MĀTAṄGA-JĀTAKA
Mātaṅgajātaka (Ja 497)
[375] “Darimana Anda datang,” dan seterusnya—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang keturunan raja Udena.
Pada waktu itu, Yang Mulia Pinḍolabhāradvāja, yang ketika terbang di udara dari Jetavana, biasanya melewati panasnya siang hari di taman raja Udena di Kosambi.
Diberitahukan bahwasannya Thera ini terlahir sebagai raja di kehidupan sebelumnya dan dalam waktu yang lama menikmati kejayaan di taman yang sama itu juga beserta dengan rombongannya. Dikarenakan jasa-jasa kebajikan yang dilakukannya itu, beliau dapat duduk di sana di saat panasnya hari, menikmati kebahagiaan dari pencapaian yang merupakan buah dari perbuatannya.
Suatu hari sang Thera berada di tempat itu dan sedang duduk di bawah pohon sala yang bermekaran ketika Udena datang ke taman disertai dengan sejumlah besar pengikutnya.
Selama tujuh hari raja banyak minum dan berkeinginan untuk bersenang-senang di taman. Ia berbaring di tempat duduk yang megah di lengan salah satu wanitanya, dan karena dilayani dengan baik, ia pun segera tertidur. Kemudian para wanita yang duduk sambil bernyanyi di sekelilingnya, meletakkan alat-alat musik mereka, dan berkeliaran dengan senangnya mengumpulkan bunga dan buah.
Kemudian mereka melihat sang Thera, mereka menghampiri beliau, memberi salam hormat dan duduk. Beliau tetap duduk di tempatnya semula dan memberikan khotbah Dhamma kepada mereka. Wanita yang satunya lagi membangunkan raja dengan cara menggeser tangannya, yang kemudian berkata, “Kemana perginya para wanita penghibur itu?” Wanita itu menjawabnya, “Mereka sedang duduk dengan membentuk lingkaran mengelilingi seorang petapa.”
Raja menjadi marah dan pergi menjumpai Thera itu, dengan mencaci maki dan mencercanya: “Keluarkan itu, saya akan membuat orang ini dimakan oleh semut-semut merah!” Maka dalam kemarahan, raja menyuruh pengawalnya menuangkan semut merah sebanyak satu keranjang penuh ke badan Thera tersebut.
Tetapi Thera itu terbang ke udara dan memberi nasehat kepada raja; kemudian pergi kembali ke Jetavana dan singgah di pintu gandhakuṭi. “Darimana Anda datang?” tanya Sang Tathagata, dan ia memberitahu Beliau keadaan yang sebenarnya.
“Bhāradvāja,” kata Beliau, “ini bukanlah pertama kalinya Udena melakukan ini meskipun terhadap orang suci, tetapi juga sebelumnya ia melakukan hal yang sama.”
Kemudian atas permintaan Thera tersebut, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
[376] Dahulu kala ketika Brahmadatta berkuasa sebagai raja Benares, Sang Mahasatwa terlahir di luar kota itu, sebagai putra seorang Caṇḍāla dan diberi nama Mātaṅga, sang Gajah242. Setelah itu, ia mencapai kebijaksanaan dan ketenarannya tersebar luas sebagai Mātaṅga yang bijak.
Pada waktu itu, seorang Diṭṭha-maṅgalikā 243 , putri dari seorang saudagar Benares, setiap satu atau dua bulan datang dan bermain-main di taman dengan kumpulan teman-temannya.
Suatu hari, Sang Mahasatwa pergi ke kota untuk satu urusan dan ketika memasuki gerbang, ia bertemu dengan Diṭṭha-maṅgalikā. Ia melangkah ke samping dan berdiri dengan cukup kaku. Dari belakang tirainya, Diṭṭha-maṅgalikā melihat Sang Mahasatwa dan bertanya, “Siapa itu?” “Seorang Caṇḍāla, Nona.” “Bah,” katanya, “Saya telah melihat sesuatu yang membawa ketidakberuntungan,” dan membersihkan matanya dengan air yang wangi, kemudian berpaling kembali.
Orang-orang yang bersamanya berkata dengan keras, “Ah, orang buangan yang buruk, Anda telah menyebabkan kami kehilangan makanan dan minuman gratis hari ini!” Dalam kemarahan, mereka memukul Mātaṅga yang bijak dengan tangan dan kaki, membuatnya menjadi tidak sadarkan diri dan pergi.
Tidak berapa lama kemudian, ia sadar dan berpikir, “Orang-orang yang bersama dengan Diṭṭhamaṅgalikā memukul diriku, seorang laki-laki yang tidak berdosa, tanpa alasan. Saya tidak akan bergerak sampai saya mendapatkan dirinya, tidak sekejap pun.” Dengan keputusan ini, ia pergi dan berbaring di depan pintu rumah ayahnya (ayah Diṭṭha-maṅgalikā).
Ketika ditanya mengapa ia berbaring di sana, ia menjawab, “Yang saya inginkan hanyalah Diṭṭha-maṅgalikā.” Satu hari berlalu, kemudian hari kedua, ketiga, keempat, kelima dan keenam. Keputusan dari para Buddha tidak dapat diubah. Oleh karenanya, pada hari ketujuh mereka membawa Diṭṭhamaṅgalikā keluar dan memberikannya kepada dirinya.
Kemudian Diṭṭha-maṅgalikā berkata, “Bangunlah, Tuan, dan mari kita pergi ke rumahmu.” Tetapi ia berkata, “Nona, saya telah dipukul habis-habisan oleh orang-orangmu, saya menjadi lemah. Gendonglah saya.” Diṭṭha-maṅgalikā melakukannya, dengan dilihat oleh semua penduduk mereka pergi ke tempat tinggal sang Caṇḍāla.
Di sana selama beberapa hari Sang Mahasatwa menahannya, tanpa melanggar aturan-aturan kasta. Kemudian ia berpikir, “Hanya dengan meninggalkan kehidupan duniawi dan tidak ada jalan yang lainnya lagi, saya baru dapat menunjukkan kehormatan tertinggi kepada wanita ini dan memberikan hadiah terbaik kepadanya.” [377] Maka ia berkata kepadanya, “Nona, jika saya tidak mendapatkan apa-apa dari dalam hutan, kita tidak dapat hidup. Saya akan masuk ke dalam hutan. Tunggu sampai saya kembali, jangan khawatir.” Ia memberikan perintah kepada orang-orang yang ada di rumah tangganya untuk tidak mengabaikannya, dan kemudian pergi ke dalam hutan, menjalani kehidupan suci dengan segala ketekunan sehingga dalam tujuh hari ia mengembangkan delapan pencapaian meditasi 244 dan lima abhinna.
Kemudian ia berpikir, “Sekarang saya akan dapat melindungi Diṭṭha-maṅgalikā.” Dengan kekuatan gaibnya, ia pulang kembali dan turun di pintu gerbang desa Caṇḍāla, yang kemudian dilanjutkannya menuju ke pintu rumah Diṭṭhamaṅgalikā. Ketika mendengar kedatangannya, Diṭṭha-maṅgalikā keluar dan mulai menangis sembari berkata, “Mengapa Anda meninggalkan diriku, Tuan, dan menjadi seorang petapa?” Ia berkata, “Tidak apa-apa, Nona. Sekarang saya akan membuat Anda menjadi lebih berjaya dibandingkan kejayaan Anda dulu. Apakah Anda mampu mengatakan ini di tengah banyak orang: ‘Suamiku bukanlah Mātaṅga, melainkan dewa Brahma yang agung?’ ” “Ya, Tuan, saya mampu melakukannya.” “Bagus sekali, ketika mereka bertanya kepadamu dimana suamimu berada, Anda harus menjawabnya dengan mengatakan, ‘Ia pergi ke alam Brahma’. Jika mereka menanyakan kapan ia akan kembali, Anda harus mengatakan, ‘Dalam tujuh hari ia akan kembali dengan memecahkan cakra bulan di saat purnama.” Dengan kata-kata ini, ia pergi ke Gunung Himalaya.
Waktu itu Diṭṭha-maṅgalikā mengatakan apa yang telah dipesankan kepada dirinya di mana-mana di Benares, di tengah banyak orang. Orang-orang mempercayainya sambil berkata, “Ah, ia adalah dewa Brahma yang agung. Oleh karenanya, ia tidak mengunjungi Diṭṭha-maṅgalikā, tetapi berangsur-angsur akan menjadi demikian.” Di malam bulan purnama, di saat bulan berada di jalur tengah, Bodhisatta mengambil wujud dewa Brahma, di tengah seberkas cahaya yang memenuhi kerajaan Kasi dan kota Benares yang luasnya dua belas yojana, menembus keluar dari bulan dan turun.
Tiga kali ia berkeliling di atas kota Benares dan menerima pemujaan orang banyak dengan kalung bunga yang wangi dan sebagainya, kemudian memalingkan wajahnya ke arah desa Caṇḍāla. Para pemuja dewa Brahma tersebut berkumpul bersama dan pergi ke desa Caṇḍāla. Mereka menutupi rumah Diṭṭha-maṅgalikā dengan kain putih, menyapu bersih tanahnya dengan empat jenis benda yang wangi, menebarkan bunga-bunga, [378] membakar dupa, membentangkan sebuah tenda, menyiapkan tempat duduk yang bagus, menghidupkan lampu dengan minyak yang harum, meletakkan pasir putih dan halus seperti lempengan perak di pintu, menebarkan bunga-bunga, memasang panji-panji.
Sebelum rumah itu dihias demikian, Sang Mahasatwa turun dan masuk ke dalamnya, duduk sebentar di tempat duduknya. Waktu itu, Diṭṭha-maṅgalikā sedang menstruasi. Ibu jarinya (Mātaṅga) menyentuh pusar Diṭṭha-maṅgalikā, dan ia mengandung. Kemudian Sang Mahasatwa berkata kepadanya, “Nona, Anda hamil sekarang, dan Anda akan melahirkan seorang putra nantinya. Anda dan putramu akan mendapatkan kehormatan dan penghargaan tertinggi; air yang membasuh kakimu akan digunakan oleh para raja untuk upacara pemberkatan di seluruh India, air yang Anda gunakan untuk mandi akan menjadi ramuan keabadian, mereka yang memercikkan air tersebut di kepalanya akan terbebas dari segala macam penyakit dan tidak akan mengenal yang namanya ketidakberuntungan, mereka yang bersujud dengan kepalanya menyentuh kakimu dan menghormatimu akan memberikan seribu keping uang, mereka yang berdiri ketika mendengar tentang dirimu dan menghormatimu akan memberikan seratus keping uang, mereka yang berdiri ketika melihat dirimu dan menghormatimu akan memberikan satu rupee. Bersemangatlah!” Dengan nasehat ini, di hadapan kerumunan orang, ia terbang dan masuk kembali ke bulan.
Para pemuja dewa Brahma tersebut berkumpul dan berdiri di sana sepanjang malam. Di pagi harinya, mereka membuat Diṭṭha-maṅgalikā masuk ke dalam tandu emas, dan dengan mengangkat tandu tersebut di kepala mereka, membawanya menuju ke kota. Kerumuan orang mendatanginya sambil berkata dengan keras, “Istri dari dewa Brahma yang agung!” dan memberikan pemujaan dengan kalung bunga yang wangi dan benda lain sebagainya: mereka yang diizinkan untuk bersujud dengan kepala menyentuh kakinya dan menghormatinya memberikan seribu keping uang, mereka yang memberi hormat kepadanya ketika mendengar tentang dirinya memberikan seratus keping uang, mereka yang memberi hormat kepadanya ketika melihat dirinya memberikan satu rupee. Demikianlah mereka, dengan melewati seluruh kota Benares yang luasnya dua belas yojana, mendapatkan uang sejumlah seratus delapan puluh juta rupee.
Setelah demikian mengelilingi kota, mereka membawa Diṭṭha-maṅgalikā ke pusat kota. Di sana mereka membangun sebuah paviliun yang megah, meletakkan tirai di sekelilingnya, dan membuatnya tinggal di sana di tengah-tengah kejayaan dan kemakmuran. Di depan paviliun tersebut, mereka mulai membangun tujuh pintu gerbang masuk yang besar dan sebuah istana bertingkat tujuh: banyak pencapaian baru yang didapatkan karena perbuatan mereka tersebut.
Di dalam paviliun yang sama itu juga, Diṭṭha-maṅgalikā melahirkan seorang putra. Pada hari pemberian namanya, [379] para brahmana berkumpul bersama dan memberinya nama Maṇḍavya-kumāra, Pangeran Paviliun, karena ia dilahirkan di sana.
Istana itu selesai dalam sepuluh bulan. Mulai saat itu, ia tinggal di dalamnya dengan sangat dihormati. Dan pangeran Maṇḍya tumbuh di tengah kemuliaan yang luar biasa. Ketika ia berusia tujuh atau delapan tahun, para guru terbaik di seluruh jangkauan negeri India berkumpul bersama, mengajarkan dirinya tiga kitab Veda. Mulai dari umur enam belas tahun, ia menyediakan makanan untuk para brahmana, dan enam belas ribu brahmana diberikan makan tanpa ada hentinya. Di pintu gerbang benteng keempat, derma diberikan kepada para brahmana.
Pada satu hari festival yang megah, mereka menyiapkan sejumlah bubur nasi, dan enam belas ribu brahmana duduk di pintu gerbang benteng keempat untuk memakan dana makanan itu, ditambah dengan mentega segar yang berwarna kuning keemasan, campuran antara madu dan gula batu. Pangeran itu sendiri, yang dihiasi permata dengan sangat bagus, mengenakan sandal emas di kakinya dan memegang tongkat emas murni di tangannya, berjalan ke sana kemari dan memberikan petunjuk, “Mentega di sebelah sini, madu di sebelah sini.”
Pada waktu itu, Mātaṅga yang bijak, yang sedang duduk dalam tempat petapaannya di pegunungan Himalaya, mengalihkan pikirannya untuk mengetahui kabar dari putra Diṭṭha-maṅgalikā. Mengetahui bahwa ia sedang berada di jalan yang salah, Mātaṅga berpikir, “Hari ini saya akan pergi dan mengubah pemuda tersebut. Saya akan mengajarinya bagaimana cara memberi sehingga dana pemberian itu akan membuahkan hasil yang banyak.” Ia terbang di udara menuju ke Danau Anotatta. Di sana ia membersihkan mulutnya dan sebagainya. Dengan berdiri di daerah Manosilā245, ia mengenakan setelan pakaian yang berwarna, melilitkan sabuknya, mengenakan jubah tua, mengambil patta tanah liatnya, terbang di udara menuju ke pintu gerbang keempat, dimana ia turun di dānasālā dan berdiri di satu sisi. Maṇḍavya yang sedang memandang sekeliling melihat dirinya, berkata, “Datang dari mana petapa ini, datang ke tempat ini, yang wajahnya begitu jelek, seperti yakkha di tumpukan sampah?” dan ia mengucapkan bait pertama berikut ini:
[380] “Darimana Anda datang, yang mengenakan pakaian kotor,
Bagaikan pisāca dekil yang hidup di tumpukan sampah,
Sehelai jubah dari kain tua yang melintang di dadamu,
Yang tidak pantas mendapatkan derma—katakan, siapa Anda?”
Sang Mahasatwa mendengarnya, kemudian dengan hati yang lembut menyapanya dengan perkataan dalam bait kedua berikut ini:
“Makanannya, O pangeran yang mulia! sudah siap,
Orang-orang mencicipinya, memakannya, dan meminumnya:
Anda tahu kami bertahan hidup dengan apa yang bisa kami dapatkan;
Bangunlah! Biarkan orang buruk dari kasta rendah ini menikmati makanannya sedikit.”
Kemudian Maṇḍavya mengucapkan bait ketiga berikut:
“Untuk para brahmana, untuk berkahku, dari tanganku
Makanan ini diperoleh, pemberian dari hati yang setia.
Pergilah! Apa kelebihannya berdiri di hadapanku?
Ini bukan untuk orang sepertimu: orang jahat yang buruk, pergilah!”
[381] Untuk membalas perkataannya itu, Sang Mahasatwa mengucapkan satu bait kalimat berikut:
“Mereka menabur benih di tanah yang tinggi dan rendah,
Berharap mendapatkan buahnya, dan di dataran yang berawa:
Dalam keyakinan demikian ini penmberianmu akan berbuah;
Maka Anda harus mendapatkan para penerima yang berhak untuk itu.”
Kemudian Maṇḍavya mengucapkan satu bait kalimat:
“Saya tahu tanah dimana saya ingin menabur benih,
Tempat yang cocok di dunia ini untuk benih,
Brahmana yang terlahir mulia, yang mengetahui tentang kitab suci:
Mereka ini adalah tanah yang bagus dan ladang yang subur sesungguhnya.
Kemudian Sang Mahasatwa mengucapkan dua bait kalimat berikut ini:
“Bangga hati karena status kelahiran, kesombongan berlebihan,
kemabukan, kebencian, kebodohan (moha), dan keserakahan,—
Hati mereka yang memiliki tempat bagi sifat buruk ini,—
Mereka semuanya adalah ladang yang buruk dan gersang untuk menanam benih.
“Keangkuhan dari status kelahiran, kesombongah diri,
Mabuk, kebencian, kebodohan, dan keserakahan,—
[382] Hati mereka yang tidak memiliki tempat bagi sifat buruk ini,
Mereka semuanya adalah ladang yang baik dan subur untuk menanam benih.”
Kata-kata ini diucapkan oleh Sang Mahasatwa secara berulang-ulang, tetapi ia hanya menjadi lebih marah dan berkata dengan keras—“Orang ini membual terlalu banyak. Dimana perginya para pelayanku sampai mereka tidak mengusir orang jahat ini keluar?” Kemudian ia mengucapkan satu bait kalimat berikut ini:
“Hai Bhaṇḍakucchi, Upajjhāya!
Dan dimana Upajotiya, saya tanya?
Hukum orang ini, bunuh orang ini, pergi—
Dan bawa keluar orang jahat yang buruk ini dengan menyeret lehernya!”
Orang-orang tersebut yang mendengar panggilannya, datang dengan berlari, memberi salam hormat kepadanya dan bertanya, “Apa yang harus kami lakukan, Tuan?” “Apakah kalian pernah melihat orang buangan yang rendah ini?” “Tidak, Tuan. Kami bahkan tidak tahu ia sudah masuk kemari. Pastilah ia seorang pemain sulap atau penipu yang licik.”—“Baiklah, mengapa kalian hanya berdiri saja di sana?”—“Apa yang harus kami lakukan, Tuan?”—“Apa lagi, pukul mulut orang ini, patahkan rahangnya, koyak punggungnya dengan cambuk dan tongkat, hukum dirinya, seret lehernya, robohkan dirinya, bawa ia keluar dari tempat ini!”
Tetapi sebelum mereka sampai kepada dirinya, Sang Mahasatwa bangkit terbang di udara dan berdiri melayang di sana, mengucapkan bait kalimat berikut ini:
[383] “Mencerca orang suci! sama hasilnya
dengan menelan api yang membara,
Atau menggigit besi yang keras, atau
menggali sebuah gunung dengan kukumu.”
Setelah mengucapkan kata-kata ini, Sang Mahasatwa terbang tinggi di udara, sementara pemuda dan para brahmana itu hanya menatap pemandangan tersebut.
Untuk menjelaskan ini, Sang Guru mengucapkan satu bait kalimat berikut ini:
“Demikian Mātaṅga yang suci berkata,
jawara kebenaran dan keadilan,
Kemudian ia terbang tinggi di udara
di hadapan para brahmana itu.”
Ia memalingkan wajahnya ke arah timur dan turun di satu jalan dengan maksud agar jejak kakinya terlihat. Ia berpindapata di dekat gerbang sebelah timur. Kemudian setelah mengumpulkan sejumlah persediaan makanan, ia duduk di dalam sebuah aula dan mulai makan. Akan tetapi, para dewata penghuni kota tersebut muncul karena merasa hal itu tidak dapat ditoleransi bahwasannya raja ini mengatakan hal yang demikian sehingga mengganggu orang suci mereka.
Maka yakkha yang tertua di antara mereka mencekik leher Maṇḍavya dan memilinnya, sementara yang lainnya memilin leher para brahmana tersebut. Tetapi dikarenakan belas kasihan kepada Bodhisatta, mereka tidak membunuh Maṇḍavya: “Ia adalah putranya,” kata mereka, dan mereka hanya menyiksanya. Kepala Maṇḍavya dipilin sehingga menghadap ke belakang melalui bahunya; kedua kaki dan tangannya dibuat menjadi kejang dan kaku; bola matanya diputar ke atas sehingga terlihat seperti mayat: dan ia berbaring tidak bergerak di sana. Para brahmana lainnya terus berputar-putar, mengeluarkan air liur dari mulut mereka. Orang-orang pergi memberitahu Diṭṭha-maṅgalikā, “Sesuatu terjadi kepada putra Anda, Nona!” Ia bergegas ke sana, dan ketika melihat putranya, ia berteriak, “Oh, ada apa ini?” dan mengucapkan satu bait kalimat berikut ini:
“Melewati bahu, kepalanya terpilin ke belakang;
Lihat bagaimana ia menjulurkan lengan yang tidak berdaya itu!
Putih warna matanya seperti ia telah mati:
O siapa yang menyebabkan luka ini kepada putraku?”
[384] Kemudian orang-orang yang berdiri di sana mengucapkan satu bait kalimat berikut untuk memberitahunya:
“Seorang petapa datang, mengenakan pakaian kotor,
Terlihat seperti seorang makhluk yang jahat dan yakkha,
Dengan jubah dari kain tua melintang di dadanya:
Orang yang memperlakukan putra Anda seperti ini adalah dirinya.”
Sewaktu mendengar ini, ia berpikir, “Tidak ada orang lain yang memiliki kekuatan tersebut, tidak diragukan lagi ia pasti adalah Mātaṅga yang bijak! Akan tetapi orang yang sabar dan penuh dengan niat baik terhadap semua makhluk, tidak akan pernah pergi dan meninggalkan semua orang ini dalam siksaan. Ke arah manakah ia pergi?” yang mana pertanyaan ini diucapkannya dalam bait kalimat berikut:
“Ke arah manakah orang suci tersebut pergi?
O anak-anak muda yang mulia, tolong jawab ini!
Mari kita melakukan penebusan dosa atas perbuatan ini,
Sehingga putra kita dapat kembali hidup seperti semula.”
Para pemuda tersebut memberinya jawaban dengan cara berikut ini:
“Orang bijak itu, terbang tinggi di udara,
Seperti bulan di jalur tengahnya pada hari kelima belas:
Orang suci itu yang mensahkan kebenaran, enak dipandang,
Mengarah ke timur melanjutkan perjalanannya.”
Setelah jawaban ini diberikan, Diṭṭha-maṅgalikā berkata, “Saya akan mencari suamiku!” dan dengan meminta untuk membawa kendi-kendi emas dan cangkir-cangkir emas, ditemani oleh rombongan pelayan wanitanya, ia pergi dan menemukan tempat dimana jejak kakinya berada.
Ia pun mengikuti jejaknya sampai berjumpa dengannya, yang sedang duduk dan menyantap makanannya. [385] Dengan menghampirinya, memberi salam hormat kepadanya, ia berdiri diam tidak bergerak. Melihat kedatangannya, Sang Mahasatwa meletakkan sebagian nasi yang direbus ke dalam patta-nya. Diṭṭha-maṅgalikā menuangkan air untuknya dari sebuah kendi emas; segera ia mencuci tangan dan membersihkan mulutnya.
Kemudian Diṭṭhamaṅgalikā berkata, “Siapa yang telah melakukan hal yang kejam ini kepada putraku?” sambil mengucapkan bait kalimat berikut ini:
“Melewati bahu, kepalanya terpilin ke belakang;
Lihat bagaimana ia menjulurkan lengan yang tidak berdaya itu!
Putih warna matanya seperti ia telah mati:
O siapa yang menyebabkan luka ini kepada putraku?”
Bait-bait kalimat berikut diucapkan oleh mereka berdua secara bergantian:
“Ada para yakkha, yang besar kekuasaan dan kekuatannya,
Yang mengikuti orang suci, terlihat bagus:
Mereka melihat anakmu berpikiran jahat, bernafsu,
Dan mereka memperlakukan putramu seperti ini juga demi kebaikanmu.”
“Kalau begitu adalah para yakkha yang melakukan ini,
Jangan marah kepadaku, O orang suci!
O Bhante! Dipenuhi dengan kasih kayang terhadap putraku
Saya memohon kepadamu, datang mencari tempat berlindung di bawah kakimu!”
“Kalau begitu biar saya beritahu kepadamu bahwa pikiranku tidak menyembunyikan
suatu pemikiran permusuhan baik tadi maupun sekarang:
Putra Anda, dikarenakan pengetahuan khayalan, terlena dengan kesombongan,
Tidak mengetahui arti dari tiga kitab Veda.”
“O bhikkhu! Sesungguhnya seseorang dapat merasakan
Dalam sekejap mata semua panca inderanya menjadi tidak berfungsi.
Maafkan saya atas kesalahanku yang satu ini, O orang suci yang bijak!
Mereka yang merupakan orang bijak tidak akan pernah murka dalam kemarahan246.”
[386] Sang Mahasatwa, yang ditenangkan olehnya, menjawab, “Baiklah, saya akan memberikanmu ramuan hidup abadi, untuk membuat para yakkha itu pergi,” dan ia mengucapkan bait kalimat ini:
“Bagian dari sisa-sisa makananku ini bawalah bersamamu,
Beri makan sedikit kepada Maṇḍavya dungu yang malang tersebut:
Putramu akan kembali menjadi seperti sedia kala,
Dan para yakkha itu juga akan membebaskan mangsa mereka.”
Ketika mendengar perkataan Sang Mahasatwa ini, Diṭṭha-maṅgalikā mengeluarkan sebuah patta emas sambil berkata, “Berikanlah kepadaku ramuan keabadian tersebut, Tuan!” Sang Mahasatwa memasukkan sebagian dari bubur nasinya dan berkata, “Pertama-tama, masukkan setengah dari makanan ini ke dalam mulut putramu; sisanya campur dengan air di dalam sebuah bejana dan masukkan ke dalam mulut para brahmana yang lainnya. Mereka semua akan kembali seperti sedia kala.” Kemudian Mātaṅga bangkit dari duduknya dan pergi ke Gunung Himalaya.
Diṭṭha-maṅgalikā membawa kendi tersebut dengan meletakkannya di atas kepala, sambil berkata dengan keras, “Saya memiliki ramuan keabadian!”
Setelah tiba di rumah, pertama-tama ia memasukkan sebagian dari ramuan itu ke dalam mulut anaknya. Para yakkha itu pergi; raja bangun dan membersihkan dirinya dari debu sambil bertanya, “Apa ini, Bu?”—“Anda tahu dengan cukup baik apa yang telah Anda lakukan. Sekarang lihat keadaan yang menyedihkan dari para pelayanmu!” Ketika melihat keadaan mereka, ia diliputi dengan rasa penyesalan. [387] Kemudian ibunya berkata, “Maṇḍavya, anakku sayang, Anda adalah seorang yang dungu dan Anda tidak tahu bagaimana memberi sehingga pemberian itu dapat membuahkan hasil. Sifat yang seperti itu tidak cocok untuk kemurahan hatimu, tetapi yang demikian inilah yang seperti Mātaṅga yang bijak. Mulai saat ini, jangan memberikan apapun kepada orang-orang yang jahat seperti ini, tetapi berikanlah kepada yang bijak.” Kemudian ibunya berkata:—
“Anda adalah seorang yang dungu, Māṇḍavya, berpikiran sempit,
Tidak mengetahui kapan waktu yang cocok untuk melakukan kebajikan:
Anda memberi kepada mereka yang besar dosanya,
Kepada pelaku perbuatan jahat dan penikmat kesenangan yang melampaui batas.
“Pakaian dari kulit, tumpukan rambut kusut,
Mulut seperti sumur tua yang ditumbuhi rerumputan,
Dan lihat betapa usang pakaian yang dikenakan makhluk tersebut!
Tetapi orang dungu diselamatkan bukan karena hal-hal yang demikian saja.
“Ketika nafsu keinginan, kebencian, dan kebodohan diusir jauh dari dalam diri manusia,
Memberi kepada orang yang demikian suci dan tenang: hasil yang berlimpah akan berbuah atas hal ini.”
“Oleh karena itu, mulai dari hari ini dan seterusnya jangan memberi kepada orang-orang jahat seperti ini, tetapi berikanlah dana kepada siapa saja yang di dunia ini telah memperoleh delapan pencapaian meditasi, para petapa dan brahmana asli yang telah mencapai lima kekuatan abhinna, para Pacceka Buddha. Ayo, anakku, mari kita berikan para pembantu kita ini ramuan keabadian, [388] dan buat mereka kembali seperti sedia kala.”
Setelah berkata demikian, ia meminta anaknya mengambil bubur nasi itu dan meletakkannya di dalam kendi air, kemudian memercikkannya ke mulut enam belas ribu orang brahmana tersebut. Mereka masing-masing bangun dan membersihkan diri dari debu.
Kemudian setelah dibuat mencicipi sisa makanan dari seorang Caṇḍāla, para brahmana pun ini dikeluarkan dari kastanya oleh brahmana lainnya. Dengan perasaan malu, mereka pergi dari Benares menuju ke kerajaan Mejjha, dimana mereka tinggal dengan raja negeri tersebut. Sedangkan Maṇḍavya tetap tinggal di tempatnya semula.
Pada waktu itu, ada seorang brahmana yang bernama Jātimanta, salah satu dari orang yang beriman, yang tinggal dekat kota Vettavatī di tepi sungai yang memiliki nama yang sama dengan nama kota itu, dan ia adalah orang yang sombong dengan status kelahirannya.
Sang Mahasatwa pergi ke sana, memutuskan untuk merendahkan kesombongan hati dari laki-laki itu. Ia membuat tempat tinggalnya berdekatan dengannya, tetapi lebih ke hulu. Suatu hari, setelah menggigit sebuah tusuk gigi kayu247, ia membiarkannya jatuh ke sungai dengan tujuan agar tersangkut di ikatan rambut Jātimanta. Oleh karenanya, ketika Jātimanta sedang mandi di sungai, tusuk gigi kayu itu tersangkut di rambutnya. “Terkutuklah orang yang bodoh itu!” katanya ketika melihat benda tersebut, “darimana datangnya benda dengan sebuah perusak ini! Saya akan mencari tahu.”
Ia berjalan ke hulu sungai, dan ketika melihat Sang Mahasatwa, bertanya kepadanya, “Anda berasal dari kasta apa?”—“Saya adalah seorang Caṇḍāla.”—“Apakah Anda yang menjatuhkan sebuah tusuk gigi kayu ke sungai?”—“Ya, benar.”—“Dasar orang bodoh! Terkutuklah Anda, orang buangan yang buruk, yang terserang wabah, jangan tinggal di sini, pergilah ke hilir sungai.” Meskipun ia telah tinggal di hilir sungai, tetapi tusuk gigi kayu yang dijatuhkannya itu terapung melawan arus sungai dan menyangkut di rambut Jātimanta. “Terkutuklah Anda!” katanya, “jika Anda tetap tinggal di sini, maka dalam tujuh hari kepalamu akan terpecah menjadi tujuh bagian!”
Sang Mahasatwa berpikir, “Jika saya membiarkan diriku menjadi marah dengan orang itu, maka saya sudah tidak lagi menjaga sila-ku. Akan tetapi, saya akan mencari suatu cara untuk menghilangkan kesombongannya.”
Pada hari ketujuh, ia mencegah terbitnya matahari. Seluruh dunia menjadi gelap: orang-orang datang menjumpai petapa Jātimanta dan bertanya, “Apakah Anda, Bhante, yang mencegah matahari terbit?” Ia berkata, “Tidak, itu bukan perbuatanku; tetapi ada seorang Caṇḍāla yang tinggal di tepi sungai, dan itu pasti adalah perbuatannya.” Kemudian mereka mendatangi Sang Mahasatwa dan bertanya kepadanya, “Apakah Anda, Bhante, yang mencegah terbitnya matahari?” [389] “Ya, Āvuso,” jawabnya. “Mengapa?” tanya mereka. “Petapa yang merupakan kesukaan kalian mencerca diriku, seorang yang tidak bersalah. Jika ia datang dan bersujud di bawah kakiku memohon ampun, baru saya akan membiarkan matahari terbit kembali.”
Mereka pergi dan menyeret Jātimanta, membuatnya tunduk di bawah kaki Sang Mahasatwa, dan mereka mencoba untuk menenangkan dirinya dengan berkata, “Bhante, mohon biarkan matahari terbit.” Tetapi ia berkata, “Saya tidak bisa membiarkan matahari terbit. Jika saya melakukannya, kepala orang ini akan pecah menjadi tujuh bagian.” Mereka berkata, “Kalau begitu, Bhante, apa yang harus kami lakukan?” “Bawakan sebongkah tanah liat.” Mereka membawakannya. “Sekarang letakkan tanah liat itu di atas kepala petapa ini dan masukkan ia ke dalam air.” Setelah membuat pengaturan demikian, ia membuat matahari terbit kembali.
Tidak lama setelah matahari dibebaskan, bongkahan tanah liat tersebut terpecah menjadi tujuh bagian dan petapa itu tercebur ke dalam air. Setelah demikian merendahkan kesombongan petapa itu, Sang Mahasatwa berpikir, “Dimana enam belas ribu brahmana itu berada sekarang ini?” Ia mengetahui mereka sedang bersama dengan raja Mejjha, dan memutuskan untuk merendahkan hati mereka. Dengan kekuatan gaibnya, ia tiba di kerajaan tetangganya, dan dengan patta di tangan, ia berkeliling kota untuk berpindapata.
Ketika para brahmana tersebut melihatnya dari kejauhan, mereka berkata, “Membiarkan ia tinggal di sini selama beberapa hari akan membuat kita kehilangan tempat berlindung!” Dengan tergesa-gesa, mereka menjumpai raja dan berkata, “O raja yang berkuasa, di sini ada seorang pemain sulap dan penipu ulung. Tangkaplah dirinya!” Raja cukup siap melakukannya.
Sang Mahasatwa, dengan campuran persediaan makanannya, sedang duduk di samping sebuah dinding di sebuah kursi panjang dan makan. Di sana, ketika ia sibuk dengan makanannya, utusan raja menemukannya dan membunuhnya dengan cara menusuknya menggunakan sebilah pedang. Setelah meninggal, ia terlahir di alam Brahma. Dikatakan bahwasannya dalam kelahiran ini, Bodhisatta adalah seorang pawang cerpelai 248 , dan dalam tugasnya untuk merendahkan hati orang-orang itu, ia pun meninggal karenanya. Para dewa menjadi murka, dan menurunkan hujan abu panas di seluruh kerajaan Mejjha, dan menghilangkannya dari kerajaankerajaan yang ada. Oleh karena itu, dikatakan:
“Demikianlah seluruh bangsa Mejjha musnah,
seperti yang mereka katakan,
Disebabkan oleh kematian Mātaṅga yang agung,
kerajaan itu menjadi musnah.”
____________________
[390] Setelah selesai menyampaikan uraian ini, Sang Guru berkata, “Ini bukan pertama kalinya Udena menyakiti orang suci, tetapi juga sebelumnya ia melakukan hal yang sama.”
Kemudian Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, Udena adalah Maṇḍavya, dan saya sendiri adalah Mātaṅga yang bijak.”
Pada waktu itu, Yang Mulia Pinḍolabhāradvāja, yang ketika terbang di udara dari Jetavana, biasanya melewati panasnya siang hari di taman raja Udena di Kosambi.
Diberitahukan bahwasannya Thera ini terlahir sebagai raja di kehidupan sebelumnya dan dalam waktu yang lama menikmati kejayaan di taman yang sama itu juga beserta dengan rombongannya. Dikarenakan jasa-jasa kebajikan yang dilakukannya itu, beliau dapat duduk di sana di saat panasnya hari, menikmati kebahagiaan dari pencapaian yang merupakan buah dari perbuatannya.
Suatu hari sang Thera berada di tempat itu dan sedang duduk di bawah pohon sala yang bermekaran ketika Udena datang ke taman disertai dengan sejumlah besar pengikutnya.
Selama tujuh hari raja banyak minum dan berkeinginan untuk bersenang-senang di taman. Ia berbaring di tempat duduk yang megah di lengan salah satu wanitanya, dan karena dilayani dengan baik, ia pun segera tertidur. Kemudian para wanita yang duduk sambil bernyanyi di sekelilingnya, meletakkan alat-alat musik mereka, dan berkeliaran dengan senangnya mengumpulkan bunga dan buah.
Kemudian mereka melihat sang Thera, mereka menghampiri beliau, memberi salam hormat dan duduk. Beliau tetap duduk di tempatnya semula dan memberikan khotbah Dhamma kepada mereka. Wanita yang satunya lagi membangunkan raja dengan cara menggeser tangannya, yang kemudian berkata, “Kemana perginya para wanita penghibur itu?” Wanita itu menjawabnya, “Mereka sedang duduk dengan membentuk lingkaran mengelilingi seorang petapa.”
Raja menjadi marah dan pergi menjumpai Thera itu, dengan mencaci maki dan mencercanya: “Keluarkan itu, saya akan membuat orang ini dimakan oleh semut-semut merah!” Maka dalam kemarahan, raja menyuruh pengawalnya menuangkan semut merah sebanyak satu keranjang penuh ke badan Thera tersebut.
Tetapi Thera itu terbang ke udara dan memberi nasehat kepada raja; kemudian pergi kembali ke Jetavana dan singgah di pintu gandhakuṭi. “Darimana Anda datang?” tanya Sang Tathagata, dan ia memberitahu Beliau keadaan yang sebenarnya.
“Bhāradvāja,” kata Beliau, “ini bukanlah pertama kalinya Udena melakukan ini meskipun terhadap orang suci, tetapi juga sebelumnya ia melakukan hal yang sama.”
Kemudian atas permintaan Thera tersebut, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
[376] Dahulu kala ketika Brahmadatta berkuasa sebagai raja Benares, Sang Mahasatwa terlahir di luar kota itu, sebagai putra seorang Caṇḍāla dan diberi nama Mātaṅga, sang Gajah242. Setelah itu, ia mencapai kebijaksanaan dan ketenarannya tersebar luas sebagai Mātaṅga yang bijak.
Pada waktu itu, seorang Diṭṭha-maṅgalikā 243 , putri dari seorang saudagar Benares, setiap satu atau dua bulan datang dan bermain-main di taman dengan kumpulan teman-temannya.
Suatu hari, Sang Mahasatwa pergi ke kota untuk satu urusan dan ketika memasuki gerbang, ia bertemu dengan Diṭṭha-maṅgalikā. Ia melangkah ke samping dan berdiri dengan cukup kaku. Dari belakang tirainya, Diṭṭha-maṅgalikā melihat Sang Mahasatwa dan bertanya, “Siapa itu?” “Seorang Caṇḍāla, Nona.” “Bah,” katanya, “Saya telah melihat sesuatu yang membawa ketidakberuntungan,” dan membersihkan matanya dengan air yang wangi, kemudian berpaling kembali.
Orang-orang yang bersamanya berkata dengan keras, “Ah, orang buangan yang buruk, Anda telah menyebabkan kami kehilangan makanan dan minuman gratis hari ini!” Dalam kemarahan, mereka memukul Mātaṅga yang bijak dengan tangan dan kaki, membuatnya menjadi tidak sadarkan diri dan pergi.
Tidak berapa lama kemudian, ia sadar dan berpikir, “Orang-orang yang bersama dengan Diṭṭhamaṅgalikā memukul diriku, seorang laki-laki yang tidak berdosa, tanpa alasan. Saya tidak akan bergerak sampai saya mendapatkan dirinya, tidak sekejap pun.” Dengan keputusan ini, ia pergi dan berbaring di depan pintu rumah ayahnya (ayah Diṭṭha-maṅgalikā).
Ketika ditanya mengapa ia berbaring di sana, ia menjawab, “Yang saya inginkan hanyalah Diṭṭha-maṅgalikā.” Satu hari berlalu, kemudian hari kedua, ketiga, keempat, kelima dan keenam. Keputusan dari para Buddha tidak dapat diubah. Oleh karenanya, pada hari ketujuh mereka membawa Diṭṭhamaṅgalikā keluar dan memberikannya kepada dirinya.
Kemudian Diṭṭha-maṅgalikā berkata, “Bangunlah, Tuan, dan mari kita pergi ke rumahmu.” Tetapi ia berkata, “Nona, saya telah dipukul habis-habisan oleh orang-orangmu, saya menjadi lemah. Gendonglah saya.” Diṭṭha-maṅgalikā melakukannya, dengan dilihat oleh semua penduduk mereka pergi ke tempat tinggal sang Caṇḍāla.
Di sana selama beberapa hari Sang Mahasatwa menahannya, tanpa melanggar aturan-aturan kasta. Kemudian ia berpikir, “Hanya dengan meninggalkan kehidupan duniawi dan tidak ada jalan yang lainnya lagi, saya baru dapat menunjukkan kehormatan tertinggi kepada wanita ini dan memberikan hadiah terbaik kepadanya.” [377] Maka ia berkata kepadanya, “Nona, jika saya tidak mendapatkan apa-apa dari dalam hutan, kita tidak dapat hidup. Saya akan masuk ke dalam hutan. Tunggu sampai saya kembali, jangan khawatir.” Ia memberikan perintah kepada orang-orang yang ada di rumah tangganya untuk tidak mengabaikannya, dan kemudian pergi ke dalam hutan, menjalani kehidupan suci dengan segala ketekunan sehingga dalam tujuh hari ia mengembangkan delapan pencapaian meditasi 244 dan lima abhinna.
Kemudian ia berpikir, “Sekarang saya akan dapat melindungi Diṭṭha-maṅgalikā.” Dengan kekuatan gaibnya, ia pulang kembali dan turun di pintu gerbang desa Caṇḍāla, yang kemudian dilanjutkannya menuju ke pintu rumah Diṭṭhamaṅgalikā. Ketika mendengar kedatangannya, Diṭṭha-maṅgalikā keluar dan mulai menangis sembari berkata, “Mengapa Anda meninggalkan diriku, Tuan, dan menjadi seorang petapa?” Ia berkata, “Tidak apa-apa, Nona. Sekarang saya akan membuat Anda menjadi lebih berjaya dibandingkan kejayaan Anda dulu. Apakah Anda mampu mengatakan ini di tengah banyak orang: ‘Suamiku bukanlah Mātaṅga, melainkan dewa Brahma yang agung?’ ” “Ya, Tuan, saya mampu melakukannya.” “Bagus sekali, ketika mereka bertanya kepadamu dimana suamimu berada, Anda harus menjawabnya dengan mengatakan, ‘Ia pergi ke alam Brahma’. Jika mereka menanyakan kapan ia akan kembali, Anda harus mengatakan, ‘Dalam tujuh hari ia akan kembali dengan memecahkan cakra bulan di saat purnama.” Dengan kata-kata ini, ia pergi ke Gunung Himalaya.
Waktu itu Diṭṭha-maṅgalikā mengatakan apa yang telah dipesankan kepada dirinya di mana-mana di Benares, di tengah banyak orang. Orang-orang mempercayainya sambil berkata, “Ah, ia adalah dewa Brahma yang agung. Oleh karenanya, ia tidak mengunjungi Diṭṭha-maṅgalikā, tetapi berangsur-angsur akan menjadi demikian.” Di malam bulan purnama, di saat bulan berada di jalur tengah, Bodhisatta mengambil wujud dewa Brahma, di tengah seberkas cahaya yang memenuhi kerajaan Kasi dan kota Benares yang luasnya dua belas yojana, menembus keluar dari bulan dan turun.
Tiga kali ia berkeliling di atas kota Benares dan menerima pemujaan orang banyak dengan kalung bunga yang wangi dan sebagainya, kemudian memalingkan wajahnya ke arah desa Caṇḍāla. Para pemuja dewa Brahma tersebut berkumpul bersama dan pergi ke desa Caṇḍāla. Mereka menutupi rumah Diṭṭha-maṅgalikā dengan kain putih, menyapu bersih tanahnya dengan empat jenis benda yang wangi, menebarkan bunga-bunga, [378] membakar dupa, membentangkan sebuah tenda, menyiapkan tempat duduk yang bagus, menghidupkan lampu dengan minyak yang harum, meletakkan pasir putih dan halus seperti lempengan perak di pintu, menebarkan bunga-bunga, memasang panji-panji.
Sebelum rumah itu dihias demikian, Sang Mahasatwa turun dan masuk ke dalamnya, duduk sebentar di tempat duduknya. Waktu itu, Diṭṭha-maṅgalikā sedang menstruasi. Ibu jarinya (Mātaṅga) menyentuh pusar Diṭṭha-maṅgalikā, dan ia mengandung. Kemudian Sang Mahasatwa berkata kepadanya, “Nona, Anda hamil sekarang, dan Anda akan melahirkan seorang putra nantinya. Anda dan putramu akan mendapatkan kehormatan dan penghargaan tertinggi; air yang membasuh kakimu akan digunakan oleh para raja untuk upacara pemberkatan di seluruh India, air yang Anda gunakan untuk mandi akan menjadi ramuan keabadian, mereka yang memercikkan air tersebut di kepalanya akan terbebas dari segala macam penyakit dan tidak akan mengenal yang namanya ketidakberuntungan, mereka yang bersujud dengan kepalanya menyentuh kakimu dan menghormatimu akan memberikan seribu keping uang, mereka yang berdiri ketika mendengar tentang dirimu dan menghormatimu akan memberikan seratus keping uang, mereka yang berdiri ketika melihat dirimu dan menghormatimu akan memberikan satu rupee. Bersemangatlah!” Dengan nasehat ini, di hadapan kerumunan orang, ia terbang dan masuk kembali ke bulan.
Para pemuja dewa Brahma tersebut berkumpul dan berdiri di sana sepanjang malam. Di pagi harinya, mereka membuat Diṭṭha-maṅgalikā masuk ke dalam tandu emas, dan dengan mengangkat tandu tersebut di kepala mereka, membawanya menuju ke kota. Kerumuan orang mendatanginya sambil berkata dengan keras, “Istri dari dewa Brahma yang agung!” dan memberikan pemujaan dengan kalung bunga yang wangi dan benda lain sebagainya: mereka yang diizinkan untuk bersujud dengan kepala menyentuh kakinya dan menghormatinya memberikan seribu keping uang, mereka yang memberi hormat kepadanya ketika mendengar tentang dirinya memberikan seratus keping uang, mereka yang memberi hormat kepadanya ketika melihat dirinya memberikan satu rupee. Demikianlah mereka, dengan melewati seluruh kota Benares yang luasnya dua belas yojana, mendapatkan uang sejumlah seratus delapan puluh juta rupee.
Setelah demikian mengelilingi kota, mereka membawa Diṭṭha-maṅgalikā ke pusat kota. Di sana mereka membangun sebuah paviliun yang megah, meletakkan tirai di sekelilingnya, dan membuatnya tinggal di sana di tengah-tengah kejayaan dan kemakmuran. Di depan paviliun tersebut, mereka mulai membangun tujuh pintu gerbang masuk yang besar dan sebuah istana bertingkat tujuh: banyak pencapaian baru yang didapatkan karena perbuatan mereka tersebut.
Di dalam paviliun yang sama itu juga, Diṭṭha-maṅgalikā melahirkan seorang putra. Pada hari pemberian namanya, [379] para brahmana berkumpul bersama dan memberinya nama Maṇḍavya-kumāra, Pangeran Paviliun, karena ia dilahirkan di sana.
Istana itu selesai dalam sepuluh bulan. Mulai saat itu, ia tinggal di dalamnya dengan sangat dihormati. Dan pangeran Maṇḍya tumbuh di tengah kemuliaan yang luar biasa. Ketika ia berusia tujuh atau delapan tahun, para guru terbaik di seluruh jangkauan negeri India berkumpul bersama, mengajarkan dirinya tiga kitab Veda. Mulai dari umur enam belas tahun, ia menyediakan makanan untuk para brahmana, dan enam belas ribu brahmana diberikan makan tanpa ada hentinya. Di pintu gerbang benteng keempat, derma diberikan kepada para brahmana.
Pada satu hari festival yang megah, mereka menyiapkan sejumlah bubur nasi, dan enam belas ribu brahmana duduk di pintu gerbang benteng keempat untuk memakan dana makanan itu, ditambah dengan mentega segar yang berwarna kuning keemasan, campuran antara madu dan gula batu. Pangeran itu sendiri, yang dihiasi permata dengan sangat bagus, mengenakan sandal emas di kakinya dan memegang tongkat emas murni di tangannya, berjalan ke sana kemari dan memberikan petunjuk, “Mentega di sebelah sini, madu di sebelah sini.”
Pada waktu itu, Mātaṅga yang bijak, yang sedang duduk dalam tempat petapaannya di pegunungan Himalaya, mengalihkan pikirannya untuk mengetahui kabar dari putra Diṭṭha-maṅgalikā. Mengetahui bahwa ia sedang berada di jalan yang salah, Mātaṅga berpikir, “Hari ini saya akan pergi dan mengubah pemuda tersebut. Saya akan mengajarinya bagaimana cara memberi sehingga dana pemberian itu akan membuahkan hasil yang banyak.” Ia terbang di udara menuju ke Danau Anotatta. Di sana ia membersihkan mulutnya dan sebagainya. Dengan berdiri di daerah Manosilā245, ia mengenakan setelan pakaian yang berwarna, melilitkan sabuknya, mengenakan jubah tua, mengambil patta tanah liatnya, terbang di udara menuju ke pintu gerbang keempat, dimana ia turun di dānasālā dan berdiri di satu sisi. Maṇḍavya yang sedang memandang sekeliling melihat dirinya, berkata, “Datang dari mana petapa ini, datang ke tempat ini, yang wajahnya begitu jelek, seperti yakkha di tumpukan sampah?” dan ia mengucapkan bait pertama berikut ini:
[380] “Darimana Anda datang, yang mengenakan pakaian kotor,
Bagaikan pisāca dekil yang hidup di tumpukan sampah,
Sehelai jubah dari kain tua yang melintang di dadamu,
Yang tidak pantas mendapatkan derma—katakan, siapa Anda?”
Sang Mahasatwa mendengarnya, kemudian dengan hati yang lembut menyapanya dengan perkataan dalam bait kedua berikut ini:
“Makanannya, O pangeran yang mulia! sudah siap,
Orang-orang mencicipinya, memakannya, dan meminumnya:
Anda tahu kami bertahan hidup dengan apa yang bisa kami dapatkan;
Bangunlah! Biarkan orang buruk dari kasta rendah ini menikmati makanannya sedikit.”
Kemudian Maṇḍavya mengucapkan bait ketiga berikut:
“Untuk para brahmana, untuk berkahku, dari tanganku
Makanan ini diperoleh, pemberian dari hati yang setia.
Pergilah! Apa kelebihannya berdiri di hadapanku?
Ini bukan untuk orang sepertimu: orang jahat yang buruk, pergilah!”
[381] Untuk membalas perkataannya itu, Sang Mahasatwa mengucapkan satu bait kalimat berikut:
“Mereka menabur benih di tanah yang tinggi dan rendah,
Berharap mendapatkan buahnya, dan di dataran yang berawa:
Dalam keyakinan demikian ini penmberianmu akan berbuah;
Maka Anda harus mendapatkan para penerima yang berhak untuk itu.”
Kemudian Maṇḍavya mengucapkan satu bait kalimat:
“Saya tahu tanah dimana saya ingin menabur benih,
Tempat yang cocok di dunia ini untuk benih,
Brahmana yang terlahir mulia, yang mengetahui tentang kitab suci:
Mereka ini adalah tanah yang bagus dan ladang yang subur sesungguhnya.
Kemudian Sang Mahasatwa mengucapkan dua bait kalimat berikut ini:
“Bangga hati karena status kelahiran, kesombongan berlebihan,
kemabukan, kebencian, kebodohan (moha), dan keserakahan,—
Hati mereka yang memiliki tempat bagi sifat buruk ini,—
Mereka semuanya adalah ladang yang buruk dan gersang untuk menanam benih.
“Keangkuhan dari status kelahiran, kesombongah diri,
Mabuk, kebencian, kebodohan, dan keserakahan,—
[382] Hati mereka yang tidak memiliki tempat bagi sifat buruk ini,
Mereka semuanya adalah ladang yang baik dan subur untuk menanam benih.”
Kata-kata ini diucapkan oleh Sang Mahasatwa secara berulang-ulang, tetapi ia hanya menjadi lebih marah dan berkata dengan keras—“Orang ini membual terlalu banyak. Dimana perginya para pelayanku sampai mereka tidak mengusir orang jahat ini keluar?” Kemudian ia mengucapkan satu bait kalimat berikut ini:
“Hai Bhaṇḍakucchi, Upajjhāya!
Dan dimana Upajotiya, saya tanya?
Hukum orang ini, bunuh orang ini, pergi—
Dan bawa keluar orang jahat yang buruk ini dengan menyeret lehernya!”
Orang-orang tersebut yang mendengar panggilannya, datang dengan berlari, memberi salam hormat kepadanya dan bertanya, “Apa yang harus kami lakukan, Tuan?” “Apakah kalian pernah melihat orang buangan yang rendah ini?” “Tidak, Tuan. Kami bahkan tidak tahu ia sudah masuk kemari. Pastilah ia seorang pemain sulap atau penipu yang licik.”—“Baiklah, mengapa kalian hanya berdiri saja di sana?”—“Apa yang harus kami lakukan, Tuan?”—“Apa lagi, pukul mulut orang ini, patahkan rahangnya, koyak punggungnya dengan cambuk dan tongkat, hukum dirinya, seret lehernya, robohkan dirinya, bawa ia keluar dari tempat ini!”
Tetapi sebelum mereka sampai kepada dirinya, Sang Mahasatwa bangkit terbang di udara dan berdiri melayang di sana, mengucapkan bait kalimat berikut ini:
[383] “Mencerca orang suci! sama hasilnya
dengan menelan api yang membara,
Atau menggigit besi yang keras, atau
menggali sebuah gunung dengan kukumu.”
Setelah mengucapkan kata-kata ini, Sang Mahasatwa terbang tinggi di udara, sementara pemuda dan para brahmana itu hanya menatap pemandangan tersebut.
Untuk menjelaskan ini, Sang Guru mengucapkan satu bait kalimat berikut ini:
“Demikian Mātaṅga yang suci berkata,
jawara kebenaran dan keadilan,
Kemudian ia terbang tinggi di udara
di hadapan para brahmana itu.”
Ia memalingkan wajahnya ke arah timur dan turun di satu jalan dengan maksud agar jejak kakinya terlihat. Ia berpindapata di dekat gerbang sebelah timur. Kemudian setelah mengumpulkan sejumlah persediaan makanan, ia duduk di dalam sebuah aula dan mulai makan. Akan tetapi, para dewata penghuni kota tersebut muncul karena merasa hal itu tidak dapat ditoleransi bahwasannya raja ini mengatakan hal yang demikian sehingga mengganggu orang suci mereka.
Maka yakkha yang tertua di antara mereka mencekik leher Maṇḍavya dan memilinnya, sementara yang lainnya memilin leher para brahmana tersebut. Tetapi dikarenakan belas kasihan kepada Bodhisatta, mereka tidak membunuh Maṇḍavya: “Ia adalah putranya,” kata mereka, dan mereka hanya menyiksanya. Kepala Maṇḍavya dipilin sehingga menghadap ke belakang melalui bahunya; kedua kaki dan tangannya dibuat menjadi kejang dan kaku; bola matanya diputar ke atas sehingga terlihat seperti mayat: dan ia berbaring tidak bergerak di sana. Para brahmana lainnya terus berputar-putar, mengeluarkan air liur dari mulut mereka. Orang-orang pergi memberitahu Diṭṭha-maṅgalikā, “Sesuatu terjadi kepada putra Anda, Nona!” Ia bergegas ke sana, dan ketika melihat putranya, ia berteriak, “Oh, ada apa ini?” dan mengucapkan satu bait kalimat berikut ini:
“Melewati bahu, kepalanya terpilin ke belakang;
Lihat bagaimana ia menjulurkan lengan yang tidak berdaya itu!
Putih warna matanya seperti ia telah mati:
O siapa yang menyebabkan luka ini kepada putraku?”
[384] Kemudian orang-orang yang berdiri di sana mengucapkan satu bait kalimat berikut untuk memberitahunya:
“Seorang petapa datang, mengenakan pakaian kotor,
Terlihat seperti seorang makhluk yang jahat dan yakkha,
Dengan jubah dari kain tua melintang di dadanya:
Orang yang memperlakukan putra Anda seperti ini adalah dirinya.”
Sewaktu mendengar ini, ia berpikir, “Tidak ada orang lain yang memiliki kekuatan tersebut, tidak diragukan lagi ia pasti adalah Mātaṅga yang bijak! Akan tetapi orang yang sabar dan penuh dengan niat baik terhadap semua makhluk, tidak akan pernah pergi dan meninggalkan semua orang ini dalam siksaan. Ke arah manakah ia pergi?” yang mana pertanyaan ini diucapkannya dalam bait kalimat berikut:
“Ke arah manakah orang suci tersebut pergi?
O anak-anak muda yang mulia, tolong jawab ini!
Mari kita melakukan penebusan dosa atas perbuatan ini,
Sehingga putra kita dapat kembali hidup seperti semula.”
Para pemuda tersebut memberinya jawaban dengan cara berikut ini:
“Orang bijak itu, terbang tinggi di udara,
Seperti bulan di jalur tengahnya pada hari kelima belas:
Orang suci itu yang mensahkan kebenaran, enak dipandang,
Mengarah ke timur melanjutkan perjalanannya.”
Setelah jawaban ini diberikan, Diṭṭha-maṅgalikā berkata, “Saya akan mencari suamiku!” dan dengan meminta untuk membawa kendi-kendi emas dan cangkir-cangkir emas, ditemani oleh rombongan pelayan wanitanya, ia pergi dan menemukan tempat dimana jejak kakinya berada.
Ia pun mengikuti jejaknya sampai berjumpa dengannya, yang sedang duduk dan menyantap makanannya. [385] Dengan menghampirinya, memberi salam hormat kepadanya, ia berdiri diam tidak bergerak. Melihat kedatangannya, Sang Mahasatwa meletakkan sebagian nasi yang direbus ke dalam patta-nya. Diṭṭha-maṅgalikā menuangkan air untuknya dari sebuah kendi emas; segera ia mencuci tangan dan membersihkan mulutnya.
Kemudian Diṭṭhamaṅgalikā berkata, “Siapa yang telah melakukan hal yang kejam ini kepada putraku?” sambil mengucapkan bait kalimat berikut ini:
“Melewati bahu, kepalanya terpilin ke belakang;
Lihat bagaimana ia menjulurkan lengan yang tidak berdaya itu!
Putih warna matanya seperti ia telah mati:
O siapa yang menyebabkan luka ini kepada putraku?”
Bait-bait kalimat berikut diucapkan oleh mereka berdua secara bergantian:
“Ada para yakkha, yang besar kekuasaan dan kekuatannya,
Yang mengikuti orang suci, terlihat bagus:
Mereka melihat anakmu berpikiran jahat, bernafsu,
Dan mereka memperlakukan putramu seperti ini juga demi kebaikanmu.”
“Kalau begitu adalah para yakkha yang melakukan ini,
Jangan marah kepadaku, O orang suci!
O Bhante! Dipenuhi dengan kasih kayang terhadap putraku
Saya memohon kepadamu, datang mencari tempat berlindung di bawah kakimu!”
“Kalau begitu biar saya beritahu kepadamu bahwa pikiranku tidak menyembunyikan
suatu pemikiran permusuhan baik tadi maupun sekarang:
Putra Anda, dikarenakan pengetahuan khayalan, terlena dengan kesombongan,
Tidak mengetahui arti dari tiga kitab Veda.”
“O bhikkhu! Sesungguhnya seseorang dapat merasakan
Dalam sekejap mata semua panca inderanya menjadi tidak berfungsi.
Maafkan saya atas kesalahanku yang satu ini, O orang suci yang bijak!
Mereka yang merupakan orang bijak tidak akan pernah murka dalam kemarahan246.”
[386] Sang Mahasatwa, yang ditenangkan olehnya, menjawab, “Baiklah, saya akan memberikanmu ramuan hidup abadi, untuk membuat para yakkha itu pergi,” dan ia mengucapkan bait kalimat ini:
“Bagian dari sisa-sisa makananku ini bawalah bersamamu,
Beri makan sedikit kepada Maṇḍavya dungu yang malang tersebut:
Putramu akan kembali menjadi seperti sedia kala,
Dan para yakkha itu juga akan membebaskan mangsa mereka.”
Ketika mendengar perkataan Sang Mahasatwa ini, Diṭṭha-maṅgalikā mengeluarkan sebuah patta emas sambil berkata, “Berikanlah kepadaku ramuan keabadian tersebut, Tuan!” Sang Mahasatwa memasukkan sebagian dari bubur nasinya dan berkata, “Pertama-tama, masukkan setengah dari makanan ini ke dalam mulut putramu; sisanya campur dengan air di dalam sebuah bejana dan masukkan ke dalam mulut para brahmana yang lainnya. Mereka semua akan kembali seperti sedia kala.” Kemudian Mātaṅga bangkit dari duduknya dan pergi ke Gunung Himalaya.
Diṭṭha-maṅgalikā membawa kendi tersebut dengan meletakkannya di atas kepala, sambil berkata dengan keras, “Saya memiliki ramuan keabadian!”
Setelah tiba di rumah, pertama-tama ia memasukkan sebagian dari ramuan itu ke dalam mulut anaknya. Para yakkha itu pergi; raja bangun dan membersihkan dirinya dari debu sambil bertanya, “Apa ini, Bu?”—“Anda tahu dengan cukup baik apa yang telah Anda lakukan. Sekarang lihat keadaan yang menyedihkan dari para pelayanmu!” Ketika melihat keadaan mereka, ia diliputi dengan rasa penyesalan. [387] Kemudian ibunya berkata, “Maṇḍavya, anakku sayang, Anda adalah seorang yang dungu dan Anda tidak tahu bagaimana memberi sehingga pemberian itu dapat membuahkan hasil. Sifat yang seperti itu tidak cocok untuk kemurahan hatimu, tetapi yang demikian inilah yang seperti Mātaṅga yang bijak. Mulai saat ini, jangan memberikan apapun kepada orang-orang yang jahat seperti ini, tetapi berikanlah kepada yang bijak.” Kemudian ibunya berkata:—
“Anda adalah seorang yang dungu, Māṇḍavya, berpikiran sempit,
Tidak mengetahui kapan waktu yang cocok untuk melakukan kebajikan:
Anda memberi kepada mereka yang besar dosanya,
Kepada pelaku perbuatan jahat dan penikmat kesenangan yang melampaui batas.
“Pakaian dari kulit, tumpukan rambut kusut,
Mulut seperti sumur tua yang ditumbuhi rerumputan,
Dan lihat betapa usang pakaian yang dikenakan makhluk tersebut!
Tetapi orang dungu diselamatkan bukan karena hal-hal yang demikian saja.
“Ketika nafsu keinginan, kebencian, dan kebodohan diusir jauh dari dalam diri manusia,
Memberi kepada orang yang demikian suci dan tenang: hasil yang berlimpah akan berbuah atas hal ini.”
“Oleh karena itu, mulai dari hari ini dan seterusnya jangan memberi kepada orang-orang jahat seperti ini, tetapi berikanlah dana kepada siapa saja yang di dunia ini telah memperoleh delapan pencapaian meditasi, para petapa dan brahmana asli yang telah mencapai lima kekuatan abhinna, para Pacceka Buddha. Ayo, anakku, mari kita berikan para pembantu kita ini ramuan keabadian, [388] dan buat mereka kembali seperti sedia kala.”
Setelah berkata demikian, ia meminta anaknya mengambil bubur nasi itu dan meletakkannya di dalam kendi air, kemudian memercikkannya ke mulut enam belas ribu orang brahmana tersebut. Mereka masing-masing bangun dan membersihkan diri dari debu.
Kemudian setelah dibuat mencicipi sisa makanan dari seorang Caṇḍāla, para brahmana pun ini dikeluarkan dari kastanya oleh brahmana lainnya. Dengan perasaan malu, mereka pergi dari Benares menuju ke kerajaan Mejjha, dimana mereka tinggal dengan raja negeri tersebut. Sedangkan Maṇḍavya tetap tinggal di tempatnya semula.
Pada waktu itu, ada seorang brahmana yang bernama Jātimanta, salah satu dari orang yang beriman, yang tinggal dekat kota Vettavatī di tepi sungai yang memiliki nama yang sama dengan nama kota itu, dan ia adalah orang yang sombong dengan status kelahirannya.
Sang Mahasatwa pergi ke sana, memutuskan untuk merendahkan kesombongan hati dari laki-laki itu. Ia membuat tempat tinggalnya berdekatan dengannya, tetapi lebih ke hulu. Suatu hari, setelah menggigit sebuah tusuk gigi kayu247, ia membiarkannya jatuh ke sungai dengan tujuan agar tersangkut di ikatan rambut Jātimanta. Oleh karenanya, ketika Jātimanta sedang mandi di sungai, tusuk gigi kayu itu tersangkut di rambutnya. “Terkutuklah orang yang bodoh itu!” katanya ketika melihat benda tersebut, “darimana datangnya benda dengan sebuah perusak ini! Saya akan mencari tahu.”
Ia berjalan ke hulu sungai, dan ketika melihat Sang Mahasatwa, bertanya kepadanya, “Anda berasal dari kasta apa?”—“Saya adalah seorang Caṇḍāla.”—“Apakah Anda yang menjatuhkan sebuah tusuk gigi kayu ke sungai?”—“Ya, benar.”—“Dasar orang bodoh! Terkutuklah Anda, orang buangan yang buruk, yang terserang wabah, jangan tinggal di sini, pergilah ke hilir sungai.” Meskipun ia telah tinggal di hilir sungai, tetapi tusuk gigi kayu yang dijatuhkannya itu terapung melawan arus sungai dan menyangkut di rambut Jātimanta. “Terkutuklah Anda!” katanya, “jika Anda tetap tinggal di sini, maka dalam tujuh hari kepalamu akan terpecah menjadi tujuh bagian!”
Sang Mahasatwa berpikir, “Jika saya membiarkan diriku menjadi marah dengan orang itu, maka saya sudah tidak lagi menjaga sila-ku. Akan tetapi, saya akan mencari suatu cara untuk menghilangkan kesombongannya.”
Pada hari ketujuh, ia mencegah terbitnya matahari. Seluruh dunia menjadi gelap: orang-orang datang menjumpai petapa Jātimanta dan bertanya, “Apakah Anda, Bhante, yang mencegah matahari terbit?” Ia berkata, “Tidak, itu bukan perbuatanku; tetapi ada seorang Caṇḍāla yang tinggal di tepi sungai, dan itu pasti adalah perbuatannya.” Kemudian mereka mendatangi Sang Mahasatwa dan bertanya kepadanya, “Apakah Anda, Bhante, yang mencegah terbitnya matahari?” [389] “Ya, Āvuso,” jawabnya. “Mengapa?” tanya mereka. “Petapa yang merupakan kesukaan kalian mencerca diriku, seorang yang tidak bersalah. Jika ia datang dan bersujud di bawah kakiku memohon ampun, baru saya akan membiarkan matahari terbit kembali.”
Mereka pergi dan menyeret Jātimanta, membuatnya tunduk di bawah kaki Sang Mahasatwa, dan mereka mencoba untuk menenangkan dirinya dengan berkata, “Bhante, mohon biarkan matahari terbit.” Tetapi ia berkata, “Saya tidak bisa membiarkan matahari terbit. Jika saya melakukannya, kepala orang ini akan pecah menjadi tujuh bagian.” Mereka berkata, “Kalau begitu, Bhante, apa yang harus kami lakukan?” “Bawakan sebongkah tanah liat.” Mereka membawakannya. “Sekarang letakkan tanah liat itu di atas kepala petapa ini dan masukkan ia ke dalam air.” Setelah membuat pengaturan demikian, ia membuat matahari terbit kembali.
Tidak lama setelah matahari dibebaskan, bongkahan tanah liat tersebut terpecah menjadi tujuh bagian dan petapa itu tercebur ke dalam air. Setelah demikian merendahkan kesombongan petapa itu, Sang Mahasatwa berpikir, “Dimana enam belas ribu brahmana itu berada sekarang ini?” Ia mengetahui mereka sedang bersama dengan raja Mejjha, dan memutuskan untuk merendahkan hati mereka. Dengan kekuatan gaibnya, ia tiba di kerajaan tetangganya, dan dengan patta di tangan, ia berkeliling kota untuk berpindapata.
Ketika para brahmana tersebut melihatnya dari kejauhan, mereka berkata, “Membiarkan ia tinggal di sini selama beberapa hari akan membuat kita kehilangan tempat berlindung!” Dengan tergesa-gesa, mereka menjumpai raja dan berkata, “O raja yang berkuasa, di sini ada seorang pemain sulap dan penipu ulung. Tangkaplah dirinya!” Raja cukup siap melakukannya.
Sang Mahasatwa, dengan campuran persediaan makanannya, sedang duduk di samping sebuah dinding di sebuah kursi panjang dan makan. Di sana, ketika ia sibuk dengan makanannya, utusan raja menemukannya dan membunuhnya dengan cara menusuknya menggunakan sebilah pedang. Setelah meninggal, ia terlahir di alam Brahma. Dikatakan bahwasannya dalam kelahiran ini, Bodhisatta adalah seorang pawang cerpelai 248 , dan dalam tugasnya untuk merendahkan hati orang-orang itu, ia pun meninggal karenanya. Para dewa menjadi murka, dan menurunkan hujan abu panas di seluruh kerajaan Mejjha, dan menghilangkannya dari kerajaankerajaan yang ada. Oleh karena itu, dikatakan:
“Demikianlah seluruh bangsa Mejjha musnah,
seperti yang mereka katakan,
Disebabkan oleh kematian Mātaṅga yang agung,
kerajaan itu menjadi musnah.”
____________________
[390] Setelah selesai menyampaikan uraian ini, Sang Guru berkata, “Ini bukan pertama kalinya Udena menyakiti orang suci, tetapi juga sebelumnya ia melakukan hal yang sama.”
Kemudian Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, Udena adalah Maṇḍavya, dan saya sendiri adalah Mātaṅga yang bijak.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com