SIVI-JĀTAKA
Sivijātaka (Ja 499)
“Jika ada pemberian manusia apapun,” dan seterusnya— Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang pemberian yang tiada bandingannya.
Situasi cerita ini telah dijelaskan secara lengkap di Buku VIII dalam Sovīra- Jātaka 251 .
Tetapi dalam kisah ini, pada hari ketujuh, raja memberikan semua barang kebutuhan dan meminta ucapan rasa terima kasih, tetapi Sang Guru pergi tanpa berterima kasih kepadanya.
Setelah sarapan pagi, raja pergi ke vihara dan berkata, “Mengapa Anda tidak mengucapkan terima kasih, Bhante?” Sang Guru menjawab, “Orang-orang tersebut tidak suci, Yang Mulia.”
Beliau melanjutkan untuk membabarkan Dhamma, dengan mengucapkan bait yang dimulai dengan “Ke alam Surga orang yang serakah tidak akan masuk252.” Raja yang hatinya menjadi bahagia, memberikan penghormatan kepada Sang Tathagata dengan mempersembahkan sehelai jubah luar dari negeri Sivi, yang bernilai seribu keping uang. Kemudian raja kembali ke kerajaannya.
Keesokan harinya, mereka membicarakan tentang hal ini di dhammasabhā: “Āvuso, raja Kosala memberikan dana yang tiada bandingannya. Dan, tidak puas dengan itu, ketika Dasabala membabarkan Dhamma kepadanya, raja memberikan Beliau sehelai pakain Sivi yang bernilai seribu keping uang! Betapa murah hatinya raja dalam pemberian dana!”
Sang Guru berjalan masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan. Mereka memberitahu Beliau.
Beliau berkata, “Para bhikkhu, memang benar barang-barang lahiriah dapat diterima. Tetapi orang bijak di masa lampau, yang memberikan derma sampai seluruh India gempar dengan ketenarannya ini dan yang setiap hari memberi sebanyak enam ratus ribu keping uang, merasa tidak puas dengan pemberian barang lahiriah. Dan dengan mengingat pepatah, ‘Berikan apa yang Anda hargai dan cinta akan timbul dengan sendirinya’, mereka bahkan mencongkel keluar mata mereka dan memberikannya kepada orang yang memintanya.”
Dengan kata-kata ini, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika raja Sivi berkuasa di kota Ariṭṭhapura di kerajaan Sivi, Sang Mahasatwa terlahir sebagai putranya. Mereka memberinya nama Pangeran Sivi.
Ketika dewasa, ia pergi ke Takkasila untuk belajar di sana; [402] sekembalinya dari sana, ia menunjukkan pengetahuannya kepada ayahnya, sang raja, dan ia dijadikan sebagai wakil raja. Sepeninggal ayahnya, ia naik tahta menjadi raja. Dan dengan meningggalkan jalan-jalan perbuatan jahat, ia menjalankan sepuluh rajadhamma dan memerintah dengan adil. Ia meminta orang membangun enam dānasālā, di keempat pintu gerbang, satu di tengah-tengah kota, dan satu lagi di depan istananya sendiri. Ia sangat bermurah hati dengan setiap hari memberikan dana sebesar enam ratus ribu keping uang. Setiap tanggal delapan, empat belas, dan lima belas ia tidak pernah kelewatan untuk mengunjungi dānasālā tersebut untuk melihat pemberian dana itu.
Suatu kali di hari bulan purnama, payung kerajaan telah dinaikkan pada waktu pagi-pagi sekali dan raja duduk di tahtanya sambil memikirkan dana yang telah diberikannya. Ia berpikir dalam dirinya sendiri, “Dari semua barang lahiriah, tidak ada yang belum saya berikan. Akan tetapi pemberian jenis ini tidak membuat diriku merasa puas. Saya ingin memberikan sesuatu yang berasal dari badanku sendiri. Baiklah, hari ini di saat pergi ke dānasālā, saya bersumpah jika ada orang yang meminta sesuatu yang bukan merupakan barang bagian luar, tetapi menyebutkan bagian dari anggota tubuhku,—jika ia mengatakan jantungku, saya akan membelah dadaku dengan tombak dan seperti menarik keluar bunga teratai, bagian tangkai dan semuanya, dari sebuah danau yang tenang, saya akan mengeluarkan jantungku yang meneteskan darah dan memberikan itu kepadanya: jika ia mengatakan daging tubuhku, saya akan memotong daging tubuhku dan memberikannya, seperti menggali dengan alat penggali: jika ia mengatakan darahku, saya akan memberikannya darahku, dengan mengalirkan ke mulutnya atau mengisinya ke dalam sebuah patta: atau lagi, jika ia mengatakan, saya tidak bisa menyelesaikan pekerjaan rumah tanggaku, mari datang dan kerjakan bagian seorang pembantu di rumahku, maka saya akan menanggalkan pakaian kerajaanku ini dan berdiri tanpa menyebut diriku sebagai seorang pelayan dan saya akan melakukan pekerjaan pelayan tersebut: jika ada orang yang meminta mataku, saya akan mencongkel keluar mataku dan memberikannya, seperti seseorang yang mengeluarkan saripati pohon palem.” Ia memiliki pikiran yang demikian di dalam dirinya:
“Jika ada pemberian manusia apapun
yang belum pernah kuberikan,
Apakah itu kedua mataku,
saya akan memberikannya sekarang,
dengan mantap dan berani.”
Kemudian ia mandi dengan enam belas kendi air yang wangi dan menghias dirinya dengan segala kemuliaannya. Setelah menyantap makanan pilihan, ia naik ke atas seekor gajah yang bersenjata dengan lengkap [403] dan pergi ke dānasālā.
Dewa Sakka, yang mengetahui tekadnya tersebut, berpikir, “Raja Sivi telah bertekad untuk memberikan kedua matanya kepada siapa saja yang datang memintanya. Apakah Anda akan mampu melakukannya atau tidak?” Sakka bertekad untuk menguji raja.
Dengan samaran sebagai seorang brahmana tua yang buta, ia menempatkan dirinya di suatu tempat yang tinggi. Ketika raja tiba di dānasālā-nya, ia menjulurkan tangannya dan berdiri sambil berkata, “Semoga Yang Mulia panjang umur!” Kemudian raja menuntun gajahnya ke arah brahmana tersebut dan berkata, “Apa yang Anda katakan, brahmana?” Sakka berkata kepadanya, “O raja agung! Di seluruh dunia yang berpenghuni ini tidak ada tempat yang tidak mengetahui ketenaran dari kemurahan hati Anda. Saya ini adalah orang yang buta dan Anda memiliki dua mata.” Kemudian ia mengucapkan bait kalimat pertama berikut ini untuk meminta satu mata:
“Untuk meminta satu mata,
orang tua ini datang dari tempat yang jauh,
karena saya tidak memiliki satupun:
O berikanlah padaku salah satu matamu,
saya mohon, sehingga kita nantinya
masing-masing memiliki satu mata.”
Ketika mendengar ini, Sang Mahasatwa berpikir, “Ini adalah persis seperti apa yang tadi saya pikirkan di dalam istana sebelum datang kemari! Alangkah suatu kesempatan yang baik! Keinginan hatiku akan terpenuhi hari ini; saya akan memberikan sebuah dana yang belum pernah diberikan manusia sebelumnya.” Dan ia mengucapkan bait kedua berikut:
“Siapa yang mengajari Anda datang kemari,
O pengemis, untuk meminta satu mata?
Ini adalah bagian dari seorang manusia yang paling utama,
Dan sulit bagi manusia untuk memberikannya, demikian yang dikatakan orang.”
(Bait-bait kalimat berikutnya harus dibaca dua-dua, sebagaimana mudahnya dapat dilihat).
“Sujampati, di antara para dewa, sama seperti
Di sini, di antara umat manusia yang disebut dengan nama Maghavā,
[404] Ia yang mengajariku datang kemari,
Untuk meminta dan memohon satu mata.
“Ini adalah hadiah yang paling utama yang saya minta,
Berikan padaku satu mata!
Jangan katakan saya tidak boleh mendapatkannya!
Berikan padaku satu mata, pemberian yang paling utama
Yang demikian sulit bagi manusia untuk memberikannya, seperti yang dikatakan orang!”
“Keinginan yang membawamu kemari,
keinginan yang muncul
Di dalam dirimu, akan terpenuhi.
Ini, brahmana, silahkan ambil kedua mataku.
“Satu mata yang Anda minta dariku:
Lihat, saya berikan kedua mataku!
Pergilah dengan penglihatan yang bagus,
dapat melihat segalanya;
Demikianlah keinginanmu
akan terpenuhi dan menjadi kenyataan.”
Demikian banyak yang dikatakan oleh raja. Tetapi, dengan berpikiran bahwa ia tidak pantas mencongkel matanya keluar dan memberikannya kepada brahmana itu di sana, raja kemudian membawanya masuk ke ruangan dalam bersamanya. Setelah duduk di tahta kerajaan, raja memanggil seorang ahli bedah yang bernama Sīvaka. Kemudian berkata, “Keluarkanlah kedua mataku.”
Waktu itu, seluruh kota menjadi gempar dengan berita tersebut, bahwasannya raja bersedia mengeluarkan kedua matanya dan memberikannya kepada seorang brahmana. Kemudian Panglima Tertinggi dan semua pegawai kerajaan lainnya, serta orang-orang yang mencintai raja, berkumpul bersama dari kota dan tempat kediaman para selirnya dan mengucapkan tiga bait kalimat berikut agar dapat membuat raja membatalkan niatnya:
“O jangan berikan matamu, Paduka:
jangan tinggalkan kami, O Paduka!
Berikan saja uang, mutiara,
batu karang, dan banyak barang berharga lainnya:
“Berikan gajah berdarah murni
yang bersenjata lengkap, keluarkan kereta perang,
O Paduka, keluarkan gajah-gajah
yang mengenakan kain emas:
[405] “Berikan ini, O Paduka! sehingga kami semua
bisa melindungi Anda dengan selamat,
Orang-orangmu yang setia,
yang datang kemari dengan kereta dan pedati.
Mendengar ini, raja mengucapkan tiga bait kalimat berikut:
“Jiwa yang telah mengucapkan sumpah
akan menjadi tidak setia nantinya,
Menyebabkan lehernya masuk dalam jerat
dan terkubur di dalam tanah.
“Jiwa yang telah mengucapkan sumpah
akan menjadi tidak setia nantinya,
Lebih berdosa dibandingkan dosa, dan
ia akan dimasukkan ke dalam tempat tinggal dewa Yama253.
“Jangan memberi jika tidak diminta;
jangan juga memberi benda yang tidak dimintanya,
Oleh karena itu, benda yang diminta oleh sang brahmana ini
langsung saya berikan di tempat.”
Kemudian para pejabat istana bertanya, “Apa yang Anda inginkan dengan memberikan matamu?” dengan mengucapkan satu bait kalimat:
“Kehidupan, kecantikan, kebahagiaan, atau kekuatan— imbalan apa,
O raja, yang menggerakkan Anda melakukan ini?
Mengapa raja yang maha tinggi dari kerajaan Sivi
Demi kebaikan kehidupan berikutnya memberikan kedua matanya sebagai dana?”
[406] Raja menjawab dalam satu bait kalimat berikut:
“Dengan memberikan hal demikian, kejayaan bukanlah tujuanku,
Bukan keturunan, bukan kekayaan, atau menguasai lebih banyak kerajaan:
Ini adalah jalan lama yang bagus dari orang-orang suci;
Jiwaku terpikat dengan memberikan dana254.”
Mendengar jawaban dari Sang Mahasatwa tersebut, para pejabat istana tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Maka Sang Mahasatwa berkata kepada Sīvaka, sang ahli bedah, dalam satu bait kalimat berikut:
“Anda adalah seorang teman sekaligus sahabat:
Lakukan seperti yang saya minta—
Anda memiliki keahlian tersebut sekarang—
Keluarkan kedua mataku, karena ini adalah keinginanku,
Dan berikan kepada pengemis tersebut.”
Tetapi Sīvaka berkata, “Pikirkanlah kembali, Paduka! Untuk memberikan dana berupa mata bukanlah hal yang mudah dilakukan.”—“Sīvaka, saya telah memikirkannya; [407] jangan tunda lagi, ataupun berbicara terlalu banyak di hadapanku.”
Kemudian ia berpikir, “Tidaklah cocok bagi seorang ahli bedah yang hebat seperti diriku ini menggunakan pisau bedah kecil ini untuk mengeluarkan mata seorang raja,” jadi ia menumbuk sejumlah obat-obatan, menggosokkannya ke satu bunga teratai biru, dan mengoleskannya di mata sebelah kanan: matanya berputar-putar dan terasa suatu rasa sakit yang amat sangat. “Tahan, Paduka, saya dapat mengatasinya.”—“Lanjutkan saja, teman, tolong jangan menundanya lagi.” Ia menggosok bubuk itu lagi dan mengoleskannya kembali di mata tersebut: Mata itu mulai keluar dari lubangnya, kali ini rasa sakitnya lebih buruk daripada sebelumnya. “Tahan, Paduka. Saya masih dapat mengatasinya.”—“Cepat selesaikan pekerjaanmu!” Untuk ketiga kalinya, ia mengoleskan bubuk yang lebih keras lagi: Dikarenakan kekuatan dari bubuk obat tersebut, matanya berputar, keluar dari lubangnya, dan tergantung berayun-ayun di ujung urat dagingnya.
“Tahan, Paduka, saya masih dapat mengatasinya lagi.”—“Cepatlah.” Rasa sakit yang dialami sangatlah luar biasa, darah bercucuran, pakaian raja terlumuri dengan darahnya. Para selir raja dan pejabat istana bersujud sambil meneriakkan, “Paduka, jangan mengorbankan matamu!” Mereka meratap sedih dan menangis dengan keras. Raja yang menahan rasa sakit tersebut berkata, “Cepatlah, temanku.” “Baiklah, Paduka,” kata sang ahli bedah. Dengan tangan kirinya memegang bola mata itu, ia mengambil pisau dengan tangan kanan dan memotong urat matanya, kemudian meletakkannya di tangan Sang Mahasatwa.
Melihat dengan mata kirinya ke sebelah kanan dan menahan rasa sakitnya, raja berkata, “Brahmana, kemarilah.” Di saat brahmana tersebut mendekat, ia kemudian melanjutkan perkataannya,—“Mata keabadian lebih berharga dibandingkan dengan mata ini seratus kali lipat, ya seribu kali lipat: itulah alasannya saya melakukan ini,” dan memberikannya kepada brahmana tersebut, yang kemudian mengambil dan memasukkannya ke dalam lubang matanya sendiri. Mata itu cocok berada di sana dengan kekuatannya seperti bunga teratai biru yang bermekaran. Ketika melihat ini dengan mata kirinya, Sang Mahasatwa berkata, “Ah, alangkah bagusnya pemberian dana mataku ini!” [408] Bergetar dengan kebahagiaan yang muncul di dalam dirinya, raja memberikan sebelah matanya lagi. Sakka juga meletakkan bola mata itu ke dalam lubang matanya sendiri dan pergi keluar dari istana raja, kemudian keluar dari kota tersebut dengan tatapan dari orang banyak kepada dirinya, dan akhinya kembali ke alam Dewa.
Sang Guru mengucapkan satu setengah bait kalimat berikut untuk menjelaskan ini:
“Demikianlah Sivi memberi perintah kepada Sīvaka,
dan ia memenuhi keinginannya.
Ia mengeluarkan kedua mata raja, dan
menyerahkannya kepada brahmana itu:
Dan sekarang brahmana itu memiliki mata,
sedangkan raja menjadi buta.”
Tidak lama kemudian, mata raja mulai tumbuh; seolah-olah seperti tumbuh, dan sebelum pertumbuhan tersebut sampai ke ujung lubang, setumpuk daging tumbuh di dalamnya seperti bola benang wol, mengisi lubang yang ada. Itu kelihatan seperti mata boneka dan rasa sakitnya menghilang.
Sang Mahasatwa berdiam di dalam istana selama beberapa hari. Kemudian ia berpikir, “Apa yang bisa dilakukan seorang yang buta dalam pemerintahan? Saya akan mengalihkan kerajaanku kepada para menteri istana dan saya akan pergi ke taman menjadi seorang petapa, menjalani hidup sebagai orang suci.”
Ia memanggil semua pejabat istananya dan memberitahukan mereka apa yang hendak dilakukannya. “Satu orang,” kata raja, “akan ikut bersamaku untuk membantu membasuh wajahku, dan sebagainya, melakukan semua yang pantas dilakukan, dan kalian harus mengikatkan tali untuk menuntun diriku ke tempat peristirahatanku.” Kemudian dengan memanggil penunggang kereta perangnya, raja memintanya untuk menyiapkan kereta. Akan tetapi para pejabat istananya tidak membiarkan ia naik ke keretanya, mereka membawanya keluar dengan sebuah tandu emas dan menurunkannya di dekat tepi danau kemudian pulang kembali setelah memberi penjagaan di sekeliling raja. Raja duduk di dalam tandu sambil memikirkan kembali tentang pemberian dananya itu.
Saat itu, tahta Dewa Sakka menjadi panas. Berpikir untuk mencari tahu penyebabnya, ia pun mengetahuinya. “Saya akan memberikan raja sebuah hadiah,” pikirnya, “dan memulihkan matanya kembali.” Maka ia pergi ke tempat itu; dan dengan berada tidak jauh dari Sang Mahasatwa, ia berjalan mondar-mandir, ke sana kemari.
Untuk menjelaskan ini, Sang Guru mengucapkan bait-bait kalimat berikut ini:
“Beberapa hari telah berlalu; matanya kelihatan mulai sembuh kembali:
Raja Sivi yang gagah berani itu kemudian memanggil penunggang kereta perangnya.
[409] “ ‘Siapkan keretanya, penunggang; kemudian beritahu kepadaku:
Saya akan pergi ke taman dan hutan dan danau yang ditumbuhi dengan bunga lili.’
Sang penunggang meletakkan raja di dekat air,
Dan di sini Sujampati, raja para dewa, Sakka yang agung muncul.”
“Siapa itu?” teriak Sang Mahasatwa ketika mendengar suara jejak kaki. Sakka mengucapkan satu bait kalimat:
“Saya adalah Sakka, raja para dewa;
saya datang kemari untuk mengunjungimu.
Anda pilihlah sebuah hadiah, O orang suci yang mulia!
Sebutkan apapun permintaanmu.”
Raja membalasnya dengan bait berikutnya:
“Kekayaan, kekuatan dan harta tidak ada habisnya,
semuanya ini telah saya tinggalkan:
O Sakka, yang saya inginkan hanyalah kematian:
karena saya sudah buta sekarang.”
Kemudian Sakka berkata, “Apakah Anda meminta kematian ini, raja Sivi, karena Anda memang menginginkannya atau karena Anda buta?”—“Karena saya buta, Dewa.”—“Dana itu bukan segalanya, Yang Mulia, dana itu diberikan berupa satu bola mata untuk masa depan. Walaupun demikian, ada satu alasan yang menghubungkannya dengan dunia yang dapat dilihat ini. Dulu Anda diminta untuk memberikan satu bola mata saja, tetapi Anda memberikan kedua-duanya. Sekarang buatlah suatu pernyataan kebenaran mengenai hal tersebut.” Kemudian ia memulai satu bait kalimat berikut:
“O ksatria, pemimpin umat manusia,
paparkanlah hal yang benar:
Jika Anda memaparkan kebenaran,
kedua matamu akan dipulihkan kembali.”
Mendengar perkataan ini, Sang Mahasatwa menjawab, “Jika Anda hendak memberikanku satu mata, Sakka, jangan coba cara yang lain, tetapi biarlah mataku pulih kembali sebagai buah dari pemberian danaku.” Sakka berkata, “Walaupun orang-orang memanggilku Sakka, raja para dewa, Yang Mulia, tetapi saya tidak bisa memberikan mata kepada orang lain kecuali dengan hasil dari dana yang Anda berikan, dan tidak dengan yang lain, matamu akan dipulihkan kembali.”
Kemudian raja mengucapkan satu bait kalimat berikut, dengan menjaga bahwa dananya diberikan dengan benar:
[410] “Peminta jenis dan macam apapun yang datang,
Siapa saja yang datang meminta dariku,
ia adalah orang yang terhormat di hatiku:
Jika kata-kata khidmatku ini adalah benar,
sekarang munculkan kembali mataku!”
Persis ketika ia mengucapkan perkataan tersebut, salah satu matanya mulai tumbuh di lubang matanya. Kemudian ia mengucapkan dua bait berikut untuk memulihkan matanya yang satu lagi:
“Seorang brahmana datang mengunjungiku,
meminta salah satu mataku:
Kepada brahmana peminta itu
saya memberikan kedua mataku.
“Perbuatan itu menimbulkan kebahagiaan
dan kegembiraan yang lebih besar.
Jika kata-kata khidmatku ini adalah benar,
maka mataku yang satu lagi akan pulih kembali!”
Pada saat itu juga, matanya yang kedua muncul kembali. Akan tetapi kedua mata tersebut bukan mata manusia maupun mata dewa. Mata yang diberikan oleh Sakka sebagai sang brahmana tidak dapat berupa mata manusia, kita mengetahuinya. Di sisi lain, mata dewa tidak dapat dimunculkan dalam sesuatu yang sudah terluka. [411] Mata ini disebut sebagai mata kesempurnaan kebenaran ucapan (mata saccaparamita). Di waktu mata tersebut pulih kembali, semua kalangan pejabat istana dikumpulkan dengan kekuatan Dewa Sakka dan ia berdiri di tengah-tengah mereka, mengucapkan pujian dalam dua bait kalimat berikut ini:
“O raja Sivi yang gagah berani,
himne-himne sucimu ini Telah memberikan Anda
sepasang mata dewa ini sebagai hadiah cuma-cuma.
“Melewati batu karang dan dinding tembok,
melintasi bukit dan lembah, halangan apapun yang menghadang,
Sepasang mata dewamu itu akan dapat melihatnya
dari segala sisi sejauh seratus yojana.”
Setelah mengucapkan bait-bait kalimat tersebut, dengan masih berdiri melayang di udara di hadapan banyak orang dan satu nasehat terakhir kepada Sang Mahasatwa agar ia menjadi waspada (tidak lengah), Sakka kembali ke alam Dewa. Dikelilingi dengan rombongannya, raja kembali ke kota dalam kebesaran yang agung, dan masuk ke dalam istana yang disebut Candaka, Mata burung merak.
Berita tentang raja mendapatkan kembali kedua matanya itu tersebar luas di seluruh kerajaan Sivi. Semua rakyat berkumpul bersama untuk melihatnya, dengan hadiah di tangan mereka. “Sekarang kerumunan orang ini datang bersama,” pikir Sang Mahasatwa, “saya akan memuji dana yang kuberikan dulunya.” Ia meminta orang membuat sebuah paviliun yang besar di gerbang istana, dimana ia duduk di tahta kerajaan di sana, dengan payung putih terbuka lebar melindungi bagian atasnya. Kemudian drum diperintahkan untuk dibunyikan di seluruh penjuru kota, untuk mengumpulkan serikat pekerja. Kemudian raja berkata, “O rakyat kerajaan Sivi! Sekarang kalian telah melihat mata dewa ini, jangan pernah memakan makanan tanpa memberikan dana!” dan ia mengucapkan empat bait kalimat berikut untuk membabarkan Dhamma:
“Siapa yang akan mengatakan tidak jika dirinya diminta untuk memberi
Meskipun itu adalah dananya yang terbaik dan pilihan?
Rakyat kerajaan Sivi yang berkumpul bersama, ho!
Datanglah kemari, lihatlah mataku, hadiah dari dewa ini!
[412] “Melewati batu karang dan dinding tembok,
melintasi bukit dan lembah, halangan apapun yang menghadang,
Sepasang mata dewaku ini akan dapat melihatnya
dari segala sisi sejauh seratus yojana.”
“Pengorbanan diri di alam kehidupan manusia,
Dari segala hal yang paling baik:
Saya mengorbankan satu mata manusiaku
dan memberikannya sebagai dana,
Membuahkan mata dewa.
“Lihat, rakyatku! Lihatlah, beri dahulu sebelum Anda makan,
biarkan orang lain mendapatkan bagiannya.
Ini dapat diselesaikan dengan kemauan dan perhatian yang terbaik,
Dengan tidak memiliki kesalahan, Anda akan masuk ke alam Surga.”
Dalam empat bait kalimat tersebut, ia membabarkan Dhamma. Setelah hari itu, setiap dua minggu, pada hari Uposatha, bahkan setiap tanggal lima belas, ia membabarkan Dhamma dalam bait kalimat yang sama tanpa hentinya kepada kumpulan orang banyak.
Setelah mendengarnya, mereka jadi memberikan dana dan berbuat kebajikan, kemudian terlahir sebagai penghuni alam Surga.
____________________
Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru berkata, “Demikianlah para bhikkhu, orang bijak di masa lampau memberikan kepada siapa saja yang datang, yang meminta pemberian dana barang bagian dalam, yaitu mata mereka, ia mengeluarkan kedua matanya sendiri.”
Kemudian Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, Ananda adalah Sīvaka sang ahli bedah, Anaruddha adalah Dewa Sakka, pengikut Sang Buddha adalah rakyat kerajaan Sivi, dan saya sendiri adalah raja Sivi.”
Situasi cerita ini telah dijelaskan secara lengkap di Buku VIII dalam Sovīra- Jātaka 251 .
Tetapi dalam kisah ini, pada hari ketujuh, raja memberikan semua barang kebutuhan dan meminta ucapan rasa terima kasih, tetapi Sang Guru pergi tanpa berterima kasih kepadanya.
Setelah sarapan pagi, raja pergi ke vihara dan berkata, “Mengapa Anda tidak mengucapkan terima kasih, Bhante?” Sang Guru menjawab, “Orang-orang tersebut tidak suci, Yang Mulia.”
Beliau melanjutkan untuk membabarkan Dhamma, dengan mengucapkan bait yang dimulai dengan “Ke alam Surga orang yang serakah tidak akan masuk252.” Raja yang hatinya menjadi bahagia, memberikan penghormatan kepada Sang Tathagata dengan mempersembahkan sehelai jubah luar dari negeri Sivi, yang bernilai seribu keping uang. Kemudian raja kembali ke kerajaannya.
Keesokan harinya, mereka membicarakan tentang hal ini di dhammasabhā: “Āvuso, raja Kosala memberikan dana yang tiada bandingannya. Dan, tidak puas dengan itu, ketika Dasabala membabarkan Dhamma kepadanya, raja memberikan Beliau sehelai pakain Sivi yang bernilai seribu keping uang! Betapa murah hatinya raja dalam pemberian dana!”
Sang Guru berjalan masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan. Mereka memberitahu Beliau.
Beliau berkata, “Para bhikkhu, memang benar barang-barang lahiriah dapat diterima. Tetapi orang bijak di masa lampau, yang memberikan derma sampai seluruh India gempar dengan ketenarannya ini dan yang setiap hari memberi sebanyak enam ratus ribu keping uang, merasa tidak puas dengan pemberian barang lahiriah. Dan dengan mengingat pepatah, ‘Berikan apa yang Anda hargai dan cinta akan timbul dengan sendirinya’, mereka bahkan mencongkel keluar mata mereka dan memberikannya kepada orang yang memintanya.”
Dengan kata-kata ini, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika raja Sivi berkuasa di kota Ariṭṭhapura di kerajaan Sivi, Sang Mahasatwa terlahir sebagai putranya. Mereka memberinya nama Pangeran Sivi.
Ketika dewasa, ia pergi ke Takkasila untuk belajar di sana; [402] sekembalinya dari sana, ia menunjukkan pengetahuannya kepada ayahnya, sang raja, dan ia dijadikan sebagai wakil raja. Sepeninggal ayahnya, ia naik tahta menjadi raja. Dan dengan meningggalkan jalan-jalan perbuatan jahat, ia menjalankan sepuluh rajadhamma dan memerintah dengan adil. Ia meminta orang membangun enam dānasālā, di keempat pintu gerbang, satu di tengah-tengah kota, dan satu lagi di depan istananya sendiri. Ia sangat bermurah hati dengan setiap hari memberikan dana sebesar enam ratus ribu keping uang. Setiap tanggal delapan, empat belas, dan lima belas ia tidak pernah kelewatan untuk mengunjungi dānasālā tersebut untuk melihat pemberian dana itu.
Suatu kali di hari bulan purnama, payung kerajaan telah dinaikkan pada waktu pagi-pagi sekali dan raja duduk di tahtanya sambil memikirkan dana yang telah diberikannya. Ia berpikir dalam dirinya sendiri, “Dari semua barang lahiriah, tidak ada yang belum saya berikan. Akan tetapi pemberian jenis ini tidak membuat diriku merasa puas. Saya ingin memberikan sesuatu yang berasal dari badanku sendiri. Baiklah, hari ini di saat pergi ke dānasālā, saya bersumpah jika ada orang yang meminta sesuatu yang bukan merupakan barang bagian luar, tetapi menyebutkan bagian dari anggota tubuhku,—jika ia mengatakan jantungku, saya akan membelah dadaku dengan tombak dan seperti menarik keluar bunga teratai, bagian tangkai dan semuanya, dari sebuah danau yang tenang, saya akan mengeluarkan jantungku yang meneteskan darah dan memberikan itu kepadanya: jika ia mengatakan daging tubuhku, saya akan memotong daging tubuhku dan memberikannya, seperti menggali dengan alat penggali: jika ia mengatakan darahku, saya akan memberikannya darahku, dengan mengalirkan ke mulutnya atau mengisinya ke dalam sebuah patta: atau lagi, jika ia mengatakan, saya tidak bisa menyelesaikan pekerjaan rumah tanggaku, mari datang dan kerjakan bagian seorang pembantu di rumahku, maka saya akan menanggalkan pakaian kerajaanku ini dan berdiri tanpa menyebut diriku sebagai seorang pelayan dan saya akan melakukan pekerjaan pelayan tersebut: jika ada orang yang meminta mataku, saya akan mencongkel keluar mataku dan memberikannya, seperti seseorang yang mengeluarkan saripati pohon palem.” Ia memiliki pikiran yang demikian di dalam dirinya:
“Jika ada pemberian manusia apapun
yang belum pernah kuberikan,
Apakah itu kedua mataku,
saya akan memberikannya sekarang,
dengan mantap dan berani.”
Kemudian ia mandi dengan enam belas kendi air yang wangi dan menghias dirinya dengan segala kemuliaannya. Setelah menyantap makanan pilihan, ia naik ke atas seekor gajah yang bersenjata dengan lengkap [403] dan pergi ke dānasālā.
Dewa Sakka, yang mengetahui tekadnya tersebut, berpikir, “Raja Sivi telah bertekad untuk memberikan kedua matanya kepada siapa saja yang datang memintanya. Apakah Anda akan mampu melakukannya atau tidak?” Sakka bertekad untuk menguji raja.
Dengan samaran sebagai seorang brahmana tua yang buta, ia menempatkan dirinya di suatu tempat yang tinggi. Ketika raja tiba di dānasālā-nya, ia menjulurkan tangannya dan berdiri sambil berkata, “Semoga Yang Mulia panjang umur!” Kemudian raja menuntun gajahnya ke arah brahmana tersebut dan berkata, “Apa yang Anda katakan, brahmana?” Sakka berkata kepadanya, “O raja agung! Di seluruh dunia yang berpenghuni ini tidak ada tempat yang tidak mengetahui ketenaran dari kemurahan hati Anda. Saya ini adalah orang yang buta dan Anda memiliki dua mata.” Kemudian ia mengucapkan bait kalimat pertama berikut ini untuk meminta satu mata:
“Untuk meminta satu mata,
orang tua ini datang dari tempat yang jauh,
karena saya tidak memiliki satupun:
O berikanlah padaku salah satu matamu,
saya mohon, sehingga kita nantinya
masing-masing memiliki satu mata.”
Ketika mendengar ini, Sang Mahasatwa berpikir, “Ini adalah persis seperti apa yang tadi saya pikirkan di dalam istana sebelum datang kemari! Alangkah suatu kesempatan yang baik! Keinginan hatiku akan terpenuhi hari ini; saya akan memberikan sebuah dana yang belum pernah diberikan manusia sebelumnya.” Dan ia mengucapkan bait kedua berikut:
“Siapa yang mengajari Anda datang kemari,
O pengemis, untuk meminta satu mata?
Ini adalah bagian dari seorang manusia yang paling utama,
Dan sulit bagi manusia untuk memberikannya, demikian yang dikatakan orang.”
(Bait-bait kalimat berikutnya harus dibaca dua-dua, sebagaimana mudahnya dapat dilihat).
“Sujampati, di antara para dewa, sama seperti
Di sini, di antara umat manusia yang disebut dengan nama Maghavā,
[404] Ia yang mengajariku datang kemari,
Untuk meminta dan memohon satu mata.
“Ini adalah hadiah yang paling utama yang saya minta,
Berikan padaku satu mata!
Jangan katakan saya tidak boleh mendapatkannya!
Berikan padaku satu mata, pemberian yang paling utama
Yang demikian sulit bagi manusia untuk memberikannya, seperti yang dikatakan orang!”
“Keinginan yang membawamu kemari,
keinginan yang muncul
Di dalam dirimu, akan terpenuhi.
Ini, brahmana, silahkan ambil kedua mataku.
“Satu mata yang Anda minta dariku:
Lihat, saya berikan kedua mataku!
Pergilah dengan penglihatan yang bagus,
dapat melihat segalanya;
Demikianlah keinginanmu
akan terpenuhi dan menjadi kenyataan.”
Demikian banyak yang dikatakan oleh raja. Tetapi, dengan berpikiran bahwa ia tidak pantas mencongkel matanya keluar dan memberikannya kepada brahmana itu di sana, raja kemudian membawanya masuk ke ruangan dalam bersamanya. Setelah duduk di tahta kerajaan, raja memanggil seorang ahli bedah yang bernama Sīvaka. Kemudian berkata, “Keluarkanlah kedua mataku.”
Waktu itu, seluruh kota menjadi gempar dengan berita tersebut, bahwasannya raja bersedia mengeluarkan kedua matanya dan memberikannya kepada seorang brahmana. Kemudian Panglima Tertinggi dan semua pegawai kerajaan lainnya, serta orang-orang yang mencintai raja, berkumpul bersama dari kota dan tempat kediaman para selirnya dan mengucapkan tiga bait kalimat berikut agar dapat membuat raja membatalkan niatnya:
“O jangan berikan matamu, Paduka:
jangan tinggalkan kami, O Paduka!
Berikan saja uang, mutiara,
batu karang, dan banyak barang berharga lainnya:
“Berikan gajah berdarah murni
yang bersenjata lengkap, keluarkan kereta perang,
O Paduka, keluarkan gajah-gajah
yang mengenakan kain emas:
[405] “Berikan ini, O Paduka! sehingga kami semua
bisa melindungi Anda dengan selamat,
Orang-orangmu yang setia,
yang datang kemari dengan kereta dan pedati.
Mendengar ini, raja mengucapkan tiga bait kalimat berikut:
“Jiwa yang telah mengucapkan sumpah
akan menjadi tidak setia nantinya,
Menyebabkan lehernya masuk dalam jerat
dan terkubur di dalam tanah.
“Jiwa yang telah mengucapkan sumpah
akan menjadi tidak setia nantinya,
Lebih berdosa dibandingkan dosa, dan
ia akan dimasukkan ke dalam tempat tinggal dewa Yama253.
“Jangan memberi jika tidak diminta;
jangan juga memberi benda yang tidak dimintanya,
Oleh karena itu, benda yang diminta oleh sang brahmana ini
langsung saya berikan di tempat.”
Kemudian para pejabat istana bertanya, “Apa yang Anda inginkan dengan memberikan matamu?” dengan mengucapkan satu bait kalimat:
“Kehidupan, kecantikan, kebahagiaan, atau kekuatan— imbalan apa,
O raja, yang menggerakkan Anda melakukan ini?
Mengapa raja yang maha tinggi dari kerajaan Sivi
Demi kebaikan kehidupan berikutnya memberikan kedua matanya sebagai dana?”
[406] Raja menjawab dalam satu bait kalimat berikut:
“Dengan memberikan hal demikian, kejayaan bukanlah tujuanku,
Bukan keturunan, bukan kekayaan, atau menguasai lebih banyak kerajaan:
Ini adalah jalan lama yang bagus dari orang-orang suci;
Jiwaku terpikat dengan memberikan dana254.”
Mendengar jawaban dari Sang Mahasatwa tersebut, para pejabat istana tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Maka Sang Mahasatwa berkata kepada Sīvaka, sang ahli bedah, dalam satu bait kalimat berikut:
“Anda adalah seorang teman sekaligus sahabat:
Lakukan seperti yang saya minta—
Anda memiliki keahlian tersebut sekarang—
Keluarkan kedua mataku, karena ini adalah keinginanku,
Dan berikan kepada pengemis tersebut.”
Tetapi Sīvaka berkata, “Pikirkanlah kembali, Paduka! Untuk memberikan dana berupa mata bukanlah hal yang mudah dilakukan.”—“Sīvaka, saya telah memikirkannya; [407] jangan tunda lagi, ataupun berbicara terlalu banyak di hadapanku.”
Kemudian ia berpikir, “Tidaklah cocok bagi seorang ahli bedah yang hebat seperti diriku ini menggunakan pisau bedah kecil ini untuk mengeluarkan mata seorang raja,” jadi ia menumbuk sejumlah obat-obatan, menggosokkannya ke satu bunga teratai biru, dan mengoleskannya di mata sebelah kanan: matanya berputar-putar dan terasa suatu rasa sakit yang amat sangat. “Tahan, Paduka, saya dapat mengatasinya.”—“Lanjutkan saja, teman, tolong jangan menundanya lagi.” Ia menggosok bubuk itu lagi dan mengoleskannya kembali di mata tersebut: Mata itu mulai keluar dari lubangnya, kali ini rasa sakitnya lebih buruk daripada sebelumnya. “Tahan, Paduka. Saya masih dapat mengatasinya.”—“Cepat selesaikan pekerjaanmu!” Untuk ketiga kalinya, ia mengoleskan bubuk yang lebih keras lagi: Dikarenakan kekuatan dari bubuk obat tersebut, matanya berputar, keluar dari lubangnya, dan tergantung berayun-ayun di ujung urat dagingnya.
“Tahan, Paduka, saya masih dapat mengatasinya lagi.”—“Cepatlah.” Rasa sakit yang dialami sangatlah luar biasa, darah bercucuran, pakaian raja terlumuri dengan darahnya. Para selir raja dan pejabat istana bersujud sambil meneriakkan, “Paduka, jangan mengorbankan matamu!” Mereka meratap sedih dan menangis dengan keras. Raja yang menahan rasa sakit tersebut berkata, “Cepatlah, temanku.” “Baiklah, Paduka,” kata sang ahli bedah. Dengan tangan kirinya memegang bola mata itu, ia mengambil pisau dengan tangan kanan dan memotong urat matanya, kemudian meletakkannya di tangan Sang Mahasatwa.
Melihat dengan mata kirinya ke sebelah kanan dan menahan rasa sakitnya, raja berkata, “Brahmana, kemarilah.” Di saat brahmana tersebut mendekat, ia kemudian melanjutkan perkataannya,—“Mata keabadian lebih berharga dibandingkan dengan mata ini seratus kali lipat, ya seribu kali lipat: itulah alasannya saya melakukan ini,” dan memberikannya kepada brahmana tersebut, yang kemudian mengambil dan memasukkannya ke dalam lubang matanya sendiri. Mata itu cocok berada di sana dengan kekuatannya seperti bunga teratai biru yang bermekaran. Ketika melihat ini dengan mata kirinya, Sang Mahasatwa berkata, “Ah, alangkah bagusnya pemberian dana mataku ini!” [408] Bergetar dengan kebahagiaan yang muncul di dalam dirinya, raja memberikan sebelah matanya lagi. Sakka juga meletakkan bola mata itu ke dalam lubang matanya sendiri dan pergi keluar dari istana raja, kemudian keluar dari kota tersebut dengan tatapan dari orang banyak kepada dirinya, dan akhinya kembali ke alam Dewa.
Sang Guru mengucapkan satu setengah bait kalimat berikut untuk menjelaskan ini:
“Demikianlah Sivi memberi perintah kepada Sīvaka,
dan ia memenuhi keinginannya.
Ia mengeluarkan kedua mata raja, dan
menyerahkannya kepada brahmana itu:
Dan sekarang brahmana itu memiliki mata,
sedangkan raja menjadi buta.”
Tidak lama kemudian, mata raja mulai tumbuh; seolah-olah seperti tumbuh, dan sebelum pertumbuhan tersebut sampai ke ujung lubang, setumpuk daging tumbuh di dalamnya seperti bola benang wol, mengisi lubang yang ada. Itu kelihatan seperti mata boneka dan rasa sakitnya menghilang.
Sang Mahasatwa berdiam di dalam istana selama beberapa hari. Kemudian ia berpikir, “Apa yang bisa dilakukan seorang yang buta dalam pemerintahan? Saya akan mengalihkan kerajaanku kepada para menteri istana dan saya akan pergi ke taman menjadi seorang petapa, menjalani hidup sebagai orang suci.”
Ia memanggil semua pejabat istananya dan memberitahukan mereka apa yang hendak dilakukannya. “Satu orang,” kata raja, “akan ikut bersamaku untuk membantu membasuh wajahku, dan sebagainya, melakukan semua yang pantas dilakukan, dan kalian harus mengikatkan tali untuk menuntun diriku ke tempat peristirahatanku.” Kemudian dengan memanggil penunggang kereta perangnya, raja memintanya untuk menyiapkan kereta. Akan tetapi para pejabat istananya tidak membiarkan ia naik ke keretanya, mereka membawanya keluar dengan sebuah tandu emas dan menurunkannya di dekat tepi danau kemudian pulang kembali setelah memberi penjagaan di sekeliling raja. Raja duduk di dalam tandu sambil memikirkan kembali tentang pemberian dananya itu.
Saat itu, tahta Dewa Sakka menjadi panas. Berpikir untuk mencari tahu penyebabnya, ia pun mengetahuinya. “Saya akan memberikan raja sebuah hadiah,” pikirnya, “dan memulihkan matanya kembali.” Maka ia pergi ke tempat itu; dan dengan berada tidak jauh dari Sang Mahasatwa, ia berjalan mondar-mandir, ke sana kemari.
Untuk menjelaskan ini, Sang Guru mengucapkan bait-bait kalimat berikut ini:
“Beberapa hari telah berlalu; matanya kelihatan mulai sembuh kembali:
Raja Sivi yang gagah berani itu kemudian memanggil penunggang kereta perangnya.
[409] “ ‘Siapkan keretanya, penunggang; kemudian beritahu kepadaku:
Saya akan pergi ke taman dan hutan dan danau yang ditumbuhi dengan bunga lili.’
Sang penunggang meletakkan raja di dekat air,
Dan di sini Sujampati, raja para dewa, Sakka yang agung muncul.”
“Siapa itu?” teriak Sang Mahasatwa ketika mendengar suara jejak kaki. Sakka mengucapkan satu bait kalimat:
“Saya adalah Sakka, raja para dewa;
saya datang kemari untuk mengunjungimu.
Anda pilihlah sebuah hadiah, O orang suci yang mulia!
Sebutkan apapun permintaanmu.”
Raja membalasnya dengan bait berikutnya:
“Kekayaan, kekuatan dan harta tidak ada habisnya,
semuanya ini telah saya tinggalkan:
O Sakka, yang saya inginkan hanyalah kematian:
karena saya sudah buta sekarang.”
Kemudian Sakka berkata, “Apakah Anda meminta kematian ini, raja Sivi, karena Anda memang menginginkannya atau karena Anda buta?”—“Karena saya buta, Dewa.”—“Dana itu bukan segalanya, Yang Mulia, dana itu diberikan berupa satu bola mata untuk masa depan. Walaupun demikian, ada satu alasan yang menghubungkannya dengan dunia yang dapat dilihat ini. Dulu Anda diminta untuk memberikan satu bola mata saja, tetapi Anda memberikan kedua-duanya. Sekarang buatlah suatu pernyataan kebenaran mengenai hal tersebut.” Kemudian ia memulai satu bait kalimat berikut:
“O ksatria, pemimpin umat manusia,
paparkanlah hal yang benar:
Jika Anda memaparkan kebenaran,
kedua matamu akan dipulihkan kembali.”
Mendengar perkataan ini, Sang Mahasatwa menjawab, “Jika Anda hendak memberikanku satu mata, Sakka, jangan coba cara yang lain, tetapi biarlah mataku pulih kembali sebagai buah dari pemberian danaku.” Sakka berkata, “Walaupun orang-orang memanggilku Sakka, raja para dewa, Yang Mulia, tetapi saya tidak bisa memberikan mata kepada orang lain kecuali dengan hasil dari dana yang Anda berikan, dan tidak dengan yang lain, matamu akan dipulihkan kembali.”
Kemudian raja mengucapkan satu bait kalimat berikut, dengan menjaga bahwa dananya diberikan dengan benar:
[410] “Peminta jenis dan macam apapun yang datang,
Siapa saja yang datang meminta dariku,
ia adalah orang yang terhormat di hatiku:
Jika kata-kata khidmatku ini adalah benar,
sekarang munculkan kembali mataku!”
Persis ketika ia mengucapkan perkataan tersebut, salah satu matanya mulai tumbuh di lubang matanya. Kemudian ia mengucapkan dua bait berikut untuk memulihkan matanya yang satu lagi:
“Seorang brahmana datang mengunjungiku,
meminta salah satu mataku:
Kepada brahmana peminta itu
saya memberikan kedua mataku.
“Perbuatan itu menimbulkan kebahagiaan
dan kegembiraan yang lebih besar.
Jika kata-kata khidmatku ini adalah benar,
maka mataku yang satu lagi akan pulih kembali!”
Pada saat itu juga, matanya yang kedua muncul kembali. Akan tetapi kedua mata tersebut bukan mata manusia maupun mata dewa. Mata yang diberikan oleh Sakka sebagai sang brahmana tidak dapat berupa mata manusia, kita mengetahuinya. Di sisi lain, mata dewa tidak dapat dimunculkan dalam sesuatu yang sudah terluka. [411] Mata ini disebut sebagai mata kesempurnaan kebenaran ucapan (mata saccaparamita). Di waktu mata tersebut pulih kembali, semua kalangan pejabat istana dikumpulkan dengan kekuatan Dewa Sakka dan ia berdiri di tengah-tengah mereka, mengucapkan pujian dalam dua bait kalimat berikut ini:
“O raja Sivi yang gagah berani,
himne-himne sucimu ini Telah memberikan Anda
sepasang mata dewa ini sebagai hadiah cuma-cuma.
“Melewati batu karang dan dinding tembok,
melintasi bukit dan lembah, halangan apapun yang menghadang,
Sepasang mata dewamu itu akan dapat melihatnya
dari segala sisi sejauh seratus yojana.”
Setelah mengucapkan bait-bait kalimat tersebut, dengan masih berdiri melayang di udara di hadapan banyak orang dan satu nasehat terakhir kepada Sang Mahasatwa agar ia menjadi waspada (tidak lengah), Sakka kembali ke alam Dewa. Dikelilingi dengan rombongannya, raja kembali ke kota dalam kebesaran yang agung, dan masuk ke dalam istana yang disebut Candaka, Mata burung merak.
Berita tentang raja mendapatkan kembali kedua matanya itu tersebar luas di seluruh kerajaan Sivi. Semua rakyat berkumpul bersama untuk melihatnya, dengan hadiah di tangan mereka. “Sekarang kerumunan orang ini datang bersama,” pikir Sang Mahasatwa, “saya akan memuji dana yang kuberikan dulunya.” Ia meminta orang membuat sebuah paviliun yang besar di gerbang istana, dimana ia duduk di tahta kerajaan di sana, dengan payung putih terbuka lebar melindungi bagian atasnya. Kemudian drum diperintahkan untuk dibunyikan di seluruh penjuru kota, untuk mengumpulkan serikat pekerja. Kemudian raja berkata, “O rakyat kerajaan Sivi! Sekarang kalian telah melihat mata dewa ini, jangan pernah memakan makanan tanpa memberikan dana!” dan ia mengucapkan empat bait kalimat berikut untuk membabarkan Dhamma:
“Siapa yang akan mengatakan tidak jika dirinya diminta untuk memberi
Meskipun itu adalah dananya yang terbaik dan pilihan?
Rakyat kerajaan Sivi yang berkumpul bersama, ho!
Datanglah kemari, lihatlah mataku, hadiah dari dewa ini!
[412] “Melewati batu karang dan dinding tembok,
melintasi bukit dan lembah, halangan apapun yang menghadang,
Sepasang mata dewaku ini akan dapat melihatnya
dari segala sisi sejauh seratus yojana.”
“Pengorbanan diri di alam kehidupan manusia,
Dari segala hal yang paling baik:
Saya mengorbankan satu mata manusiaku
dan memberikannya sebagai dana,
Membuahkan mata dewa.
“Lihat, rakyatku! Lihatlah, beri dahulu sebelum Anda makan,
biarkan orang lain mendapatkan bagiannya.
Ini dapat diselesaikan dengan kemauan dan perhatian yang terbaik,
Dengan tidak memiliki kesalahan, Anda akan masuk ke alam Surga.”
Dalam empat bait kalimat tersebut, ia membabarkan Dhamma. Setelah hari itu, setiap dua minggu, pada hari Uposatha, bahkan setiap tanggal lima belas, ia membabarkan Dhamma dalam bait kalimat yang sama tanpa hentinya kepada kumpulan orang banyak.
Setelah mendengarnya, mereka jadi memberikan dana dan berbuat kebajikan, kemudian terlahir sebagai penghuni alam Surga.
____________________
Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru berkata, “Demikianlah para bhikkhu, orang bijak di masa lampau memberikan kepada siapa saja yang datang, yang meminta pemberian dana barang bagian dalam, yaitu mata mereka, ia mengeluarkan kedua matanya sendiri.”
Kemudian Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, Ananda adalah Sīvaka sang ahli bedah, Anaruddha adalah Dewa Sakka, pengikut Sang Buddha adalah rakyat kerajaan Sivi, dan saya sendiri adalah raja Sivi.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com