SAṀKHAPĀLA-JĀTAKA
Saṅkhapālajātaka (Ja 524)
“Dari penampilan yang agung,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang pelaksanaan laku Uposatha.
Sekarang dalam kisah ini, Sang Guru yang merasa gembira dengan para upasaka yang melaksanakan laku Uposatha, berkata: “Orang bijak di masa lampau meninggalkan kemuliaan besar sebagai seekor raja nāga (naga) dan melaksanakan laku Uposatha,” dan atas permintaan mereka, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala Raja Magadha memerintah di Rajagaha. Pada waktu itu, Bodhisatta terlahir sebagai putra dari ratu utama dan mereka memberinya nama Duyyodhana.
Ketika dewasa, ia mempelajari semua cabang ilmu pengetahuan di Takkasila dan pulang kembali ke rumah untuk bertemu dengan ayahnya. Ayahnya menobatkan dirinya menjadi raja di kerajaan [162] dan setelah bertahbis menjadi seorang resi, sang ayah tinggal di taman.
Tiga kali sehari Bodhisatta datang untuk mengunjungi ayahnya, yang dengan demikian menerima perolehan dan kehormatan yang besar.
Disebabkan oleh hambatan ini, ia tidak mampu melakukan meditasi pendahuluan kasiṇa, dan ia berpikir, “Saya selalu menerima perolehan dan kehormatan yang besar. Selama saya tinggal di sini, adalah tidak mungkin bagiku untuk memotong kusutan nafsu ini. Tanpa mengatakan apa pun kepada putraku, saya akan pergi ke tempat lain.” Maka dengan tidak memberitahu siapa pun, ia meninggalkan taman, dan setelah melewati perbatasan Kerajaan Magadha, ia membangun sebuah gubuk daun untuk dirinya di Kerajaan Mahiṁsaka, dekat Gunung Candaka, di tikungan Sungai Kaṇṇapaṇṇā, tempat terdapat Danau Saṁkhapāla. Di sana ia tinggal, dan dengan melakukan meditasi pendahuluan Kasiṇa, ia mengembangkan jhana dan kesaktian, dan hidup dengan merapu makanan.
Seekor raja naga, yang bernama Saṁkhapāla, akan selalu keluar dari Sungai Kaṇṇapaṇṇā dengan ditemani oleh sejumlah ular, menghampiri petapa tersebut. Dan petapa itu memaparkan Dhamma kepadanya.
Sekarang sang putra merasa gelisah untuk bertemu dengan ayahnya, dan karena tidak mengetahui ke mana ayahnya pergi, ia meminta orang-orang untuk mencarinya. Dan ketika mengetahui bahwa ayahnya tinggal di tempat anu, ia pergi ke sana diikuti oleh rombongan besar untuk bertemu dengannya.
Setelah berhenti tidak jauh dari tempat pertapaannya, dengan ditemani oleh beberapa menteri istana, ia berangkat menuju ke tempat pertapaan tersebut. Pada waktu itu, Saṁkhapāla beserta dengan sejumlah besar pengikutnya sedang duduk mendengarkan khotbah (Dhamma). Tetapi ketika melihat raja datang, raja naga itu bangkit dan setelah memberi hormat kepada resi tersebut, ia beranjak pergi.
Raja memberi hormat kepada ayahnya dan setelah mengucapkan salam, ia duduk dan berkata, “Bhante, raja apa tadi yang datang mengunjungimu?” “Putraku, ia adalah Saṁkhapāla, raja naga.” Dikarenakan kecemerlangan sang naga, putra petapa itu memiliki keinginan untuk terlahir kembali sebagai naga. Sewaktu tinggal di sana selama beberapa hari, ia yang menyediakan ayahnya dana makanan, dan kemudian kembali ke kotanya sendiri. Di sana ia meminta orang untuk mendirikan empat balai distribusi dana (dānasālā) di keempat pintu gerbang, dan dengan pemberian dermanya ini, ia membuat suatu kegemparan di seluruh India.
Dan dengan mendambakan kelahiran di alam naga, ia selalu menjaga sila dan melaksanakan laku Uposatha, sehingga di akhir masa hidupnya, ia terlahir kembali sebagai raja naga dengan nama Saṁkhapāla. [163] Tak lama kemudian, ia menjadi bosan dengan kecemerlangan ini dan mulai hari itu, dengan mendambakan kelahiran sebagai manusia, ia melaksanakan laku Uposatha, tetapi dengan menjalani hidup seperti yang dilakukannya di alam naga, pelaksanaannya itu tidak berhasil dan silanya menjadi makin buruk.
Mulai hari itu, ia meninggalkan alam naga dan tidak jauh dari Sungai Kaṇṇapaṇṇā, melilit tubuhnya di sebuah sarang kecil yang terdapat di antara jalan besar dan jalan setapak yang kecil. Di sana ia bertekad untuk melaksanakan laku Uposatha dan menjalankan sila. Dan ia berkata, “Biarlah mereka yang menginginkan kulitku atau kulit dan dagingku, biarlah mereka, mengambil semuanya,” Demikian ia menyerahkan dirinya sendiri dengan cara berdana, kemudian ia berbaring di atas sarang kecil tersebut, dengan tinggal diam di sana pada setiap hari keempat belas dan kelima belas pertengahan bulan, dan pada hari pertama (di bulan berikutnya) ia kembali ke alam naga.
Suatu hari ketika ia berbaring di sana dan telah mengambil sila untuk dijalankan, satu kelompok yang terdiri dari enam belas orang dari desa tetangga, yang berkeinginan untuk makan daging, berkeliaran di dalam hutan dengan senjata di tangan mereka dan ketika mereka kembali tanpa hasil, mereka melihatnya berbaring di atas sarang kecil tersebut dan berpikir, “Hari ini kami bahkan tidak mendapatkan anak kadal, kami akan membunuh dan memakan raja naga ini.” Akan tetapi dikarenakan ukuran badannya yang besar, meskipun mereka menangkapnya, ia akan dapat meloloskan diri. Mereka berencana untuk menusuknya dengan sula persis ketika ia berbaring melilit di sana, dan setelah demikian melumpuhkannya, barulah mereka dapat menangkapnya.
Maka dengan membawa sula di tangan, mereka mendekatinya. Bodhisatta, yang menggerakkan badannya yang seukuran kapal, terlihat sangat indah, seperti untaian bunga melati yang terurai di tanah, dengan mata bak buah saga dan kepala bak bunga jayasumana93, mendengar suara langkah kaki dari enam belas orang tersebut, dengan menarik kepalanya keluar dari lingkaran badannya dan membuka kedua matanya yang merah, ia melihat mereka datang dengan sula di tangan mereka dan berpikir, “Hari ini keinginanku akan terpenuhi di saat saya berbaring di sini. Saya akan tetap semangat dalam tekadku dan menyerahkan diriku kepada mereka sebagai dana yang besar, dan ketika mereka menusuk diriku dengan sula dan membuatku dirundung dengan luka, saya tidak akan membuka mata dan melihat mereka dengan kemarahan.” Dengan memiliki tekad yang teguh tersebut dan takut akan pelanggaran sila, [164] ia memasukkan kepalanya kembali ke dalam tudungnya (lingkaran badannya) dan berbaring.
Setelah sampai, mereka menarik bagian ekornya dan menyeretnya di sepanjang jalan. Kemudian mereka memukulinya, melukai dirinya di delapan tempat berbeda dengan sula yang tajam dan menusukkan kayu-kayu bambu hitam, duri dan semuanya, ke dalam lukanya yang terbuka. Demikian mereka melanjutkan perjalanan, sambil membawanya dengan cara mengikatkan tali di delapan tempat tersebut. Mulai dari waktu dirinya yang dilukai dengan sula, Sang Mahasatwa tidak pernah sekalipun membuka matanya atau melihat mereka dengan kemarahan. Tetapi di saat ia digotong di sepanjang jalan dengan menggunakan delapan buah kayu, kepalanya terkulai ke bawah dan menghantam tanah.
Jadi ketika mereka melihat kepalanya terkulai, mereka membaringkannya di jalan dan dengan melubangi hidungnya menggunakan sula kecil, mereka mengangkat naik kepalanya dan memasukkan tali. Setelah mengikat bagian ujungnya, kembali mereka menaikkan kepalanya dan melanjutkan perjalanan.
Waktu itu, seorang tuan tanah yang bernama Aḷāra, yang tinggal di Kota Mithila di Kerajaan Videha, duduk di dalam kereta yang menyenangkan, sedang bepergian diikuti oleh lima ratus kereta lainnya dan melihat orang-orang jahat ini dalam perjalanan mereka dengan Bodhisatta. Ia memberikan kepada masing-masing mereka berenam belas kereta lembu, segenggam uang logam emas (yang bernilai rendah), pakaian luar dan dalam, dan hiasan untuk istri-istri mereka, dan demikian meminta mereka untuk membebaskan raja naga itu.
Bodhisatta kembali ke istana naga, dan dengan cepat, keluar beserta dengan rombongan besar, menghampiri Aḷāra. Setelah melantunkan pujian tentang istana naga, ia membawanya bersama dan kembali ke sana. Kemudian sang raja naga memberikan kehormatan besar kepadanya bersama dengan tiga ratus naga wanita dan memuaskan dirinya dengan kesenangan surgawi.
Aḷāra tinggal selama satu tahun penuh di istana naga menikmati kesenangan surgawi, dan kemudian dengan berkata kepada raja naga, “Temanku, saya ingin menjadi seorang petapa,” dan dengan membawa bersamanya segala perlengkapan petapa, ia meninggalkan kediaman para naga menuju ke daerah pegunungan Himalaya dan dengan menjalankan sila tinggal di sana untuk waktu yang lama.
Tak lama kemudian, ia melanjutkan pengembaraan dan tiba di Benares tempat ia mengambil tempat tinggalnya di dalam taman raja. Keesokan harinya, ia masuk ke dalam kota untuk mendapatkan derma makanan dan menuju ke pintu rumah raja. Ketika melihatnya, Raja Benares merasa senang dengan tingkah lakunya sehingga ia memanggilnya untuk menghadap, mempersilakannya duduk di satu tempat duduk khusus yang disediakan untuknya dan menyajikan beragam jenis makanan lezat kepadanya. [165] Kemudian dengan duduk di tempat duduk yang lebih rendah, raja memberi hormat kepadanya dan berbincang kepadanya dengan mengucapkan bait pertama berikut ini:
Dari penampilan yang agung dan sikap yang anggun,
menurutku, Anda adalah seorang keturunan bangsawan yang mulia;
Kalau begitu mengapa meninggalkan kesenangan duniawi
dan kehidupan duniawi untuk memakai jubah petapa dan hidup sederhana?
Bait-bait kalimat berikutnya ini dapat dimengerti dengan cara percakapan secara bergantian oleh petapa dan raja:
Wahai raja, dengan baik kuingat kediaman raja naga
yang mahakuasa, kulihat pencapaian besar yang muncul
dari kesucian, dan dengan memiliki keyakinan,
saya langsung mengenakan pakaian petapa.
Bukanlah kesenangan indriawi atau rasa takut maupun
kebencian yang dapat membuat seorang pabbajita mengucapkan
kata-kata dengan tidak benar:
Beritahu saya tentang hal yang saya ingin tahu (lebih lanjut),
sehingga keyakinan dan kedamaian di dalam hatiku juga akan tumbuh.
Wahai raja, ketika sedang dalam perjalanan berdagang,
saya bertemu dengan orang-orang jahat ini di tengah perjalanan;
seekor ular raksasa digotong dengan rantai tawanan, dan mereka
berjalan cepat, dalam kejayaan mereka, menuju ke rumah dengan riang gembira.
Ketika saya berjumpa dengan mereka, saya berkata dengan keras
—saya merasa terkejut dan sangat takut— ‘Ke manakah akan Anda seret, Tuan-tuan,
raksasa yang malang ini? Dan apa, Teman-teman yang jahat,
yang akan kalian lakukan kepadanya?’
[166] ’Naga yang Anda lihat terbelenggu demikian ini,
dengan badannya yang sangat besar akan menjadi makanan bagi kami.
Dibandingkan ini, Aḷāra, Anda hampir tidak bisa mendapatkan
keinginan untuk merasakan makanan yang lebih baik atau lebih lezat.’
‘Oleh karenanya, kami akan segera pergi dan secepatnya
sampai ke rumah, kami masing-masing dengan pisau memotong
bagian yang enak dan, dengan perasaan gembira, memakan dagingnya,
karena ular selalu merasa kita ini adalah musuhnya.’
‘Jika ular raksasa ini, yang baru ditangkap di hutan,
diseret untuk nantinya disajikan sebagai makanan,
Maka kepada tiap orang saya tawarkan seekor lembu
jikalau bersedia membebaskan ular ini dari rantainya.’
‘Daging lembu kedengarannya menyenangkan bagi kami.
Kami sudah sering memakan daging ular sebelumnya;
Tawaranmu, Aḷāra, akan kami terima. Mulai saat ini
biarlah persahabatan terjalin di antara kita.’
Kemudian mereka membebaskannya dari tali yang menembus
melalui hidung dan mengikatnya dengan ketat; raja naga itu,
yang dibebaskan dari tawanan orang-orang keji,
pergi menuju ke arah timur, kemudian berhenti sebentar,
Dan masih dengan menghadap ke arah timur,
bersiap untuk terbang, menoleh ke belakang kepadaku
dengan mata ber-air; Sedangkan saya bergerak ke arahnya,
menjulurkan tangan bersikap anjali, seperti seseorang yang hendak berdoa.
‘Bergegaslah, Temanku, seperti seseorang yang pergi
dengan cepatnya. Kalau tidak, sekali lagi Anda akan jatuh ke tangan musuh-musuhmu;
Hindari bertemu dengan para penjahat seperti demikian, atau
Anda mungkin akan menderita yang disebabkan keenggananmu sendiri.’
Kemudian ia bergegas menuju ke sebuah kolam jernih yang indah—terdapat pohon bambu dan jambu di kedua tepinya—[167] dengan perasaan gembira di hati, ia tidak mengetahui rasa takut lagi, menghilang dari pandangan ke kedalaman yang berwarna biru.
Tidak lama setelah ia menghilang, kemudian naga itu memperlihatkan kegaibannya dengan sejelas-jelasnya, Dalam perbuatan yang baik hati, ia memainkan peranan layaknya seorang anak dan dengan perkataannya berterima kasih yang menyentuh hatiku.
‘Anda lebih terkasih dibandingkan orang tuaku,
yang telah menyelamatkan hidupku, seorang teman sejati
bahkan di dalam inti yang paling dalam.
Karena dirimu, kebahagiaanku yang dahulu didapatkan kembali;
Kalau begitu datanglah, Aḷāra, lihatlah tempat saya berkuasa,
sebuah tempat tinggal yang lengkap dengan makanan,
seperti kerajaan Dewa Indra Masakkasāra94,
tempat dengan kemashyuran yang tinggi.’
[168] Raja naga tersebut, Paduka, setelah ia mengucapkan kata-kata ini, dengan masih lebih lanjut melantunkan pujian terhadap tempat tinggalnya, mengucapkan beberapa bait kalimat berikut:
Tempat-tempat yang alangkah menawannya
di daerah kekuasanku terlihat, lembut sampai ke bagian tanahnya
dan diselimuti dalam kehijauan!
Tidak ada debu maupun bebatuan kecil yang kita jumpai di jalan kita,
dan di sanalah jiwa-jiwa yang bahagia meninggalkan rasa duka.
Di tengah istana yang dikelilingi dinding safir terdapat
pohon-pohon mangga yang indah di setiap sisi, yang membuahkan
buah-buah yang masak di sepanjang musim yang selalu berubah.
[169] Di tengah pepohonan ini sebuah bangunan
yang didirikan dengan emas dan diperindah dengan palang kayu perak
dapat Anda lihat, sebuah tempat tinggal yang bersinar dalam keindahan,
mengungguli kilat bercahaya yang bersinar melintas di langit.
Dilengkapi dengan batu permata dan emas, keindahan surgawi,
dan dihias dengan beragam jenis lukisan yang langka, tempat ini
dikerumuni pula oleh para bidadari yang berpakaian dengan sangat bagus,
semuanya mengenakan rantai emas di dada mereka.
Kemudian dengan bergegas Saṁkhapāla memanjat ke atas teras yang tinggi, dan dengan kekuatan mahatinggi terangkat ke atas ribuan lapisan tembok terlihat istana dari istri dan ratu yang dinikahinya.
Dengan cepat salah satu dari kelompok wanita itu yang menggenggam sebuah permata berharga di tangannya, sebuah permata pirus95 yang langka yang penuh dengan kekuatan gaib, dan mereka semua, tanpa diminta, menawarkanku tempat duduk.
Naga tersebut kemudian menggenggam tanganku dan menuntun ke tempat yang terdapat sebuah kursi besar nan agung, ‘Mohon, silakan Yang Mulia duduk di sini di sampingku, karena Anda mengasihiku seperti orang tua,’ katanya dengan keras.
Seorang bidadari yang kedua kemudian dengan cepat atas perintahnya datang dengan membawa sebuah mangkuk air di tangannya, dan membasuh kedua kakiku. Pelayanan baik nan lembut, seperti yang dilakukan ratu kepada suami terkasihnya, sang raja.
[170] Kemudian bidadari lainnya dalam sekejap mata menyajikan nasi dalam piring emas, yang ditambah dengan berbagai bumbu yang cocok, dengan keinginan makanan lezat menggoda selera makan.
Kemudian dengan alunan musik–karena demikian yang mereka tahu sebagai keinginan dari raja mereka–mereka dengan senang hati menuruti kemauanku, raja naga itu sendiri tidak pernah gagal mengisi jiwaku dengan keinginan surgawi.
Dengan mendekati diriku, demikian ia mengucapkan bait berikutnya:
Tiga ratus istri, Aḷāra, yang saya miliki di sini,
semuanya berpinggang ramping, dalam kecantikan mereka
mampu menyaingi bunga teratai.
Lihatlah, mereka hidup hanya untuk melakukan kemauanmu:
Terimalah anugerah yang kuberikan.
Aḷāra berkata:
[171] Setelah satu tahun dengan kesenangan surgawi saya dilimpahi,
saya menanyakan pertanyaan ini kepada raja, ‘Bagaimana, Naga,
istana megah ini menjadi rumahmu, dan bagaimana ia dapat menjadi milikmu?
Apakah istana megah ini diperoleh tanpa disengaja,
dibangun oleh dirimu sendiri, atau pemberian dari dewa?
Saya bertanya kepadamu, raja naga, beritahukan kebenarannya,
bagaimana Anda bisa tinggal di istana megah ini?’
Kemudian bait-bait kalimat berikut ini diucapkan oleh keduanya96 secara bergantian:
Ini bukan tanpa sengaja didapatkan atau dari alam,
bukan dibangun oleh diriku sendiri, bukan pula pemberian
dari dewa; Akan tetapi disebabkan oleh perbuatan baikku sendiri
dan jasa-jasa kebaikanku, kudapatkan istana megah ini.
Kehidupan apa yang demikian suci nan luhur,
jasa-jasa kebajikan apa yang dapat
memberikan kebahagiaan yang demikian?
Beritahu saya, wahai raja naga, karena saya ingin untuk mengetahui
bagaimana kediaman megah ini dapat diperoleh.
Tadinya saya adalah Raja Magadha, Duyyodhana namaku,
seorang pangeran yang terkemuka:
[172] Saya menjalani kehidupan yang tidak menyenangkan
dan tidak aman, tumbuh dewasa dalam kematangan tanpa kekuatan.
Kemudian dengan tulus saya menyediakan makanan dan minuman,
dan memberikan derma kepada semuanya baik di tempat yang jauh maupun dekat;
Rumahku menjadi seperti penginapan tempat semua yang datang,
para petapa atau brahmana, menyegarkan kembali badan mereka yang letih.
Demikian kehidupan yang kujalani, dan demikian timbunan
jasa-jasa kebajikan yang kukumpulkan, akhirnya istana megah ini k
uperoleh, serta kudapatkan makanan dan minuman yang berlimpah ruah.
Meskipun kehidupan ini selalu gemerlap dengan nyanyian dan tarian,
tetapi tidak bertahan lama bagimu; Makhluk-makhluk lemah menyerang
dan menggotongmu, yang kuat dan yang berkuasa. Mengapa, meskipun dipersenjatai
dengan taring, dapat menjadi mangsa bagi para makhluk lemah itu
dalam pertarungan yang tak seimbang?
Dikarenakan ketakutan apakah Anda ditaklukkan?
Ke manakah perginya racun dari bisamu?
Mengapa, meskipun kuat dan dipersenjatai dengan taring,
Anda menderita luka dari makhluk-makhluk yang demikian lemah?
Bukan karena suatu ketakutan saya ditaklukkan,
kekuatanku juga tidak dapat dikalahkan oleh siapa pun.
Nilai dari kebajikan diakui oleh semuanya; Batasannya,
seperti samudra, tidak pernah terlampaui.
Dua kali setiap bulan saya melaksanakan laku Uposatha;
Ketika itulah, Aḷāra, di sana melewati jalanku, enam belas orang jahat tersebut,
yang di tangan mereka memegang tali dan jerat bersimpul dari benang yang paling bagus.
[173] Para penjahat tersebut menusuk hidungku, dan melalui celah itu,
dengan memasang tali, menyeretku di sepanjang perjalanan.
Rasa sakit yang demikian harus kutanggung
agar supaya tidak melanggar laku Uposatha.
Sewaktu melihat di jalan yang sunyi itu, sesuatu yang indah
nan besar luar biasa kekuatannya, saya berkata, ‘Mengapa,
Yang Bijak dan Mulia, Anda melaksanakan praktik moralitas seperti ini?’
Bukan untuk keturunan maupun kekayaan,
bukan juga untuk umur yang panjang; Akan tetapi untuk dapat
terlahir di alam manusia, dan dikarenakan tujuan inilah
saya bertahan sedaya upaya.
Dengan rambut dan bulu demikian rapi,
postur tubuhmu yang perkasa, dihias dengan pakaian
yang sangat indah, mata yang merah menyala;
Dari kejauhan, terlihat bersinar seperti habis mandi
di dalam kolam cendana merah, bahkan juga seperti
pemusik surgawi, pelayan para dewa.
Diberkahi dengan bakat surgawi yang luar biasa,
dan dapat memperoleh apa pun yang diinginkan;
Saya bertanya kepadamu, raja naga,
katakan kebenarannya, mengapa lebih suka tinggal di alam manusia?
Menurutku, tidak ada tempat lain selain di alam manusia,
dapat mengamalkan pengendalian diri dan mencapai keadaan suci (nibbāna):
Jika sekali lagi saya dapat menghela nafas di tengah-tengah manusia,
saya akan mengakhiri kelahiran dan kematian.
Selalu disambut dengan keceriaan yang berlimpah,
wahai raja, saya tinggal bersamamu selama satu tahun,
Sekarang saya harus mengucapkan perpisahan dan pergi,
tidak dapat meninggalkan rumah terlalu lama lagi.
Istri dan anak-anak serta kumpulan pelayanku
selamanya terlatih untuk melayani perintahmu:
[174] Tidak ada seorang pun, saya percaya, memberikan perlakuan kasar
kepadamu karena Anda penyayang, Aḷāra, dalam pandanganku.
Kehadiran orang tua yang baik mengisi rumah dengan kegembiraan,
melebihi mereka membahagiakan anak-anak yang ceria:
Kebahagiaan terbesar dari semuanya telah saya dapatkan di sini,
karena Anda, wahai raja, telah melayaniku dengan kasih sayang.
Saya memiliki satu permata langka berwarna merah,
yang dapat membawa kekayaan yang besar bagi mereka yang tidak memilikinya;
Ambillah permata ini dan pulanglah kembali ke rumahmu sendiri,
dan di saat Anda telah menjadi kaya, mohon kembalikanlah permata tersebut.
[175] Setelah mengatakan kata-kata ini, Aḷāra melanjutkannya sebagai berikut: “Kemudian, Paduka, saya menyapa raja ular itu dan berkata, ‘Saya tidak memerlukan kekayaan, Raja, tetapi saya ingin menjadi pabbajita,’ [176] dan setelah meminta segala keperluan petapa, saya meninggalkan istana naga bersama dengan rajanya, dan setelah menyuruhnya kembali, saya masuk ke negeri Himalaya dan menjadi pabbajita.”
Dan setelah mengatakan ini, ia memberikan nasihat Dhamma kepada Raja Benares dan mengucapkan dua bait kalimat:
Kesenangan indriawi manusia itu selalu berubah,
tetapi tidak dapat mengubah Dhamma:
Dengan melihat keburukan yang muncul dari kesenangan indriawi,
keyakinan menuntunku menjadi pabbajita.
Manusia akan jatuh seperti buah, dan langsung mati,
Semua tubuh, yang muda dan tua, adalah sama saja akan membusuk:
Hanya dalam kehidupan pabbajita saya menemukan tempat peristirahatan,
yang sejati dan terbaik di seluruh jagad raya.
[117] Ketika mendengar ini, raja mengucapkan bait kalimat berikutnya:
Orang-orang yang bijak dan terpelajar, s
eperti berkonsentrasi penuh pada satu objek,
hendaknya kita semua berusaha;
Dengan mendengarkanmu, Aḷāra, dan sang naga,
saya akan selalu melakukan kebajikan.
Kemudian petapa tersebut, dengan mengerahkan kekuatannya, mengucapkan satu bait kalimat terakhir:
Orang-orang yang bijak dan terpelajar,
seperti berkonsentrasi pada satu objek,
hendaknya kita semua berusaha;
Dengan mendengarkan raja, saya, dan juga sang naga,
selalu lakukanlah kebajikan semuanya.
Demikianlah ia memberikan wejangan Dhamma kepada raja, dan setelah tinggal di tempat yang sama pada masa vassa selama empat bulan, ia kembali ke Himalaya. Sepanjang hidupnya ia mengembangkan Empat Kediaman Luhur sampai akhirnya terlahir di alam brahma; Saṁkhapāla sepanjang hidupnya melaksanakan laku Uposatha; dan raja setelah menghabiskan kehidupannya dengan berdana dan melakukan kebajikan lainnya, mendapatkan hasil sesuai dengan perbuatannya.
____________________
Setelah menyelesaikan uraian Dhamma ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, ayah yang menjadi petapa itu adalah Kassapa, Raja Benares adalah Ānanda, Aḷāra adalah Sāriputta, dan Saṁkhapāla adalah saya sendiri.”
Sekarang dalam kisah ini, Sang Guru yang merasa gembira dengan para upasaka yang melaksanakan laku Uposatha, berkata: “Orang bijak di masa lampau meninggalkan kemuliaan besar sebagai seekor raja nāga (naga) dan melaksanakan laku Uposatha,” dan atas permintaan mereka, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala Raja Magadha memerintah di Rajagaha. Pada waktu itu, Bodhisatta terlahir sebagai putra dari ratu utama dan mereka memberinya nama Duyyodhana.
Ketika dewasa, ia mempelajari semua cabang ilmu pengetahuan di Takkasila dan pulang kembali ke rumah untuk bertemu dengan ayahnya. Ayahnya menobatkan dirinya menjadi raja di kerajaan [162] dan setelah bertahbis menjadi seorang resi, sang ayah tinggal di taman.
Tiga kali sehari Bodhisatta datang untuk mengunjungi ayahnya, yang dengan demikian menerima perolehan dan kehormatan yang besar.
Disebabkan oleh hambatan ini, ia tidak mampu melakukan meditasi pendahuluan kasiṇa, dan ia berpikir, “Saya selalu menerima perolehan dan kehormatan yang besar. Selama saya tinggal di sini, adalah tidak mungkin bagiku untuk memotong kusutan nafsu ini. Tanpa mengatakan apa pun kepada putraku, saya akan pergi ke tempat lain.” Maka dengan tidak memberitahu siapa pun, ia meninggalkan taman, dan setelah melewati perbatasan Kerajaan Magadha, ia membangun sebuah gubuk daun untuk dirinya di Kerajaan Mahiṁsaka, dekat Gunung Candaka, di tikungan Sungai Kaṇṇapaṇṇā, tempat terdapat Danau Saṁkhapāla. Di sana ia tinggal, dan dengan melakukan meditasi pendahuluan Kasiṇa, ia mengembangkan jhana dan kesaktian, dan hidup dengan merapu makanan.
Seekor raja naga, yang bernama Saṁkhapāla, akan selalu keluar dari Sungai Kaṇṇapaṇṇā dengan ditemani oleh sejumlah ular, menghampiri petapa tersebut. Dan petapa itu memaparkan Dhamma kepadanya.
Sekarang sang putra merasa gelisah untuk bertemu dengan ayahnya, dan karena tidak mengetahui ke mana ayahnya pergi, ia meminta orang-orang untuk mencarinya. Dan ketika mengetahui bahwa ayahnya tinggal di tempat anu, ia pergi ke sana diikuti oleh rombongan besar untuk bertemu dengannya.
Setelah berhenti tidak jauh dari tempat pertapaannya, dengan ditemani oleh beberapa menteri istana, ia berangkat menuju ke tempat pertapaan tersebut. Pada waktu itu, Saṁkhapāla beserta dengan sejumlah besar pengikutnya sedang duduk mendengarkan khotbah (Dhamma). Tetapi ketika melihat raja datang, raja naga itu bangkit dan setelah memberi hormat kepada resi tersebut, ia beranjak pergi.
Raja memberi hormat kepada ayahnya dan setelah mengucapkan salam, ia duduk dan berkata, “Bhante, raja apa tadi yang datang mengunjungimu?” “Putraku, ia adalah Saṁkhapāla, raja naga.” Dikarenakan kecemerlangan sang naga, putra petapa itu memiliki keinginan untuk terlahir kembali sebagai naga. Sewaktu tinggal di sana selama beberapa hari, ia yang menyediakan ayahnya dana makanan, dan kemudian kembali ke kotanya sendiri. Di sana ia meminta orang untuk mendirikan empat balai distribusi dana (dānasālā) di keempat pintu gerbang, dan dengan pemberian dermanya ini, ia membuat suatu kegemparan di seluruh India.
Dan dengan mendambakan kelahiran di alam naga, ia selalu menjaga sila dan melaksanakan laku Uposatha, sehingga di akhir masa hidupnya, ia terlahir kembali sebagai raja naga dengan nama Saṁkhapāla. [163] Tak lama kemudian, ia menjadi bosan dengan kecemerlangan ini dan mulai hari itu, dengan mendambakan kelahiran sebagai manusia, ia melaksanakan laku Uposatha, tetapi dengan menjalani hidup seperti yang dilakukannya di alam naga, pelaksanaannya itu tidak berhasil dan silanya menjadi makin buruk.
Mulai hari itu, ia meninggalkan alam naga dan tidak jauh dari Sungai Kaṇṇapaṇṇā, melilit tubuhnya di sebuah sarang kecil yang terdapat di antara jalan besar dan jalan setapak yang kecil. Di sana ia bertekad untuk melaksanakan laku Uposatha dan menjalankan sila. Dan ia berkata, “Biarlah mereka yang menginginkan kulitku atau kulit dan dagingku, biarlah mereka, mengambil semuanya,” Demikian ia menyerahkan dirinya sendiri dengan cara berdana, kemudian ia berbaring di atas sarang kecil tersebut, dengan tinggal diam di sana pada setiap hari keempat belas dan kelima belas pertengahan bulan, dan pada hari pertama (di bulan berikutnya) ia kembali ke alam naga.
Suatu hari ketika ia berbaring di sana dan telah mengambil sila untuk dijalankan, satu kelompok yang terdiri dari enam belas orang dari desa tetangga, yang berkeinginan untuk makan daging, berkeliaran di dalam hutan dengan senjata di tangan mereka dan ketika mereka kembali tanpa hasil, mereka melihatnya berbaring di atas sarang kecil tersebut dan berpikir, “Hari ini kami bahkan tidak mendapatkan anak kadal, kami akan membunuh dan memakan raja naga ini.” Akan tetapi dikarenakan ukuran badannya yang besar, meskipun mereka menangkapnya, ia akan dapat meloloskan diri. Mereka berencana untuk menusuknya dengan sula persis ketika ia berbaring melilit di sana, dan setelah demikian melumpuhkannya, barulah mereka dapat menangkapnya.
Maka dengan membawa sula di tangan, mereka mendekatinya. Bodhisatta, yang menggerakkan badannya yang seukuran kapal, terlihat sangat indah, seperti untaian bunga melati yang terurai di tanah, dengan mata bak buah saga dan kepala bak bunga jayasumana93, mendengar suara langkah kaki dari enam belas orang tersebut, dengan menarik kepalanya keluar dari lingkaran badannya dan membuka kedua matanya yang merah, ia melihat mereka datang dengan sula di tangan mereka dan berpikir, “Hari ini keinginanku akan terpenuhi di saat saya berbaring di sini. Saya akan tetap semangat dalam tekadku dan menyerahkan diriku kepada mereka sebagai dana yang besar, dan ketika mereka menusuk diriku dengan sula dan membuatku dirundung dengan luka, saya tidak akan membuka mata dan melihat mereka dengan kemarahan.” Dengan memiliki tekad yang teguh tersebut dan takut akan pelanggaran sila, [164] ia memasukkan kepalanya kembali ke dalam tudungnya (lingkaran badannya) dan berbaring.
Setelah sampai, mereka menarik bagian ekornya dan menyeretnya di sepanjang jalan. Kemudian mereka memukulinya, melukai dirinya di delapan tempat berbeda dengan sula yang tajam dan menusukkan kayu-kayu bambu hitam, duri dan semuanya, ke dalam lukanya yang terbuka. Demikian mereka melanjutkan perjalanan, sambil membawanya dengan cara mengikatkan tali di delapan tempat tersebut. Mulai dari waktu dirinya yang dilukai dengan sula, Sang Mahasatwa tidak pernah sekalipun membuka matanya atau melihat mereka dengan kemarahan. Tetapi di saat ia digotong di sepanjang jalan dengan menggunakan delapan buah kayu, kepalanya terkulai ke bawah dan menghantam tanah.
Jadi ketika mereka melihat kepalanya terkulai, mereka membaringkannya di jalan dan dengan melubangi hidungnya menggunakan sula kecil, mereka mengangkat naik kepalanya dan memasukkan tali. Setelah mengikat bagian ujungnya, kembali mereka menaikkan kepalanya dan melanjutkan perjalanan.
Waktu itu, seorang tuan tanah yang bernama Aḷāra, yang tinggal di Kota Mithila di Kerajaan Videha, duduk di dalam kereta yang menyenangkan, sedang bepergian diikuti oleh lima ratus kereta lainnya dan melihat orang-orang jahat ini dalam perjalanan mereka dengan Bodhisatta. Ia memberikan kepada masing-masing mereka berenam belas kereta lembu, segenggam uang logam emas (yang bernilai rendah), pakaian luar dan dalam, dan hiasan untuk istri-istri mereka, dan demikian meminta mereka untuk membebaskan raja naga itu.
Bodhisatta kembali ke istana naga, dan dengan cepat, keluar beserta dengan rombongan besar, menghampiri Aḷāra. Setelah melantunkan pujian tentang istana naga, ia membawanya bersama dan kembali ke sana. Kemudian sang raja naga memberikan kehormatan besar kepadanya bersama dengan tiga ratus naga wanita dan memuaskan dirinya dengan kesenangan surgawi.
Aḷāra tinggal selama satu tahun penuh di istana naga menikmati kesenangan surgawi, dan kemudian dengan berkata kepada raja naga, “Temanku, saya ingin menjadi seorang petapa,” dan dengan membawa bersamanya segala perlengkapan petapa, ia meninggalkan kediaman para naga menuju ke daerah pegunungan Himalaya dan dengan menjalankan sila tinggal di sana untuk waktu yang lama.
Tak lama kemudian, ia melanjutkan pengembaraan dan tiba di Benares tempat ia mengambil tempat tinggalnya di dalam taman raja. Keesokan harinya, ia masuk ke dalam kota untuk mendapatkan derma makanan dan menuju ke pintu rumah raja. Ketika melihatnya, Raja Benares merasa senang dengan tingkah lakunya sehingga ia memanggilnya untuk menghadap, mempersilakannya duduk di satu tempat duduk khusus yang disediakan untuknya dan menyajikan beragam jenis makanan lezat kepadanya. [165] Kemudian dengan duduk di tempat duduk yang lebih rendah, raja memberi hormat kepadanya dan berbincang kepadanya dengan mengucapkan bait pertama berikut ini:
Dari penampilan yang agung dan sikap yang anggun,
menurutku, Anda adalah seorang keturunan bangsawan yang mulia;
Kalau begitu mengapa meninggalkan kesenangan duniawi
dan kehidupan duniawi untuk memakai jubah petapa dan hidup sederhana?
Bait-bait kalimat berikutnya ini dapat dimengerti dengan cara percakapan secara bergantian oleh petapa dan raja:
Wahai raja, dengan baik kuingat kediaman raja naga
yang mahakuasa, kulihat pencapaian besar yang muncul
dari kesucian, dan dengan memiliki keyakinan,
saya langsung mengenakan pakaian petapa.
Bukanlah kesenangan indriawi atau rasa takut maupun
kebencian yang dapat membuat seorang pabbajita mengucapkan
kata-kata dengan tidak benar:
Beritahu saya tentang hal yang saya ingin tahu (lebih lanjut),
sehingga keyakinan dan kedamaian di dalam hatiku juga akan tumbuh.
Wahai raja, ketika sedang dalam perjalanan berdagang,
saya bertemu dengan orang-orang jahat ini di tengah perjalanan;
seekor ular raksasa digotong dengan rantai tawanan, dan mereka
berjalan cepat, dalam kejayaan mereka, menuju ke rumah dengan riang gembira.
Ketika saya berjumpa dengan mereka, saya berkata dengan keras
—saya merasa terkejut dan sangat takut— ‘Ke manakah akan Anda seret, Tuan-tuan,
raksasa yang malang ini? Dan apa, Teman-teman yang jahat,
yang akan kalian lakukan kepadanya?’
[166] ’Naga yang Anda lihat terbelenggu demikian ini,
dengan badannya yang sangat besar akan menjadi makanan bagi kami.
Dibandingkan ini, Aḷāra, Anda hampir tidak bisa mendapatkan
keinginan untuk merasakan makanan yang lebih baik atau lebih lezat.’
‘Oleh karenanya, kami akan segera pergi dan secepatnya
sampai ke rumah, kami masing-masing dengan pisau memotong
bagian yang enak dan, dengan perasaan gembira, memakan dagingnya,
karena ular selalu merasa kita ini adalah musuhnya.’
‘Jika ular raksasa ini, yang baru ditangkap di hutan,
diseret untuk nantinya disajikan sebagai makanan,
Maka kepada tiap orang saya tawarkan seekor lembu
jikalau bersedia membebaskan ular ini dari rantainya.’
‘Daging lembu kedengarannya menyenangkan bagi kami.
Kami sudah sering memakan daging ular sebelumnya;
Tawaranmu, Aḷāra, akan kami terima. Mulai saat ini
biarlah persahabatan terjalin di antara kita.’
Kemudian mereka membebaskannya dari tali yang menembus
melalui hidung dan mengikatnya dengan ketat; raja naga itu,
yang dibebaskan dari tawanan orang-orang keji,
pergi menuju ke arah timur, kemudian berhenti sebentar,
Dan masih dengan menghadap ke arah timur,
bersiap untuk terbang, menoleh ke belakang kepadaku
dengan mata ber-air; Sedangkan saya bergerak ke arahnya,
menjulurkan tangan bersikap anjali, seperti seseorang yang hendak berdoa.
‘Bergegaslah, Temanku, seperti seseorang yang pergi
dengan cepatnya. Kalau tidak, sekali lagi Anda akan jatuh ke tangan musuh-musuhmu;
Hindari bertemu dengan para penjahat seperti demikian, atau
Anda mungkin akan menderita yang disebabkan keenggananmu sendiri.’
Kemudian ia bergegas menuju ke sebuah kolam jernih yang indah—terdapat pohon bambu dan jambu di kedua tepinya—[167] dengan perasaan gembira di hati, ia tidak mengetahui rasa takut lagi, menghilang dari pandangan ke kedalaman yang berwarna biru.
Tidak lama setelah ia menghilang, kemudian naga itu memperlihatkan kegaibannya dengan sejelas-jelasnya, Dalam perbuatan yang baik hati, ia memainkan peranan layaknya seorang anak dan dengan perkataannya berterima kasih yang menyentuh hatiku.
‘Anda lebih terkasih dibandingkan orang tuaku,
yang telah menyelamatkan hidupku, seorang teman sejati
bahkan di dalam inti yang paling dalam.
Karena dirimu, kebahagiaanku yang dahulu didapatkan kembali;
Kalau begitu datanglah, Aḷāra, lihatlah tempat saya berkuasa,
sebuah tempat tinggal yang lengkap dengan makanan,
seperti kerajaan Dewa Indra Masakkasāra94,
tempat dengan kemashyuran yang tinggi.’
[168] Raja naga tersebut, Paduka, setelah ia mengucapkan kata-kata ini, dengan masih lebih lanjut melantunkan pujian terhadap tempat tinggalnya, mengucapkan beberapa bait kalimat berikut:
Tempat-tempat yang alangkah menawannya
di daerah kekuasanku terlihat, lembut sampai ke bagian tanahnya
dan diselimuti dalam kehijauan!
Tidak ada debu maupun bebatuan kecil yang kita jumpai di jalan kita,
dan di sanalah jiwa-jiwa yang bahagia meninggalkan rasa duka.
Di tengah istana yang dikelilingi dinding safir terdapat
pohon-pohon mangga yang indah di setiap sisi, yang membuahkan
buah-buah yang masak di sepanjang musim yang selalu berubah.
[169] Di tengah pepohonan ini sebuah bangunan
yang didirikan dengan emas dan diperindah dengan palang kayu perak
dapat Anda lihat, sebuah tempat tinggal yang bersinar dalam keindahan,
mengungguli kilat bercahaya yang bersinar melintas di langit.
Dilengkapi dengan batu permata dan emas, keindahan surgawi,
dan dihias dengan beragam jenis lukisan yang langka, tempat ini
dikerumuni pula oleh para bidadari yang berpakaian dengan sangat bagus,
semuanya mengenakan rantai emas di dada mereka.
Kemudian dengan bergegas Saṁkhapāla memanjat ke atas teras yang tinggi, dan dengan kekuatan mahatinggi terangkat ke atas ribuan lapisan tembok terlihat istana dari istri dan ratu yang dinikahinya.
Dengan cepat salah satu dari kelompok wanita itu yang menggenggam sebuah permata berharga di tangannya, sebuah permata pirus95 yang langka yang penuh dengan kekuatan gaib, dan mereka semua, tanpa diminta, menawarkanku tempat duduk.
Naga tersebut kemudian menggenggam tanganku dan menuntun ke tempat yang terdapat sebuah kursi besar nan agung, ‘Mohon, silakan Yang Mulia duduk di sini di sampingku, karena Anda mengasihiku seperti orang tua,’ katanya dengan keras.
Seorang bidadari yang kedua kemudian dengan cepat atas perintahnya datang dengan membawa sebuah mangkuk air di tangannya, dan membasuh kedua kakiku. Pelayanan baik nan lembut, seperti yang dilakukan ratu kepada suami terkasihnya, sang raja.
[170] Kemudian bidadari lainnya dalam sekejap mata menyajikan nasi dalam piring emas, yang ditambah dengan berbagai bumbu yang cocok, dengan keinginan makanan lezat menggoda selera makan.
Kemudian dengan alunan musik–karena demikian yang mereka tahu sebagai keinginan dari raja mereka–mereka dengan senang hati menuruti kemauanku, raja naga itu sendiri tidak pernah gagal mengisi jiwaku dengan keinginan surgawi.
Dengan mendekati diriku, demikian ia mengucapkan bait berikutnya:
Tiga ratus istri, Aḷāra, yang saya miliki di sini,
semuanya berpinggang ramping, dalam kecantikan mereka
mampu menyaingi bunga teratai.
Lihatlah, mereka hidup hanya untuk melakukan kemauanmu:
Terimalah anugerah yang kuberikan.
Aḷāra berkata:
[171] Setelah satu tahun dengan kesenangan surgawi saya dilimpahi,
saya menanyakan pertanyaan ini kepada raja, ‘Bagaimana, Naga,
istana megah ini menjadi rumahmu, dan bagaimana ia dapat menjadi milikmu?
Apakah istana megah ini diperoleh tanpa disengaja,
dibangun oleh dirimu sendiri, atau pemberian dari dewa?
Saya bertanya kepadamu, raja naga, beritahukan kebenarannya,
bagaimana Anda bisa tinggal di istana megah ini?’
Kemudian bait-bait kalimat berikut ini diucapkan oleh keduanya96 secara bergantian:
Ini bukan tanpa sengaja didapatkan atau dari alam,
bukan dibangun oleh diriku sendiri, bukan pula pemberian
dari dewa; Akan tetapi disebabkan oleh perbuatan baikku sendiri
dan jasa-jasa kebaikanku, kudapatkan istana megah ini.
Kehidupan apa yang demikian suci nan luhur,
jasa-jasa kebajikan apa yang dapat
memberikan kebahagiaan yang demikian?
Beritahu saya, wahai raja naga, karena saya ingin untuk mengetahui
bagaimana kediaman megah ini dapat diperoleh.
Tadinya saya adalah Raja Magadha, Duyyodhana namaku,
seorang pangeran yang terkemuka:
[172] Saya menjalani kehidupan yang tidak menyenangkan
dan tidak aman, tumbuh dewasa dalam kematangan tanpa kekuatan.
Kemudian dengan tulus saya menyediakan makanan dan minuman,
dan memberikan derma kepada semuanya baik di tempat yang jauh maupun dekat;
Rumahku menjadi seperti penginapan tempat semua yang datang,
para petapa atau brahmana, menyegarkan kembali badan mereka yang letih.
Demikian kehidupan yang kujalani, dan demikian timbunan
jasa-jasa kebajikan yang kukumpulkan, akhirnya istana megah ini k
uperoleh, serta kudapatkan makanan dan minuman yang berlimpah ruah.
Meskipun kehidupan ini selalu gemerlap dengan nyanyian dan tarian,
tetapi tidak bertahan lama bagimu; Makhluk-makhluk lemah menyerang
dan menggotongmu, yang kuat dan yang berkuasa. Mengapa, meskipun dipersenjatai
dengan taring, dapat menjadi mangsa bagi para makhluk lemah itu
dalam pertarungan yang tak seimbang?
Dikarenakan ketakutan apakah Anda ditaklukkan?
Ke manakah perginya racun dari bisamu?
Mengapa, meskipun kuat dan dipersenjatai dengan taring,
Anda menderita luka dari makhluk-makhluk yang demikian lemah?
Bukan karena suatu ketakutan saya ditaklukkan,
kekuatanku juga tidak dapat dikalahkan oleh siapa pun.
Nilai dari kebajikan diakui oleh semuanya; Batasannya,
seperti samudra, tidak pernah terlampaui.
Dua kali setiap bulan saya melaksanakan laku Uposatha;
Ketika itulah, Aḷāra, di sana melewati jalanku, enam belas orang jahat tersebut,
yang di tangan mereka memegang tali dan jerat bersimpul dari benang yang paling bagus.
[173] Para penjahat tersebut menusuk hidungku, dan melalui celah itu,
dengan memasang tali, menyeretku di sepanjang perjalanan.
Rasa sakit yang demikian harus kutanggung
agar supaya tidak melanggar laku Uposatha.
Sewaktu melihat di jalan yang sunyi itu, sesuatu yang indah
nan besar luar biasa kekuatannya, saya berkata, ‘Mengapa,
Yang Bijak dan Mulia, Anda melaksanakan praktik moralitas seperti ini?’
Bukan untuk keturunan maupun kekayaan,
bukan juga untuk umur yang panjang; Akan tetapi untuk dapat
terlahir di alam manusia, dan dikarenakan tujuan inilah
saya bertahan sedaya upaya.
Dengan rambut dan bulu demikian rapi,
postur tubuhmu yang perkasa, dihias dengan pakaian
yang sangat indah, mata yang merah menyala;
Dari kejauhan, terlihat bersinar seperti habis mandi
di dalam kolam cendana merah, bahkan juga seperti
pemusik surgawi, pelayan para dewa.
Diberkahi dengan bakat surgawi yang luar biasa,
dan dapat memperoleh apa pun yang diinginkan;
Saya bertanya kepadamu, raja naga,
katakan kebenarannya, mengapa lebih suka tinggal di alam manusia?
Menurutku, tidak ada tempat lain selain di alam manusia,
dapat mengamalkan pengendalian diri dan mencapai keadaan suci (nibbāna):
Jika sekali lagi saya dapat menghela nafas di tengah-tengah manusia,
saya akan mengakhiri kelahiran dan kematian.
Selalu disambut dengan keceriaan yang berlimpah,
wahai raja, saya tinggal bersamamu selama satu tahun,
Sekarang saya harus mengucapkan perpisahan dan pergi,
tidak dapat meninggalkan rumah terlalu lama lagi.
Istri dan anak-anak serta kumpulan pelayanku
selamanya terlatih untuk melayani perintahmu:
[174] Tidak ada seorang pun, saya percaya, memberikan perlakuan kasar
kepadamu karena Anda penyayang, Aḷāra, dalam pandanganku.
Kehadiran orang tua yang baik mengisi rumah dengan kegembiraan,
melebihi mereka membahagiakan anak-anak yang ceria:
Kebahagiaan terbesar dari semuanya telah saya dapatkan di sini,
karena Anda, wahai raja, telah melayaniku dengan kasih sayang.
Saya memiliki satu permata langka berwarna merah,
yang dapat membawa kekayaan yang besar bagi mereka yang tidak memilikinya;
Ambillah permata ini dan pulanglah kembali ke rumahmu sendiri,
dan di saat Anda telah menjadi kaya, mohon kembalikanlah permata tersebut.
[175] Setelah mengatakan kata-kata ini, Aḷāra melanjutkannya sebagai berikut: “Kemudian, Paduka, saya menyapa raja ular itu dan berkata, ‘Saya tidak memerlukan kekayaan, Raja, tetapi saya ingin menjadi pabbajita,’ [176] dan setelah meminta segala keperluan petapa, saya meninggalkan istana naga bersama dengan rajanya, dan setelah menyuruhnya kembali, saya masuk ke negeri Himalaya dan menjadi pabbajita.”
Dan setelah mengatakan ini, ia memberikan nasihat Dhamma kepada Raja Benares dan mengucapkan dua bait kalimat:
Kesenangan indriawi manusia itu selalu berubah,
tetapi tidak dapat mengubah Dhamma:
Dengan melihat keburukan yang muncul dari kesenangan indriawi,
keyakinan menuntunku menjadi pabbajita.
Manusia akan jatuh seperti buah, dan langsung mati,
Semua tubuh, yang muda dan tua, adalah sama saja akan membusuk:
Hanya dalam kehidupan pabbajita saya menemukan tempat peristirahatan,
yang sejati dan terbaik di seluruh jagad raya.
[117] Ketika mendengar ini, raja mengucapkan bait kalimat berikutnya:
Orang-orang yang bijak dan terpelajar, s
eperti berkonsentrasi penuh pada satu objek,
hendaknya kita semua berusaha;
Dengan mendengarkanmu, Aḷāra, dan sang naga,
saya akan selalu melakukan kebajikan.
Kemudian petapa tersebut, dengan mengerahkan kekuatannya, mengucapkan satu bait kalimat terakhir:
Orang-orang yang bijak dan terpelajar,
seperti berkonsentrasi pada satu objek,
hendaknya kita semua berusaha;
Dengan mendengarkan raja, saya, dan juga sang naga,
selalu lakukanlah kebajikan semuanya.
Demikianlah ia memberikan wejangan Dhamma kepada raja, dan setelah tinggal di tempat yang sama pada masa vassa selama empat bulan, ia kembali ke Himalaya. Sepanjang hidupnya ia mengembangkan Empat Kediaman Luhur sampai akhirnya terlahir di alam brahma; Saṁkhapāla sepanjang hidupnya melaksanakan laku Uposatha; dan raja setelah menghabiskan kehidupannya dengan berdana dan melakukan kebajikan lainnya, mendapatkan hasil sesuai dengan perbuatannya.
____________________
Setelah menyelesaikan uraian Dhamma ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, ayah yang menjadi petapa itu adalah Kassapa, Raja Benares adalah Ānanda, Aḷāra adalah Sāriputta, dan Saṁkhapāla adalah saya sendiri.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com