Sama-Jataka
Suvaṇṇasāmajātaka (Ja 540)
“Siapa, ketika saya mengisi,” dan seterusnya.
Kisah ini diceritakan oleh Guru di Jetavana, mengenai bhikkhu tertentu yang menyokong ibunya. Mereka menceritakan bahwa ada seorang saudagar kaya di Savatthi yang memiliki kekayaan delapan belas crore; dan ia memiliki seorang putra yang sangat dikasihi dan disayangi ayah dan ibunya. Suatu hari pemuda ini pergi ke serambi rumah, membuka jendela, dan melihat ke bawah jalan; dan ketika ia melihat keramaian besar pergi ke Jetavana dengan membawa wewangian dan kalung bunga di tangan mereka untuk mendengar pembabaran ajaran, maka ia berseru bahwa ia juga hendak ikut.
Maka setelah memerintahkan wewangian dan untaian bunga dibawa, ia pergi ke wihara, dan setelah membagikan baju, obat, minuman, dan lain-lain kepada persamuhan, lalu memberikan penghormatan pada Yang Penuh Berkah dengan wewangian dan untaian bunga, ia kemudian duduk di satu sisi. Setelah mendengarkan pembabaran, dan melihat konsekuensi buruk nafsu dan berkah yang timbul dari menjalani kehidupan suci, ketika persamuhan bubar, ia meminta penahbisan kepada Yang Penuh Berkah, namun ia diberitahu bahwa para Tathagata tidak menahbiskan siapa pun yang belum mendapatkan izin dari orang tuanya; maka ia pergi, mogok makan selama seminggu, dan akhirnya berhasil mendapatkan izin orang tuanya, ia kembali dan meminta penahbisan. Guru memanggil bhikkhu itu untuk menahbiskannya; dan setelah ditahbiskan ia mendapatkan banyak kehormatan dan perolehan; ia memenangkan hati para guru dan penahbisnya, dan setelah menerima tugas ia menguasai pembabaran dalam waktu lima tahun.
Kemudian ia berpikir dalam hati, “Di sini aku hidup terusik, ini tidak sesuai untukku,” maka ia menjadi gelisah untuk mencapai tujuan pencerahan; sehingga setelah mendapatkan bimbingan meditasi dari gurunya, ia pergi ke desa perbatasan dan berdiam dalam hutan, dan setelah memasuki jalan pencarian spiritual, ia gagal. Betapa pun kerasnya ia berjuang selama dua belas tahun untuk mendapatkan pencapaian khusus apa pun. Orang tuanya juga, seiring waktu berlalu, menjadi miskin karena mereka yang menyewakan tanah mereka atau membawakan barang dagangan untuk mereka, ketika mengetahui bahwa tidak ada putra atau saudara kandung dalam keluarga yang bisa menegakkan pembayaran, mereka merampas apa pun yang bisa mereka ambil dan melarikan diri sesuka hati, kemudian para pelayan dan pegawai mengambil emas dan uang dalam rumah dan melarikan diri, hingga pada akhirnya mereka berdua mengalami nasib buruk dan bahkan tidak memiliki guci untuk menuangkan air. Akhirnya, mereka menjual rumah mereka, dan menjadi tuna wisma, dan dalam penderitaan luar biasa, mereka berkelana meminta-minta makanan, memakai jubah potongan kain bekas dan membawa kepingan kendi tanah liat di tangan mereka.
Pada saat itu, seorang bhikkhu datang dari Jetavana menuju kediaman putranya; setelah bertukar salam dan, ketika ia duduk dengan tenang, ia pertama-tama bertanya dari mana ia datang; ketika mengetahui mereka tiba dari Jetavana ia menanyakan kesehatan Guru dan siswa-siswa utama, dan kemudian kabar akan orang tuanya, “Beritahu saya, Tuan, mengenai kabar keluarga pedagang ini dan itu di Savatthi.” “Sahabat, jangan menanyai saya soal berita mengenai keluarga itu.” “Mengapa tidak, Tuan?” “Mereka mengatakan bahwa ada seorang putra di keluarga itu, namun a telah menjadi petapa di bawah ajaran, dan sejak ia meninggalkan keduniawian, keluarga itu mengalami kejatuhan; dan saat ini kedua orang tua itu berada dalam keadaan paling menyedihkan dan meminta-minta.”
Ketika ia mendengar kata-kata bhikkhu itu, ia tidak bisa mempertahankan ketenangannya, namun mulai menangis penuh air mata, ketika bhikkhu lainnya menanyainya mengapa ia menangis, “Tuan,” ia menjawab, “Mereka adalah ayah dan ibu saya, saya adalah putra mereka.” “Sahabat, ayah dan ibu Anda telah mengalami kejatuhan karena diri Anda, pergilah dan rawatlah mereka.” “Selama dua belas tahun,” pikirnya sendiri, “Aku telah berjuang dan berupaya namun tidak pernah bisa mendapatkan jalan atau buahnya: aku pastilah tidak piawai; apa yang kuperbuat dengan kehidupan petapa? Aku akan menjadi perumah-tangga dan menyokong orang tuaku dan mendanakan kekayaanku, dan dengan demikian akhirnya ditakdirkan akan masuk surga.”
Maka setelah mengucapkan tekad untuk meninggalkan kediamannya di hutan kepada tetua itu, keesokan harinya ia pergi dan setelah perjalanan bertahap ia sampai ke wihara di belakang Jetavana tidak jauh dari Savatthi. Di sana ia menemukan dua jalan, satu membawa ke Jetavana, dan yang lainnya ke Savatthi. Ketika ia berdiri di sana, ia berpikir, “Apakah sebaiknya aku menemui orang tuaku dahulu atau menemui Buddha?” Kemudian ia merenung, “Pada masa lalu, aku melihat orang tuaku untuk waktu yang lama, namun sejak hari ini, aku akan jarang memiliki kesempatan melihat Buddha; aku akan pergi menemui Yang Tercerahkan Sempurna hari ini dan mendengarkan pembabaran, dan kemudian keesokan paginya aku akan menemui orang tuaku.” Maka ia meninggalkan jalan menuju Savatthi dan pada malam harinya sampai di Jetavana.
Pada hari itu juga saat senja, Guru, ketika Ia menerawang dunia, telah melihat potensi dari pemuda ini, dan ketika ia datang menemui-Nya, Beliau memuji keluhuran orang tua dalam Matiposaka-sutta. Ketika bhikkhu itu berdiri di ujung persamuhan para bhikkhu dan mendengarkan, ia berpikir, “Jika aku menjadi perumah-tangga aku bisa menyokong orang tuaku; namun Guru juga berkata, ’Seorang putra yang telah menjadi petapa bisa juga membantu’; Aku pergi tanpa menemui Guru, dan aku gagal dalam penahbisan yang tidak sempurna begini; kini aku akan menyokong orang tuaku sambil tetap menjadi petapa tanpa menjadi perumah-tangga.”
Maka ia mengambil mangkuk, mangkuk makanannya, dan bubur gandum, dan ia merasa bagaikan telah melakukan pelanggaran yang layak dikeluarkan dari persamuhan setelah berdiam sendirian dalam hutan selama dua belas tahun. Pada pagi harinya, ia pergi ke Savatthi dan ia merenung, “Apakah aku hendak mengambil bubur gandum dahulu atau melihat orang tuaku?”
Ia merenung bahwa tidak patut untuk mengunjungi mereka yang dalam keadaan miskin dan tangan kosong; maka pertama-tama ia mengambil bubur gandum baru kemudian pergi ke depan pintu rumah lama mereka. Ketika ia melihat mereka duduk di tembok seberang setelah meminta-minta makanan yang diberikan dalam bentuk sup, ia berdiri tidak jauh dari mereka dan ledakan kesedihan membuat matanya dipenuhi air mata. Mereka melihatnya namun tidak mengenalinya; kemudian ibunya, berpikir bahwa itu adalah seseorang yang meminta derma, berkata kepadanya, “Kami tidak memiliki apa pun yang pantas diberikan kepada Anda, mohon pergilah ke tempat lain.”
Ketika ia mendengar ibunya, ia menekan rasa duka yang memenuhi hatinya dan tetap berdiri tegak seperti sebelumnya dengan mata penuh air mata, kemudian ia dipanggil untuk kedua dan ketiga kalinya namun ia masih tetap berdiri tegak. Akhirnya, ayahnya berkata kepada ibunya, “Pergilah menemuinya; mungkinkah ini putramu?“ Ia bangkit dan menemuinya, mengenalinya, memeluk kakinya dan meratap, ayahnya juga turut berduka bersamanya dalam suara teriakan ratapan keras. Melihat orang tuanya ia tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri, air matanya luruh; kemudian, larut dalam perasaannya, ia berkata, “Jangan berduka, saya akan menyokong Anda;” setelah menghibur mereka dan memberikan mereka makan bubur gandum, duduk di satu sisi, ia pergi lagi dan meminta-minta makanan, dan memberinya kepada mereka, kemudian ia pergi dan meminta makanan untuk dirinya sendiri, kemudian setelah selesai makan, ia berdiam di tempat yang tidak jauh.
Dari sejak hari itu, ia menjagai orang tuanya dengan cara ini; ia memberikan semua derma makanan yang ia terima kepada mereka, bahkan pembagian makanan pada hari uposatha, dan ia pergi melakukan pindapata pada waktu yang berbeda untuk derma makanannya sendiri, dan makan dari mereka; dan apa pun makanan yang ia terima sebagai bekal untuk musim hujan ia berikan kepada mereka, sementara ia mengambil pakaian mereka yang bekas dan mewarnai mereka dan menggunakannya sendiri: namun hanya sedikit hari ketika ia mendapatkan makanan dan banyak hari ketika ia tidak mendapatkan apa pun, dan jubah luar dan dalamnya menjadi sangat kasar.
Ketika ia menjagai orang tuanya, ia berangsur-angsur menjadi sangat pucat, kurus, dan sahabat-sahabat dan rekan-rekannya berkata kepadanya, “Kulit Anda dahulunya cerah, namun kini wajah Anda maka sangat pucat, apa Anda sakit?” Ia menjawab, “Saya tidak sakit, namun masalah telah menimpa saya,” dan ia memberitahu mereka seluruh kisahnya. “Awuso,” kata mereka, “Guru tidak mengizinkan kita menyia-nyiakan derma makanan dari umat, engkau melakukan perbuatan tidak benar dalam memberikan kepada perumah-tangga derma persembahan dari umat.” Ketika ia mendengar ini ia merasa sangat malu. Namun tidak puas dengan ini, para bhikkhu pergi dan menceritakannya kepada Guru, dengan mengatakan, “Bhikkhu Anu telah menyia-nyiakan derma makanan pemberian umat dan menggunakannya untuk memberi makan perumah-tangga.”
Guru memanggil pemuda itu dan berkata kepadanya, “Benarkah Anda, seorang bhikkhu, mengambil derma makanan umat dan menyokong perumah-tangga dengan derma makanan itu?” Ia mengakui bahwa itu benar. Kemudian Guru, ingin memuji apa yang telah ia lakukan dan menyatakannya sebagai perbuatan yang dahulu ia sendiri lakukan, mengatakan, “Ketika Anda menyokong perumah-tangga, siapakah perumah-tangga yang Anda sokong?” “Orang tua saya,” jawabnya. Kemudian Guru, ingin mendorong semangatnya berkata lebih lanjut, “Sungguh baik, sungguh baik” hingga tiga kali; “Anda berada dalam jalan yang telah Saya sendiri lakukan sebelum diri Anda: Saya pada masa silam, ketika melakukan pindapata, telah menyokong orang tua Saya.” Bhikkhu itu kemudian merasa semangatnya bangkit. Atas permintaan para bhikkhu, Guru, untuk membuat perbuatan silamnya diketahui, menceritakan kepada mereka legenda dari masa silam.
Suatu ketika, tidak jauh dari Benares di tepi sungai, terdapat sebuah desa pemburu di sebelah hulu dan desa lainnya di sebelah hilir; lima ratus keluarga bermukim di masing-masing desa. Kedua kepala pemburu yang bermukim di kedua desa adalah sahabat erat; dan mereka membuat janji pada masa muda mereka, jika salah satu dari mereka memiliki anak perempuan dan yang satu anak laki-laki, mereka akan menikahkan pasangan itu bersama.
Seiring waktu seorang putra terlahir untuk kepala desa di desa di sebelah hulu, dan anak perempuan kepada kepala desa di sebelah hilir; kepada anak yang pertama diberi nama Dukulaka saat ia lahir terbungkus dalam kain indah, sedangkan anak keda diberi nama Parika karena ia lahir di sebelah hilir sungai. Mereka berdua indah dilihat dan memiliki kulit bagaikan dari emas; dan meski mereka berdua lahir di desa para pemburu, mereka tidak pernah melukai makhluk hidup apa pun.
Ketika ia berusia enam belas tahun, orang tuanya berkata kepada Dukulaka, “Putraku, kami akan memberimu pasangan;” namun ia, makhluk murni yang baru datang dari alam brahma, menutup kedua telinganya dan berkata, “Saya tidak ingin tinggal dalam rumah, jangan sebutkan hal-hal seperti itu;” dan meski mereka bicara tiga kali dengan jawaban yang sama, ia tidak menunjukkan minat untuk menikah. Parika pun, ketika orang tuanya bertanya kepadanya, “Putra sahabat kami tampan dan memiliki kulit seperti emas, kami akan memberikanmu kepadanya,” membuat jawaban yang sama dan menutup kedua telinganya, karena ia juga datang dari alam brahma.
Dukulaka diam-diam mengirimkan pesan kepada Parika, “Jika kamu ingin hidup sebagai istri dengan suaminya, pilihlah keluarga lain, karena saya tidak memiliki hasrat demikian,” dan Parika juga mengirimkan pesan yang serupa kepadanya. Namun betapa pun tidak inginnya mereka, orang tua mereka tetap merayakan pernikahan. Namun mereka berdua hidup terpisah seperti brahma, tanpa pernah turun ke samudra nafsu indra. Dukulaka tidak pernah membunuh ikan atau rusa, ia bahkan tidak pernah menjual ikan yang dibawa untuknya. Akhirnya kedua orang tuanya berkata kepadanya, “Meski engkau dilahirkan dalam keluarga pemburu engkau tidak suka berdiam dalam rumah, ataupun membunuh makhluk hidup apa pun; apa yang akan engkau lakukan?” “Jika kalian mengizinkan saya pergi,” jawabnya, “Saya akan menjadi petapa pada hari ini juga.” Orang tuanya langsung memberikan izin kepada mereka.
Setelah mengucapkan selamat tinggal kepada orang tuanya, pasangan ini pergi menyusuri tepian Sungai Ganga dan memasuki wilayah Himavat, tempat Sungai Migasammata mengalir dari gunung dan memasuki Ganga; kemudian, meninggalkan Sungai Ganga, mereka menyusuri Sungai Migasammata. Saat itu istana Sakka menjadi panas. Sakka, setelah memastikan alasannya, memerintahkan Vissakamma, ’’Wahai Vissakamma, dua Bodhisatta telah meninggalkan keduniawian dan memasuki Himavat, kita harus menemukan tempat kediaman untuk mereka, pergi dan buatkanlah mereka gubuk daun dan sediakan semua kebutuhan untuk kehidupan petapa seperempat mil dari Sungai Migasammata, lalu kembalilah kemari.”
Maka Vissakamma pergi dan menyiapkan semua yang dijabarkan dalam kisah kelahiran Mugapakkha48, kemudian kembali ke kediamannya sendiri, setelah mengusir semua hewan liar yang menyebabkan suara tidak menyenangkan, dan membuat jalan di dekat sana. Pasangan itu melihat jalanan setapak dan mengikutinya hingga ke pertapaan. Ketika Dukulaka masuk ke pertapaan dan melihat semua kebutuhan untuk kehidupan pertapaan tersedia, ia berseru, “Ini adalah hadiah untuk kita dari Sakka;” sehingga setelah melepaskan pakaian luarnya, dan mengenakan jubah dari kulit kayu merah dan menyelempangkan kulit rusa hitam di punggungnya, dan mengikat rambutnya menjadi satu, dan memakai baju petapa, dan setelah memberikan penahbisan kepada Parika, ia berdiam di sana dengannya, melatih semua perasaan cinta kasih yang termasuk dalam alam nafsu indra. Melalui pengaruh perasaan cinta kasih mereka semua hewan dan unggas hanya merasakan cinta kasih satu sama lain, tidak satu pun yang melukai satu sama lain. Parika membawakan air dan makanan, menyapu pertapaan, dan melakukan semua yang harus dikerjakan, dan keduanya mengumpulkan berbagai jenis buah dan memakan mereka, kemudian memasuki gubuk daun masing-masing, dan hidup di sana menjalani peraturan kehidupan petapa. Sakka memenuhi semua kebutuhan mereka.
Suatu hari, Sakka melihat adanya bahaya pada masa depan yang mengancam mereka, “Mereka akan kehilangan penglihatan mereka,” maka ia menemui Dukulaka; dan setelah duduk di satu sisi, setelah memberi hormat padanya, ia berkata, “Bhante, saya melihat bahaya mengancam Anda pada masa depan, Anda harus memiliki putra yang merawat Anda: ikutilah jalan keduniawian.” “Wahai Sakka, mengapa Anda menyebutkan hal seperti itu? Bahkan ketika kami tinggal dalam rumah, kami jijik melakukan semua hubungan intim; memangnya kami bisa melakukannya sekarang setelah datang ke hutan ini, dan menjalani kehidupan pertapaan?”
“Baiklah, jika engkau tidak mau melakukan apa yang saya katakan, maka pada musim yang tepat sentuhlah perut Parika dengan tangan Anda.” Dukulaka berjanji melakukannya; dan Sakka, setelah memberi penghormatan padanya, kembali ke kediamannya sendiri. Bodhisatta memberitahukan hal ini kepada Parika, dan pada saat yang tepat Dukulaka menyentuh perutnya dengan tangannya. Lalu Bodhisatta turun dari alam surga dan memasuki rahimnya dan terkandung di sana. Pada akhir bulan ke sepuluh ia melahirkan putra yang memiliki kulit keemasan, dan mereka memberinya nama Suvannasama. (Saat itu para perempuan Kinnari di gunung lain merawat Parika.) Kedua orang tua itu membasuh bayi dan membaringkannya di gubuk daun dan pergi mengumpulkan berbagai jenis buah. Selagi mereka pergi, para kinnara mengambil anak itu dan memandikannya dalam gua mereka. Lalu pergi ke puncak gunung, mereka mendandaninya dengan berbagai macam bunga, dan membuat tanda-tanda petapaan dengan pewarna kuning, merah, dan warna-warna lainnya, kemudian mengembalikannya ke pembaringan di gubuk; dan ketika Parika kembali ke rumah, ia menyusuinya.
Mereka menyayanginya ketika ia bertumbuh tahun demi tahun, dan ketika ia berusia enam belas tahun, mereka biasanya meninggalkannya di gubuk dan pergi keluar mengumpulkan akar-akaran dan buah-buahan. Bodhisatta merenungi, “Bahaya suatu hari pasti akan menimpa;” ia biasanya memperhatikan jalan yang mereka lewati. Suatu hari, mereka tengah kembali ke rumah pada waktu malam setelah mengumpulkan akar-akaran dan buah, tidak jauh dari pertapaan, ketika awan besar muncul. Mereka berlindung di akar sebuah pohon dan berdiri di sebuah bukit semut; dan dalam bukit semut ini hiduplah seekor ular. Ketika air dari tubuh mereka menetes, bau keringat terbawa serta ke lubang hidung ular ini, dan karena marah, ia mengembuskan napasnya dan mengenai mereka selagi mereka berdiri di sana, dan keduanya menjadi buta dan tak bisa melihat satu sama lain.
Dukulaka memanggil ke Parika, “Mataku lenyap, aku tak bisa melihatmu;” dan Parika pun mengeluhkan hal yang sama. “Kita tidak bisa hidup lagi,” kata mereka, dan mereka berjalan kian kemari, meratap dan tidak bisa menemukan jalan. “Perbuatan jahat lampau apa yang telah kami lakukan?” pikir mereka.
Pada masa lalu, mereka pernah lahir dalam keluarga tabib, dan tabib itu merawat orang kaya yang menderita penyakit mata, namun pasien itu tidak membayar uang jasa pengobatan; dan karena marah, tabib ini berkata kepada istrinya, “Apa yang akan kita lakukan?” Istrinya, karena juga marah, berkata, “Kita tidak menginginkan uangnya; mari membuat ramuan dan menyebutnya sebagai obat, dan membutakan salah satu matanya dengan ramuan ini.” Tabib itu setuju dan menuruti nasihatnya, dan karena perbuatan jahat ini, kedua mata mereka sekarang buta.
Kemudian Bodhisatta merenungi, “Pada lain hari kedua orang tuaku selalu telah pulang pada jam ini, aku tidak tahu apa yang telah terjadi pada mereka. Aku akan pergi menemui mereka;” maka ia pergi menemui mereka dan bersuara. Mereka mengenali suara itu, dan menjawab kembali karena kasih sayang mereka akan anak mereka, “Wahai Sama, ada bahaya di sini, jangan mendekat.” Maka ia mengulurkan kepada mereka sebuah galah panjang dan memberitahu mereka untuk berpegangan di ujungnya, dan mereka setelah berpegangan erat pada galah itu, sampai kepadanya. Kemudian ia berkata kepada mereka, “Bagaimana sampai Anda kehilangan penglihatan?” “Ketika hujan kami berlindung sejenak di akar sebuah pohon dan berdiri di atas bukit sarang semut, dan itu membuat kami buta.” Ketika ia mendengarnya, ia mengetahui apa yang telah terjadi. “Pasti ada seekor ular di sana, dan dalam amarahnya ular itu mengeluarkan napas beracun;” dan ketika ia melihat orang tuanya, ia menangis dan juga tertawa.
Kemudian mereka bertanya kenapa ia menangis dan juga tertawa. “Saya menangis karena penglihatan Anda hilang selagi masih muda, namun saya tertawa ketika memikirkan bahwa saya yang akan sekarang merawat kalian; janganlah berduka, saya akan merawat Anda.”
Maka ia membawa mereka kembali ke pertapaan dan mengikatkan tali di semua penjuru, untuk membedakan gubuk siang dan malam, koridor, dan semua kamar lainnya; dan dari sejak hari itu, ia membuat mereka tetap tinggal dalam pertapaan, sementara dirinya mengumpulkan akar-akaran dan buah-buahan hutan, dan pada pagi hari menyapu kamar mereka, mengambil air dari Sungai Migasammata, dan menyiapkan makanan, air dan sikat untuk membasuh mulut mereka, dan memberikan segala jenis buah manis, dan setelah membersihkan mulut mereka, ia makan makanannya sendiri. Setelah makan, ia memberikan penghormatan pada orang tuanya, dan dikelilingi serombongan rusa, ia pergi ke dalam hutan untuk mengumpulkan buah. Setelah mengumpulkan buah bersama sekelompok kinnara di gunung, ia kembali pada malam hari, dan setelah mengambil air dalam jambangan dan memanaskannya, ia memberikan air untuk mandi atau mencuci kaki kepada mereka, kemudian membawa jambangan penuh arang panas dan menguapi tubuh mereka, dan memberikan segala jenis buah ketika mereka duduk, dan pada akhirnya baru makan sendiri, lalu menyingkirkan apa yang tersisa. Dengan cara ini ia merawat orang tuanya.
Saat itu seorang raja bernama Piliyakkha berkuasa di Benares. Ia dalam keinginan besarnya untuk mendapat daging rusa, telah memercayakan kerajaan kepada ibunya, dan membawa lima jenis senjata, raja ini masuk ke daerah Himavat, dan di sana ia berburu rusa dan makan daging mereka, hingga ia sampai ke Sungai Migasammata, kemudian sampai ke tempat Sama biasanya mengambil air. Melihat ada jejak kaki rusa, ia mendirikan tendanya dari ranting-ranting sewarna permata, dan mengambil busur dan memasang anak panah beracun, ia bersembunyi menunggu mereka.
Pada malam hari, Bodhisatta setelah mengumpulkan buah dan menaruhnya di pertapaan, memberikan salam kepada orang tuanya dan berkata, “Saya akan mandi dan pergi mengambil air,” ia mengambil jambangan, dan dilelilingi rombongan rusa, memilih dua rusa dari rombongannya, dan menaruh jambangan di punggung mereka, menggembalakan mereka dengan tangannya hingga sampai ke tempat ia mandi.
Raja di tempat pernaungannya melihatnya datang dan berucap sendiri, “Sepanjang waktu aku telah berkelana di sini, belum pernah aku bertemu dengan manusia lain; apakah ia dewa atau naga? Jika aku pergi menemuinya, ia akan terbang ke langit jika ia dewa, dan akan tenggelam ke dalam bumi jika ia naga. Namun aku tidak akan terus tinggal di Himavat ini, dan suatu hari aku akan kembali ke Benares, dan menteri-menteriku akan bertanya apakah aku tidak melihat hal-hal menakjubkan baru dalam pengelanaanku di Himavat. Jika aku memberitahu mereka bahwa aku melihat makhluk seperti ini, dan mereka kemudian menanyaiku apa namanya, mereka akan mencelaku jika aku terpaksa menjawab bahwa aku tidak tahu; maka aku akan melukai dan melumpuhkannya, kemudian menanyainya.”
Pada saat itu, para rusa turun lebih dahulu dan minum air, kemudian keluar dari tempat mandi; dan kemudian Bodhisatta, turun perlahan-lahan ke dalam air seperti tetua agung yang benar-benar piawai dalam peraturan latihan, dan hendak mendapatkan keheningan mutlak, mengenakan jubah kulit katunya, dan mengenakan kulit rusanya di pundak, mengangkat jambangan airnya, mengisinya, dan menaruhnya di bahu sebelah kiri.
Saat itu raja, melihat waktunya telah tepat untuk menembak, melepaskan panah beracun dan melukai Bodhisatta di sisi kanan tubuhnya, dan panah itu menembus keluar dari sisi kiri tubuhnya. Pasukan rusa, melihat ia terluka, melarikan diri ketakutan, namun Suvannasama, meski terluka, menyeimbangkan jambangan air di bahunya sedapat mungkin, dan memulihkan kembali batinnya, perlahan-lahan ia keluar dari air. Ia menggali pasir dan menumpuknya di satu sisi, kemudian menaruh kepalanya ke jurusan pertapaan orang tuanya, ia membaringkan dirinya seperti gambar emas di atas pasir yang memiliki warna seperti piring perak. Kemudian merenungi ingatannya ia merenungi semua situasi; “Aku tidak memiliki musuh di daerah Himavat, dan aku tidak menaruh kebencian terhadap siapa pun.”
Ketika ia mengucapkan kata-kata ini, darah mengalir keluar dari mulutnya, dan tanpa melihat raja, ia mengucapkan syair ini kepadanya:
“Ketika saya mengisi jambangan air, siapakah yang dari persembunyiannya telah melukai saya, Brahmana, khattiya, atau vessa, siapakah penyerang diri saya yang tidak diketahui?”
Kemudian ia menambahkan syair lainnya untuk menunjukkan betapa tidak berharga dagingnya sebagai makanan:
“Anda tidak bisa mengambil daging saya sebagai makanan, atau bisa menggunakan kulit saya; mengapa Anda pikir saya layak menjadi sasaran Anda; apakah perolehan yang Anda pikir akan dapatkan?”
Dan ia kembali menanyakan namanya, dan sebagainya:
“Siapakah Anda, katakan putra siapakah Anda? Dan dengan nama apakah seharusnya saya panggil diri Anda? Mengapa Anda bersembunyi di sana? Jawablah pertanyaan saya dengan jujur.”
Ketika raja mendengar hal ini, ia merenung dalam hati, “Meski ia telah jatuh terluka oleh panah beracunku, namun ia tidak mengutuk atau menyalahkanku; ia berbicara padaku dengan lembut seakan menghibur hatiku, aku akan menemuinya;” maka ia beranjak dan berdiri di dekatnya, dan berucap:
“Di antara orang Kasi, saya adalah penguasanya, nama saya Raja Piliyakkha; dan di sini, meninggalkan singgasana saya karena tamak akan daging, saya berkeliaran memburu menjangan hutan. Piawai dalam ilmu memanah, tegar hati saya tidak mudah digoyahkan; tidak ada naga yang lolos dari anak panah saya sekali ia masuk ke dalam jangkauan panah saya.”
Memuji kepiawaiannya sendiri, ia kemudian bertanya siapa nama dan keluarga Bodhisatta:
“Namun siapakah Anda? Putra siapakah Anda? Bagaimana Anda dipanggil? Nyatakan nama Anda; nyatakan nama ayah dan keluarga Anda, beritahukan nama ayah dan nama Anda sendiri.”
Bodhisatta merenung, “Jika aku mengatakan kepadanya aku adalah dewa atau kinnara, atau aku adalah khattiya, atau ras lainnya, ia akan memercayaiku; namun orang hanya bisa mengucapkan kebenaran,” maka ia berkata:
“Ketika hidup, mereka memanggil saya dengan nama Sama, saya adalah putra pemburu yang diasingkan;
Namun terbaring di tanah ini dalam derita menyedihkan Anda menyaksikan saya.
Ditembus panah beracun milik Anda, saya berbaring tanpa daya seperti rusa lainnya,
Menjadi korban kepiawaian mematikan Anda, bermandikan darah saya menderita di sini.
Panah Anda telah menembus tubuh, saya memuntahkan darah bersama setiap napas,
Namun, dalam keadaan lemah dan lemas, saya bertanya kepada Anda, mengapa dari persembunyian Anda menginginkan kematian saya?
Anda tidak bisa mengambil daging saya untuk makanan, atau beralih mengambil kulit saya; mengapa Anda pikir saya layak menjadi sasaran Anda; apakah perolehan yang Anda pikir akan Anda dapat?”
Ketika raja mendengar hal ini, ia tidak mengucapkan kebenaran sejatinya, namun mengarang kisah palsu dan berkata:
“Seekor rusa tiba dalam jangkauan panah saya, saya pikir ia akan menjadi buruan saya,
Namun melihat diri Anda, rusa itu melarikan diri ketakutan, saya tidak memiliki pemikiran amarah terhadap diri Anda.”
Kemudian Bodhisatta menjawab, “Apa kata Anda, wahai Baginda? Di seluruh Himavat ini tak ada rusa yang melarikan diri ketika melihat saya;”
“Sejak tahun-tahun pertama saya mulai bisa berpikir, sampai sejauh ingatan saya yang paling awal,
Tidak ada rusa atau hewan buruan yang melarikan diri ketika berjumpa dengan saya.
Sejak saya pertama memakai jubah kulit kayu dan meninggalkan masa kecil saya,
Tidak ada rusa atau hewan buruan yang melarikan diri ketika berjumpa dengan saya.
Bahkan, makhluk halus berwajah murung adalah sahabat saya, yang berkeliaran dengan saya di bawah rindang hutan ini,
Mengapa rusa ini, seperti kata Anda, ketika melihat saya berlari ketakutan?”
Ketika raja mendengar ini, ia merenung dalam hati, “Aku telah melukai makhluk tak bersalah ini dan mengucapkan kebohongan, aku kini akan mengaku kebenaran.” Maka ia mengatakan:
“Sama, tidak ada rusa yang menghadang Anda di sana, mengapa saya harus mengucapkan kebohongan yang tidak perlu?
Saya terkuasai kemarahan, ketamakan, dan menembakkan anak panah itu, sayalah yang melakukannya.”
Kemudian, ia berpikir lagi, “Suvannasama tidak mungkin berdiam sendirian di hutan ini, sanak saudaranya tidak diragukan lagi hidup di sini; aku akan menanyai mengenai mereka.” Maka ia mengucapkan syair:
“Dari mana Anda datang pagi ini, sahabat, siapa yang meminta Anda membawa jambangan air dan mengisinya dari tepian sungai dan memanggulnya kembali demikian jauh?”
ketika mendengar ini, Bodhisatta merasakan perasaan demikian sedih dan mengucapkan syair sambil darah mengalir dari mulutnya:
“Orang tua saya hidup di hutan sebelah sana, buta dan bergantung pada sokongan saya,
Demi mereka saya datang mengisi jambangan air di tepian sungai.”
Kemudian ia melanjutkan, meratapi kondisi mereka:
“Hidup mereka hanya tersisa percikan kecil50, persediaan makanan mereka hanya paling tersisa seminggu,
Tanpa air yang saya bawa, buta dan lemah, tanpa daya, mereka akan mati.
Saya tidak takut akan rasa sakit kematian, kematian adalah takdir bersama semua makhluk;
Namun tidak akan pernah lagi saya lihat wajah ayah saya, ini yang membuat hati saya berduka51.
Lama, dan lama sekali, kala sedih dan melelahkan ibu saya akan menanggung dukanya,
Pada tengah malam dan pada fajar air matanya akan mengalir seperti sungai52.
Lama, dan lama sekali, kala sedih dan melelahkan ayah saya akan menanggung dukanya,
Pada tengah malam dan pada fajar air matanya akan mengalir seperti sungai.
Mereka akan pergi berkelana di hutan dan mengeluh mengenai putra mereka yang terlambat datang,
Masih mengharap mendengar langkah atau merasakan sentuhan penghiburan saya, dengan sia-sia.
Pemikiran ini bagaikan anak panah kedua yang menembus lebih dalam dari sebelumnya,
Bahwa saya, sungguh sayang, terbaring sekarat di sini, ditakdirkan tak bisa melihat wajah mereka lagi.”
Raja, ketika mendengar ratapannya, berpikir dalam hati, “Pemuda ini telah merawat orang tuanya dengan bakti dan pengabdian luar biasa, hingga bahkan kini di tengah rasa sakitnya ia hanya memikirkan mereka, aku telah berbuat jahat terhadap makhluk yang demikian suci, bagaimana aku bisa menghiburnya? Ketika aku kelak menemukan diriku dalam neraka, apa gunanya kerajaan bagiku? Aku akan merawat ayah dan ibunya seperti ia merawat mereka; sehingga kematiannya tidak akan membawa petaka bagi mereka.”
Kemudian ia mengucapkan tekadnya dalam syair berikut:
“Wahai Sama yang berwajah luhur, jangan biarkan batin Anda tertekan putus asa,
Saksikan saya sendiri akan melayani orang tua Anda dalam duka rindu mereka.
Saya piawai dalam memanah, janji saya adalah jaminan luhur,
Saya akan menjadi pengganti Anda dan merawat orang tua Anda di hutan.
Saya akan mencari bangkai rusa, akar-akaran, dan buah untuk memenuhi kebutuhan mereka;
Saya akan mengabdikan diri saya melayani mereka, menjadi pelayan sejati rumah mereka.
Di manakah dalam hutan mereka berada? Beritahu saya, Sama, karena saya berikrar
Saya akan melindungi dan merawat mereka seperti yang engkau telah lakukan sendiri hingga kini.”
Bodhisatta menjawab, “Sungguh baik, Baginda, jika Anda merawat mereka,” maka ia menunjukkan jalan kepadanya:
“Ke tempat kepala saya terbaring ada jalan sejauh dua ratus panjang busur melalui pepohonan,
“Jalan ini akan membawa Anda ke gubuk orang tua saya, pergilah, rawat mereka jika Anda bersedia.”
Setelah menunjukkan jalan dan menanggung rasa sakit hebat dengan sabar dalam rasa cintanya akan orang tuanya, ia melipat tangannya dengan penuh hormat, lalu membuat permohonan terakhir agar raja mau merawat mereka:
“Hormat saya pada Anda, Raja Kasi, karena Anda akan menempuh jalan Anda;
Orang tua saya buta dan tanpa daya, saya mohon lindungi dan rawatlah mereka berdua.
Hormat saya pada Anda, Raja Kasi, saya merangkapkan tangan saya dengan hormat,
Mohon berikan pesan atas nama saya seperti yang saya katakan kepada Anda kepada orang tua saya.”
Raja menerima kepercayaan ini, dan setelah Bodhisatta memberikan pesan terakhirnya, ia tidak sadarkan diri. Menjelaskan hal ini, Guru mengatakan:
“Ketika Sama yang berwajah luhur, setelah mengucapkan kata-kata ini kepada raja,
Lemas karena racun anak panah, ia terbaring tak sadarkan diri bagaikan telah mati.”
Sampai saat ketika ia mengucapkan kata-kata ini, Bodhisatta mengucapkannya bagaikan orang yang terengah-engah; namun di sini kata-katanya terputus, seakan-akan tubuhnya, jantungnya, batin, serta daya hidupnya telah secara bertahap dipengaruhi oleh kejinya racun53, mulut dan matanya tertutup, tangan dan kakinya menjadi kaku, dan seluruh tubuhnya basah oleh darah. Raja berseru, “Sampai saat ini ia masih bicara kepadaku, apa yang tiba-tiba menghentikan tarikan dan hembusan napasnya? Fungsi tubuh ini sekarang telah berhenti, tubuhnya menjadi kaku, tentunya Sama kini wafat;” dan karena tidak mampu mengendalikan rasa sedihnya, ia memukuli kepalanya dengan tangannya dan meratap dengan suara keras.
Di sini, Guru, untuk membuat lebih jelas, mengucapkan syair ini:
“Dengan penuh sesal raja meratap, ’Saya tidak tahu hingga ini terjadi
Bahwa saya hams menua atau mati, kini, sungguh sayang, saya terlalu menyadarinya.
Semua manusia adalah tidak langgeng, kini saya menyadari; karena bahkan Sama harus mati, yang memberikan nasihat bajik hingga saat terakhirnya, ia meninggal dalam kesengsaraan;
Neraka adalah takdir saya yang pasti, hingga orang suci terbunuh, terbaring tak bisa lagi bicara di sana:
Dalam semua desa yang saya lalui, semua orang dengan satu suara akan menyatakan saya bersalah.
Namun dalam rimba sendirian dan tak berpenduduk, siapakah yang akan mengetahui nama saya?
Di padang kesunyian ini siapa yang akan mengingatkan saya akan kesalahan saya?’”
Saat itu, putri dewa bernama BahusodarT, yang bermukim di gunung Gandhamadana dan pernah menjadi ibu kandung Bodhisatta dalam tujuh kehidupan sebelum ini, terus-menerus memikirkannya dengan kasih sayang seorang ibu; namun pada hari itu, dalam penikmatan akan sukacita surgawinya ia tidak mengingatnya seperti biasa; dan teman-teman dewi itu hanya mengatakan bahwa ia telah pergi ke pertemuan para dewa [sehingga tetap diam saja],
Tiba-tiba dewi ini memikirkan Bodhisatta pada saat itu, ketika Bodhisatta tak sadarkan diri, dan ia berkata kepada dirinya, “Apa yang terjadi pada putraku?” dan kemudian ia melihat Raja Piliyakkha melukainya dengan panah beracun di tepian Sungai Migasammata, sehingga Bodhisatta terbaring di tepian sungai, sementara raja meratap dengan suara keras.
“Jika saya tidak mendatanginya, putraku Suvannasama akan mati di sana, dan raja akan patah hati, dan orang tua Sama akan mati kelaparan dan kehausan. Namun jika aku ke sana, raja akan membawa jambangan air itu, pergi menemui orang tua Sama, dan setelah mendengar kata-kata mereka, ia akan membawa mereka menemui putra mereka, dan mereka akan membuat pernyataan kebenaran yang akan menaklukkan racun dalam tubuh Sama, dan putraku kemudian akan mendapatkan kembali nyawanya, dan orang tua mereka meraih kembali penglihatan mereka, dan raja, setelah mendengar bimbingan Sama, akan pergi dan melakukan derma besar dan ditakdirkan masuk ke surga; maka aku akan segera ke sana.” Demikian ia pergi, dan berdiri tanpa terlihat di angkasa, di tepian Sungai Migasammata, ia berbicara kepada raja.
Di sini Guru, untuk menjelaskannya, mengucapkan syair ini:
“Sang dewi, tersembunyi dari pandangan di Gunung Gandhamadan,
Mengucapkan syair ini dalam telinga raja, digerakkan oleh rasa kasihan kepadanya;
“Perbuatan jahat telah Anda lakukan, besar rasa bersalah yang Anda tanggung;
Orang tua dan anak semuanya tanpa salah, sebatang anak panah Anda telah membunuh ketiganya;
Marilah, saya akan beritahu bagaimana menemukan perlindungan dari rasa bersalah Anda dan menjadi tenang;
Rawatlah pasangan buta dalam hutan itu, sehingga batin Anda yang bersalah bisa terberkahi.’”
Ketika raja mendengar kata-katanya, ia memercayai apa yang dewi itu katakan, bahwa, jika ia pergi dan menyokong ayah dan ibu Sama, ia akan mendapatkan surga; maka ia membuat tekad, “Apa gunanya kerajaan bagiku? Aku akan pergi dan membaktikan diriku untuk merawat mereka.” Setelah menangis keras ia menaklukkan kesedihannya, dan mengira Sama memang telah meninggal, ia memberikan hormat pada tubuhnya dengan semua jenis bunga, memercikinya dengan air, dan tiga kali mengelilinginya dengan sisi kanan tubuhnya menghadapnya, dan bersujud di empat sisi yang berbeda. Kemudian ia mengambil jambangan yang telah terberkahi olehnya, mengalihkan wajahnya ke selatan, dan berjalan dengan hati yang berat.
Di sini Guru menambahkan syair penjelasan ini:
“Setelah tangisan pilu, meratapi pemuda yang tidak beruntung,
Raja mengambil jambangan air dan menuju ke selatan.” Berkat keperkasaannya, raja mengambil jambangan air dan dengan penuh tekad menapaki jalan menuju pertapaan, akhirnya mencapai pintu gubuk Dukulaka yang bijak. Orang bijak itu, tengah duduk di dalam, mendengar suara langkah kaki mendekat. Ia merenung dengan penuh keraguan, ia mengucapkan dua baris kalimat ini:
“Milik siapakah langkah kaki yang kudengar ini? Ada orang mendekat kemari;
Ini bukanlah suara langkah Sama, siapakah Anda, mohon beritahu saya, Tuan.”
Ketika raja mendengarnya, ia berpikir dalam hati, “Jika aku memberitahu dirinya bahwa aku telah membunuh putranya dan tidak menunjukkan sifat rajaku, mereka akan marah dan bicara kasar kepadaku, kemudian amarahku akan bangkit terhadap mereka, dan saya akan berbuat kasar kepada mereka, dan ini akan menjadi perbuatan salah; namun tidak ada seorang pun yang tidak merasa takut ketika mendengar bahwa yang datang adalah raja. Karena itu aku akan mengungkapkan jati diriku kepada mereka;” maka ia menaruh jambangan air itu di tempatnya, dan berdiri di depan gubuk, ia berkata:
“ Di antara orang Kasi saya adalah penguasanya, nama saya Raja Piliyakkha; dan di sini, meninggalkan singgasana saya karena tamak akan daging, saya berkeliaran memburu menjangan hutan. Piawai dalam ilmu memanah, tegar hati saya tidak mudah digoyahkan; tidak ada naga yang lolos dari anak panah saya sekali ia masuk ke dalam jangkauan panah saya.”
Orang bijak itu memberikan salam ramah kepadanya, dan menjawab:
“Selamat datang, Baginda, sungguh kesempatan baik membawa Anda kemari:
Perkasa dan berjaya Anda; mohon beritahu urusan apakah yang membawa Anda kemari?
Terbaik yang kami miliki hanya daun tindhook dan piyal, wahai Raja, makanlah,
Dan air sejuk dari gua tinggi yang tersembunyi di bukit,
Wahai penguasa, ambillah, minumlah jika Anda suka.”
Ketika raja mendengar sambutannya, ia berpikir dalam hati, “Tidak akan patut jika aku langsung memberitahu mereka bahwa aku baru membunuh putranya; aku akan bicara dengannya seakan-akan aku tidak tahu apa-apa dan baru kemudian memberitahunya;” maka ia berkata kepadanya:
“Bagaimana orang buta bisa hidup di hutan? Buah-buah ini, siapa yang membawakannya ke pintu Anda?
Ia pasti orang yang memiliki penglihatan baik, yang mengumpulkan tumpukan beraneka macam ini.”
Orang tua itu mengulang dua syair untuk menunjukkan kepada raja bahwa ia dan istrinya bukan yang mengumpulkan buah itu, melainkan putra mereka yang membawakannya kepada mereka:
“Sama, putra kami, masih muda, tidak begitu tinggi namun indah dipandang,
Rambut hitamnya ikal menghiasi kepala seperti wajarnya ekor anjing.
Ia membawa buah ini, dan kemudian pergi, mengisi jambangan air kami;
Ia akan segera kembali sekarang, jalan menuju sungai tidaklah jauh.”
Raja menjawab:
“Sama, putra Anda yang berbakti, yang Anda gambarkan demikian tampan, demikian luhur, Saya telah membunuhnya: rambut ikal miliknya itu sekarang terbaring di sana, tergenang dalam darah.”
Gubuk daun Parika ada di dekat sana, dan ketika ia sedang duduk ia mendengar suara raja. Ia pergi keluar dengan cemas untuk mengetahui apa yang terjadi, dan, setelah mendekati Dukulaka dengan bantuan tali, ia berseru:
“Beritahu saya Dukulaka, siapakah ini yang mengatakan Sama telah terbunuh?
’Sama kita telah terbunuh,’, kabar demikian buruk agaknya telah membelah hatiku menjadi dua.
Seperti tunas pepul muda yang ditiup angin hingga luruh dari pohon,
Sama kita terbunuh, mendengar kabar itu hati saya ditembus duka.”
Orang tua itu memberinya kata-kata nasihat:
“Ini adalah raja negeri Kasi, saya mengetahui busurnya yang keji telah membantai,
Sama kita di tepian sungai, namun biarkanlah kita diam dan jangan mengutuknya.”
Parika menjawab:
“Putra kita terkasih, tumpuan hidup kita satu-satunya, dinanti dan dirindukan setelah begitu lama!
Namun semua bijaksanawan melarang amarah kita kepada pelaku kejahatan.”
Kemudian mereka berdua meratap, memukuli dada mereka, dan memuji keluhuran Bodhisatta. Kemudian raja berusaha menghibur mereka:
“Saya mohon, janganlah menangis terlalu banyak, karena nasib malang Sama yang terkasih;
Saya akan melayani kalian berdua, janganlah meratap hingga benar-benar patah hati;
Saya piawai dalam memanah, janji saya adalah jaminan pasti,
Saya melayani kalian berdua dan merawat kalian dalam hutan sunyi ini.
Saya akan mencari bangkai rusa, akar-akaran, dan buah untuk memenuhi semua kebutuhan kalian;
Saya akan melayani kalian berdua, menjadi pelayan sejati rumah mereka.
Mereka memprotesnya:
“Ini tidaklah pantas, raja manusia, ini sungguh akan tidak patut;
Anda adalah penguasa dan raja kami yang layak: kami di sini bersujud di kaki Anda.”
Ketika raja mendengar hal ini ia gembira, “Sungguh menakjubkan,” ia berpikir, “Mereka tidak mengucapkan satu kata kasar pun terhadapku yang telah berbuat kesalahan demikian besar, mereka hanya menerimaku dengan ramah;” dan ia mengucapkan syair ini:
“Anda adalah penghuni hutan, menyatakan hak, penyambutan ini adalah bakti sejati;
Mulai sekarang Anda adalah ayah dan ibu bagi saya.”
Mereka dengan penuh hormat mengangkat tangan mereka dan memprotes, “Kami tidak memerlukan tindakan pelayanan apa pun dari Anda, namun bimbinglah kami, berikanlah kami ujung tongkat berjalan, dan tunjukkanlah Sama kami,” dan mereka mengucapkan sepasang syair ini:
“Terpujilah Anda, Raja Kasi yang menjadi kemakmuran wilayah Anda,
Bawalah kami dan bimbinglah kami ke tempat Sama, putra kami terkasih, terbaring.
Di sana berlutut di kakinya, menyentuh wajah, mata, dan sekujur tubuhnya,
Kami akan menunggu datangnya kematian dengan sabar, selama kami ada di dekatnya.”
Selagi mereka bicara demikian, matahari telah terbenam. Kemudian raja berpikir, “Jika aku membawa mereka ke sana kini, hati mereka akan hancur melihat hal ini; dan jika tiga orang mati karenaku, aku pasti akan lahir di neraka, karena itu aku tidak akan membiarkan mereka pergi ke sana;” maka ia mengucapkan syair-syair ini:
“Daerah penuh hewan buas, seperti wilayah dunia paling liar,
Di sana Sama terbaring, bagaikan bulan telah jatuh ke bumi.
Daerah penuh hewan buas, seperti wilayah dunia paling liar,
Di sana Sama terbaring, bagaikan matahari telah jatuh ke bumi.
Di ujung dunia terjauh ia terbaring, diliputi debu dan dinodai darah;
Tinggallah di gubuk Anda di sini jangan mencobai bahaya rimba.”
Mereka menjawab dengan syair ini untuk menunjukkan bahwa mereka tidak gentar:
“Biarkan hewan liar melakukan yang terburuk, biarkan mereka datang dalam ribuan, jutaan, kami tidak takut akan hewan liar, mereka tidak bisa melukai kami.”
Maka raja, karena tidak mampu menghentikan mereka, membimbing mereka dengan tangannya dan membawa mereka ke sana.
Ketika ia membawa mereka ke dekatnya, ia berkata kepada mereka, “Inilah putra Anda.” Ketika ayahnya menempelkan kepalanya ke dada putranya, dan ibunya ke kakinya, mereka duduk dan meratap.
Guru, untuk memperjelas hal ini, mengucapkan syair-syair ini:
“Diliputi debu dan hati terluka, menyaksikan Sama mereka terbaring,
Bersujud seperti matahari dan rembulan jatuh dari langit ke bumi,
kedua orang tua mengangkat tangan mereka, meratap dengan tangisan pilu.
’Wahai Sama, apakah engkau tertidur lelap? Atau marah? Atau kami terlupakan?
Atau katakan sesuatu yang telah mengganggu hatimu, hingga engkau terbaring bergeming tanpa menjawab?
Siapa yang kini akan menyisir rambut panjang kami, dan membasuh debu dan kotoran,
Ketika Sama tidak lagi di sini, tumpuan satu-satunya pasangan buta?
Siapa yang akan menyapu lantai untuk kami, atau membawa air, panas atau dingin?
Siapa yang akan membawakan akar-akaran dan buah, ketika kami duduk tanpa daya, tua, dan buta?’”
Setelah ratapan lama, ibunya memukuli dadanya sendiri, dan merenungi kesedihannya dengan saksama, ia berkata kepada dirinya sendiri, “Ini semua hanyalah kesedihan karena kehilangan putraku, ia telah membengkak karena kekejian racun, aku akan melakukan pernyataan teguh kebenaran untuk membuang racun dari dirinya;” sehingga ia melakukan aksi kebenaran dan mengulangi syair berikut:
“Jika benar pada masa lalu Sama hidup selalu dengan kebajikan,
Semoga racun dalam pembuluh darahnya kehilangan daya jahatnya dan tidak akan melukainya.
Jika pada masa lalu ia mengucapkan kebenaran dan merawat orang tuanya siang dan malam, semoga racun dalam pembuluh darahnya ditaklukkan dan pudar.
Apa pun kebajikan yang kami peroleh pada masa lampau, ayahnya dan diri saya,
Semoga menaklukkan kekuatan racun dan semoga putra kami terkasih tidak mati58.”
Ketika ibunya telah membuat pernyataan teguh seperti itu, Sama berguling ketika ia terbaring di sana. Kemudian ayahnya juga melakukan pernyataan teguh dengan kata-kata yang sama; dan ketika ia masih bicara, Sama berguling dan terbaring di sisi lain.
Kemudian dewi membuat pernyataan teguhnya. Guru dalam penjelasan mengucapkan syair-syair ini:
“Dewi yang tersembunyi dari pandangan di atas Gunung Gandhamadan
Melakukan pernyataan kebenaran teguh, oleh kewelasanan terhadap Sama;
’Di sini di gunung Gandhamadan telah lama saya menghabiskan hidupku sendirian,
Di kedalaman rimba tempat setiap pohon mengeluarkan wanginya sendiri,
Dan tidak satu pun penghuni bumi yang lebih saya kasihi,
Jika ini benar maka semoga kekuatan racun enyah dari pembuluh darahnya. ’
Sementara selagi digerakkan oleh kewelasan semua menyaksikan dengan teguh buah pernyataan mereka,
Lihatlah dalam pandangan mereka Sama bangkit, muda, indah, dan sehat seperti sebelumnya.”
Demikianlah kesembuhan Bodhisatta dari lukanya, pemulihan penglihatan kedua orang tuanya, dan kemunculan fajar, keempat keajaiban ini terjadi di pertapaan pada saat yang sama dengan kekuatan adibiasa dewi itu. Ayah dan ibu Sama girang tiada terkira menyaksikan mereka mendapatkan kembali penglihatan mereka, serta Sama sembuh kembali. Kemudian Sama mengucapkan syair ini:
“Saya adalah Sama-mu, selamat dan sehat, lihatlah saya di hadapanmu dan bersukacitalah:
Keringkan air matamu, dan janganlah menangis lagi, namun sambutlah saya dengan suara bahagia.
Selamat datang kepada Anda pula, raja perkasa, semoga keberuntungan senantiasa menantikan perintah Anda;
Anda adalah penguasa kami: beritahu kami apa yang paling Anda dambakan, kami siap melayani.
Tinduka, piyal, madhuka, buah-buahan terbaik kami bawakan untuk tamu kami,
Buah semanis madu bagi lidah, makanlah apa pun semoga buah kami menyenangkan Anda.
Di sini air sejuk, Baginda yang bajik, dibawa dari gua di bukit sebelah sana,
Dari aliran mata air gunung adalah yang terbaik memuaskan dahaga, jika Anda haus, minumlah sampai puas60″
Raja menyaksikan keajaiban ini juga berseru:
“Saya begitu terpukau dan takjub, ke mana hendak berpaling saya tidak tahu,
Sejam yang lalu saya melihat Anda wafat, namun kini berdiri di sini hidup dan sehat!”
Sama berpikir dalam hati, “Raja ini melihat aku sebagai yang mati, aku akan menjelaskannya kenapa aku masih hidup;” sehingga ia berkata:
“Pria memiliki semua kekuatannya, tanpa berpikir atau merasa melarikan diri,
Karena bengkak menghentikan gerakannya, hingga orang yang hidup mereka pikir telah mati.”
Kemudian ingin membawa raja ke dalam makna sejati segala hal, ia menambahkan dua syair untuk mengajarkannya Dhamma:
“Makhluk fana yang mematuhi Dhamma dan merawat orang tua mereka yang berada dalam kesulitan, para dewa akan mengamati bakti mereka dan datang mengobati penyakit mereka.
Makhluk fana yang mematuhi Dhamma dan merawat orang tua mereka yang berada dalam kesulitan, para dewa memuji perbuatan mereka dan di surga berikutnya mereka terberkahi.”
Raja, mendengar ini, berpikir dalam hati, “Ini keajaiban menakjubkan: hahkan para dewa menyembuhkan ia yang menyayangi orang tuanya ketika ia jatuh sakit; Sama ini sungguh melebihi keagunganku;” kemudian raja berkata:
“Saya makin takjub, ke arah mana saya berpaling saya tak bisa melihat,
Sama, kepada Anda saya pergi berlindung, Sama, jadilah perlindungan saya.”
Kemudian Bodhisatta berkata, “Raja, jika Anda ingin mencapai alam para dewa dan menikmati sukacita surgawi di sana, Anda harus mempraktikkan sepuluh kewajiban ini,” dan ia mengucapkan syair-syair mengenai mereka:
“Terhadap orang tua Anda yang paling pertama Anda harus memenuhi kewajiban Anda, raja khattiya;
Kewajiban terpenuhi dalam kehidupan kini akan kelak membawa Anda ke surga.
Terhadap anak-anak dan istri Anda, penuhilah kewajiban Anda, raja khattiya;
Kewajiban terpenuhi dalam kehidupan kini akan kelak membawa Anda ke surga.
Terhadap para sahabat dan menteri, prajurit Anda dengan aneka senjata mereka yang berbeda, kepada penduduk kota dan desa, kepada wilayah Anda dengan semua rakyatnya,
Kepada petapa, Brahmana, orang suci, kewajiban kepada burung dan hewan, wahai Raja,
Kewajiban terpenuhi dalam kehidupan kini akan kelak membawa Anda ke surga
Kewajiban terpenuhi membawa kebahagiaan, ya, Indra, Brahma, dan seluruh kumpulan mereka,
Dengan mengikuti kewajiban memenangkan kebahagiaan mereka: penuhilah kewajiban dengan segenap kekuatan.”
Bodhisatta, setelah menyatakan kepada raja sepuluh tugas seorang raja, memberinya bimbingan lebih lanjut, dan mengajarkannya lima latihan moral. Raja menerima ajaran ini dengan kepala membungkuk, dan setelah mengucapkan selamat tinggal dengan penuh hormat, ia pergi ke Benares, dan setelah memberikan banyak persembahan dan melakukan berbagai perbuatan bajik lainnya, meninggal dengan penghuni istananya sehingga menambah jumlah penghuni surga. Bodhisatta pun, bersama orang tuanya, setelah mencapai kemampuan adibiasa dan berbagai taraf meditasi penyerapan, pergi ke alam brahma.
Setelah pelajaran ini, Guru mengatakan, “Para bhikkhu, adalah kebiasaan sejak zaman tak terbilang bahwa yang bijaksana menyokong orang tua mereka.” Kemudian ia menyatakan kebenaran (setelah bhikkhu tersebut mencapai Buah Pemasuk Arus) dan mengidentifikasi Kelahiran: “Pada saat itu, raja adalah Ananda, dewi adalah Uppalavanna, Sakka adalah Anuruddha, ayah adalah Kassapa, ibu adalah BhaddakapilanT, dan Suvannasama adalah diriku sendiri.”
Kisah ini diceritakan oleh Guru di Jetavana, mengenai bhikkhu tertentu yang menyokong ibunya. Mereka menceritakan bahwa ada seorang saudagar kaya di Savatthi yang memiliki kekayaan delapan belas crore; dan ia memiliki seorang putra yang sangat dikasihi dan disayangi ayah dan ibunya. Suatu hari pemuda ini pergi ke serambi rumah, membuka jendela, dan melihat ke bawah jalan; dan ketika ia melihat keramaian besar pergi ke Jetavana dengan membawa wewangian dan kalung bunga di tangan mereka untuk mendengar pembabaran ajaran, maka ia berseru bahwa ia juga hendak ikut.
Maka setelah memerintahkan wewangian dan untaian bunga dibawa, ia pergi ke wihara, dan setelah membagikan baju, obat, minuman, dan lain-lain kepada persamuhan, lalu memberikan penghormatan pada Yang Penuh Berkah dengan wewangian dan untaian bunga, ia kemudian duduk di satu sisi. Setelah mendengarkan pembabaran, dan melihat konsekuensi buruk nafsu dan berkah yang timbul dari menjalani kehidupan suci, ketika persamuhan bubar, ia meminta penahbisan kepada Yang Penuh Berkah, namun ia diberitahu bahwa para Tathagata tidak menahbiskan siapa pun yang belum mendapatkan izin dari orang tuanya; maka ia pergi, mogok makan selama seminggu, dan akhirnya berhasil mendapatkan izin orang tuanya, ia kembali dan meminta penahbisan. Guru memanggil bhikkhu itu untuk menahbiskannya; dan setelah ditahbiskan ia mendapatkan banyak kehormatan dan perolehan; ia memenangkan hati para guru dan penahbisnya, dan setelah menerima tugas ia menguasai pembabaran dalam waktu lima tahun.
Kemudian ia berpikir dalam hati, “Di sini aku hidup terusik, ini tidak sesuai untukku,” maka ia menjadi gelisah untuk mencapai tujuan pencerahan; sehingga setelah mendapatkan bimbingan meditasi dari gurunya, ia pergi ke desa perbatasan dan berdiam dalam hutan, dan setelah memasuki jalan pencarian spiritual, ia gagal. Betapa pun kerasnya ia berjuang selama dua belas tahun untuk mendapatkan pencapaian khusus apa pun. Orang tuanya juga, seiring waktu berlalu, menjadi miskin karena mereka yang menyewakan tanah mereka atau membawakan barang dagangan untuk mereka, ketika mengetahui bahwa tidak ada putra atau saudara kandung dalam keluarga yang bisa menegakkan pembayaran, mereka merampas apa pun yang bisa mereka ambil dan melarikan diri sesuka hati, kemudian para pelayan dan pegawai mengambil emas dan uang dalam rumah dan melarikan diri, hingga pada akhirnya mereka berdua mengalami nasib buruk dan bahkan tidak memiliki guci untuk menuangkan air. Akhirnya, mereka menjual rumah mereka, dan menjadi tuna wisma, dan dalam penderitaan luar biasa, mereka berkelana meminta-minta makanan, memakai jubah potongan kain bekas dan membawa kepingan kendi tanah liat di tangan mereka.
Pada saat itu, seorang bhikkhu datang dari Jetavana menuju kediaman putranya; setelah bertukar salam dan, ketika ia duduk dengan tenang, ia pertama-tama bertanya dari mana ia datang; ketika mengetahui mereka tiba dari Jetavana ia menanyakan kesehatan Guru dan siswa-siswa utama, dan kemudian kabar akan orang tuanya, “Beritahu saya, Tuan, mengenai kabar keluarga pedagang ini dan itu di Savatthi.” “Sahabat, jangan menanyai saya soal berita mengenai keluarga itu.” “Mengapa tidak, Tuan?” “Mereka mengatakan bahwa ada seorang putra di keluarga itu, namun a telah menjadi petapa di bawah ajaran, dan sejak ia meninggalkan keduniawian, keluarga itu mengalami kejatuhan; dan saat ini kedua orang tua itu berada dalam keadaan paling menyedihkan dan meminta-minta.”
Ketika ia mendengar kata-kata bhikkhu itu, ia tidak bisa mempertahankan ketenangannya, namun mulai menangis penuh air mata, ketika bhikkhu lainnya menanyainya mengapa ia menangis, “Tuan,” ia menjawab, “Mereka adalah ayah dan ibu saya, saya adalah putra mereka.” “Sahabat, ayah dan ibu Anda telah mengalami kejatuhan karena diri Anda, pergilah dan rawatlah mereka.” “Selama dua belas tahun,” pikirnya sendiri, “Aku telah berjuang dan berupaya namun tidak pernah bisa mendapatkan jalan atau buahnya: aku pastilah tidak piawai; apa yang kuperbuat dengan kehidupan petapa? Aku akan menjadi perumah-tangga dan menyokong orang tuaku dan mendanakan kekayaanku, dan dengan demikian akhirnya ditakdirkan akan masuk surga.”
Maka setelah mengucapkan tekad untuk meninggalkan kediamannya di hutan kepada tetua itu, keesokan harinya ia pergi dan setelah perjalanan bertahap ia sampai ke wihara di belakang Jetavana tidak jauh dari Savatthi. Di sana ia menemukan dua jalan, satu membawa ke Jetavana, dan yang lainnya ke Savatthi. Ketika ia berdiri di sana, ia berpikir, “Apakah sebaiknya aku menemui orang tuaku dahulu atau menemui Buddha?” Kemudian ia merenung, “Pada masa lalu, aku melihat orang tuaku untuk waktu yang lama, namun sejak hari ini, aku akan jarang memiliki kesempatan melihat Buddha; aku akan pergi menemui Yang Tercerahkan Sempurna hari ini dan mendengarkan pembabaran, dan kemudian keesokan paginya aku akan menemui orang tuaku.” Maka ia meninggalkan jalan menuju Savatthi dan pada malam harinya sampai di Jetavana.
Pada hari itu juga saat senja, Guru, ketika Ia menerawang dunia, telah melihat potensi dari pemuda ini, dan ketika ia datang menemui-Nya, Beliau memuji keluhuran orang tua dalam Matiposaka-sutta. Ketika bhikkhu itu berdiri di ujung persamuhan para bhikkhu dan mendengarkan, ia berpikir, “Jika aku menjadi perumah-tangga aku bisa menyokong orang tuaku; namun Guru juga berkata, ’Seorang putra yang telah menjadi petapa bisa juga membantu’; Aku pergi tanpa menemui Guru, dan aku gagal dalam penahbisan yang tidak sempurna begini; kini aku akan menyokong orang tuaku sambil tetap menjadi petapa tanpa menjadi perumah-tangga.”
Maka ia mengambil mangkuk, mangkuk makanannya, dan bubur gandum, dan ia merasa bagaikan telah melakukan pelanggaran yang layak dikeluarkan dari persamuhan setelah berdiam sendirian dalam hutan selama dua belas tahun. Pada pagi harinya, ia pergi ke Savatthi dan ia merenung, “Apakah aku hendak mengambil bubur gandum dahulu atau melihat orang tuaku?”
Ia merenung bahwa tidak patut untuk mengunjungi mereka yang dalam keadaan miskin dan tangan kosong; maka pertama-tama ia mengambil bubur gandum baru kemudian pergi ke depan pintu rumah lama mereka. Ketika ia melihat mereka duduk di tembok seberang setelah meminta-minta makanan yang diberikan dalam bentuk sup, ia berdiri tidak jauh dari mereka dan ledakan kesedihan membuat matanya dipenuhi air mata. Mereka melihatnya namun tidak mengenalinya; kemudian ibunya, berpikir bahwa itu adalah seseorang yang meminta derma, berkata kepadanya, “Kami tidak memiliki apa pun yang pantas diberikan kepada Anda, mohon pergilah ke tempat lain.”
Ketika ia mendengar ibunya, ia menekan rasa duka yang memenuhi hatinya dan tetap berdiri tegak seperti sebelumnya dengan mata penuh air mata, kemudian ia dipanggil untuk kedua dan ketiga kalinya namun ia masih tetap berdiri tegak. Akhirnya, ayahnya berkata kepada ibunya, “Pergilah menemuinya; mungkinkah ini putramu?“ Ia bangkit dan menemuinya, mengenalinya, memeluk kakinya dan meratap, ayahnya juga turut berduka bersamanya dalam suara teriakan ratapan keras. Melihat orang tuanya ia tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri, air matanya luruh; kemudian, larut dalam perasaannya, ia berkata, “Jangan berduka, saya akan menyokong Anda;” setelah menghibur mereka dan memberikan mereka makan bubur gandum, duduk di satu sisi, ia pergi lagi dan meminta-minta makanan, dan memberinya kepada mereka, kemudian ia pergi dan meminta makanan untuk dirinya sendiri, kemudian setelah selesai makan, ia berdiam di tempat yang tidak jauh.
Dari sejak hari itu, ia menjagai orang tuanya dengan cara ini; ia memberikan semua derma makanan yang ia terima kepada mereka, bahkan pembagian makanan pada hari uposatha, dan ia pergi melakukan pindapata pada waktu yang berbeda untuk derma makanannya sendiri, dan makan dari mereka; dan apa pun makanan yang ia terima sebagai bekal untuk musim hujan ia berikan kepada mereka, sementara ia mengambil pakaian mereka yang bekas dan mewarnai mereka dan menggunakannya sendiri: namun hanya sedikit hari ketika ia mendapatkan makanan dan banyak hari ketika ia tidak mendapatkan apa pun, dan jubah luar dan dalamnya menjadi sangat kasar.
Ketika ia menjagai orang tuanya, ia berangsur-angsur menjadi sangat pucat, kurus, dan sahabat-sahabat dan rekan-rekannya berkata kepadanya, “Kulit Anda dahulunya cerah, namun kini wajah Anda maka sangat pucat, apa Anda sakit?” Ia menjawab, “Saya tidak sakit, namun masalah telah menimpa saya,” dan ia memberitahu mereka seluruh kisahnya. “Awuso,” kata mereka, “Guru tidak mengizinkan kita menyia-nyiakan derma makanan dari umat, engkau melakukan perbuatan tidak benar dalam memberikan kepada perumah-tangga derma persembahan dari umat.” Ketika ia mendengar ini ia merasa sangat malu. Namun tidak puas dengan ini, para bhikkhu pergi dan menceritakannya kepada Guru, dengan mengatakan, “Bhikkhu Anu telah menyia-nyiakan derma makanan pemberian umat dan menggunakannya untuk memberi makan perumah-tangga.”
Guru memanggil pemuda itu dan berkata kepadanya, “Benarkah Anda, seorang bhikkhu, mengambil derma makanan umat dan menyokong perumah-tangga dengan derma makanan itu?” Ia mengakui bahwa itu benar. Kemudian Guru, ingin memuji apa yang telah ia lakukan dan menyatakannya sebagai perbuatan yang dahulu ia sendiri lakukan, mengatakan, “Ketika Anda menyokong perumah-tangga, siapakah perumah-tangga yang Anda sokong?” “Orang tua saya,” jawabnya. Kemudian Guru, ingin mendorong semangatnya berkata lebih lanjut, “Sungguh baik, sungguh baik” hingga tiga kali; “Anda berada dalam jalan yang telah Saya sendiri lakukan sebelum diri Anda: Saya pada masa silam, ketika melakukan pindapata, telah menyokong orang tua Saya.” Bhikkhu itu kemudian merasa semangatnya bangkit. Atas permintaan para bhikkhu, Guru, untuk membuat perbuatan silamnya diketahui, menceritakan kepada mereka legenda dari masa silam.
Suatu ketika, tidak jauh dari Benares di tepi sungai, terdapat sebuah desa pemburu di sebelah hulu dan desa lainnya di sebelah hilir; lima ratus keluarga bermukim di masing-masing desa. Kedua kepala pemburu yang bermukim di kedua desa adalah sahabat erat; dan mereka membuat janji pada masa muda mereka, jika salah satu dari mereka memiliki anak perempuan dan yang satu anak laki-laki, mereka akan menikahkan pasangan itu bersama.
Seiring waktu seorang putra terlahir untuk kepala desa di desa di sebelah hulu, dan anak perempuan kepada kepala desa di sebelah hilir; kepada anak yang pertama diberi nama Dukulaka saat ia lahir terbungkus dalam kain indah, sedangkan anak keda diberi nama Parika karena ia lahir di sebelah hilir sungai. Mereka berdua indah dilihat dan memiliki kulit bagaikan dari emas; dan meski mereka berdua lahir di desa para pemburu, mereka tidak pernah melukai makhluk hidup apa pun.
Ketika ia berusia enam belas tahun, orang tuanya berkata kepada Dukulaka, “Putraku, kami akan memberimu pasangan;” namun ia, makhluk murni yang baru datang dari alam brahma, menutup kedua telinganya dan berkata, “Saya tidak ingin tinggal dalam rumah, jangan sebutkan hal-hal seperti itu;” dan meski mereka bicara tiga kali dengan jawaban yang sama, ia tidak menunjukkan minat untuk menikah. Parika pun, ketika orang tuanya bertanya kepadanya, “Putra sahabat kami tampan dan memiliki kulit seperti emas, kami akan memberikanmu kepadanya,” membuat jawaban yang sama dan menutup kedua telinganya, karena ia juga datang dari alam brahma.
Dukulaka diam-diam mengirimkan pesan kepada Parika, “Jika kamu ingin hidup sebagai istri dengan suaminya, pilihlah keluarga lain, karena saya tidak memiliki hasrat demikian,” dan Parika juga mengirimkan pesan yang serupa kepadanya. Namun betapa pun tidak inginnya mereka, orang tua mereka tetap merayakan pernikahan. Namun mereka berdua hidup terpisah seperti brahma, tanpa pernah turun ke samudra nafsu indra. Dukulaka tidak pernah membunuh ikan atau rusa, ia bahkan tidak pernah menjual ikan yang dibawa untuknya. Akhirnya kedua orang tuanya berkata kepadanya, “Meski engkau dilahirkan dalam keluarga pemburu engkau tidak suka berdiam dalam rumah, ataupun membunuh makhluk hidup apa pun; apa yang akan engkau lakukan?” “Jika kalian mengizinkan saya pergi,” jawabnya, “Saya akan menjadi petapa pada hari ini juga.” Orang tuanya langsung memberikan izin kepada mereka.
Setelah mengucapkan selamat tinggal kepada orang tuanya, pasangan ini pergi menyusuri tepian Sungai Ganga dan memasuki wilayah Himavat, tempat Sungai Migasammata mengalir dari gunung dan memasuki Ganga; kemudian, meninggalkan Sungai Ganga, mereka menyusuri Sungai Migasammata. Saat itu istana Sakka menjadi panas. Sakka, setelah memastikan alasannya, memerintahkan Vissakamma, ’’Wahai Vissakamma, dua Bodhisatta telah meninggalkan keduniawian dan memasuki Himavat, kita harus menemukan tempat kediaman untuk mereka, pergi dan buatkanlah mereka gubuk daun dan sediakan semua kebutuhan untuk kehidupan petapa seperempat mil dari Sungai Migasammata, lalu kembalilah kemari.”
Maka Vissakamma pergi dan menyiapkan semua yang dijabarkan dalam kisah kelahiran Mugapakkha48, kemudian kembali ke kediamannya sendiri, setelah mengusir semua hewan liar yang menyebabkan suara tidak menyenangkan, dan membuat jalan di dekat sana. Pasangan itu melihat jalanan setapak dan mengikutinya hingga ke pertapaan. Ketika Dukulaka masuk ke pertapaan dan melihat semua kebutuhan untuk kehidupan pertapaan tersedia, ia berseru, “Ini adalah hadiah untuk kita dari Sakka;” sehingga setelah melepaskan pakaian luarnya, dan mengenakan jubah dari kulit kayu merah dan menyelempangkan kulit rusa hitam di punggungnya, dan mengikat rambutnya menjadi satu, dan memakai baju petapa, dan setelah memberikan penahbisan kepada Parika, ia berdiam di sana dengannya, melatih semua perasaan cinta kasih yang termasuk dalam alam nafsu indra. Melalui pengaruh perasaan cinta kasih mereka semua hewan dan unggas hanya merasakan cinta kasih satu sama lain, tidak satu pun yang melukai satu sama lain. Parika membawakan air dan makanan, menyapu pertapaan, dan melakukan semua yang harus dikerjakan, dan keduanya mengumpulkan berbagai jenis buah dan memakan mereka, kemudian memasuki gubuk daun masing-masing, dan hidup di sana menjalani peraturan kehidupan petapa. Sakka memenuhi semua kebutuhan mereka.
Suatu hari, Sakka melihat adanya bahaya pada masa depan yang mengancam mereka, “Mereka akan kehilangan penglihatan mereka,” maka ia menemui Dukulaka; dan setelah duduk di satu sisi, setelah memberi hormat padanya, ia berkata, “Bhante, saya melihat bahaya mengancam Anda pada masa depan, Anda harus memiliki putra yang merawat Anda: ikutilah jalan keduniawian.” “Wahai Sakka, mengapa Anda menyebutkan hal seperti itu? Bahkan ketika kami tinggal dalam rumah, kami jijik melakukan semua hubungan intim; memangnya kami bisa melakukannya sekarang setelah datang ke hutan ini, dan menjalani kehidupan pertapaan?”
“Baiklah, jika engkau tidak mau melakukan apa yang saya katakan, maka pada musim yang tepat sentuhlah perut Parika dengan tangan Anda.” Dukulaka berjanji melakukannya; dan Sakka, setelah memberi penghormatan padanya, kembali ke kediamannya sendiri. Bodhisatta memberitahukan hal ini kepada Parika, dan pada saat yang tepat Dukulaka menyentuh perutnya dengan tangannya. Lalu Bodhisatta turun dari alam surga dan memasuki rahimnya dan terkandung di sana. Pada akhir bulan ke sepuluh ia melahirkan putra yang memiliki kulit keemasan, dan mereka memberinya nama Suvannasama. (Saat itu para perempuan Kinnari di gunung lain merawat Parika.) Kedua orang tua itu membasuh bayi dan membaringkannya di gubuk daun dan pergi mengumpulkan berbagai jenis buah. Selagi mereka pergi, para kinnara mengambil anak itu dan memandikannya dalam gua mereka. Lalu pergi ke puncak gunung, mereka mendandaninya dengan berbagai macam bunga, dan membuat tanda-tanda petapaan dengan pewarna kuning, merah, dan warna-warna lainnya, kemudian mengembalikannya ke pembaringan di gubuk; dan ketika Parika kembali ke rumah, ia menyusuinya.
Mereka menyayanginya ketika ia bertumbuh tahun demi tahun, dan ketika ia berusia enam belas tahun, mereka biasanya meninggalkannya di gubuk dan pergi keluar mengumpulkan akar-akaran dan buah-buahan. Bodhisatta merenungi, “Bahaya suatu hari pasti akan menimpa;” ia biasanya memperhatikan jalan yang mereka lewati. Suatu hari, mereka tengah kembali ke rumah pada waktu malam setelah mengumpulkan akar-akaran dan buah, tidak jauh dari pertapaan, ketika awan besar muncul. Mereka berlindung di akar sebuah pohon dan berdiri di sebuah bukit semut; dan dalam bukit semut ini hiduplah seekor ular. Ketika air dari tubuh mereka menetes, bau keringat terbawa serta ke lubang hidung ular ini, dan karena marah, ia mengembuskan napasnya dan mengenai mereka selagi mereka berdiri di sana, dan keduanya menjadi buta dan tak bisa melihat satu sama lain.
Dukulaka memanggil ke Parika, “Mataku lenyap, aku tak bisa melihatmu;” dan Parika pun mengeluhkan hal yang sama. “Kita tidak bisa hidup lagi,” kata mereka, dan mereka berjalan kian kemari, meratap dan tidak bisa menemukan jalan. “Perbuatan jahat lampau apa yang telah kami lakukan?” pikir mereka.
Pada masa lalu, mereka pernah lahir dalam keluarga tabib, dan tabib itu merawat orang kaya yang menderita penyakit mata, namun pasien itu tidak membayar uang jasa pengobatan; dan karena marah, tabib ini berkata kepada istrinya, “Apa yang akan kita lakukan?” Istrinya, karena juga marah, berkata, “Kita tidak menginginkan uangnya; mari membuat ramuan dan menyebutnya sebagai obat, dan membutakan salah satu matanya dengan ramuan ini.” Tabib itu setuju dan menuruti nasihatnya, dan karena perbuatan jahat ini, kedua mata mereka sekarang buta.
Kemudian Bodhisatta merenungi, “Pada lain hari kedua orang tuaku selalu telah pulang pada jam ini, aku tidak tahu apa yang telah terjadi pada mereka. Aku akan pergi menemui mereka;” maka ia pergi menemui mereka dan bersuara. Mereka mengenali suara itu, dan menjawab kembali karena kasih sayang mereka akan anak mereka, “Wahai Sama, ada bahaya di sini, jangan mendekat.” Maka ia mengulurkan kepada mereka sebuah galah panjang dan memberitahu mereka untuk berpegangan di ujungnya, dan mereka setelah berpegangan erat pada galah itu, sampai kepadanya. Kemudian ia berkata kepada mereka, “Bagaimana sampai Anda kehilangan penglihatan?” “Ketika hujan kami berlindung sejenak di akar sebuah pohon dan berdiri di atas bukit sarang semut, dan itu membuat kami buta.” Ketika ia mendengarnya, ia mengetahui apa yang telah terjadi. “Pasti ada seekor ular di sana, dan dalam amarahnya ular itu mengeluarkan napas beracun;” dan ketika ia melihat orang tuanya, ia menangis dan juga tertawa.
Kemudian mereka bertanya kenapa ia menangis dan juga tertawa. “Saya menangis karena penglihatan Anda hilang selagi masih muda, namun saya tertawa ketika memikirkan bahwa saya yang akan sekarang merawat kalian; janganlah berduka, saya akan merawat Anda.”
Maka ia membawa mereka kembali ke pertapaan dan mengikatkan tali di semua penjuru, untuk membedakan gubuk siang dan malam, koridor, dan semua kamar lainnya; dan dari sejak hari itu, ia membuat mereka tetap tinggal dalam pertapaan, sementara dirinya mengumpulkan akar-akaran dan buah-buahan hutan, dan pada pagi hari menyapu kamar mereka, mengambil air dari Sungai Migasammata, dan menyiapkan makanan, air dan sikat untuk membasuh mulut mereka, dan memberikan segala jenis buah manis, dan setelah membersihkan mulut mereka, ia makan makanannya sendiri. Setelah makan, ia memberikan penghormatan pada orang tuanya, dan dikelilingi serombongan rusa, ia pergi ke dalam hutan untuk mengumpulkan buah. Setelah mengumpulkan buah bersama sekelompok kinnara di gunung, ia kembali pada malam hari, dan setelah mengambil air dalam jambangan dan memanaskannya, ia memberikan air untuk mandi atau mencuci kaki kepada mereka, kemudian membawa jambangan penuh arang panas dan menguapi tubuh mereka, dan memberikan segala jenis buah ketika mereka duduk, dan pada akhirnya baru makan sendiri, lalu menyingkirkan apa yang tersisa. Dengan cara ini ia merawat orang tuanya.
Saat itu seorang raja bernama Piliyakkha berkuasa di Benares. Ia dalam keinginan besarnya untuk mendapat daging rusa, telah memercayakan kerajaan kepada ibunya, dan membawa lima jenis senjata, raja ini masuk ke daerah Himavat, dan di sana ia berburu rusa dan makan daging mereka, hingga ia sampai ke Sungai Migasammata, kemudian sampai ke tempat Sama biasanya mengambil air. Melihat ada jejak kaki rusa, ia mendirikan tendanya dari ranting-ranting sewarna permata, dan mengambil busur dan memasang anak panah beracun, ia bersembunyi menunggu mereka.
Pada malam hari, Bodhisatta setelah mengumpulkan buah dan menaruhnya di pertapaan, memberikan salam kepada orang tuanya dan berkata, “Saya akan mandi dan pergi mengambil air,” ia mengambil jambangan, dan dilelilingi rombongan rusa, memilih dua rusa dari rombongannya, dan menaruh jambangan di punggung mereka, menggembalakan mereka dengan tangannya hingga sampai ke tempat ia mandi.
Raja di tempat pernaungannya melihatnya datang dan berucap sendiri, “Sepanjang waktu aku telah berkelana di sini, belum pernah aku bertemu dengan manusia lain; apakah ia dewa atau naga? Jika aku pergi menemuinya, ia akan terbang ke langit jika ia dewa, dan akan tenggelam ke dalam bumi jika ia naga. Namun aku tidak akan terus tinggal di Himavat ini, dan suatu hari aku akan kembali ke Benares, dan menteri-menteriku akan bertanya apakah aku tidak melihat hal-hal menakjubkan baru dalam pengelanaanku di Himavat. Jika aku memberitahu mereka bahwa aku melihat makhluk seperti ini, dan mereka kemudian menanyaiku apa namanya, mereka akan mencelaku jika aku terpaksa menjawab bahwa aku tidak tahu; maka aku akan melukai dan melumpuhkannya, kemudian menanyainya.”
Pada saat itu, para rusa turun lebih dahulu dan minum air, kemudian keluar dari tempat mandi; dan kemudian Bodhisatta, turun perlahan-lahan ke dalam air seperti tetua agung yang benar-benar piawai dalam peraturan latihan, dan hendak mendapatkan keheningan mutlak, mengenakan jubah kulit katunya, dan mengenakan kulit rusanya di pundak, mengangkat jambangan airnya, mengisinya, dan menaruhnya di bahu sebelah kiri.
Saat itu raja, melihat waktunya telah tepat untuk menembak, melepaskan panah beracun dan melukai Bodhisatta di sisi kanan tubuhnya, dan panah itu menembus keluar dari sisi kiri tubuhnya. Pasukan rusa, melihat ia terluka, melarikan diri ketakutan, namun Suvannasama, meski terluka, menyeimbangkan jambangan air di bahunya sedapat mungkin, dan memulihkan kembali batinnya, perlahan-lahan ia keluar dari air. Ia menggali pasir dan menumpuknya di satu sisi, kemudian menaruh kepalanya ke jurusan pertapaan orang tuanya, ia membaringkan dirinya seperti gambar emas di atas pasir yang memiliki warna seperti piring perak. Kemudian merenungi ingatannya ia merenungi semua situasi; “Aku tidak memiliki musuh di daerah Himavat, dan aku tidak menaruh kebencian terhadap siapa pun.”
Ketika ia mengucapkan kata-kata ini, darah mengalir keluar dari mulutnya, dan tanpa melihat raja, ia mengucapkan syair ini kepadanya:
“Ketika saya mengisi jambangan air, siapakah yang dari persembunyiannya telah melukai saya, Brahmana, khattiya, atau vessa, siapakah penyerang diri saya yang tidak diketahui?”
Kemudian ia menambahkan syair lainnya untuk menunjukkan betapa tidak berharga dagingnya sebagai makanan:
“Anda tidak bisa mengambil daging saya sebagai makanan, atau bisa menggunakan kulit saya; mengapa Anda pikir saya layak menjadi sasaran Anda; apakah perolehan yang Anda pikir akan dapatkan?”
Dan ia kembali menanyakan namanya, dan sebagainya:
“Siapakah Anda, katakan putra siapakah Anda? Dan dengan nama apakah seharusnya saya panggil diri Anda? Mengapa Anda bersembunyi di sana? Jawablah pertanyaan saya dengan jujur.”
Ketika raja mendengar hal ini, ia merenung dalam hati, “Meski ia telah jatuh terluka oleh panah beracunku, namun ia tidak mengutuk atau menyalahkanku; ia berbicara padaku dengan lembut seakan menghibur hatiku, aku akan menemuinya;” maka ia beranjak dan berdiri di dekatnya, dan berucap:
“Di antara orang Kasi, saya adalah penguasanya, nama saya Raja Piliyakkha; dan di sini, meninggalkan singgasana saya karena tamak akan daging, saya berkeliaran memburu menjangan hutan. Piawai dalam ilmu memanah, tegar hati saya tidak mudah digoyahkan; tidak ada naga yang lolos dari anak panah saya sekali ia masuk ke dalam jangkauan panah saya.”
Memuji kepiawaiannya sendiri, ia kemudian bertanya siapa nama dan keluarga Bodhisatta:
“Namun siapakah Anda? Putra siapakah Anda? Bagaimana Anda dipanggil? Nyatakan nama Anda; nyatakan nama ayah dan keluarga Anda, beritahukan nama ayah dan nama Anda sendiri.”
Bodhisatta merenung, “Jika aku mengatakan kepadanya aku adalah dewa atau kinnara, atau aku adalah khattiya, atau ras lainnya, ia akan memercayaiku; namun orang hanya bisa mengucapkan kebenaran,” maka ia berkata:
“Ketika hidup, mereka memanggil saya dengan nama Sama, saya adalah putra pemburu yang diasingkan;
Namun terbaring di tanah ini dalam derita menyedihkan Anda menyaksikan saya.
Ditembus panah beracun milik Anda, saya berbaring tanpa daya seperti rusa lainnya,
Menjadi korban kepiawaian mematikan Anda, bermandikan darah saya menderita di sini.
Panah Anda telah menembus tubuh, saya memuntahkan darah bersama setiap napas,
Namun, dalam keadaan lemah dan lemas, saya bertanya kepada Anda, mengapa dari persembunyian Anda menginginkan kematian saya?
Anda tidak bisa mengambil daging saya untuk makanan, atau beralih mengambil kulit saya; mengapa Anda pikir saya layak menjadi sasaran Anda; apakah perolehan yang Anda pikir akan Anda dapat?”
Ketika raja mendengar hal ini, ia tidak mengucapkan kebenaran sejatinya, namun mengarang kisah palsu dan berkata:
“Seekor rusa tiba dalam jangkauan panah saya, saya pikir ia akan menjadi buruan saya,
Namun melihat diri Anda, rusa itu melarikan diri ketakutan, saya tidak memiliki pemikiran amarah terhadap diri Anda.”
Kemudian Bodhisatta menjawab, “Apa kata Anda, wahai Baginda? Di seluruh Himavat ini tak ada rusa yang melarikan diri ketika melihat saya;”
“Sejak tahun-tahun pertama saya mulai bisa berpikir, sampai sejauh ingatan saya yang paling awal,
Tidak ada rusa atau hewan buruan yang melarikan diri ketika berjumpa dengan saya.
Sejak saya pertama memakai jubah kulit kayu dan meninggalkan masa kecil saya,
Tidak ada rusa atau hewan buruan yang melarikan diri ketika berjumpa dengan saya.
Bahkan, makhluk halus berwajah murung adalah sahabat saya, yang berkeliaran dengan saya di bawah rindang hutan ini,
Mengapa rusa ini, seperti kata Anda, ketika melihat saya berlari ketakutan?”
Ketika raja mendengar ini, ia merenung dalam hati, “Aku telah melukai makhluk tak bersalah ini dan mengucapkan kebohongan, aku kini akan mengaku kebenaran.” Maka ia mengatakan:
“Sama, tidak ada rusa yang menghadang Anda di sana, mengapa saya harus mengucapkan kebohongan yang tidak perlu?
Saya terkuasai kemarahan, ketamakan, dan menembakkan anak panah itu, sayalah yang melakukannya.”
Kemudian, ia berpikir lagi, “Suvannasama tidak mungkin berdiam sendirian di hutan ini, sanak saudaranya tidak diragukan lagi hidup di sini; aku akan menanyai mengenai mereka.” Maka ia mengucapkan syair:
“Dari mana Anda datang pagi ini, sahabat, siapa yang meminta Anda membawa jambangan air dan mengisinya dari tepian sungai dan memanggulnya kembali demikian jauh?”
ketika mendengar ini, Bodhisatta merasakan perasaan demikian sedih dan mengucapkan syair sambil darah mengalir dari mulutnya:
“Orang tua saya hidup di hutan sebelah sana, buta dan bergantung pada sokongan saya,
Demi mereka saya datang mengisi jambangan air di tepian sungai.”
Kemudian ia melanjutkan, meratapi kondisi mereka:
“Hidup mereka hanya tersisa percikan kecil50, persediaan makanan mereka hanya paling tersisa seminggu,
Tanpa air yang saya bawa, buta dan lemah, tanpa daya, mereka akan mati.
Saya tidak takut akan rasa sakit kematian, kematian adalah takdir bersama semua makhluk;
Namun tidak akan pernah lagi saya lihat wajah ayah saya, ini yang membuat hati saya berduka51.
Lama, dan lama sekali, kala sedih dan melelahkan ibu saya akan menanggung dukanya,
Pada tengah malam dan pada fajar air matanya akan mengalir seperti sungai52.
Lama, dan lama sekali, kala sedih dan melelahkan ayah saya akan menanggung dukanya,
Pada tengah malam dan pada fajar air matanya akan mengalir seperti sungai.
Mereka akan pergi berkelana di hutan dan mengeluh mengenai putra mereka yang terlambat datang,
Masih mengharap mendengar langkah atau merasakan sentuhan penghiburan saya, dengan sia-sia.
Pemikiran ini bagaikan anak panah kedua yang menembus lebih dalam dari sebelumnya,
Bahwa saya, sungguh sayang, terbaring sekarat di sini, ditakdirkan tak bisa melihat wajah mereka lagi.”
Raja, ketika mendengar ratapannya, berpikir dalam hati, “Pemuda ini telah merawat orang tuanya dengan bakti dan pengabdian luar biasa, hingga bahkan kini di tengah rasa sakitnya ia hanya memikirkan mereka, aku telah berbuat jahat terhadap makhluk yang demikian suci, bagaimana aku bisa menghiburnya? Ketika aku kelak menemukan diriku dalam neraka, apa gunanya kerajaan bagiku? Aku akan merawat ayah dan ibunya seperti ia merawat mereka; sehingga kematiannya tidak akan membawa petaka bagi mereka.”
Kemudian ia mengucapkan tekadnya dalam syair berikut:
“Wahai Sama yang berwajah luhur, jangan biarkan batin Anda tertekan putus asa,
Saksikan saya sendiri akan melayani orang tua Anda dalam duka rindu mereka.
Saya piawai dalam memanah, janji saya adalah jaminan luhur,
Saya akan menjadi pengganti Anda dan merawat orang tua Anda di hutan.
Saya akan mencari bangkai rusa, akar-akaran, dan buah untuk memenuhi kebutuhan mereka;
Saya akan mengabdikan diri saya melayani mereka, menjadi pelayan sejati rumah mereka.
Di manakah dalam hutan mereka berada? Beritahu saya, Sama, karena saya berikrar
Saya akan melindungi dan merawat mereka seperti yang engkau telah lakukan sendiri hingga kini.”
Bodhisatta menjawab, “Sungguh baik, Baginda, jika Anda merawat mereka,” maka ia menunjukkan jalan kepadanya:
“Ke tempat kepala saya terbaring ada jalan sejauh dua ratus panjang busur melalui pepohonan,
“Jalan ini akan membawa Anda ke gubuk orang tua saya, pergilah, rawat mereka jika Anda bersedia.”
Setelah menunjukkan jalan dan menanggung rasa sakit hebat dengan sabar dalam rasa cintanya akan orang tuanya, ia melipat tangannya dengan penuh hormat, lalu membuat permohonan terakhir agar raja mau merawat mereka:
“Hormat saya pada Anda, Raja Kasi, karena Anda akan menempuh jalan Anda;
Orang tua saya buta dan tanpa daya, saya mohon lindungi dan rawatlah mereka berdua.
Hormat saya pada Anda, Raja Kasi, saya merangkapkan tangan saya dengan hormat,
Mohon berikan pesan atas nama saya seperti yang saya katakan kepada Anda kepada orang tua saya.”
Raja menerima kepercayaan ini, dan setelah Bodhisatta memberikan pesan terakhirnya, ia tidak sadarkan diri. Menjelaskan hal ini, Guru mengatakan:
“Ketika Sama yang berwajah luhur, setelah mengucapkan kata-kata ini kepada raja,
Lemas karena racun anak panah, ia terbaring tak sadarkan diri bagaikan telah mati.”
Sampai saat ketika ia mengucapkan kata-kata ini, Bodhisatta mengucapkannya bagaikan orang yang terengah-engah; namun di sini kata-katanya terputus, seakan-akan tubuhnya, jantungnya, batin, serta daya hidupnya telah secara bertahap dipengaruhi oleh kejinya racun53, mulut dan matanya tertutup, tangan dan kakinya menjadi kaku, dan seluruh tubuhnya basah oleh darah. Raja berseru, “Sampai saat ini ia masih bicara kepadaku, apa yang tiba-tiba menghentikan tarikan dan hembusan napasnya? Fungsi tubuh ini sekarang telah berhenti, tubuhnya menjadi kaku, tentunya Sama kini wafat;” dan karena tidak mampu mengendalikan rasa sedihnya, ia memukuli kepalanya dengan tangannya dan meratap dengan suara keras.
Di sini, Guru, untuk membuat lebih jelas, mengucapkan syair ini:
“Dengan penuh sesal raja meratap, ’Saya tidak tahu hingga ini terjadi
Bahwa saya hams menua atau mati, kini, sungguh sayang, saya terlalu menyadarinya.
Semua manusia adalah tidak langgeng, kini saya menyadari; karena bahkan Sama harus mati, yang memberikan nasihat bajik hingga saat terakhirnya, ia meninggal dalam kesengsaraan;
Neraka adalah takdir saya yang pasti, hingga orang suci terbunuh, terbaring tak bisa lagi bicara di sana:
Dalam semua desa yang saya lalui, semua orang dengan satu suara akan menyatakan saya bersalah.
Namun dalam rimba sendirian dan tak berpenduduk, siapakah yang akan mengetahui nama saya?
Di padang kesunyian ini siapa yang akan mengingatkan saya akan kesalahan saya?’”
Saat itu, putri dewa bernama BahusodarT, yang bermukim di gunung Gandhamadana dan pernah menjadi ibu kandung Bodhisatta dalam tujuh kehidupan sebelum ini, terus-menerus memikirkannya dengan kasih sayang seorang ibu; namun pada hari itu, dalam penikmatan akan sukacita surgawinya ia tidak mengingatnya seperti biasa; dan teman-teman dewi itu hanya mengatakan bahwa ia telah pergi ke pertemuan para dewa [sehingga tetap diam saja],
Tiba-tiba dewi ini memikirkan Bodhisatta pada saat itu, ketika Bodhisatta tak sadarkan diri, dan ia berkata kepada dirinya, “Apa yang terjadi pada putraku?” dan kemudian ia melihat Raja Piliyakkha melukainya dengan panah beracun di tepian Sungai Migasammata, sehingga Bodhisatta terbaring di tepian sungai, sementara raja meratap dengan suara keras.
“Jika saya tidak mendatanginya, putraku Suvannasama akan mati di sana, dan raja akan patah hati, dan orang tua Sama akan mati kelaparan dan kehausan. Namun jika aku ke sana, raja akan membawa jambangan air itu, pergi menemui orang tua Sama, dan setelah mendengar kata-kata mereka, ia akan membawa mereka menemui putra mereka, dan mereka akan membuat pernyataan kebenaran yang akan menaklukkan racun dalam tubuh Sama, dan putraku kemudian akan mendapatkan kembali nyawanya, dan orang tua mereka meraih kembali penglihatan mereka, dan raja, setelah mendengar bimbingan Sama, akan pergi dan melakukan derma besar dan ditakdirkan masuk ke surga; maka aku akan segera ke sana.” Demikian ia pergi, dan berdiri tanpa terlihat di angkasa, di tepian Sungai Migasammata, ia berbicara kepada raja.
Di sini Guru, untuk menjelaskannya, mengucapkan syair ini:
“Sang dewi, tersembunyi dari pandangan di Gunung Gandhamadan,
Mengucapkan syair ini dalam telinga raja, digerakkan oleh rasa kasihan kepadanya;
“Perbuatan jahat telah Anda lakukan, besar rasa bersalah yang Anda tanggung;
Orang tua dan anak semuanya tanpa salah, sebatang anak panah Anda telah membunuh ketiganya;
Marilah, saya akan beritahu bagaimana menemukan perlindungan dari rasa bersalah Anda dan menjadi tenang;
Rawatlah pasangan buta dalam hutan itu, sehingga batin Anda yang bersalah bisa terberkahi.’”
Ketika raja mendengar kata-katanya, ia memercayai apa yang dewi itu katakan, bahwa, jika ia pergi dan menyokong ayah dan ibu Sama, ia akan mendapatkan surga; maka ia membuat tekad, “Apa gunanya kerajaan bagiku? Aku akan pergi dan membaktikan diriku untuk merawat mereka.” Setelah menangis keras ia menaklukkan kesedihannya, dan mengira Sama memang telah meninggal, ia memberikan hormat pada tubuhnya dengan semua jenis bunga, memercikinya dengan air, dan tiga kali mengelilinginya dengan sisi kanan tubuhnya menghadapnya, dan bersujud di empat sisi yang berbeda. Kemudian ia mengambil jambangan yang telah terberkahi olehnya, mengalihkan wajahnya ke selatan, dan berjalan dengan hati yang berat.
Di sini Guru menambahkan syair penjelasan ini:
“Setelah tangisan pilu, meratapi pemuda yang tidak beruntung,
Raja mengambil jambangan air dan menuju ke selatan.” Berkat keperkasaannya, raja mengambil jambangan air dan dengan penuh tekad menapaki jalan menuju pertapaan, akhirnya mencapai pintu gubuk Dukulaka yang bijak. Orang bijak itu, tengah duduk di dalam, mendengar suara langkah kaki mendekat. Ia merenung dengan penuh keraguan, ia mengucapkan dua baris kalimat ini:
“Milik siapakah langkah kaki yang kudengar ini? Ada orang mendekat kemari;
Ini bukanlah suara langkah Sama, siapakah Anda, mohon beritahu saya, Tuan.”
Ketika raja mendengarnya, ia berpikir dalam hati, “Jika aku memberitahu dirinya bahwa aku telah membunuh putranya dan tidak menunjukkan sifat rajaku, mereka akan marah dan bicara kasar kepadaku, kemudian amarahku akan bangkit terhadap mereka, dan saya akan berbuat kasar kepada mereka, dan ini akan menjadi perbuatan salah; namun tidak ada seorang pun yang tidak merasa takut ketika mendengar bahwa yang datang adalah raja. Karena itu aku akan mengungkapkan jati diriku kepada mereka;” maka ia menaruh jambangan air itu di tempatnya, dan berdiri di depan gubuk, ia berkata:
“ Di antara orang Kasi saya adalah penguasanya, nama saya Raja Piliyakkha; dan di sini, meninggalkan singgasana saya karena tamak akan daging, saya berkeliaran memburu menjangan hutan. Piawai dalam ilmu memanah, tegar hati saya tidak mudah digoyahkan; tidak ada naga yang lolos dari anak panah saya sekali ia masuk ke dalam jangkauan panah saya.”
Orang bijak itu memberikan salam ramah kepadanya, dan menjawab:
“Selamat datang, Baginda, sungguh kesempatan baik membawa Anda kemari:
Perkasa dan berjaya Anda; mohon beritahu urusan apakah yang membawa Anda kemari?
Terbaik yang kami miliki hanya daun tindhook dan piyal, wahai Raja, makanlah,
Dan air sejuk dari gua tinggi yang tersembunyi di bukit,
Wahai penguasa, ambillah, minumlah jika Anda suka.”
Ketika raja mendengar sambutannya, ia berpikir dalam hati, “Tidak akan patut jika aku langsung memberitahu mereka bahwa aku baru membunuh putranya; aku akan bicara dengannya seakan-akan aku tidak tahu apa-apa dan baru kemudian memberitahunya;” maka ia berkata kepadanya:
“Bagaimana orang buta bisa hidup di hutan? Buah-buah ini, siapa yang membawakannya ke pintu Anda?
Ia pasti orang yang memiliki penglihatan baik, yang mengumpulkan tumpukan beraneka macam ini.”
Orang tua itu mengulang dua syair untuk menunjukkan kepada raja bahwa ia dan istrinya bukan yang mengumpulkan buah itu, melainkan putra mereka yang membawakannya kepada mereka:
“Sama, putra kami, masih muda, tidak begitu tinggi namun indah dipandang,
Rambut hitamnya ikal menghiasi kepala seperti wajarnya ekor anjing.
Ia membawa buah ini, dan kemudian pergi, mengisi jambangan air kami;
Ia akan segera kembali sekarang, jalan menuju sungai tidaklah jauh.”
Raja menjawab:
“Sama, putra Anda yang berbakti, yang Anda gambarkan demikian tampan, demikian luhur, Saya telah membunuhnya: rambut ikal miliknya itu sekarang terbaring di sana, tergenang dalam darah.”
Gubuk daun Parika ada di dekat sana, dan ketika ia sedang duduk ia mendengar suara raja. Ia pergi keluar dengan cemas untuk mengetahui apa yang terjadi, dan, setelah mendekati Dukulaka dengan bantuan tali, ia berseru:
“Beritahu saya Dukulaka, siapakah ini yang mengatakan Sama telah terbunuh?
’Sama kita telah terbunuh,’, kabar demikian buruk agaknya telah membelah hatiku menjadi dua.
Seperti tunas pepul muda yang ditiup angin hingga luruh dari pohon,
Sama kita terbunuh, mendengar kabar itu hati saya ditembus duka.”
Orang tua itu memberinya kata-kata nasihat:
“Ini adalah raja negeri Kasi, saya mengetahui busurnya yang keji telah membantai,
Sama kita di tepian sungai, namun biarkanlah kita diam dan jangan mengutuknya.”
Parika menjawab:
“Putra kita terkasih, tumpuan hidup kita satu-satunya, dinanti dan dirindukan setelah begitu lama!
Namun semua bijaksanawan melarang amarah kita kepada pelaku kejahatan.”
Kemudian mereka berdua meratap, memukuli dada mereka, dan memuji keluhuran Bodhisatta. Kemudian raja berusaha menghibur mereka:
“Saya mohon, janganlah menangis terlalu banyak, karena nasib malang Sama yang terkasih;
Saya akan melayani kalian berdua, janganlah meratap hingga benar-benar patah hati;
Saya piawai dalam memanah, janji saya adalah jaminan pasti,
Saya melayani kalian berdua dan merawat kalian dalam hutan sunyi ini.
Saya akan mencari bangkai rusa, akar-akaran, dan buah untuk memenuhi semua kebutuhan kalian;
Saya akan melayani kalian berdua, menjadi pelayan sejati rumah mereka.
Mereka memprotesnya:
“Ini tidaklah pantas, raja manusia, ini sungguh akan tidak patut;
Anda adalah penguasa dan raja kami yang layak: kami di sini bersujud di kaki Anda.”
Ketika raja mendengar hal ini ia gembira, “Sungguh menakjubkan,” ia berpikir, “Mereka tidak mengucapkan satu kata kasar pun terhadapku yang telah berbuat kesalahan demikian besar, mereka hanya menerimaku dengan ramah;” dan ia mengucapkan syair ini:
“Anda adalah penghuni hutan, menyatakan hak, penyambutan ini adalah bakti sejati;
Mulai sekarang Anda adalah ayah dan ibu bagi saya.”
Mereka dengan penuh hormat mengangkat tangan mereka dan memprotes, “Kami tidak memerlukan tindakan pelayanan apa pun dari Anda, namun bimbinglah kami, berikanlah kami ujung tongkat berjalan, dan tunjukkanlah Sama kami,” dan mereka mengucapkan sepasang syair ini:
“Terpujilah Anda, Raja Kasi yang menjadi kemakmuran wilayah Anda,
Bawalah kami dan bimbinglah kami ke tempat Sama, putra kami terkasih, terbaring.
Di sana berlutut di kakinya, menyentuh wajah, mata, dan sekujur tubuhnya,
Kami akan menunggu datangnya kematian dengan sabar, selama kami ada di dekatnya.”
Selagi mereka bicara demikian, matahari telah terbenam. Kemudian raja berpikir, “Jika aku membawa mereka ke sana kini, hati mereka akan hancur melihat hal ini; dan jika tiga orang mati karenaku, aku pasti akan lahir di neraka, karena itu aku tidak akan membiarkan mereka pergi ke sana;” maka ia mengucapkan syair-syair ini:
“Daerah penuh hewan buas, seperti wilayah dunia paling liar,
Di sana Sama terbaring, bagaikan bulan telah jatuh ke bumi.
Daerah penuh hewan buas, seperti wilayah dunia paling liar,
Di sana Sama terbaring, bagaikan matahari telah jatuh ke bumi.
Di ujung dunia terjauh ia terbaring, diliputi debu dan dinodai darah;
Tinggallah di gubuk Anda di sini jangan mencobai bahaya rimba.”
Mereka menjawab dengan syair ini untuk menunjukkan bahwa mereka tidak gentar:
“Biarkan hewan liar melakukan yang terburuk, biarkan mereka datang dalam ribuan, jutaan, kami tidak takut akan hewan liar, mereka tidak bisa melukai kami.”
Maka raja, karena tidak mampu menghentikan mereka, membimbing mereka dengan tangannya dan membawa mereka ke sana.
Ketika ia membawa mereka ke dekatnya, ia berkata kepada mereka, “Inilah putra Anda.” Ketika ayahnya menempelkan kepalanya ke dada putranya, dan ibunya ke kakinya, mereka duduk dan meratap.
Guru, untuk memperjelas hal ini, mengucapkan syair-syair ini:
“Diliputi debu dan hati terluka, menyaksikan Sama mereka terbaring,
Bersujud seperti matahari dan rembulan jatuh dari langit ke bumi,
kedua orang tua mengangkat tangan mereka, meratap dengan tangisan pilu.
’Wahai Sama, apakah engkau tertidur lelap? Atau marah? Atau kami terlupakan?
Atau katakan sesuatu yang telah mengganggu hatimu, hingga engkau terbaring bergeming tanpa menjawab?
Siapa yang kini akan menyisir rambut panjang kami, dan membasuh debu dan kotoran,
Ketika Sama tidak lagi di sini, tumpuan satu-satunya pasangan buta?
Siapa yang akan menyapu lantai untuk kami, atau membawa air, panas atau dingin?
Siapa yang akan membawakan akar-akaran dan buah, ketika kami duduk tanpa daya, tua, dan buta?’”
Setelah ratapan lama, ibunya memukuli dadanya sendiri, dan merenungi kesedihannya dengan saksama, ia berkata kepada dirinya sendiri, “Ini semua hanyalah kesedihan karena kehilangan putraku, ia telah membengkak karena kekejian racun, aku akan melakukan pernyataan teguh kebenaran untuk membuang racun dari dirinya;” sehingga ia melakukan aksi kebenaran dan mengulangi syair berikut:
“Jika benar pada masa lalu Sama hidup selalu dengan kebajikan,
Semoga racun dalam pembuluh darahnya kehilangan daya jahatnya dan tidak akan melukainya.
Jika pada masa lalu ia mengucapkan kebenaran dan merawat orang tuanya siang dan malam, semoga racun dalam pembuluh darahnya ditaklukkan dan pudar.
Apa pun kebajikan yang kami peroleh pada masa lampau, ayahnya dan diri saya,
Semoga menaklukkan kekuatan racun dan semoga putra kami terkasih tidak mati58.”
Ketika ibunya telah membuat pernyataan teguh seperti itu, Sama berguling ketika ia terbaring di sana. Kemudian ayahnya juga melakukan pernyataan teguh dengan kata-kata yang sama; dan ketika ia masih bicara, Sama berguling dan terbaring di sisi lain.
Kemudian dewi membuat pernyataan teguhnya. Guru dalam penjelasan mengucapkan syair-syair ini:
“Dewi yang tersembunyi dari pandangan di atas Gunung Gandhamadan
Melakukan pernyataan kebenaran teguh, oleh kewelasanan terhadap Sama;
’Di sini di gunung Gandhamadan telah lama saya menghabiskan hidupku sendirian,
Di kedalaman rimba tempat setiap pohon mengeluarkan wanginya sendiri,
Dan tidak satu pun penghuni bumi yang lebih saya kasihi,
Jika ini benar maka semoga kekuatan racun enyah dari pembuluh darahnya. ’
Sementara selagi digerakkan oleh kewelasan semua menyaksikan dengan teguh buah pernyataan mereka,
Lihatlah dalam pandangan mereka Sama bangkit, muda, indah, dan sehat seperti sebelumnya.”
Demikianlah kesembuhan Bodhisatta dari lukanya, pemulihan penglihatan kedua orang tuanya, dan kemunculan fajar, keempat keajaiban ini terjadi di pertapaan pada saat yang sama dengan kekuatan adibiasa dewi itu. Ayah dan ibu Sama girang tiada terkira menyaksikan mereka mendapatkan kembali penglihatan mereka, serta Sama sembuh kembali. Kemudian Sama mengucapkan syair ini:
“Saya adalah Sama-mu, selamat dan sehat, lihatlah saya di hadapanmu dan bersukacitalah:
Keringkan air matamu, dan janganlah menangis lagi, namun sambutlah saya dengan suara bahagia.
Selamat datang kepada Anda pula, raja perkasa, semoga keberuntungan senantiasa menantikan perintah Anda;
Anda adalah penguasa kami: beritahu kami apa yang paling Anda dambakan, kami siap melayani.
Tinduka, piyal, madhuka, buah-buahan terbaik kami bawakan untuk tamu kami,
Buah semanis madu bagi lidah, makanlah apa pun semoga buah kami menyenangkan Anda.
Di sini air sejuk, Baginda yang bajik, dibawa dari gua di bukit sebelah sana,
Dari aliran mata air gunung adalah yang terbaik memuaskan dahaga, jika Anda haus, minumlah sampai puas60″
Raja menyaksikan keajaiban ini juga berseru:
“Saya begitu terpukau dan takjub, ke mana hendak berpaling saya tidak tahu,
Sejam yang lalu saya melihat Anda wafat, namun kini berdiri di sini hidup dan sehat!”
Sama berpikir dalam hati, “Raja ini melihat aku sebagai yang mati, aku akan menjelaskannya kenapa aku masih hidup;” sehingga ia berkata:
“Pria memiliki semua kekuatannya, tanpa berpikir atau merasa melarikan diri,
Karena bengkak menghentikan gerakannya, hingga orang yang hidup mereka pikir telah mati.”
Kemudian ingin membawa raja ke dalam makna sejati segala hal, ia menambahkan dua syair untuk mengajarkannya Dhamma:
“Makhluk fana yang mematuhi Dhamma dan merawat orang tua mereka yang berada dalam kesulitan, para dewa akan mengamati bakti mereka dan datang mengobati penyakit mereka.
Makhluk fana yang mematuhi Dhamma dan merawat orang tua mereka yang berada dalam kesulitan, para dewa memuji perbuatan mereka dan di surga berikutnya mereka terberkahi.”
Raja, mendengar ini, berpikir dalam hati, “Ini keajaiban menakjubkan: hahkan para dewa menyembuhkan ia yang menyayangi orang tuanya ketika ia jatuh sakit; Sama ini sungguh melebihi keagunganku;” kemudian raja berkata:
“Saya makin takjub, ke arah mana saya berpaling saya tak bisa melihat,
Sama, kepada Anda saya pergi berlindung, Sama, jadilah perlindungan saya.”
Kemudian Bodhisatta berkata, “Raja, jika Anda ingin mencapai alam para dewa dan menikmati sukacita surgawi di sana, Anda harus mempraktikkan sepuluh kewajiban ini,” dan ia mengucapkan syair-syair mengenai mereka:
“Terhadap orang tua Anda yang paling pertama Anda harus memenuhi kewajiban Anda, raja khattiya;
Kewajiban terpenuhi dalam kehidupan kini akan kelak membawa Anda ke surga.
Terhadap anak-anak dan istri Anda, penuhilah kewajiban Anda, raja khattiya;
Kewajiban terpenuhi dalam kehidupan kini akan kelak membawa Anda ke surga.
Terhadap para sahabat dan menteri, prajurit Anda dengan aneka senjata mereka yang berbeda, kepada penduduk kota dan desa, kepada wilayah Anda dengan semua rakyatnya,
Kepada petapa, Brahmana, orang suci, kewajiban kepada burung dan hewan, wahai Raja,
Kewajiban terpenuhi dalam kehidupan kini akan kelak membawa Anda ke surga
Kewajiban terpenuhi membawa kebahagiaan, ya, Indra, Brahma, dan seluruh kumpulan mereka,
Dengan mengikuti kewajiban memenangkan kebahagiaan mereka: penuhilah kewajiban dengan segenap kekuatan.”
Bodhisatta, setelah menyatakan kepada raja sepuluh tugas seorang raja, memberinya bimbingan lebih lanjut, dan mengajarkannya lima latihan moral. Raja menerima ajaran ini dengan kepala membungkuk, dan setelah mengucapkan selamat tinggal dengan penuh hormat, ia pergi ke Benares, dan setelah memberikan banyak persembahan dan melakukan berbagai perbuatan bajik lainnya, meninggal dengan penghuni istananya sehingga menambah jumlah penghuni surga. Bodhisatta pun, bersama orang tuanya, setelah mencapai kemampuan adibiasa dan berbagai taraf meditasi penyerapan, pergi ke alam brahma.
Setelah pelajaran ini, Guru mengatakan, “Para bhikkhu, adalah kebiasaan sejak zaman tak terbilang bahwa yang bijaksana menyokong orang tua mereka.” Kemudian ia menyatakan kebenaran (setelah bhikkhu tersebut mencapai Buah Pemasuk Arus) dan mengidentifikasi Kelahiran: “Pada saat itu, raja adalah Ananda, dewi adalah Uppalavanna, Sakka adalah Anuruddha, ayah adalah Kassapa, ibu adalah BhaddakapilanT, dan Suvannasama adalah diriku sendiri.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com