jahat terhadap dirinya di sana, melepaskannya pergi bebas ke dalam hutan. Babi itu berpikir, “Saya tidak bisa tinggal sendirian di dalam hutan ini. Bagaimana kalau saya mencari sanak keluargaku dan tinggal bersama dengan mereka?”

Maka ia mencari babi hutan di seluruh pepohonan yang ada di dalam hutan tersebut sampai akhirnya melihat sekumpulan babi. Ia merasa gembira dan mengucapkan tiga bait kalimat berikut:

“Saya berkelana, mencari kemana-mana
di dalam hutan dan bukit di sekeliling:
Saya berkelana, mencari sanak keluargaku,
dan lo sanak keluargaku telah ditemukan!
“Di sini buah-buahan dan akar tetumbuhan berlimpah ruah,
dengan persedian makanan yang berlimpah jua;
Betapa indah perbukitannya dan menyenangkan sungainya!
Tinggal di tempat ini adalah hal yang bagus.
“Saya akan tinggal di sini bersama dengan keluargaku,
tidak cemas, merasa tenang,
Dengan tidak memiliki masalah,
tidak memiliki rasa takut akan musuh-musuhku.”
Kumpulan babi hutan yang mendengar syair ini memberikan tanggapan dengan bait keempat berikut:—

“Ada seorang musuh di sini!
Cari perlindungan di tempat yang lain lagi, pergilah ke jalanmu sendiri:
O babi tukang kayu, ia selalu membunuh
babi pilihan dari kumpulan ini!”
“Siapakah musuh itu? Ayo beritahu saya sebenarnya,
saudaraku, senang bertemu denganmu,
Siapa yang menghancurkanmu?
Meskipun belum benarbenar menghancurkanmu.”
[345] “Seekor hewan buas! Badannya bergaris-garis,
dengan giginya untuk menggigit:
Ia selalu membunuh babi pilihan dari kumpulan ini—
seekor hewan buas yang berkuasa!”
“Dan apakah badan kita telah kehilangan kekuatannya?
apakah kita tidak memiliki gading tanduk yang bisa ditunjukkan?
Kita pasti bisa mengatasinya jika bekerja sama:
hanya demikianlah caranya.”
“Kata-kata yang manis untuk didengar,
O babi tukang kayu, yang membuat hatiku gembira:
Jangan biarkan satu babi pun pergi!
Kalau tidak ia akan terbunuh sehabis perang!”
Babi si tukang kayu yang telah membuat mereka memiliki satu pikiran, bertanya, “Kapan harimau itu akan datang?” “Hari ini, ia datang di waktu pagi sekali dan mengambil satu, besok ia akan datang di waktu pagi sekali.” Babi hutan itu ahli dalam peperangan dan tahu mengambil tempat yang menguntungkan agar bisa mendapatkan kemenangan. Ia mencari ke sana kemari tempat yang dimaksud itu, dan meminta mereka makan di waktu malam hari.

Kemudian keesokan harinya, pagi-pagi sekali, ia menjelaskan kepada mereka tentang cara peperangan yang terdiri dari tiga jenis, peperangan kereta, dan seterusnya. Setelah selesai, ia menyusun Peperangan Lotus 224 dengan cara demikian ini; di bagian tengah ia menempatkan babi kecil, dan di sekelilingnya adalah induk mereka, di sampingnya adalah babi betina yang mandul, berikutnya adalah satu lingkaran yang terdiri dari babi muda yang gemuk, berikutnya adalah babi kecil dengan gading tanduk kecil yang baru saja tumbuh, berikutnya adalah babi dengan gading tanduk yang besar, dan babi yang tua semuanya berada di bagian luar.

Kemudian ia menempatkan pasukan kecil yang berjumlah sepuluh, dua puluh, dan tiga puluh di sini dan di sana. Ia meminta mereka menggali lubang untuk dirinya sendiri, dan untuk harimau agar jatuh ke dalamnya, yang berbentuk sebuah keranjang saringan. Di antara kedua lubang tersebut terdapat satu tumpukan tanah baginya untuk berdiri. Kemudian bersama dengan babi petarung yang kuat, ia pergi berkeliling di semua tempat untuk memberi semangat kepada para babi hutan tersebut.

[346] Di saat ia sibuk melakukan semua hal tersebut, matahari pun terbit. Sang Harimau yang keluar dari tempat petapaan seorang petapa palsu, muncul di atas puncak bukit.
Para babi hutan berteriak, “Musuh kita sudah datang, Tuan!” “Jangan takut,” katanya, “apapun yang dilakukannya, kalian juga lakukan hal yang sama.” Harimau menggoyang tubuhnya dan membuat gerakan seolah-olah akan berangkat, mengeluarkan air. Babi-babi hutan tersebut juga melakukan hal yang sama. Harimau melihat ke arah mereka dan mengeluarkan suara auman yang keras. Mereka pun melakukan hal yang sama dengannya.

Mencari tahu apa yang mereka sedang rencanakan, harimau berpikir, “Sepertinya mereka telah berubah; hari ini mereka berani menghadapiku sebagai musuh, dalam susunan kelompok yang teratur. Pasti ada satu ksatria yang membuat mereka menjadi berani. Saya tidak boleh mendekati mereka hari ini.”

Karena takut akan kematian, harimau membalikkan ekornya dan pergi ke tempat petapa palsu tersebut. Dan petapa itu yang melihat harimau datang dengan tangan kosong, mengucapkan bait kesembilan berikut ini:—

“Apakah Anda telah berhenti untuk membunuh? Apakah Anda telah bersumpah
Memberikan keselamatan kepada semua makhluk hidup?
Pastinya gigi-gigimu kehilangan kebiasaan pekerjaannya.
Anda menemukan sekumpulan hewan, dan datang kembali sebagai pengemis!”
Harimau itu mengucapkan tiga bait kalimat berikut:

“Gigiku tidak bisa mengigit lagi,
Kekuatanku sudah melemah:
Saudara demi saudara mereka berdiri bersama:
Oleh karenanya saya berkeliaran di hutan sendirian.
“Dulunya mereka lari terbirit-birit ke sana kemari
Mencari lubang mereka, lari tunggang langgang karena panik.
Tetapi sekarang mereka mengorok dalam tingkatan berkelompok yang kompak;
Tak terkalahkan, mereka berdiri dan menantangku225.
[347] “Mereka semuanya sekarang kompak, mereka mempunyai seorang pemimpin;
Ketika semuanya bersatu, mereka dapat membuatku terluka.
Oleh karenanya, saya tidak menginginkan mereka.”
Petapa palsu itu membalas perkataan di atas dalam bait kalimat berikut ini:

“Sendirian rajawali menaklukkan burung-burung lainnya,
Sendirian para Titan digulingkan oleh dewa Indra:
Dan ketika kumpulan hewan terlihat oleh harimau yang perkasa,
Ia akan memilih yang terbaik, dan membunuh mereka dengan mudahnya.”
Kemudian harimau mengucapkan satu bait kalimat ini:—

“Tidak ada rajawali, tidak ada harimau raja dari hewan buas,
tidak ada dewa Indra yang mampu membuat
Sekumpulan hewan mangsa yang disukai harimau226
untuk bersatu untuk bertarung.”
Untuk membalas perkataan itu dan untuk tetap mendesaknya, petapa itu mengucapkan dua bait kalimat ini:

“Unggas kecil yang berbulu terbang berkelompok dan bersama,
Dalam kelompoknya mereka bersama terbang ke atas,
bersama-sama mengitari langit.
“Rajawali terbang menukik turun, dan hanya sendirian,
turun di saat mereka bermain,
Menyerang dan membunuh mereka sesukanya:
itulah jalan harimaumu.”
[348] Setelah mengatakan ini, ia memberikan tambahan semangat lagi kepada harimau: “Harimau besar, Anda tidak tahu kekuatanmu sendiri. Satu auman saja, dan satu terkaman— mereka tidak akan lagi berpasang-pasangan, saya berani bersumpah!” Harimau pun melakukan hal yang demikian.
Untuk menjelaskan ini, Sang Guru mengucapkan satu bait kalimat berikut ini:

“Kemudian ia dengan mata kejam nan serakah,
yang menganggap perkataan itu adalah benar,
Mempercayainya, dan dengan gigi taringnya,
tidak ada apa-apa yang lainnya lagi,
menerjang kelompok hewan bergading tanduk tersebut.”
Kemudian, harimau kembali dan berdiri di sana sebentar, di atas bukit. Babi-babi hutan memberitahu babi si tukang kayu bahwa ia datang lagi. “Jangan takut,” katanya, sambil menenangkan mereka, dan kemudian mengambil tempat berdiri di permukaan tanah di antara kedua lubang tersebut.

Harimau menerjang ke arah babi itu dengan segala kecepatan, tetapi babi itu menggulung ekor di moncongnya. Harimau itu tidak sempat memeriksa tindakannya tersebut dan jatuh ke dalam lubang yang berbentuk seperti kipas saringan. Dengan segera babi hutan tersebut melompat ke atas, menancapkan gading tanduknya di bagian paha harimau, menusuknya sampai ke jantung, memakan dagingnya, menggigitnya, memindahkannya ke dalam lubang yang satunya lagi sambil meneriakkan, “Nah, ambil si jahat ini!”

[349] Mereka yang datang duluan mendapat kesempatan gigitan satu mulut penuh, sedangkan mereka yang datang terlambat hanya bisa bertanya, “Bagaimana rasanya daging harimau itu?”
Babi si tukang kayu itu keluar dari dalam lubang. Setelah melihat yang lainnya di sekeliling, ia berkata, “Bagaimana, apakah kalian tidak menyukainya?” Mereka menjawab, “Tuan, Anda telah membereskan sang harimau dan itu cuma satu. Tetapi ada satu lagi yang lebih jahat daripada sepuluh harimau.” “Siapakah ia, katakan?” “Seorang petapa palsu yang memakan daging yang dibawakan oleh harimau itu selama ini.” “Kalau begitu, ayo berangkat. Kita akan menangkapnya.” Dengan cepat mereka bergerak bersama.

Waktu itu, petapa tersebut sedang melihat ke arah jalan, berharap harimau akan datang di setiap menitnya. Dan ternyata apa yang dilihatnya tidak lain tidak bukan adalah babi-babi hutan! “Menurutku, mereka telah membunuh harimau dan sekarang mereka datang untuk membunuhku!” Ia melarikan diri dan memanjat sebuah pohon ara.

“Ia memanjat pohon!” kata babi-babi hutan itu kepada pemimpinnya. “Pohon apa?” “Pohon ara.” “Baiklah, kita akan langsung mendapatkannya.” Ia meminta babi yang muda untuk menggali tanah sampai ke akar pohon tersebut, dan babi betina mengambil air sebanyak yang bisa ditampung mulut mereka, sampai pohon tersebut berdiri tegak dengan akar yang telanjang.

Kemudian ia meminta yang lainnya untuk menyingkir, dan dengan berlutut ia menghancurkan akar itu dengan menghantamkan gading tanduknya, ia memotong bersih akar-akarnya, seperti dengan sebuah kapak. Pohon itu tumbang dan laki-laki itu tidak dapat lari jauh di atas tanah. Ia dikoyak menjadi berkeping-keping dan dimakan di jalanan. Melihat kejadian luar biasa ini, dewa pohon mengucapkan satu bait kalimat berikut:

“Teman-teman yang bersatu, seperti pepohonan hutan—
adalah pemandangan yang indah dilihat:
Babi-babi hutan bersatu, dengan satu serangan
membunuh harimau secara serempak.”
Dan Sang Guru mengucapkan bait kalimat yang lain, tentang bagaimana mereka berdua dihancurkan:

“Brahmana dan harimau tersebut dihancurkan
oleh babi-babi hutan,
Dan mereka mengaum keras dan auman menggema
dalam kegembiraan mereka yang berlebihan.
[350] Babi hutan itu bertanya lagi, “Dan apakah kalian masih memiliki musuh yang lain?” “Tidak, Tuan,” jawab mereka. Kemudian mereka mengusulkan untuk menjadikannya sebagai raja mereka. Air pun dibawakan. Melihat kulit kerang yang digunakan petapa palsu tersebut untuk minum, yang merupakan sejenis kerang berharga dengan lingkaran spiral yang berputar ke arah kanan 227 , mereka mengisinya dengan air dan menahbiskan babi si tukang kayu di sana, di atas akar pohon ara, di sana air penabhisan itu dituang di badannya. Mereka menjadikan seorang babi betina muda sebagai ratunya.
Mulai saat itu, muncul kebiasaan yang masih terus berlangsung, yaitu di saat penabhisan seorang raja, mereka mendudukannya di atas kursi yang terbuat dari kayu ara dan memercikkan air padanya dari kulit kerang yang memiliki lingkaran spiral yang berputar ke arah kanan.

Ini juga dijelaskan Sang Guru dengan mengucapkan bait kalimat terakhir berikut ini:

“Babi-babi hutan itu di bawah pohon ara
menuangkan air suci,
Di badan tukang kayu, dan meneriakkan,
Anda adalah raja dan pemimpin kami!”
____________________

Setelah selesai menyampaikan uraian ini, Sang Guru berkata, “Tidak, para bhikkhu, ini bukan pertama kalinya Dhanuggaha-tissa menunjukkan bahwa dirinya pandai dalam strategi, tetapi juga sama halnya di masa lampau.” Dengan katakata ini, ia mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, Devadatta adalah petapa palsu, Dhanuggaha-tissa adalah babi si tukang kayu, dan saya sendiri adalah dewa pohon.”

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com