BHIKKHĀ-PARAMPARA-JĀTAKA
Bhikkhāparamparajātaka (Ja 496)
[369] “Saya melihat seseorang duduk,” dan seterusnya— Sang Guru menceritakan kisah ini ketika berada di Jetavana, tentang seorang tuan tanah.
Ia adalah seorang umat yang sejati dan setia, dan menunjukkan penghormatan yang tiada hentinya kepada Sang Tathagata dan para bhikkhu.
Suatu hari, pemikiran berikut ini muncul dalam dirinya, “Saya menunjukkan penghormatan yang tiada hentinya kepada Sang Buddha, Mestika yang berharga itu, dan juga para bhikkhu, mestika yang berharga itu, dengan memberikan mereka makanan yang lezat dan pakaian yang lembut. Sekarang saya harus menunjukkan penghormatan kepada mestika yang berharga itu, Dhamma. Tetapi bagaimanakah seseorang memberikan penghormatan kepadanya?” Maka ia membawa banyak kalung bunga yang diberi minyak wangi dan benda-benda sejenisnya dan pergi ke Jetavana.
Dengan memberi salam hormat kepada Sang Guru, ia menanyakan-Nya pertanyaan ini: “Buddha, keinginanku adalah menunjukkan penghormatan kepada Mestika Dhamma. Bagaimanakah orang melakukannya?” Sang Guru menjawab, “Jika keinginanmu adalah untuk menunjukkan penghormatan kepada Mestika Dhamma, maka tunjukkanlah itu kepada Ananda, Sang Bendahara Dhamma (dhammabhaṇḍāgārika).” “Baiklah,” katanya dan berjanji melakukan demikian.
Ia mengundang Thera tersebut untuk mengunjunginya, dan keesokan harinya membawa beliau ke rumahnya dengan kebesaran dan keindahan yang agung. Ia mempersilahkan Thera tersebut duduk di tempat duduk yang besar, dan menyembahnya dengan kalung bunga yang diberi minyak wangi dan sebagainya, memberikan beliau beragam jenis makanan, mempersembahkan kain yang sangat berharga yang cukup untuk membuat tiga buah jubah.
Ananda berpikir, “Penghormatan ini dilakukan untuk Mestika Dhamma. Ini tidak cocok untuk diriku, tetapi cocok untuk Panglima Dhamma.” Maka dengan makanan yang diletakkan di dalam patta dan kainnya juga, ia membawanya ke vihara dan memberikannya kepada Sariputta Thera.
Beliau juga berpikiran yang sama, “Penghormatan ini dilakukan untuk Mestika Dhamma. Ini hanya cocok untuk Sammasambuddha, Sang Wali Dhamma,” dan beliau pun memberikannya kepada Dasabala. Melihat tidak ada seorang pun berada di atasnya, Beliau memakan makanan tersebut dan menerima kain untuk jubah tersebut.
Dan para bhikkhu membicarakan tentang hal ini di dhammasabhā: “Āvuso, tuan tanah ini, yang bermaksud untuk menunjukkan penghormatan kepada Dhamma, memberikan dana kepada Ananda Thera, Sang Bendahara Dhamma. Beliau merasa dirinya tidak pantas menerima itu dan memberikannya kepada Panglima Dhamma. Dan beliau juga yang berpikiran bahwa ia tidak pantas menerima itu, memberikannya kepada Sang Tathagata. Sang Tathagata, yang melihat tidak ada orang lain di atas dirinya, mengetahui bahwa benda-benda tersebut pantas untuk dirinya karena Beliau adalah Sammasambuddha, memakan makanannya, dan mengambil kain untuk jubah tersebut. Demikianlah dana pemberian itu menemukan tuannya, dengan sampai kepada-Nya yang berhak.”
Sang Guru berjalan masuk dan menanyakan apa yang mereka sedang bicarakan sambil duduk di sana. Mereka memberitahu Beliau. “Para bhikkhu,” katanya, “Ini bukan pertama kalinya makanan derma sampai ke yang berhak melalui berbagai tahapan, demikian juga halnya di masa lampau, sebelum adanya Sang Buddha.”
Dengan kata-kata ini, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
[370] Dahulu kala, setelah meninggalkan jalan-jalan yang salah, Brahmadatta memerintah sesuai dengan Dhamma tanpa bertentangan dengan sepuluh rajadhamma. Dengan keadaan yang demikian, pengadilannya bisa dikatakan menjadi kosong.
Untuk mencari kesalahan dirinya sendiri, raja bertanya kepada semua orang, dimulai dari yang tinggal bersama di sekitarnya. Akan tetapi, ia tidak dapat menemukan seorang pun yang menjumpai kesalahannya untuk diberitahukan kepadanya, baik di tempat tinggal para wanitanya, di kota maupun di desa 239 .
Kemudian ia memutuskan untuk mencoba menjadi penduduk desa. Maka dengan mengalihkan pemerintahan kepada para menterinya dan dengan membawa pendeta kerajaan bersamanya, ia menjelajahi kerajaan Kasi dalam samaran. Walaupun demikian, ia tidak menemukan seorang pun yang menjumpai kesalahannya untuk diberitahukan kepada dirinya.
Akhirnya, ia sampai di sebuah desa di daerah perbatasan dan duduk di sebuah aula tanpa pintu gerbang. Pada waktu itu, seorang tuan tanah dari desa tersebut, seorang yang kaya dengan harta sebanyak delapan ratus juta rupee, yang sedang berjalan bersama dengan rombongan besar ke tempat pemandian, melihat raja duduk di dalam aula tersebut dengan tubuhnya yang bagus dan kulit yang berwarna keemasan. Ia tertarik dengannya. Dengan masuk ke dalam aula tersebut, ia berkata, “Tunggu di sini sebentar.” Kemudian ia pergi ke rumahnya, menyiapkan segala jenis makanan lezat, dan kembali bersama rombongan besarnya dengan membawa bejana-bejana makanan.
Pada waktu yang bersamaan, seorang petapa dari Himalaya datang dan duduk di sana, seseorang yang memiliki lima kekuatan gaib (abhinna). Dan juga seorang Pacceka Buddha dari gua di Gunung Nanda, datang dan duduk di sana. Tuan tanah tersebut memberikan air kepada raja untuk membersihkan tangannya, menyiapkan sepiring makanan dengan semua saus dan bumbunya, dan meletakkannya di hadapan raja. Raja menerimanya dan memberikannya kepada pendeta kerajaan. Brahmana itu menerimanya dan memberikannya kepada petapa. Petapa bangkit berjalan ke arah Pacceka Buddha, dengan tangan kiri memegang bejana makanan dan tangan kanan memegang vas air, pertama-tama menuangkan air persembahan dan kemudian meletakkan makanannya ke dalam patta. Pacceka Buddha itu kemudian memakannya, tanpa mengajak yang lainnya untuk ikut serta atau menawarkan kepada mereka.
Setelah makanannya selesai disantap, tuan tanah itu berpikir, “Saya memberikan makanan itu kepada raja, raja memberikannya kepada brahmana, brahmana kepada petapa, petapa kepada Pacceka Buddha. Pacceka Buddha menyantapnya tanpa meminta izin. Apa arti dari cara pemberian ini? [371] Mengapa yang terakhir menerima makanan itu menyantapnya tanpa izinmu atau atas izinmu? Saya akan bertanya kepada mereka satu per satu.”
Kemudian ia menghampiri mereka secara bergantian. Dengan memberi salam hormat kepada mereka, menanyakan pertanyaannya yang kemudian dijawab oleh mereka:
“Saya melihat seseorang yang pantas mendapatkan tahta,
yang datang dari suatu kerajaan
Untuk meninggalkan segala sesuatunya
dari istana, gambaran yang lembut.”
“Kepadanya dengan kebaikan saya memberikan biji-bijian padi
yang dipetik untuk dimakan,
Sepiring nasi yang semuanya dimasak dengan begitu lezat
seperti yang ditaburkan orang-orang di atas daging.
“Anda mengambil makanannya, dan memberikannya
kepada brahmana, tanpa memakan sedikitpun:
Dengan segala hormat saya bertanya,
apa maksud dari yang Anda lakukan ini?”
“Guruku, pembimbingku, ia sangat tekun dalam segala kewajibannya
baik yang besar maupun kecil,
Saya sudah seharusnya memberikan makanan itu kepadanya,
karena ia memang berhak mendapatkan semuanya itu.”
“Brahmana, yang bahkan dihormati oleh raja,
katakan mengapa Anda tidak makan240
Sepiring nasi tersebut, yang semuanya dimasak dengan demikian lezat,
yang orang-orang taburi di atas daging.
“Anda tidak tahu tentang ruang lingkup dana,
Anda malah memberikannya kepada orang suci:
Dengan segala hormat saya bertanya,
apa maksud dari yang Anda lakukan itu?”
“Saya memiliki istri dan keluarga,
juga tinggal di rumah,
Saya menjalankan keinginan seorang raja,
menuruti keinginanku sendiri juga.
“Tidak seperti seorang petapa bijak
yang bertempat tinggal di dalam hutan,
Tua, berlatih kehidupan suci di dalam hutan,
saya sudah seharusnya memberikan makanan itu.”
“Sekarang saya bertanya kepada orang suci yang kurus,
yang kulitnya memperlihatkan semua pembuluh darah yang ada dibawah,
Dengan kuku yang tumbuh panjang, rambut yang panjang,
dan kepala dan rambut yang kotor:
“Apakah Anda tidak peduli dengan kehidupan,
O penghuni yang kesepian di dalam hutan?
Bagaimana bhikkhu ini lebih baik dari Anda
yang memberikan makanan itu kepadanya?”
“Saya menggali untuk mendapatkan umbi-umbian dan lobak,
saya mencari tanaman catmint dan obat-obatan,
Memungut beras, mengayak biji mustard,
dan menjemur mereka menjadi kering,
“Tanaman herba, akar teratai, madu, daging,
buah bidara cina241, dan buah malaka.
Inilah harta kekayaanku, dan saya mengambil
dan membuat mereka menjadi layak untuk dimakan.
[372] “Saya memasak, sedangkan ia tidak:
Saya memiliki simpanan kekayaan, ia tidak ada sama sekali:
saya terikat ketat Dengan benda-benda duniawi,
sedangkan dirinya bebas: makanan itu sudah sewajarnya menjadi miliknya.”
“Saya bertanya kepada bhikkhu, yang duduk di sana,
dengan semua keinginan yang telah ditinggalkan; —
Sepiring nasi ini, semuanya dimasak dengan lezat,
yang orang-orang taruh di dalam makanan mereka,
“Anda mengambilnya, dan dengan lahap menyantapnya,
tidak berbagi dengan siapapun;
Dengan segala hormat saya bertanya,
apa maksud dari yang Anda lakukan itu?”
“Saya tidak memasak, ataupun meminta orang untuk memasak,
merusak ataupun telah merusak;
Ia tahu bahwa saya tidak memiliki kekayaan apapun,
saya menghindari segala perbuatan dosa.
“Kendi air dibawanya di tangan kanan,
dan makanan di tangan kiri,
Memberikanku kaldu yang orang taburi pada daging,
sepiring nasi itu sangatlah bagus;
“Mereka masih memiliki harta benda,
mereka memiliki harta kekayaan, memberi adalah kewajiban mereka;
Ia yang meminta seorang pemberi untuk ikut serta memakannya
adalah seorang musuh.”
[373] Mendengar perkataan ini, tuan tanah itu mengucapkan dua bait kalimat terakhir berikut ini dalam kegembiraan yang amat sangat:
“Adalah suatu kesempatan yang membahagiakan bagiku hari ini
untuk membawakan makanan itu kepada raja:
Saya tidak pernah tahu sebelumnya bahwa pemberian derma
akan membawa hasil yang berlimpah.
“Para raja di kerajaan mereka, para brahmana di dalam pekerjaan mereka,
dipenuhi dengan keserakahan,
Para orang suci yang memungut buah dan akar-akaran:
Bhikkhu terbebas dari perbuatan dosa.”
Setelah memberikan khotbah Dhamma kepadanya, Pacceka Buddha tersebut pergi kembali ke tempat kediamannya sendiri. Demikian juga halnya dengan petapa itu. Dan setelah tinggal beberapa hari dengan tuan tanah itu, raja kembali ke Benares.
____________________
[374] Setelah selesai menyampaikan uraian ini, Sang Guru berkata, “Ini bukanlah pertama kalinya, para bhikkhu, makanan sampai kepada ia yang memang berhak mendapatkannya, karena hal yang sama juga terjadi sebelumnya.”
Kemudian Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, tuan tanah yang melakukan penghormatan kepada Dhamma adalah tuan tanah yang ada di dalam cerita ini, Ananda adalah raja, Sariputta adalah pendeta kerajaan, dan saya sendiri adalah petapa yang tinggal di Gunung Himalaya.”
Ia adalah seorang umat yang sejati dan setia, dan menunjukkan penghormatan yang tiada hentinya kepada Sang Tathagata dan para bhikkhu.
Suatu hari, pemikiran berikut ini muncul dalam dirinya, “Saya menunjukkan penghormatan yang tiada hentinya kepada Sang Buddha, Mestika yang berharga itu, dan juga para bhikkhu, mestika yang berharga itu, dengan memberikan mereka makanan yang lezat dan pakaian yang lembut. Sekarang saya harus menunjukkan penghormatan kepada mestika yang berharga itu, Dhamma. Tetapi bagaimanakah seseorang memberikan penghormatan kepadanya?” Maka ia membawa banyak kalung bunga yang diberi minyak wangi dan benda-benda sejenisnya dan pergi ke Jetavana.
Dengan memberi salam hormat kepada Sang Guru, ia menanyakan-Nya pertanyaan ini: “Buddha, keinginanku adalah menunjukkan penghormatan kepada Mestika Dhamma. Bagaimanakah orang melakukannya?” Sang Guru menjawab, “Jika keinginanmu adalah untuk menunjukkan penghormatan kepada Mestika Dhamma, maka tunjukkanlah itu kepada Ananda, Sang Bendahara Dhamma (dhammabhaṇḍāgārika).” “Baiklah,” katanya dan berjanji melakukan demikian.
Ia mengundang Thera tersebut untuk mengunjunginya, dan keesokan harinya membawa beliau ke rumahnya dengan kebesaran dan keindahan yang agung. Ia mempersilahkan Thera tersebut duduk di tempat duduk yang besar, dan menyembahnya dengan kalung bunga yang diberi minyak wangi dan sebagainya, memberikan beliau beragam jenis makanan, mempersembahkan kain yang sangat berharga yang cukup untuk membuat tiga buah jubah.
Ananda berpikir, “Penghormatan ini dilakukan untuk Mestika Dhamma. Ini tidak cocok untuk diriku, tetapi cocok untuk Panglima Dhamma.” Maka dengan makanan yang diletakkan di dalam patta dan kainnya juga, ia membawanya ke vihara dan memberikannya kepada Sariputta Thera.
Beliau juga berpikiran yang sama, “Penghormatan ini dilakukan untuk Mestika Dhamma. Ini hanya cocok untuk Sammasambuddha, Sang Wali Dhamma,” dan beliau pun memberikannya kepada Dasabala. Melihat tidak ada seorang pun berada di atasnya, Beliau memakan makanan tersebut dan menerima kain untuk jubah tersebut.
Dan para bhikkhu membicarakan tentang hal ini di dhammasabhā: “Āvuso, tuan tanah ini, yang bermaksud untuk menunjukkan penghormatan kepada Dhamma, memberikan dana kepada Ananda Thera, Sang Bendahara Dhamma. Beliau merasa dirinya tidak pantas menerima itu dan memberikannya kepada Panglima Dhamma. Dan beliau juga yang berpikiran bahwa ia tidak pantas menerima itu, memberikannya kepada Sang Tathagata. Sang Tathagata, yang melihat tidak ada orang lain di atas dirinya, mengetahui bahwa benda-benda tersebut pantas untuk dirinya karena Beliau adalah Sammasambuddha, memakan makanannya, dan mengambil kain untuk jubah tersebut. Demikianlah dana pemberian itu menemukan tuannya, dengan sampai kepada-Nya yang berhak.”
Sang Guru berjalan masuk dan menanyakan apa yang mereka sedang bicarakan sambil duduk di sana. Mereka memberitahu Beliau. “Para bhikkhu,” katanya, “Ini bukan pertama kalinya makanan derma sampai ke yang berhak melalui berbagai tahapan, demikian juga halnya di masa lampau, sebelum adanya Sang Buddha.”
Dengan kata-kata ini, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
[370] Dahulu kala, setelah meninggalkan jalan-jalan yang salah, Brahmadatta memerintah sesuai dengan Dhamma tanpa bertentangan dengan sepuluh rajadhamma. Dengan keadaan yang demikian, pengadilannya bisa dikatakan menjadi kosong.
Untuk mencari kesalahan dirinya sendiri, raja bertanya kepada semua orang, dimulai dari yang tinggal bersama di sekitarnya. Akan tetapi, ia tidak dapat menemukan seorang pun yang menjumpai kesalahannya untuk diberitahukan kepadanya, baik di tempat tinggal para wanitanya, di kota maupun di desa 239 .
Kemudian ia memutuskan untuk mencoba menjadi penduduk desa. Maka dengan mengalihkan pemerintahan kepada para menterinya dan dengan membawa pendeta kerajaan bersamanya, ia menjelajahi kerajaan Kasi dalam samaran. Walaupun demikian, ia tidak menemukan seorang pun yang menjumpai kesalahannya untuk diberitahukan kepada dirinya.
Akhirnya, ia sampai di sebuah desa di daerah perbatasan dan duduk di sebuah aula tanpa pintu gerbang. Pada waktu itu, seorang tuan tanah dari desa tersebut, seorang yang kaya dengan harta sebanyak delapan ratus juta rupee, yang sedang berjalan bersama dengan rombongan besar ke tempat pemandian, melihat raja duduk di dalam aula tersebut dengan tubuhnya yang bagus dan kulit yang berwarna keemasan. Ia tertarik dengannya. Dengan masuk ke dalam aula tersebut, ia berkata, “Tunggu di sini sebentar.” Kemudian ia pergi ke rumahnya, menyiapkan segala jenis makanan lezat, dan kembali bersama rombongan besarnya dengan membawa bejana-bejana makanan.
Pada waktu yang bersamaan, seorang petapa dari Himalaya datang dan duduk di sana, seseorang yang memiliki lima kekuatan gaib (abhinna). Dan juga seorang Pacceka Buddha dari gua di Gunung Nanda, datang dan duduk di sana. Tuan tanah tersebut memberikan air kepada raja untuk membersihkan tangannya, menyiapkan sepiring makanan dengan semua saus dan bumbunya, dan meletakkannya di hadapan raja. Raja menerimanya dan memberikannya kepada pendeta kerajaan. Brahmana itu menerimanya dan memberikannya kepada petapa. Petapa bangkit berjalan ke arah Pacceka Buddha, dengan tangan kiri memegang bejana makanan dan tangan kanan memegang vas air, pertama-tama menuangkan air persembahan dan kemudian meletakkan makanannya ke dalam patta. Pacceka Buddha itu kemudian memakannya, tanpa mengajak yang lainnya untuk ikut serta atau menawarkan kepada mereka.
Setelah makanannya selesai disantap, tuan tanah itu berpikir, “Saya memberikan makanan itu kepada raja, raja memberikannya kepada brahmana, brahmana kepada petapa, petapa kepada Pacceka Buddha. Pacceka Buddha menyantapnya tanpa meminta izin. Apa arti dari cara pemberian ini? [371] Mengapa yang terakhir menerima makanan itu menyantapnya tanpa izinmu atau atas izinmu? Saya akan bertanya kepada mereka satu per satu.”
Kemudian ia menghampiri mereka secara bergantian. Dengan memberi salam hormat kepada mereka, menanyakan pertanyaannya yang kemudian dijawab oleh mereka:
“Saya melihat seseorang yang pantas mendapatkan tahta,
yang datang dari suatu kerajaan
Untuk meninggalkan segala sesuatunya
dari istana, gambaran yang lembut.”
“Kepadanya dengan kebaikan saya memberikan biji-bijian padi
yang dipetik untuk dimakan,
Sepiring nasi yang semuanya dimasak dengan begitu lezat
seperti yang ditaburkan orang-orang di atas daging.
“Anda mengambil makanannya, dan memberikannya
kepada brahmana, tanpa memakan sedikitpun:
Dengan segala hormat saya bertanya,
apa maksud dari yang Anda lakukan ini?”
“Guruku, pembimbingku, ia sangat tekun dalam segala kewajibannya
baik yang besar maupun kecil,
Saya sudah seharusnya memberikan makanan itu kepadanya,
karena ia memang berhak mendapatkan semuanya itu.”
“Brahmana, yang bahkan dihormati oleh raja,
katakan mengapa Anda tidak makan240
Sepiring nasi tersebut, yang semuanya dimasak dengan demikian lezat,
yang orang-orang taburi di atas daging.
“Anda tidak tahu tentang ruang lingkup dana,
Anda malah memberikannya kepada orang suci:
Dengan segala hormat saya bertanya,
apa maksud dari yang Anda lakukan itu?”
“Saya memiliki istri dan keluarga,
juga tinggal di rumah,
Saya menjalankan keinginan seorang raja,
menuruti keinginanku sendiri juga.
“Tidak seperti seorang petapa bijak
yang bertempat tinggal di dalam hutan,
Tua, berlatih kehidupan suci di dalam hutan,
saya sudah seharusnya memberikan makanan itu.”
“Sekarang saya bertanya kepada orang suci yang kurus,
yang kulitnya memperlihatkan semua pembuluh darah yang ada dibawah,
Dengan kuku yang tumbuh panjang, rambut yang panjang,
dan kepala dan rambut yang kotor:
“Apakah Anda tidak peduli dengan kehidupan,
O penghuni yang kesepian di dalam hutan?
Bagaimana bhikkhu ini lebih baik dari Anda
yang memberikan makanan itu kepadanya?”
“Saya menggali untuk mendapatkan umbi-umbian dan lobak,
saya mencari tanaman catmint dan obat-obatan,
Memungut beras, mengayak biji mustard,
dan menjemur mereka menjadi kering,
“Tanaman herba, akar teratai, madu, daging,
buah bidara cina241, dan buah malaka.
Inilah harta kekayaanku, dan saya mengambil
dan membuat mereka menjadi layak untuk dimakan.
[372] “Saya memasak, sedangkan ia tidak:
Saya memiliki simpanan kekayaan, ia tidak ada sama sekali:
saya terikat ketat Dengan benda-benda duniawi,
sedangkan dirinya bebas: makanan itu sudah sewajarnya menjadi miliknya.”
“Saya bertanya kepada bhikkhu, yang duduk di sana,
dengan semua keinginan yang telah ditinggalkan; —
Sepiring nasi ini, semuanya dimasak dengan lezat,
yang orang-orang taruh di dalam makanan mereka,
“Anda mengambilnya, dan dengan lahap menyantapnya,
tidak berbagi dengan siapapun;
Dengan segala hormat saya bertanya,
apa maksud dari yang Anda lakukan itu?”
“Saya tidak memasak, ataupun meminta orang untuk memasak,
merusak ataupun telah merusak;
Ia tahu bahwa saya tidak memiliki kekayaan apapun,
saya menghindari segala perbuatan dosa.
“Kendi air dibawanya di tangan kanan,
dan makanan di tangan kiri,
Memberikanku kaldu yang orang taburi pada daging,
sepiring nasi itu sangatlah bagus;
“Mereka masih memiliki harta benda,
mereka memiliki harta kekayaan, memberi adalah kewajiban mereka;
Ia yang meminta seorang pemberi untuk ikut serta memakannya
adalah seorang musuh.”
[373] Mendengar perkataan ini, tuan tanah itu mengucapkan dua bait kalimat terakhir berikut ini dalam kegembiraan yang amat sangat:
“Adalah suatu kesempatan yang membahagiakan bagiku hari ini
untuk membawakan makanan itu kepada raja:
Saya tidak pernah tahu sebelumnya bahwa pemberian derma
akan membawa hasil yang berlimpah.
“Para raja di kerajaan mereka, para brahmana di dalam pekerjaan mereka,
dipenuhi dengan keserakahan,
Para orang suci yang memungut buah dan akar-akaran:
Bhikkhu terbebas dari perbuatan dosa.”
Setelah memberikan khotbah Dhamma kepadanya, Pacceka Buddha tersebut pergi kembali ke tempat kediamannya sendiri. Demikian juga halnya dengan petapa itu. Dan setelah tinggal beberapa hari dengan tuan tanah itu, raja kembali ke Benares.
____________________
[374] Setelah selesai menyampaikan uraian ini, Sang Guru berkata, “Ini bukanlah pertama kalinya, para bhikkhu, makanan sampai kepada ia yang memang berhak mendapatkannya, karena hal yang sama juga terjadi sebelumnya.”
Kemudian Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, tuan tanah yang melakukan penghormatan kepada Dhamma adalah tuan tanah yang ada di dalam cerita ini, Ananda adalah raja, Sariputta adalah pendeta kerajaan, dan saya sendiri adalah petapa yang tinggal di Gunung Himalaya.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com