Khandahala-Jataka
Candakumārajātaka (Ja 544)
“Di Pupphavati suatu ketika berkuasa,” dan seterusnya.
Guru, ketika berdiam di Gunung Gijjhakuta, menceritakan kisah ini mengenai Devadatta. Isinya terkandung dalam bagian yang menceritakan mengenai perbuatan jahat yang mengakibatkan perpecahan dalam komunitas bhikkhu; cerita ini bisa diketahui sepenuhnya dengan mempelajari perilaku Tathagata dari sejak ia pertama menjadi petapa sampai pembunuhan Raja Bimbisara. Segera setelah menyuruh membunuh Raja Bimbisara, Devadatta menemui Ajatasattu dan berkata kepadanya, “Baginda, keinginan Anda telah tercapai, namun keinginan saya belum tercapai.” Raja menjawab, “Apa hasrat Anda?” “Saya ingin membunuh Dasabala dan kemudian menjadikan diri saya sendiri Buddha.” “Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan?” “Kita harus mengumpulkan beberapa pemanah.”
Raja menyetujui dan mengumpulkan lima ratus orang pemanah, semuanya mampu menembak secepat kilat, dan dari lima ratus ini ia memilih tiga puluh satu dan memerintahkan mereka menunggui dan mematuhi perintah Devadatta. Devadatta kemudian memanggil kepala pemanah di antara mereka dan berkata kepadanya, “Sahabat, Petapa Gotama hidup di Gunung Gijjhakuta: pada waktu tertentu Ia berjalan mondar mandir di tempat peristirahatan selama siang hari: pergilah engkau ke sana dan lukai Ia dengan panah beracun, dan ketika engkau telah membunuh-Nya kembalilah kemari lewat jalan yang ini.”
Kemudian ia mengirim dua orang pemanah di jalan itu, dan berkata kepada mereka, “Kalian akan bertemu seorang pria yang datang lewat jalan ini, bunuh dia dan kembali lewat jalan yang ini.”
Kemudian ia mengirim empat pemanah lewat jalan itu dengan perintah yang sama, dan kemudian setelah itu delapan dan enam belas pemanah pun mendapat perintah yang serupa. Sehingga komandan di antara para pemanah ini mengikatkan pedangnya di sisi kiri dan kantung panah di punggungnya, mengambil busurnya yang terbuat dari tanduk kambing, ia pergi ke Tathagata; namun ketika ia memasang tali busur untuk melukai-Nya, dan memasang anak panah, dan menarik tali busurnya, ia tidak bisa melepaksnnya. Seluruh tubuhnya menjadi kaku seolah-olah dipatahkan, dan ia berdiri gemetar, takut akan kematian.
Ketika Guru melihatnya, Ia bicara dengan suara lembut, “Jangan takut, datanglah kemari.” Ia seketika melemparkan senjatanya dan bersujud di kaki Bhagava, seraya mengatakan, “Tuanku, kejahatan telah menguasai saya seperti anak kecil atau orang dungu atau orang jahat; saya tidak mengetahui keluhuran Anda, dan saya datang kemari atas perintah si pikun buta Devadatta, untuk mengambil nyawa Anda; mohon maafkanlah saya.” Ia mendapatkan pemaafan-Nya dan membuatnya bisa meraih tataran pertama kesucian. Kemudian Ia memintanya kembali lewat jalan lain alih-alih rute yang diperintahkan oleh Devadatta; Ia sendiri turun dari tempat meditasi jalannya dan duduk di kaki sebuah pohon. Ketika pemanah pertama tidak kembali, dua pemanah lainnya datang melintasi jalan itu untuk menemuinya, dan heran mengapa ia begitu terlambat, hingga akhirnya mereka melihat Buddha. Saat mereka menemui-Nya, dan setelah memberikan hormat pada-Nya, mereka duduk di satu sisi. Kemudian la juga menyibakkan Kebenaran kepada mereka, dan membuat mereka mencapai tataran kesucian pertama, dan memberitahu mereka untuk pulang lewat jalan lain ketimbang yang diperintahkan Devadatta.
Sama pula, pemanah lainnya datang dan berturut-turut duduk, la mengukuhkan mereka dalam tataran kesucian pertama, dan meminta mereka kembali lewat jalan lain. Kemudian pemanah yang pertama kali kembali pergi menemui Devadatta dan berkata kepadanya, “Guru, saya tidak mampu membunuh Yang Mahabijaksana, la adalah Yang Perkasa, Yang Penuh Berkah dengan kekuatan adibiasa.” Kemudian mereka semua menyadari bahwa mereka telah menyelamatkan hidup mereka hanya berkat Yang Mahabijaksana, dan mereka menjalani kehidupan tanpa rumah di bawah bimbingan-Nya, dan menjadi arahat. Insiden ini lalu diketahui dalam persamuhan bhikkhu, dan suatu hari mereka mulai membicarakannya di balairung kebenaran: “Para bhikkhu, sudahkah kalian mendengar bagaimana Devadatta, dalam kebenciannya terhadap satu orang, Yang Penuh Berkah, telah berupaya keras menghilangkan nyawa banyak orang, dan bagaimana mereka semua menyelamatkan hidup mereka melalui Guru?” Lalu Guru datang dan bertanya, “Para bhikkhu, apa yang sedang kalian bicarakan ketika kalian duduk di sini?” dan ketika mereka memberitahunya, la berkata, “Ini bukan pertama kali Devadatta berupaya menghilangkan nyawa banyak orang karena kebenciannya terhadap Saya;” dan ia menceritakan kisah masa lampau kepada mereka.
Pada masa lalu, Benares ini disebut Pupphavati. Putra Raja Vasavatti bernama Ekaraja bertakhta di sana, dan putranya Candakumara adalah raja muda. Seorang brahmana bernama Khandahala adalah penasihat raja: ia memberikan nasihat kepada raja mengenai urusan spiritual dan duniawi, dan raja sangat menghargai kebijaksanaannya, dan menjadikannya hakim. Namun brahmana, karena menyenangi suap, biasanya menerima suap dan membuat pemilik sejati kalah dan membuat pemilik yang salah mendapatkan harta sengketa.
Suatu hari seorang pria yang baru dikalahkan dalam perkara pergi ke balairung penghakiman dan memprotes dengan suara keras, dan, ketika ia melihat Candakumara lewat untuk menemui raja, ia bersujud di kakinya. Pangeran menanyainya ada apa. Tuanku, Khandahala memeras orang yang mengajukan petisi ketika ia memutuskan perkara: saya telah kalah perkara, meski saya memberikan suap kepadanya.” Pangeran memintanya agar jangan takut, dan setelah membawanya ke pengadilan, memvonisnya menjadi pemilik harta milik yang disengketakan.
Rakyat bersorak menyuarakan persetujuan mereka. Ketika raja mendengarnya dan menanyakan alasannya, mereka menjawab, “Candakumara telah dengan benar memutuskan perkara yang diputuskan keliru oleh Khandahala: inilah sebabnya ada keramaian seperti ini.” Ketika pangeran datang dan memberikan salam, raja berkata kepadanya, “Putraku, mereka mengatakan bahwa engkau baru saja memutuskan sebuah perkara.” “Ya, Baginda.” Raja memberikan jabatan hakim kepada pangeran dan memintanya mulai dari saat itu menentukan semua sidang perkara.
Pendapatan Khandahala mulai merosot; dan sejak saat itu ia menaruh dendam terhadap pangeran dan mencari-cari kesalahan dalam diri pangeran. Saat itu, raja mendapat sedikit pengalaman batin; dan suatu hari saat fajar, di akhir tidurnya, ia melihat alam Surga Tiga Puluh Tiga Dewa berikut dengan serambi istananya yang berhias, dan dindingnya yang terbuat dari tujuh batu permata, enam puluh yojana panjangnya, dengan jalanan dari emas, seribu yojana tingginya, dihiasi dengan Vejayanta dan istana-istana lainnya, dengan semua kejayaan Nandana dan hutan-hutan lainnya, serta Nanda dan danau-danau lainnya, dan dipenuhi di mana-mana dengan makhluk surgawi. Ia ingin memasukinya dan ia berpikir, “Ketika guru Khandahala datang, aku akan menanyainya jalan menuju alam para dewa, dan aku akan memasukinya lewat jalan yang ditunjukkannya.” Khandahala datang ke istana pagi-pagi, dan bertanya apakah raja telah melalui malam yang bahagia. Kemudian raja memerintahkan sebuah kursi diberikan kepada Khandahala dan mengajukan pertanyaannya. Guru menceritakannya seperti demikian:
“Di PupphavatT, suatu ketika bertakhta raja yang jahat yang dalam hasratnya
Menanyai Khandahala, pendeta jahat, brahmana yang cuma dalam gelar saja namun bukan perbuatannya;
‘Anda adalah petapa yang kepada Anda, kata mereka, semua ilmu pengetahuan suci diberikan,
Beritahu saya jalan yang dipakai para pencari itu untuk meningkatkan jasa kebajikan mereka hingga sampai ke surga.’”
Nah, ini adalah pertanyaan yang, pada masa tidak adanya Sammasambuddha atau siswa-siswa-Nya, seharusnya ditanyakan kepada Bodhisatta. Namun raja malah bertanya kepada Khandahala; seperti orang yang selama tujuh hari telah tersesat akan meminta panduan kepada orang yang telah tersesat selama dua minggu. Khandahala kemudian berpikir dalam hati, “Kini saatnya melihat titik lemah musuhku, kini akan kubunuh Candakumara dan memenuhi hasratku.” Maka ia berkata kepada raja:
“Berikan yang melampaui banyak persembahan, hancurkan yang tidak pantas mendapat kematian,
Demikian orang-orang dengan jasa kebajikan tinggi menang dan akhirnya mencapai sukacita surgawi.”
Raja bertanya:
“Apakah yang melampaui banyak persembahan? Dan siapa yang tidak pantas dibunuh? Saya akan memberikan persembahan, membantai kurbannya, mohon jelaskan maknanya.”
Kemudian Khandahala menjelaskan maksudnya: “Putra-putra Anda, ratu-ratu Anda harus dipersembahkan, para saudagar besar Anda juga harus dikurbankan, banteng-banteng pilihan Anda, kuda-kuda milik Anda yang termulia, ya, semuanya empat jenis kurban.”
Dan demikianlah ketika ditanya jalan menuju surga, jawaban yang ia nyatakan adalah jalan ke neraka.
Khandahala berkata dalam hati, “Jika aku mengambil hanya Candakumara saja mereka pikir aku akan melakukannya karena dendam kepadanya;” maka ia mengurbankannya bersama sejumlah besar orang. Ketika hal ini menjadi bahan pembicaraan, para perempuan istana kerajaan saat mendengar kabarnya, dipenuhi rasa takut, dan seketika menjerit keras.
Menjelaskan hal ini, Guru melafalkan syair:
“Para perempuan istana mendengar berita: ’Pangeran dan ratu akan celaka,’ seru mereka, dan jeritan ramai karena kejutan rasa takut membumbung hingga ke langit di setiap sisi.”
Seluruh keluarga kerajaan terusik seperti serumpun pohon sal terguncang oleh angin pada saat akhir dunia; bahkan brahmana bertanya kepada raja apakah raja bisa melakukan pengorbanan itu atau tidak. “Apa maksud Anda, wahai Guru? Apa jika saya mengurbankan mereka saya akan masuk ke alam dewa.”
“Wahai Raja, mereka yang lemah hati dan tidak teguh tekadnya tidak bisa memberikan pengorbanan ini. Kumpulkanlah mereka semua di sini, dan saya akan melakukan pengorbanan itu di lubang kurban.” Ia kemudian membawa pasukan yang cukup dan pergi ke luar kota, dan memerintahkan lubang pengorbanan digali dengan dasarnya yang rata, dan mengelilinginya dengan pagar; karena brahmana zaman kuno suka membuat pagar yang mengelilingi, untuk berjaga-jaga jika beberapa petapa bajik atau brahmana akan datang dan menghentikan upacara kurban.
Raja memerintahkan agar pengumuman dikumandangkan, “Dengan mengurbankan segenap putra, putri, dan istri saya akan pergi ke alam dewa, segera pergilah dan umumkan ini kepada mereka, dan bawa mereka semua kemari;” dan raja segera memerintahkan mereka membawa putranya:
“Peringatkan Canda, Suriya78 akan kehendak saya, kemudian giliran Bhaddasena, lalu berikutnya Sura dan Vamagotta, mereka semua harus mati; kehendak saya sudah teguh.”
Maka mereka pertama kali menemui Candakumara dan berkata, “Wahai pangeran, ayah Anda hendak membunuh Anda dan pergi ke surga; ia telah mengirim kami untuk mencekal Anda.” “Oleh ajaran siapakah ia memerintahkan agar saya diringkus?” “Oleh ajaran Khandahala.” “Apakah ia ingin meringkus saya sendirian atau bersama yang lainnya?” “Bersama juga dengan Anda, karena raja ingin memberikan persembahan empat jenis kurban.”
Candakumara merenung, “Khandahala tidak memiliki dendam terhadap yang lain, namun ia berniat membunuh banyak orang semata-mata karena dendamnya kepadaku; adalah kewajibanku mendapatkan kejelasan dari ayahku dan mendapatkan izin dari raja untuk membebaskan semua yang diknrbankan.” Maka ia berkata kepada mereka, “Laksanakanlah perintah ayahanda.” Mereka membawanya ke halaman istana dan menaruhnya sendirian, dan kemudian membawa tiga79 lainnya dan ketika mereka menempatkan mereka berdekatan, para pengawal memberitahu raja. Kemudian raja meminta mereka membawa putri-putrinya dan menempatkan mereka di dekat kurban lainnya:
“Beritahu UpasenI dan Kokila, Mudita, Nanda, masing-masing bergiliran,
Beritahukan para putri akan ajal mereka, mereka harus mati: kehendak saya sudah teguh.”
Maka mereka pergi dan membawa para putri yang menangis dan meratap, dan menempatkan mereka di dekat saudara laki-laki mereka. Kemudian raja mengucap syair untuk memerintahkan penangkapan istri-istrinya:
“Beritahu Vijaya, yang terunggul di antara ratu-ratu saya, Sunandam, Kesini, masing-masing,
Dengan semua kecantikan dan daya tarik mereka, mereka semua harus mati: kehendak saya sudah teguh.”
Kemudian mereka juga membawa para istri, meratap keras, dan menempatkan mereka di dekat para pangeran. Kemudian raja mengucapkan syair memerintahkan pengawal meringkus empat saudagar:
“Punnamukha, Bhaddiya, Singala, Vaddha, masing-masing,
Berikan perintah kepada saudagar saya, mereka semua harus mati: kehendak saya sudah teguh.”
Para pejabat raja pergi dan membawa para saudagar. Ketika putra-putra dan istri-istri raja dibawa, rakyat tidak mengucapkan sepatah kata pun; namun ketika saudagar yang memiliki sanak saudara yang menyebar luas, seluruh kota terusik ketika mereka ditangkap, dan dengan keras memprotes terhadap rencana pengorbanan mereka, dan mereka pergi bersama sanak saudara menghadap raja. Kemudian para saudagar, dikelilingi sanak saudara mereka memohon kepada raja agar mengampuni nyawa mereka. Menjelaskan hal ini, Guru berkata:
“Para saudagar mengungkapkan seruan pilu, dikelilingi anak dan istri mereka,
‘Sisakan pucuk rambut, cukur habis rambut kepala kami, buatlah kami menjadi budak Anda, namun ampuni nyawa kami.”’
Namun betapa pun mereka memohon, mereka tidak mendapatkan pengampunan. Pegawai raja akhirnya menghalau sanak saudara mereka, dan menyeret para saudagar untuk berdiri di dekat para pangeran.
Kemudian raja memerintahkan gajah dan hew an lainnya dibawa:
“Bawa kemari semua gajah saya, yang keperkasaannya tiada tara, dan mahal,
Bawa kuda dan keledai terbaik, biarkan mereka semua menjadi kurban;
Banteng-banteng saya, pemimpin kawanan ternak, mereka akan menjadi persembahan mulia;
Siapkanlah kurban pada saat fajar esok;
Dan perintahkan para pangeran makan sampai kenyang, menikmati malam terakhir hidup mereka.”
Ayahanda dan ibunda raja yang masih hidup. Sehingga, rakyat pergi kepada mereka dan menceritakan mengenai rencana persembahan putra mereka. Dalam kesedihan, mereka pergi menangis dan mencurahkan hati mereka di hadapan raja, “Benarkah, anakku, bahwa engkau menghendaki pengorbanan demikian?”
Guru menggambarkannya seperti ini :
“Ibusuri telah meninggalkan kediaman istananya, “Putraku, apa artinya hal mengerikan ini? Haruskah empat putra dihukum mati untuk menambah pengorbananmu yang keji?’”
Raja menjawab :
“Ketika saya kehilangan Canda, saya kehilangan semuanya; namun dirinya dan yang lainnya saya akan serahkan, karena dengan pengorbanan mahal ini, kediaman surgawi akan menjadi milik saya.”
Ibusuri berkata:
“Mengurbankan putra-putramu, anakku, tidak akan pernah membawa kebahagiaan surgawi;
Jangan dengarkan kata-kata dusta seperti itu; ini adalah jalan ke neraka dan kegelapan.”
Ambillah jalan kerajaan yang telah terbukti: biarkanlah semua kekayaan Anda dipersembahkan untuk amal,
Dan tidak menganiaya makhluk hidup di bumi, inilah jalan yang pasti menuju surga.”
Raja menjawab:
“Saya harus mematuhi kata-kata guru saya, sungguh malang putra-putra saya! Semuanya harus dibantai,
Sungguh sulit berpisah dari mereka, namun imbalan surga yang akan saya dapat.”
Demikian ibusuri pergi, tidak mampu meyakinkan raja dengan kata-katanya.
Kemudian mantan raja mendengar kabar dan datang untuk memprotes.
Guru melukiskan apa yang terjadi:
“Ayah Vasavatti datang, “Kabar aneh memenuhi batin saya dengan rasa takut!
Haruskah empat putramu dihukum mati untuk menghiasi sempurna ritual pengorbanan mengerikanmu?’”
Dialog yang sama terulang dan mantan raja, tidak mampu mengalihkan putranya, pergi dengan mengulang kata-kata perpisahannya:
“Berikanlah semua yang bisa engkau berikan dan jangan pernah menganiaya makhluk hidup dengan niatmu sendiri: dan dengan putra-putramu sebagai perisai penjagamu, kerajaanmu, dari semua bahaya.”
Kemudian Candakumara merenung dalam hati, “Semua kesengsaraan ini terjadi pada begitu banyak orang hanya karena diriku, aku akan berdebat dengan ayah sehingga membebaskan mereka semua dari derita kematian;” sehingga ia kemudian mengatakan ini kepada ayahnya:
“Biarkan kami menjadi budak Khandahala, namun ampuni nyawa kami dan janganlah membunuh.
Kami akan mengawasi rantai kuda dan gajahnya, jika demikianlah kehendaknya.
Biarkan kami menjadi budak Khandahala, namun ampuni nyawa kami dan janganlah membunuh.
Kami akan menyapu istal dan halamannya, dan bekerja dalam keadaan terantai, jika itu adalah kehendaknya.
Berikanlah kami sebagai budak kepada orang yang engkau inginkan, kami adalah tawanan di tanganmu: atau buanglah kami dari kerajaanmu untuk meminta-minta makanan di negeri asing.”
Raja mendengarkan ratapannya, dan merasa hatinya bagaikan hancur; dan matanya dipenuhi air mata, ia memerintahkan mereka semua dibebaskan: “Tidak seorang pun,” kata raja, “akan membunuh putra-putraku, aku tidak membutuhkan alam para dewa.”
Mendengar kata-kata raja, mereka membebaskan seluruh kurban, dimulai dari pangeran, hingga ke unggas yang dikurbankan. Khandahala sedang sibuk di lubang kurban, ketika seseorang berkata kepadanya, “Wahai penjahat Khandahala, raja telah membebaskan para pangeran; pergilah dan bunuhlah putra-putra Anda sendiri dan persembahkan mereka dengan darah dari leher mereka.” “Apa yang telah dilakukan raja?” jeritnya, dan ia bergegas pergi dan berkata kepada raja:
“Saya telah memperingatkan Anda bahwa pengorbanan ini akan terbukti berat dan penuh upaya;
Mengapa di tengah-tengah menghentikan upacara ini ketika semua telah dimulai dengan baik?
Mereka yang memberikan persembahan seperti ini ketika meninggal berada di jalan pasti menuju surga;
Atau mereka yang menyetujui pengorbanan ini dengan sukacita, melihat hal yang sama dilakukan orang lain.”
Raja yang membuta, ketika mendengar kata-kata brahmana yang gusar ini, dan setelah mengukuhkan batinnya kepada ajaran brahmana ini, memerintahkan putra-putranya diringkus lagi. Lalu Candakumara berdebat dengan ayahnya:
“Mengapa brahmana yang pada saat kelahiran kami ini mengucapkan pemberkahan setinggi langit akan kehidupan kami,
Sementara takdir kami harus mati sebagai kurban tanpa salah oleh amarah Anda?
Mengapa Anda tidak membantai kami saja ketika masih bayi, saat masih terlalu muda untuk bisa mengetahui deraannya?
Alih-alih, kami harus mati hari ini, ketika sukacita akan kemudaan sudah kami ketahui.
Pikirkan kami menunggang kuda atau gajah, mengenakan zirah untuk berperang,
Dan sebagai kurban kami dijagal di sini sebagai kurban, apakah ini layak?
Dalam pertempuran melawan kepala pemberontak atau dalam hutan seperti yang saya pantas untuk lakukan: yang kini Anda bantai tanpa alasan dan sebab.
Lihatlah burung liar yang membangun sarang mereka dan berkicau sepanjang hari di antara pepohonan,
Mereka mencintai anak-anak mereka dan merawat mereka dengan baik, dan engkau, apakah engkau hendak membunuh anak-anak Anda?
Atau jangan pikir sahabat brahmana Anda yang khianat akan mengampuni nyawa Anda ketika saya sudah tiada;
Gibran Anda, wahai Raja, akan menyusul berikutnya; saya tidak akan mati sendirian.
Para raja memberikan para brahmana desa-desa, kota-kota pilihan adalah anugerah perdikan kepada mereka,
Dan semua keluarga mereka diberi makan dan mendapat warisan baik;
Dan inilah orang-orang yang Anda dermakan, Baginda, mereka yang paling sigap mengkhianati diri Anda;
Camkan kata-kata saya, persamuhan brahmana tidak berkeyakinan dan selalu tidak tahu terima kasih80.”
Raja berseru saat mendengar teguran putranya:
“Permohonan yang layak mendapatkan kewelasanan ini sungguh meremukkan hati saya, bebaskanlah mereka, bebaskan pangeran dan semuanya, tidak ada lagi pengorbanan demi saya.”
Khandahala kembali bergegas seperti sebelumnya dan mengulangi anjurannya yang dahulu; dan pangeran kembali berdebat dengan ayahnya:
“Jika mereka yang mengurbankan putra-putra mereka, menjadi agung ketika mereka mati,
Maka biarkanlah brahmana ini mempersembahkan putra-putranya sendiri: raja kemudian akan mengikutinya sebagai teladan.
Jika mereka yang mengurbankan putra-putra mereka pergi langsung ke surga ketika mereka mati,
Mengapa brahmana tidak mempersembahkan dirinya dan seluruh keluarganya?
Malah sebaliknya, mereka yang mempersembahkan kurban seperti itu semuanya akan pergi ke neraka,
Dan mereka yang berani menyetujui perbuatan itu pun akan hancur pada saat kematian.”
Ketika pangeran mengucapkan kata-kata ini, ia menyadari bahwa ia tidak bisa meyakinkan raja, maka ia berpaling ke orang banyak yang mengelilingi raja dan berkata kepada mereka:
“Bagaimana bisa kalian para ayah, ibu, berdiri tanpa suara di sini, melihat, dan tidak seorang pun, yang mencintai anak-anak mereka seperti yang kalian lakukan, melarang raja membantai putranya?
Saya mencintai kesejahteraan raja, saya suka melihat hati kalian bersukacita,
Dan tidak ada seorang pun di antara kalian yang terlihat mengeluarkan satu suara memprotes?”
Namun tidak seorang pun mengucapkan sepatah kata pun. Kemudian pangeran memerintahkan istri-istrinya pergi dan memohon kepada raja untuk menunjukkan kewelasanan:
“Pergilah, perempuan mulia, dengan doamu, memohonlah kepada raja, memohonlah kepada pendetanya,
Untuk mengampuni putra-putranya yang tak bersalah, yang telah teruji dalam medan perang yang paling keras;
Mintalah raja, mintalah pendeta, untuk mengampuni putra-putra yang tidak ternoda oleh kejahatan,
Yang nama-namanya, kejayaan kerajaan dan masa mereka, bersinar di dunia.”
Mereka pergi dan memohon raja agar menunjukkan kewelasanan; namun raja tidak mengacuhkan mereka. Kemudian pangeran, merasa diirnya tak berdaya, mulai meratap:
“Oh, seandainya saya lahir jauh dari istana
Di dalam rumah pembuat sepatu, penyapu jalan, atau orang yang terbuang,
Saya seharusnya bisa menjalani hidup saya hingga akhirnya dalam damai,
Tidak mati sebagai korban nafsu mendadak seorang raja.”
Kemudian ia berseru:
“Pergilah, Anda semua perempuan dalam satu kelompok, menunduk di hadapan kejatuhan Khandahala,
Dan beritahu bahwa Anda semua tidak pernah mencelakainya, bahwa Anda semua tidak bersalah.”
Inilah kata-kata Guru:
“Dengan keras Sela menangis ketika melihat saudara laki-lakinya dihukum raja,
’Ayahanda menginginkan surga,’ kata mereka, ‘dan sungguh persembahan ini menggagalkannya.”
Namun raja tidak menggubrisnya pula. Ketika putra Raja Vasula, melihat kesedihan ayahnya, berkata, “Saya akan memohon kepada kakek saya, saya akan memintanya mengampuni nyawa ayah saya,” dan ia bersujud di kaki raja dan meratap.
Guru melukiskannya seperti ini:
“Kemudian Vasula dengan langkah tertatih-tatih pergi ke sana, ke sini, menuju singgasana, ’Ampunilah ayah kami, anak-anak ini, jangan biarkan kami tak berdaya dan sendirian.’”
Raja mendengarkan ratapannya, dan hatinya bagaikan terbelah dua, ia memeluk bocah itu dengan air mata tergenang, dan ia berkata kepadanya, “Tenanglah, anakku, akan kuberikan ayahmu kepadamu,” dan ia mengucapkan titahnya:
“Inilah ayahmu, Vasula; kata-katamu menaklukkanku, ia bebas;
Bebaskanlah para pangeran, biarkan mereka pergi, tidak ada lagi kurban untukku.”
Kemudian Khandahala bergegas dengan anjuran lamanya,
dan sekali lagi raja dengan membuat mematuhi kata-kata Khandahala dan memerintahkan putranya ditangkap kembali.
Kemudian Khandahala berpikir dalam hati, “Raja berhati lembut ini kini menangkap putranya, dan kini membebaskannya: ia akan membebaskan mereka lagi karena kata-kata anak-anaknya; aku akan membawa raja ke lubang kurban.” Maka ia mengulang syair untuk mendesaknya pergi ke sana:
“Kurban telah disiapkan, harta paling mahal telah dipersembahkan:
Pergilah, Baginda, persembahkanlah, dan raihlah sukacita surgawi paling elok.”
Ketika mereka membawa Bodhisatta ke dalam lubang kurban, para selir kerajaan pergi dalam satu kelompok.
Guru melukiskannya demikian:
“Tujuh ratus selir Pangeran Canda, semuanya bersinar dalam mekarnya masa muda mereka,
Dengan rambut acak-acakan, mata menangis, mengikuti pahlawan menuju mautnya;
Dan perempuan lain mengikuti rombongan ini seperti makhluk-makhluk dari alam surga,
Dengan rambut acak-acakan, mata menangis, mengikuti pahlawan ke mana ia pergi.”
Kemudian mereka semua meratap:
“Dengan giwang, lidah buaya, cendana, dalam sutra Kasi yang mahal,
Lihatlah Canda, Suriya81 di sana digiring sebagai kurban. Menembus hati ibu mereka dengan kesedihan, memenuhi rakyat dengan kemurungan,
Lihatlah Canda, Suriya di sana digiring sebagai kurban menuju maut mereka yang keji.
Dimandikan dan diberi wewangian dengan aroma terkaya, dan dengan jubah putih kain KasT,
Lihatlah Canda, Suriya di sana digiring sebagai kurban atas perintah raja,
Mereka yang dahulu menunggang gajah, sosok yang perkasa di setiap mata.Canda, Suriya kita, lihatlah di sana, mengikuti rombongan berjalan kaki untuk mati.
Mereka yang dalam kereta perang tidak akan menunggang kuda, keledai, atau kuda berhias emas,
Canda, Suriya kita, lihatlah di sana, mengikuti rombongan berjalan kaki untuk mati sebelum malam tiba.”
Ketika para permaisuri meratap demikian, para pegawai istana membawa Bodhisatta keluar dari kota. Seluruh kota pergi bersamanya dengan keresahan besar. Namun ketika kerumunan besar pergi ke luar, gerbang kota tidak cukup lebar untuk memuat mereka; dan para brahmana cemas akan apa yang akan terjadi, memerintahkan gerbang ditutup. Banyak rakyat yang tidak bisa menemukan pelampiasan; namun ada taman di dekat gerbang sebelah dalam, dan mereka berkumpul di sana dan meratapi nasib pangeran dengan suara keras; dan mendengar suara ratapan, burung-burung berkumpul di angkasa. Para warga juga meratap keras-keras dan berseru kepada burung-burung:
“Wahai burung-burung, akankah kalian berpesta daging? Kalau begitu terbanglah lewat gerbang timur Pupphavati,
Di sana raja gila sedang mengurbankan empat putranya yang berani dalam kebencian membuta.
Wahai burung-burung, akankah kalian berpesta akan daging? Kalau begitu terbanglah lewat gerbang timur Pupphavati,
Di sana raja gila sedang mengurbankan empat putrinya yang berani dalam kebencian membuta82.”
Demikian rakyat meratap di taman. Kemudian mereka pergi ke rumah Bodhisatta, mengelilinginya dalam arak-arakan hening dan mengucapkan ratapan mereka ketika mereka menatap kamar-kamar para istri pangeran, menara, dan taman-tamannya, hutan dan telaga, dan istal gajah83:
“Desa-desa tak berpenghuni akan menjadi hutan hening;
Demikian juga ibukota kami akan hancur, jika pangeran-pangeran kami menumpahkan darah mereka.”
Tidak bisa menemukan jalan keluar dari kota, mereka berkeliaran meratap di balik dinding-dindingnya.
Sementara Bodhisatta digiring menuju lubang kurban. Ketika ibunya, Ratu Gotami, melemparkan dirinya bersujud di kaki raja, memohon dengan air mata dan tangisan agar ia mengampuni nyawa putranya:
“Aku akan menjadi gila karena duka, diliputi debu, hancur, ditinggalkan,
Jika putraku Canda84 harus mati, napasku akan mencekikku ketika aku berduka.”
Ketika ia tidak beroleh jawaban dari raja, ia memeluk empat istri pangeran dan berkata kepada mereka, “Putraku pasti telah berpaling dari Anda dengan rasa tidak senang, mengapa Anda semua tidak membujuknya untuk berpaling?”
“Mengapa Anda semua tidak bicara satu sama lain dengan penuh cinta saat kalian berdiri,
Dan menari di sekitarnya dengan riang, menggandeng tangan satu sama lain,
Sampai kemurungannya lenyap dan membuatnya sembuh atas perintah Anda,
Karena sesungguhnya siapa yang bisa menari seperti kalian, sekalipun mereka mencari di seantero negeri?”
Kemudian melihat tidak ada hal lain yang bisa dilakukan, ia berhenti meratap bersama selir dan mulai mengutuk Khandahala:
“Semoga ibu Anda, wahai pendeta keji, merasakan derita kepiluan
Yang menyobek-nyobek hati saya ketika saya melihat Canda yang terkasih digiring menuju kematian85.
Semoga istri Anda, wahai pendeta keji, merasakan derita kepiluan
Yang menyobek-nyobek hati saya ketika saya melihat Suriya yang terkasih digiring menuju kematian;
Semoga ia melihat putra-putra dan suaminya terbunuh, karena Anda, wahai pendeta keji, hari ini
Membunuh kebanggaan dan kejayaan dunia, mereka yang berhati singa dan tak bersalah.”
Kemudian Bodhisatta memohon kepada ayahnya dalam lubang kurban86:
“Beberapa perempuan menginginkan dan memohon agar mendapat putra-putra dan memberikan doa dan persembahan kepada surga,
Mereka menginginkan putra dan cucu pula, namun tidak ada yang diberikan untuk meramaikan rumah mereka;
Janganlah membunuh kami dengan demikian ceroboh, meskipun itulah jawaban yang diberikan terhadap doa.
Janganlah persembahkan kami menjadi kurban setelah semua kasih sayang ibu kami.”
Ketika ia tidak menerima jawaban dari ayahnya, ia meratap di kaki ibunya:
“Dengan lembut Anda telah merawat putra Anda, sungguh sulit takdir yang menimpa Anda;
Saya berlutut di hadapan kaki Anda yang suci: semoga semua berkah untuk ayah saya.
Berikanlah kaki Anda untuk saya cium sekali lagi, peluklah saya, Ibu, sebelum kita berpisah,
Tempat saya pergi adalah perjalanan panjang, kesedihan pilu bagi hati Anda.”
Kemudian ibunya mengucapkan syair tangisan:
“Ikatkan di kepalamu, Putraku tersayang, mahkota daun teratai,
Dengan bunga cempaka, dengan mahkota demikian layak diterima keindahan Anda yang gagah.
Untuk terakhir kalinya urapi dirimu dengan semua balsam yang kaya dan langka,
Yang engkau pakai pada hari-hari lampau pada masa festival istana.
Untuk terakhir kalinya, kenakanlah baju dari sutra KasI, Putraku,
Dan kenakanlah perhiasan dan mutiara yang engkau biasanya pakai pada hari perayaan.”
Kemudian, permaisuri utama pangeran, Canda, memeluk kaki raja dan meratap dengan pilu:
“Penguasa kerajaan ini, raja penguasa ini, yang semua perintahnya dipatuhi dalam kerajaannya,
penerus satu-satunya semua kekayaan negeri ini, tidak memiliki kasih sayang akan putranya.”
Ketika raja mendengarnya, raja menjawab:
“Putra saya sungguh terkasih bagi saya, diri sendiri saya sayangi, dan Anda, ratu-ratu saya, juga saya sayangi:
Saya mengurbankan putra saya, karena saya ingin pergi ke surga, bukan ke neraka.”
Canda berseru:
“Wahai Raja, atas kewelasan Anda, bunuhlah saya lebih dahulu, jangan biarkan kesedihan merobek hati saya,
Kalungilah saya bunga seperti putra Anda yang sempurna dalam setiap sisi.
Bantailah kami berdua di tumpukan, dan biarkan saya pergi ke mana Canda pergi:
Jasa kebajikan tiada terkira akan menjadi milik Anda, dua batin akan bangkit ke pembaringan surga.”
Raja menjawab:
“Janganlah menghendaki kematian sebelum saatnya: Anda memiliki saudara misan yang gagah
Mereka akan menghibur Anda, putri bermata besar, karena Anda kini kehilangan pangeran yang terkasih.”
Kemudian Canda memukuli dadanya dengan tangannya dan mengancam minum racun, dan ia meratap keras dan panjang:
“Tidak ada sahabat atau penasihat yang mengelilingi raja,
Yang berani memperingatkannya untuk tidak melakukan hal ini,
Ia tidak memiliki menteri yang setia, tidak satu pun,
Yang berani membujuknya untuk tidak membunuh putranya.
Putra-putra mereka yang lain menunjukkan semua keberanian mereka,
Biarkanlah mereka dipersembahkan dan bebaskanlah Canda.
Cacah saya berkeping, kurbankan saya, namun ampunilah putra sulung saya, khattiyaku,
la yang dihormati dunia, yang berhati singa dalam pertempuran.”
Setelah berduka seperti itu, batinnya tidak kunjung lega, ia pergi ke Bodhisatta dan berdiri sambil menangis di sisinya, hingga ia berkata kepadanya, “Canda, selama hidup saya banyak mutiara dan batu permata telah diberikan kepada saya pada saat-saat perayaan sosial; hari ini saya memberi Anda perhiasan terakhir dari tubuh saya; mohon terimalah.”
Canda meledak dalam tangis, mengucapkan syair-syair berikut:
“Bahunya dahulu dicerahkan oleh bebungaan, yang menggelantung dari mahkotanya,
Hari ini, pedang keji nan tajam menebarkan bayangan gelap atas bahunya.
Segera pedang akan menyapu turun ke leher pangeran yang tidak bersalah itu,
Ah! Gelang besi harus mengikat hatiku, jika tidak apa yang bisa dilakukan selain hancur?
Berhias aloe dan cendana, mengenakan kain berhias dan banyak cincin,
Pergilah, Canda-Suriya, ke tumpukan pembakaran, yang sesuai untuk persembahan bagi raja.
Dengan aloe dan kayu cendana, dengan jubah sutra dan batu permata,
Pergilah, Canda-Suriya, ke tumpukan pembakaran, kurban yang layak untuk raja agung.
Bermandikan persembahan, menantikan pukulan terakhir di sana dengan mengenakan sutra dan permata,
Pergilah, Canda-Suriya, ke tumpuan pembakaran, memenuhi hati rakyat dengan kesedihan.”
Ketika ia meratap demikian, semua persiapan di lubang kurban rampung. Mereka membawa pangeran dan menempatkannya di posisi yang sesuai dengan lehernya dijulurkan ke depan. Khandahala memegang mangkuk emas erat-erat dan membawa pedang dan berdiri, seraya berucap, “Saya akan memotong lehernya.” Ketika Ratu Canda melihat ini, ia berkata ke dirinya sendiri, “Saya tidak memiliki pernaungan lain, saya akan memberkahi tuanku dengan semua kekuatan kebenaranku,” lalu ia merangkapkan tanganya, dan berjalan di tengah perkumpulan itu, ia melakukan pernyataan kebenaran dengan tulus.
Guru kemudian melukiskannya:
“Ketika semuanya telah siap untuk kurban dan Canda duduk dan menunggu penggalan,
Putri dari Raja Pancala pergi menyusuri perkumpulan ber deraj at tinggi dan rendah:
’Sama benarnya seperti brahmana di sini mencanangkan tujuan keji dengan kebohongannya,
Semoga saya sesaat lagi mendapatkan kembali junjungan saya yang sangat kucintai.
Semoga semua makhluk di tempat ini, hantu, yakkha, peri, mendengar kata-kataku,
Kabulkan permohonan saya dengan setia dan persatukan saya dengan junjungan saya.
Kalian semua para dewa yang mengisi tempat ini, lihatlah! Saya bersujud di kaki Anda,
Lindungilah saya dalam ketidakberdayaan saya, dengarkan panggilan saya dengan kewelasanan,
Sakka, penguasa para dewa, mendengarnya menangis dan melihat apa yang telah terjadi, membawa galah besi membara dan membuat raja takut, dan membubarkan perkumpulan itu. Guru menjabarkannya seperti demikian:
“Makhluk surgawi mendengar tangisan Anda dan datang ke bumi untuk menolong yang bajik,
Mengibaskan pentungan besi membara, mengisi hati penguasa dengan ketakutan,
’Ketahuilah siapa saya, wahai tangan besi: lihatlah baik-baik senjata yang kupegang,
Janganlah melukai putra Anda yang tidak bersalah, singa di medan pertempuran.
Tempat bumi telah melihat kejahatan seperti ini, putra-putra Anda, istri-istri Anda, diberikan untuk dibunuh,
Dengan semua warga Anda yang paling mulia, yang layak mengisi surga saya yang tertinggi?’
Raja dan para menterinya kemudian membebaskan para korban tak bersalah,
Dan semua kerumunan mengambil tongkat dan batu, dan dalam luapan kegembiraan
Membuat Khandahala membayar atas kekejiannya di sana dan saat itu juga.”
Ketika mereka telah membunuh menteri itu, rakyat banyak ingin membunuh raja; namun Sakka menahan dan tidak mengizinkan mereka membunuhnya. Rakyat memutuskan bahwa mereka akan mengampuni nyawanya,
“Namun kami tidak akan memberinya kekuasaan atau kediaman dalam kota, kita akan menjadikannya orang buangan dan menentukan kediamannya di luar kota ini.” Sehingga mereka melucuti pakaian kerajaannya dan membuatnya mengenakan jubah kuning, dan mengikatkan kain kuning di kepalanya, dan membuatnya menjadi orang buangan dan digiring ke pemukiman orang terbuang. Berikut juga semua orang yang membantunya dengan cara apa pun dalam upacara kurban atau menyetujuinya pergi ke neraka sesuai dengan bagian mereka.
Guru mengucapkan syair ini:
“Semua yang telah melakukan perbuatan demikian jahat langsung pergi ke neraka, tidak seorang pun yang bisa mendapatkan kelahiran ulang di surga mana pun, yang memiliki jejak noda kejahatan seperti itu.”
Rakyat banyak, setelah menyingkirkan dua pelaku kekejian besar ini, membawa barang-barang pemahkotaan dan menobatkan Pangeran Canda sebagai raja.
“Ketika semua kurban dilepaskan, berkumpul persamuhan yang besar,
Dengan kemegahan yang luhur dan perayaan mengangkat Canda menjadi raja;
Perkumpulan besar, para dewa dan manusia, mengibarkan kain dan bendera, menyanyikan pujian kepadanya,
Memulai masa pemerintahan baru dan bahagia penuh kelimpahan, kedamaian, dan zaman keemasan.
Laki-laki, perempuan, dewa, dewi, bergabung bersama dalam satu perayaan besar,
Penghiburan dan kedamaian memenuhi semua rumah dan setiap tawanan dilepaskan.”
Bodhisatta menyediakan semua kebutuhan ayahnya namun mantan raja itu tidak diizinkan memasuki ke dalam kota; dan ketika semua kebutuhannya habis, ia biasanya menemui Bodhisatta, ketika Bodhisatta sedang bergabung dalam plesiran di taman umum atau perayaan umum lainnya. Pada saat-saat ini ia tidak merangkapkan tangannya untuk memberi hormat pada putranya, karena ia berkata dalam hati, “Aku adalah raja sejati,” namun ia memanggil Raja Canda, “panjang umurlah, Guru;” dan ketika ditanyai apa yang ia inginkan, ia menyebutkannya, dan Bodhisatta memerintahkan jumlah itu diberikan kepadanya.
Ketika Guru mengakhiri pembabaran-Nya, Ia menambahkan, “Para bhikkhu, ini bukanlah pertama kalinya Devadatta ingin membunuh banyak orang hanya karena diri Saya; ia melakukan hal yang sama sebelumnya.” Kemudian Ia mempertautkan kelahiran lampau: “Saat itu Devadatta adalah Khandahala. Mahamaya adalah Ratu Gotama, Ibu Rahula adalah Canda, Rahula adalah Vasula, Uppalavanna adalah Sela, Kassapa dari keluarga Varna adalah Sura, Moggallana adalah Candasena, Sariputta adalah Pangeran Suriya, dan Saya sendiri adalah Candaraja.”
Guru, ketika berdiam di Gunung Gijjhakuta, menceritakan kisah ini mengenai Devadatta. Isinya terkandung dalam bagian yang menceritakan mengenai perbuatan jahat yang mengakibatkan perpecahan dalam komunitas bhikkhu; cerita ini bisa diketahui sepenuhnya dengan mempelajari perilaku Tathagata dari sejak ia pertama menjadi petapa sampai pembunuhan Raja Bimbisara. Segera setelah menyuruh membunuh Raja Bimbisara, Devadatta menemui Ajatasattu dan berkata kepadanya, “Baginda, keinginan Anda telah tercapai, namun keinginan saya belum tercapai.” Raja menjawab, “Apa hasrat Anda?” “Saya ingin membunuh Dasabala dan kemudian menjadikan diri saya sendiri Buddha.” “Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan?” “Kita harus mengumpulkan beberapa pemanah.”
Raja menyetujui dan mengumpulkan lima ratus orang pemanah, semuanya mampu menembak secepat kilat, dan dari lima ratus ini ia memilih tiga puluh satu dan memerintahkan mereka menunggui dan mematuhi perintah Devadatta. Devadatta kemudian memanggil kepala pemanah di antara mereka dan berkata kepadanya, “Sahabat, Petapa Gotama hidup di Gunung Gijjhakuta: pada waktu tertentu Ia berjalan mondar mandir di tempat peristirahatan selama siang hari: pergilah engkau ke sana dan lukai Ia dengan panah beracun, dan ketika engkau telah membunuh-Nya kembalilah kemari lewat jalan yang ini.”
Kemudian ia mengirim dua orang pemanah di jalan itu, dan berkata kepada mereka, “Kalian akan bertemu seorang pria yang datang lewat jalan ini, bunuh dia dan kembali lewat jalan yang ini.”
Kemudian ia mengirim empat pemanah lewat jalan itu dengan perintah yang sama, dan kemudian setelah itu delapan dan enam belas pemanah pun mendapat perintah yang serupa. Sehingga komandan di antara para pemanah ini mengikatkan pedangnya di sisi kiri dan kantung panah di punggungnya, mengambil busurnya yang terbuat dari tanduk kambing, ia pergi ke Tathagata; namun ketika ia memasang tali busur untuk melukai-Nya, dan memasang anak panah, dan menarik tali busurnya, ia tidak bisa melepaksnnya. Seluruh tubuhnya menjadi kaku seolah-olah dipatahkan, dan ia berdiri gemetar, takut akan kematian.
Ketika Guru melihatnya, Ia bicara dengan suara lembut, “Jangan takut, datanglah kemari.” Ia seketika melemparkan senjatanya dan bersujud di kaki Bhagava, seraya mengatakan, “Tuanku, kejahatan telah menguasai saya seperti anak kecil atau orang dungu atau orang jahat; saya tidak mengetahui keluhuran Anda, dan saya datang kemari atas perintah si pikun buta Devadatta, untuk mengambil nyawa Anda; mohon maafkanlah saya.” Ia mendapatkan pemaafan-Nya dan membuatnya bisa meraih tataran pertama kesucian. Kemudian Ia memintanya kembali lewat jalan lain alih-alih rute yang diperintahkan oleh Devadatta; Ia sendiri turun dari tempat meditasi jalannya dan duduk di kaki sebuah pohon. Ketika pemanah pertama tidak kembali, dua pemanah lainnya datang melintasi jalan itu untuk menemuinya, dan heran mengapa ia begitu terlambat, hingga akhirnya mereka melihat Buddha. Saat mereka menemui-Nya, dan setelah memberikan hormat pada-Nya, mereka duduk di satu sisi. Kemudian la juga menyibakkan Kebenaran kepada mereka, dan membuat mereka mencapai tataran kesucian pertama, dan memberitahu mereka untuk pulang lewat jalan lain ketimbang yang diperintahkan Devadatta.
Sama pula, pemanah lainnya datang dan berturut-turut duduk, la mengukuhkan mereka dalam tataran kesucian pertama, dan meminta mereka kembali lewat jalan lain. Kemudian pemanah yang pertama kali kembali pergi menemui Devadatta dan berkata kepadanya, “Guru, saya tidak mampu membunuh Yang Mahabijaksana, la adalah Yang Perkasa, Yang Penuh Berkah dengan kekuatan adibiasa.” Kemudian mereka semua menyadari bahwa mereka telah menyelamatkan hidup mereka hanya berkat Yang Mahabijaksana, dan mereka menjalani kehidupan tanpa rumah di bawah bimbingan-Nya, dan menjadi arahat. Insiden ini lalu diketahui dalam persamuhan bhikkhu, dan suatu hari mereka mulai membicarakannya di balairung kebenaran: “Para bhikkhu, sudahkah kalian mendengar bagaimana Devadatta, dalam kebenciannya terhadap satu orang, Yang Penuh Berkah, telah berupaya keras menghilangkan nyawa banyak orang, dan bagaimana mereka semua menyelamatkan hidup mereka melalui Guru?” Lalu Guru datang dan bertanya, “Para bhikkhu, apa yang sedang kalian bicarakan ketika kalian duduk di sini?” dan ketika mereka memberitahunya, la berkata, “Ini bukan pertama kali Devadatta berupaya menghilangkan nyawa banyak orang karena kebenciannya terhadap Saya;” dan ia menceritakan kisah masa lampau kepada mereka.
Pada masa lalu, Benares ini disebut Pupphavati. Putra Raja Vasavatti bernama Ekaraja bertakhta di sana, dan putranya Candakumara adalah raja muda. Seorang brahmana bernama Khandahala adalah penasihat raja: ia memberikan nasihat kepada raja mengenai urusan spiritual dan duniawi, dan raja sangat menghargai kebijaksanaannya, dan menjadikannya hakim. Namun brahmana, karena menyenangi suap, biasanya menerima suap dan membuat pemilik sejati kalah dan membuat pemilik yang salah mendapatkan harta sengketa.
Suatu hari seorang pria yang baru dikalahkan dalam perkara pergi ke balairung penghakiman dan memprotes dengan suara keras, dan, ketika ia melihat Candakumara lewat untuk menemui raja, ia bersujud di kakinya. Pangeran menanyainya ada apa. Tuanku, Khandahala memeras orang yang mengajukan petisi ketika ia memutuskan perkara: saya telah kalah perkara, meski saya memberikan suap kepadanya.” Pangeran memintanya agar jangan takut, dan setelah membawanya ke pengadilan, memvonisnya menjadi pemilik harta milik yang disengketakan.
Rakyat bersorak menyuarakan persetujuan mereka. Ketika raja mendengarnya dan menanyakan alasannya, mereka menjawab, “Candakumara telah dengan benar memutuskan perkara yang diputuskan keliru oleh Khandahala: inilah sebabnya ada keramaian seperti ini.” Ketika pangeran datang dan memberikan salam, raja berkata kepadanya, “Putraku, mereka mengatakan bahwa engkau baru saja memutuskan sebuah perkara.” “Ya, Baginda.” Raja memberikan jabatan hakim kepada pangeran dan memintanya mulai dari saat itu menentukan semua sidang perkara.
Pendapatan Khandahala mulai merosot; dan sejak saat itu ia menaruh dendam terhadap pangeran dan mencari-cari kesalahan dalam diri pangeran. Saat itu, raja mendapat sedikit pengalaman batin; dan suatu hari saat fajar, di akhir tidurnya, ia melihat alam Surga Tiga Puluh Tiga Dewa berikut dengan serambi istananya yang berhias, dan dindingnya yang terbuat dari tujuh batu permata, enam puluh yojana panjangnya, dengan jalanan dari emas, seribu yojana tingginya, dihiasi dengan Vejayanta dan istana-istana lainnya, dengan semua kejayaan Nandana dan hutan-hutan lainnya, serta Nanda dan danau-danau lainnya, dan dipenuhi di mana-mana dengan makhluk surgawi. Ia ingin memasukinya dan ia berpikir, “Ketika guru Khandahala datang, aku akan menanyainya jalan menuju alam para dewa, dan aku akan memasukinya lewat jalan yang ditunjukkannya.” Khandahala datang ke istana pagi-pagi, dan bertanya apakah raja telah melalui malam yang bahagia. Kemudian raja memerintahkan sebuah kursi diberikan kepada Khandahala dan mengajukan pertanyaannya. Guru menceritakannya seperti demikian:
“Di PupphavatT, suatu ketika bertakhta raja yang jahat yang dalam hasratnya
Menanyai Khandahala, pendeta jahat, brahmana yang cuma dalam gelar saja namun bukan perbuatannya;
‘Anda adalah petapa yang kepada Anda, kata mereka, semua ilmu pengetahuan suci diberikan,
Beritahu saya jalan yang dipakai para pencari itu untuk meningkatkan jasa kebajikan mereka hingga sampai ke surga.’”
Nah, ini adalah pertanyaan yang, pada masa tidak adanya Sammasambuddha atau siswa-siswa-Nya, seharusnya ditanyakan kepada Bodhisatta. Namun raja malah bertanya kepada Khandahala; seperti orang yang selama tujuh hari telah tersesat akan meminta panduan kepada orang yang telah tersesat selama dua minggu. Khandahala kemudian berpikir dalam hati, “Kini saatnya melihat titik lemah musuhku, kini akan kubunuh Candakumara dan memenuhi hasratku.” Maka ia berkata kepada raja:
“Berikan yang melampaui banyak persembahan, hancurkan yang tidak pantas mendapat kematian,
Demikian orang-orang dengan jasa kebajikan tinggi menang dan akhirnya mencapai sukacita surgawi.”
Raja bertanya:
“Apakah yang melampaui banyak persembahan? Dan siapa yang tidak pantas dibunuh? Saya akan memberikan persembahan, membantai kurbannya, mohon jelaskan maknanya.”
Kemudian Khandahala menjelaskan maksudnya: “Putra-putra Anda, ratu-ratu Anda harus dipersembahkan, para saudagar besar Anda juga harus dikurbankan, banteng-banteng pilihan Anda, kuda-kuda milik Anda yang termulia, ya, semuanya empat jenis kurban.”
Dan demikianlah ketika ditanya jalan menuju surga, jawaban yang ia nyatakan adalah jalan ke neraka.
Khandahala berkata dalam hati, “Jika aku mengambil hanya Candakumara saja mereka pikir aku akan melakukannya karena dendam kepadanya;” maka ia mengurbankannya bersama sejumlah besar orang. Ketika hal ini menjadi bahan pembicaraan, para perempuan istana kerajaan saat mendengar kabarnya, dipenuhi rasa takut, dan seketika menjerit keras.
Menjelaskan hal ini, Guru melafalkan syair:
“Para perempuan istana mendengar berita: ’Pangeran dan ratu akan celaka,’ seru mereka, dan jeritan ramai karena kejutan rasa takut membumbung hingga ke langit di setiap sisi.”
Seluruh keluarga kerajaan terusik seperti serumpun pohon sal terguncang oleh angin pada saat akhir dunia; bahkan brahmana bertanya kepada raja apakah raja bisa melakukan pengorbanan itu atau tidak. “Apa maksud Anda, wahai Guru? Apa jika saya mengurbankan mereka saya akan masuk ke alam dewa.”
“Wahai Raja, mereka yang lemah hati dan tidak teguh tekadnya tidak bisa memberikan pengorbanan ini. Kumpulkanlah mereka semua di sini, dan saya akan melakukan pengorbanan itu di lubang kurban.” Ia kemudian membawa pasukan yang cukup dan pergi ke luar kota, dan memerintahkan lubang pengorbanan digali dengan dasarnya yang rata, dan mengelilinginya dengan pagar; karena brahmana zaman kuno suka membuat pagar yang mengelilingi, untuk berjaga-jaga jika beberapa petapa bajik atau brahmana akan datang dan menghentikan upacara kurban.
Raja memerintahkan agar pengumuman dikumandangkan, “Dengan mengurbankan segenap putra, putri, dan istri saya akan pergi ke alam dewa, segera pergilah dan umumkan ini kepada mereka, dan bawa mereka semua kemari;” dan raja segera memerintahkan mereka membawa putranya:
“Peringatkan Canda, Suriya78 akan kehendak saya, kemudian giliran Bhaddasena, lalu berikutnya Sura dan Vamagotta, mereka semua harus mati; kehendak saya sudah teguh.”
Maka mereka pertama kali menemui Candakumara dan berkata, “Wahai pangeran, ayah Anda hendak membunuh Anda dan pergi ke surga; ia telah mengirim kami untuk mencekal Anda.” “Oleh ajaran siapakah ia memerintahkan agar saya diringkus?” “Oleh ajaran Khandahala.” “Apakah ia ingin meringkus saya sendirian atau bersama yang lainnya?” “Bersama juga dengan Anda, karena raja ingin memberikan persembahan empat jenis kurban.”
Candakumara merenung, “Khandahala tidak memiliki dendam terhadap yang lain, namun ia berniat membunuh banyak orang semata-mata karena dendamnya kepadaku; adalah kewajibanku mendapatkan kejelasan dari ayahku dan mendapatkan izin dari raja untuk membebaskan semua yang diknrbankan.” Maka ia berkata kepada mereka, “Laksanakanlah perintah ayahanda.” Mereka membawanya ke halaman istana dan menaruhnya sendirian, dan kemudian membawa tiga79 lainnya dan ketika mereka menempatkan mereka berdekatan, para pengawal memberitahu raja. Kemudian raja meminta mereka membawa putri-putrinya dan menempatkan mereka di dekat kurban lainnya:
“Beritahu UpasenI dan Kokila, Mudita, Nanda, masing-masing bergiliran,
Beritahukan para putri akan ajal mereka, mereka harus mati: kehendak saya sudah teguh.”
Maka mereka pergi dan membawa para putri yang menangis dan meratap, dan menempatkan mereka di dekat saudara laki-laki mereka. Kemudian raja mengucap syair untuk memerintahkan penangkapan istri-istrinya:
“Beritahu Vijaya, yang terunggul di antara ratu-ratu saya, Sunandam, Kesini, masing-masing,
Dengan semua kecantikan dan daya tarik mereka, mereka semua harus mati: kehendak saya sudah teguh.”
Kemudian mereka juga membawa para istri, meratap keras, dan menempatkan mereka di dekat para pangeran. Kemudian raja mengucapkan syair memerintahkan pengawal meringkus empat saudagar:
“Punnamukha, Bhaddiya, Singala, Vaddha, masing-masing,
Berikan perintah kepada saudagar saya, mereka semua harus mati: kehendak saya sudah teguh.”
Para pejabat raja pergi dan membawa para saudagar. Ketika putra-putra dan istri-istri raja dibawa, rakyat tidak mengucapkan sepatah kata pun; namun ketika saudagar yang memiliki sanak saudara yang menyebar luas, seluruh kota terusik ketika mereka ditangkap, dan dengan keras memprotes terhadap rencana pengorbanan mereka, dan mereka pergi bersama sanak saudara menghadap raja. Kemudian para saudagar, dikelilingi sanak saudara mereka memohon kepada raja agar mengampuni nyawa mereka. Menjelaskan hal ini, Guru berkata:
“Para saudagar mengungkapkan seruan pilu, dikelilingi anak dan istri mereka,
‘Sisakan pucuk rambut, cukur habis rambut kepala kami, buatlah kami menjadi budak Anda, namun ampuni nyawa kami.”’
Namun betapa pun mereka memohon, mereka tidak mendapatkan pengampunan. Pegawai raja akhirnya menghalau sanak saudara mereka, dan menyeret para saudagar untuk berdiri di dekat para pangeran.
Kemudian raja memerintahkan gajah dan hew an lainnya dibawa:
“Bawa kemari semua gajah saya, yang keperkasaannya tiada tara, dan mahal,
Bawa kuda dan keledai terbaik, biarkan mereka semua menjadi kurban;
Banteng-banteng saya, pemimpin kawanan ternak, mereka akan menjadi persembahan mulia;
Siapkanlah kurban pada saat fajar esok;
Dan perintahkan para pangeran makan sampai kenyang, menikmati malam terakhir hidup mereka.”
Ayahanda dan ibunda raja yang masih hidup. Sehingga, rakyat pergi kepada mereka dan menceritakan mengenai rencana persembahan putra mereka. Dalam kesedihan, mereka pergi menangis dan mencurahkan hati mereka di hadapan raja, “Benarkah, anakku, bahwa engkau menghendaki pengorbanan demikian?”
Guru menggambarkannya seperti ini :
“Ibusuri telah meninggalkan kediaman istananya, “Putraku, apa artinya hal mengerikan ini? Haruskah empat putra dihukum mati untuk menambah pengorbananmu yang keji?’”
Raja menjawab :
“Ketika saya kehilangan Canda, saya kehilangan semuanya; namun dirinya dan yang lainnya saya akan serahkan, karena dengan pengorbanan mahal ini, kediaman surgawi akan menjadi milik saya.”
Ibusuri berkata:
“Mengurbankan putra-putramu, anakku, tidak akan pernah membawa kebahagiaan surgawi;
Jangan dengarkan kata-kata dusta seperti itu; ini adalah jalan ke neraka dan kegelapan.”
Ambillah jalan kerajaan yang telah terbukti: biarkanlah semua kekayaan Anda dipersembahkan untuk amal,
Dan tidak menganiaya makhluk hidup di bumi, inilah jalan yang pasti menuju surga.”
Raja menjawab:
“Saya harus mematuhi kata-kata guru saya, sungguh malang putra-putra saya! Semuanya harus dibantai,
Sungguh sulit berpisah dari mereka, namun imbalan surga yang akan saya dapat.”
Demikian ibusuri pergi, tidak mampu meyakinkan raja dengan kata-katanya.
Kemudian mantan raja mendengar kabar dan datang untuk memprotes.
Guru melukiskan apa yang terjadi:
“Ayah Vasavatti datang, “Kabar aneh memenuhi batin saya dengan rasa takut!
Haruskah empat putramu dihukum mati untuk menghiasi sempurna ritual pengorbanan mengerikanmu?’”
Dialog yang sama terulang dan mantan raja, tidak mampu mengalihkan putranya, pergi dengan mengulang kata-kata perpisahannya:
“Berikanlah semua yang bisa engkau berikan dan jangan pernah menganiaya makhluk hidup dengan niatmu sendiri: dan dengan putra-putramu sebagai perisai penjagamu, kerajaanmu, dari semua bahaya.”
Kemudian Candakumara merenung dalam hati, “Semua kesengsaraan ini terjadi pada begitu banyak orang hanya karena diriku, aku akan berdebat dengan ayah sehingga membebaskan mereka semua dari derita kematian;” sehingga ia kemudian mengatakan ini kepada ayahnya:
“Biarkan kami menjadi budak Khandahala, namun ampuni nyawa kami dan janganlah membunuh.
Kami akan mengawasi rantai kuda dan gajahnya, jika demikianlah kehendaknya.
Biarkan kami menjadi budak Khandahala, namun ampuni nyawa kami dan janganlah membunuh.
Kami akan menyapu istal dan halamannya, dan bekerja dalam keadaan terantai, jika itu adalah kehendaknya.
Berikanlah kami sebagai budak kepada orang yang engkau inginkan, kami adalah tawanan di tanganmu: atau buanglah kami dari kerajaanmu untuk meminta-minta makanan di negeri asing.”
Raja mendengarkan ratapannya, dan merasa hatinya bagaikan hancur; dan matanya dipenuhi air mata, ia memerintahkan mereka semua dibebaskan: “Tidak seorang pun,” kata raja, “akan membunuh putra-putraku, aku tidak membutuhkan alam para dewa.”
Mendengar kata-kata raja, mereka membebaskan seluruh kurban, dimulai dari pangeran, hingga ke unggas yang dikurbankan. Khandahala sedang sibuk di lubang kurban, ketika seseorang berkata kepadanya, “Wahai penjahat Khandahala, raja telah membebaskan para pangeran; pergilah dan bunuhlah putra-putra Anda sendiri dan persembahkan mereka dengan darah dari leher mereka.” “Apa yang telah dilakukan raja?” jeritnya, dan ia bergegas pergi dan berkata kepada raja:
“Saya telah memperingatkan Anda bahwa pengorbanan ini akan terbukti berat dan penuh upaya;
Mengapa di tengah-tengah menghentikan upacara ini ketika semua telah dimulai dengan baik?
Mereka yang memberikan persembahan seperti ini ketika meninggal berada di jalan pasti menuju surga;
Atau mereka yang menyetujui pengorbanan ini dengan sukacita, melihat hal yang sama dilakukan orang lain.”
Raja yang membuta, ketika mendengar kata-kata brahmana yang gusar ini, dan setelah mengukuhkan batinnya kepada ajaran brahmana ini, memerintahkan putra-putranya diringkus lagi. Lalu Candakumara berdebat dengan ayahnya:
“Mengapa brahmana yang pada saat kelahiran kami ini mengucapkan pemberkahan setinggi langit akan kehidupan kami,
Sementara takdir kami harus mati sebagai kurban tanpa salah oleh amarah Anda?
Mengapa Anda tidak membantai kami saja ketika masih bayi, saat masih terlalu muda untuk bisa mengetahui deraannya?
Alih-alih, kami harus mati hari ini, ketika sukacita akan kemudaan sudah kami ketahui.
Pikirkan kami menunggang kuda atau gajah, mengenakan zirah untuk berperang,
Dan sebagai kurban kami dijagal di sini sebagai kurban, apakah ini layak?
Dalam pertempuran melawan kepala pemberontak atau dalam hutan seperti yang saya pantas untuk lakukan: yang kini Anda bantai tanpa alasan dan sebab.
Lihatlah burung liar yang membangun sarang mereka dan berkicau sepanjang hari di antara pepohonan,
Mereka mencintai anak-anak mereka dan merawat mereka dengan baik, dan engkau, apakah engkau hendak membunuh anak-anak Anda?
Atau jangan pikir sahabat brahmana Anda yang khianat akan mengampuni nyawa Anda ketika saya sudah tiada;
Gibran Anda, wahai Raja, akan menyusul berikutnya; saya tidak akan mati sendirian.
Para raja memberikan para brahmana desa-desa, kota-kota pilihan adalah anugerah perdikan kepada mereka,
Dan semua keluarga mereka diberi makan dan mendapat warisan baik;
Dan inilah orang-orang yang Anda dermakan, Baginda, mereka yang paling sigap mengkhianati diri Anda;
Camkan kata-kata saya, persamuhan brahmana tidak berkeyakinan dan selalu tidak tahu terima kasih80.”
Raja berseru saat mendengar teguran putranya:
“Permohonan yang layak mendapatkan kewelasanan ini sungguh meremukkan hati saya, bebaskanlah mereka, bebaskan pangeran dan semuanya, tidak ada lagi pengorbanan demi saya.”
Khandahala kembali bergegas seperti sebelumnya dan mengulangi anjurannya yang dahulu; dan pangeran kembali berdebat dengan ayahnya:
“Jika mereka yang mengurbankan putra-putra mereka, menjadi agung ketika mereka mati,
Maka biarkanlah brahmana ini mempersembahkan putra-putranya sendiri: raja kemudian akan mengikutinya sebagai teladan.
Jika mereka yang mengurbankan putra-putra mereka pergi langsung ke surga ketika mereka mati,
Mengapa brahmana tidak mempersembahkan dirinya dan seluruh keluarganya?
Malah sebaliknya, mereka yang mempersembahkan kurban seperti itu semuanya akan pergi ke neraka,
Dan mereka yang berani menyetujui perbuatan itu pun akan hancur pada saat kematian.”
Ketika pangeran mengucapkan kata-kata ini, ia menyadari bahwa ia tidak bisa meyakinkan raja, maka ia berpaling ke orang banyak yang mengelilingi raja dan berkata kepada mereka:
“Bagaimana bisa kalian para ayah, ibu, berdiri tanpa suara di sini, melihat, dan tidak seorang pun, yang mencintai anak-anak mereka seperti yang kalian lakukan, melarang raja membantai putranya?
Saya mencintai kesejahteraan raja, saya suka melihat hati kalian bersukacita,
Dan tidak ada seorang pun di antara kalian yang terlihat mengeluarkan satu suara memprotes?”
Namun tidak seorang pun mengucapkan sepatah kata pun. Kemudian pangeran memerintahkan istri-istrinya pergi dan memohon kepada raja untuk menunjukkan kewelasanan:
“Pergilah, perempuan mulia, dengan doamu, memohonlah kepada raja, memohonlah kepada pendetanya,
Untuk mengampuni putra-putranya yang tak bersalah, yang telah teruji dalam medan perang yang paling keras;
Mintalah raja, mintalah pendeta, untuk mengampuni putra-putra yang tidak ternoda oleh kejahatan,
Yang nama-namanya, kejayaan kerajaan dan masa mereka, bersinar di dunia.”
Mereka pergi dan memohon raja agar menunjukkan kewelasanan; namun raja tidak mengacuhkan mereka. Kemudian pangeran, merasa diirnya tak berdaya, mulai meratap:
“Oh, seandainya saya lahir jauh dari istana
Di dalam rumah pembuat sepatu, penyapu jalan, atau orang yang terbuang,
Saya seharusnya bisa menjalani hidup saya hingga akhirnya dalam damai,
Tidak mati sebagai korban nafsu mendadak seorang raja.”
Kemudian ia berseru:
“Pergilah, Anda semua perempuan dalam satu kelompok, menunduk di hadapan kejatuhan Khandahala,
Dan beritahu bahwa Anda semua tidak pernah mencelakainya, bahwa Anda semua tidak bersalah.”
Inilah kata-kata Guru:
“Dengan keras Sela menangis ketika melihat saudara laki-lakinya dihukum raja,
’Ayahanda menginginkan surga,’ kata mereka, ‘dan sungguh persembahan ini menggagalkannya.”
Namun raja tidak menggubrisnya pula. Ketika putra Raja Vasula, melihat kesedihan ayahnya, berkata, “Saya akan memohon kepada kakek saya, saya akan memintanya mengampuni nyawa ayah saya,” dan ia bersujud di kaki raja dan meratap.
Guru melukiskannya seperti ini:
“Kemudian Vasula dengan langkah tertatih-tatih pergi ke sana, ke sini, menuju singgasana, ’Ampunilah ayah kami, anak-anak ini, jangan biarkan kami tak berdaya dan sendirian.’”
Raja mendengarkan ratapannya, dan hatinya bagaikan terbelah dua, ia memeluk bocah itu dengan air mata tergenang, dan ia berkata kepadanya, “Tenanglah, anakku, akan kuberikan ayahmu kepadamu,” dan ia mengucapkan titahnya:
“Inilah ayahmu, Vasula; kata-katamu menaklukkanku, ia bebas;
Bebaskanlah para pangeran, biarkan mereka pergi, tidak ada lagi kurban untukku.”
Kemudian Khandahala bergegas dengan anjuran lamanya,
dan sekali lagi raja dengan membuat mematuhi kata-kata Khandahala dan memerintahkan putranya ditangkap kembali.
Kemudian Khandahala berpikir dalam hati, “Raja berhati lembut ini kini menangkap putranya, dan kini membebaskannya: ia akan membebaskan mereka lagi karena kata-kata anak-anaknya; aku akan membawa raja ke lubang kurban.” Maka ia mengulang syair untuk mendesaknya pergi ke sana:
“Kurban telah disiapkan, harta paling mahal telah dipersembahkan:
Pergilah, Baginda, persembahkanlah, dan raihlah sukacita surgawi paling elok.”
Ketika mereka membawa Bodhisatta ke dalam lubang kurban, para selir kerajaan pergi dalam satu kelompok.
Guru melukiskannya demikian:
“Tujuh ratus selir Pangeran Canda, semuanya bersinar dalam mekarnya masa muda mereka,
Dengan rambut acak-acakan, mata menangis, mengikuti pahlawan menuju mautnya;
Dan perempuan lain mengikuti rombongan ini seperti makhluk-makhluk dari alam surga,
Dengan rambut acak-acakan, mata menangis, mengikuti pahlawan ke mana ia pergi.”
Kemudian mereka semua meratap:
“Dengan giwang, lidah buaya, cendana, dalam sutra Kasi yang mahal,
Lihatlah Canda, Suriya81 di sana digiring sebagai kurban. Menembus hati ibu mereka dengan kesedihan, memenuhi rakyat dengan kemurungan,
Lihatlah Canda, Suriya di sana digiring sebagai kurban menuju maut mereka yang keji.
Dimandikan dan diberi wewangian dengan aroma terkaya, dan dengan jubah putih kain KasT,
Lihatlah Canda, Suriya di sana digiring sebagai kurban atas perintah raja,
Mereka yang dahulu menunggang gajah, sosok yang perkasa di setiap mata.Canda, Suriya kita, lihatlah di sana, mengikuti rombongan berjalan kaki untuk mati.
Mereka yang dalam kereta perang tidak akan menunggang kuda, keledai, atau kuda berhias emas,
Canda, Suriya kita, lihatlah di sana, mengikuti rombongan berjalan kaki untuk mati sebelum malam tiba.”
Ketika para permaisuri meratap demikian, para pegawai istana membawa Bodhisatta keluar dari kota. Seluruh kota pergi bersamanya dengan keresahan besar. Namun ketika kerumunan besar pergi ke luar, gerbang kota tidak cukup lebar untuk memuat mereka; dan para brahmana cemas akan apa yang akan terjadi, memerintahkan gerbang ditutup. Banyak rakyat yang tidak bisa menemukan pelampiasan; namun ada taman di dekat gerbang sebelah dalam, dan mereka berkumpul di sana dan meratapi nasib pangeran dengan suara keras; dan mendengar suara ratapan, burung-burung berkumpul di angkasa. Para warga juga meratap keras-keras dan berseru kepada burung-burung:
“Wahai burung-burung, akankah kalian berpesta daging? Kalau begitu terbanglah lewat gerbang timur Pupphavati,
Di sana raja gila sedang mengurbankan empat putranya yang berani dalam kebencian membuta.
Wahai burung-burung, akankah kalian berpesta akan daging? Kalau begitu terbanglah lewat gerbang timur Pupphavati,
Di sana raja gila sedang mengurbankan empat putrinya yang berani dalam kebencian membuta82.”
Demikian rakyat meratap di taman. Kemudian mereka pergi ke rumah Bodhisatta, mengelilinginya dalam arak-arakan hening dan mengucapkan ratapan mereka ketika mereka menatap kamar-kamar para istri pangeran, menara, dan taman-tamannya, hutan dan telaga, dan istal gajah83:
“Desa-desa tak berpenghuni akan menjadi hutan hening;
Demikian juga ibukota kami akan hancur, jika pangeran-pangeran kami menumpahkan darah mereka.”
Tidak bisa menemukan jalan keluar dari kota, mereka berkeliaran meratap di balik dinding-dindingnya.
Sementara Bodhisatta digiring menuju lubang kurban. Ketika ibunya, Ratu Gotami, melemparkan dirinya bersujud di kaki raja, memohon dengan air mata dan tangisan agar ia mengampuni nyawa putranya:
“Aku akan menjadi gila karena duka, diliputi debu, hancur, ditinggalkan,
Jika putraku Canda84 harus mati, napasku akan mencekikku ketika aku berduka.”
Ketika ia tidak beroleh jawaban dari raja, ia memeluk empat istri pangeran dan berkata kepada mereka, “Putraku pasti telah berpaling dari Anda dengan rasa tidak senang, mengapa Anda semua tidak membujuknya untuk berpaling?”
“Mengapa Anda semua tidak bicara satu sama lain dengan penuh cinta saat kalian berdiri,
Dan menari di sekitarnya dengan riang, menggandeng tangan satu sama lain,
Sampai kemurungannya lenyap dan membuatnya sembuh atas perintah Anda,
Karena sesungguhnya siapa yang bisa menari seperti kalian, sekalipun mereka mencari di seantero negeri?”
Kemudian melihat tidak ada hal lain yang bisa dilakukan, ia berhenti meratap bersama selir dan mulai mengutuk Khandahala:
“Semoga ibu Anda, wahai pendeta keji, merasakan derita kepiluan
Yang menyobek-nyobek hati saya ketika saya melihat Canda yang terkasih digiring menuju kematian85.
Semoga istri Anda, wahai pendeta keji, merasakan derita kepiluan
Yang menyobek-nyobek hati saya ketika saya melihat Suriya yang terkasih digiring menuju kematian;
Semoga ia melihat putra-putra dan suaminya terbunuh, karena Anda, wahai pendeta keji, hari ini
Membunuh kebanggaan dan kejayaan dunia, mereka yang berhati singa dan tak bersalah.”
Kemudian Bodhisatta memohon kepada ayahnya dalam lubang kurban86:
“Beberapa perempuan menginginkan dan memohon agar mendapat putra-putra dan memberikan doa dan persembahan kepada surga,
Mereka menginginkan putra dan cucu pula, namun tidak ada yang diberikan untuk meramaikan rumah mereka;
Janganlah membunuh kami dengan demikian ceroboh, meskipun itulah jawaban yang diberikan terhadap doa.
Janganlah persembahkan kami menjadi kurban setelah semua kasih sayang ibu kami.”
Ketika ia tidak menerima jawaban dari ayahnya, ia meratap di kaki ibunya:
“Dengan lembut Anda telah merawat putra Anda, sungguh sulit takdir yang menimpa Anda;
Saya berlutut di hadapan kaki Anda yang suci: semoga semua berkah untuk ayah saya.
Berikanlah kaki Anda untuk saya cium sekali lagi, peluklah saya, Ibu, sebelum kita berpisah,
Tempat saya pergi adalah perjalanan panjang, kesedihan pilu bagi hati Anda.”
Kemudian ibunya mengucapkan syair tangisan:
“Ikatkan di kepalamu, Putraku tersayang, mahkota daun teratai,
Dengan bunga cempaka, dengan mahkota demikian layak diterima keindahan Anda yang gagah.
Untuk terakhir kalinya urapi dirimu dengan semua balsam yang kaya dan langka,
Yang engkau pakai pada hari-hari lampau pada masa festival istana.
Untuk terakhir kalinya, kenakanlah baju dari sutra KasI, Putraku,
Dan kenakanlah perhiasan dan mutiara yang engkau biasanya pakai pada hari perayaan.”
Kemudian, permaisuri utama pangeran, Canda, memeluk kaki raja dan meratap dengan pilu:
“Penguasa kerajaan ini, raja penguasa ini, yang semua perintahnya dipatuhi dalam kerajaannya,
penerus satu-satunya semua kekayaan negeri ini, tidak memiliki kasih sayang akan putranya.”
Ketika raja mendengarnya, raja menjawab:
“Putra saya sungguh terkasih bagi saya, diri sendiri saya sayangi, dan Anda, ratu-ratu saya, juga saya sayangi:
Saya mengurbankan putra saya, karena saya ingin pergi ke surga, bukan ke neraka.”
Canda berseru:
“Wahai Raja, atas kewelasan Anda, bunuhlah saya lebih dahulu, jangan biarkan kesedihan merobek hati saya,
Kalungilah saya bunga seperti putra Anda yang sempurna dalam setiap sisi.
Bantailah kami berdua di tumpukan, dan biarkan saya pergi ke mana Canda pergi:
Jasa kebajikan tiada terkira akan menjadi milik Anda, dua batin akan bangkit ke pembaringan surga.”
Raja menjawab:
“Janganlah menghendaki kematian sebelum saatnya: Anda memiliki saudara misan yang gagah
Mereka akan menghibur Anda, putri bermata besar, karena Anda kini kehilangan pangeran yang terkasih.”
Kemudian Canda memukuli dadanya dengan tangannya dan mengancam minum racun, dan ia meratap keras dan panjang:
“Tidak ada sahabat atau penasihat yang mengelilingi raja,
Yang berani memperingatkannya untuk tidak melakukan hal ini,
Ia tidak memiliki menteri yang setia, tidak satu pun,
Yang berani membujuknya untuk tidak membunuh putranya.
Putra-putra mereka yang lain menunjukkan semua keberanian mereka,
Biarkanlah mereka dipersembahkan dan bebaskanlah Canda.
Cacah saya berkeping, kurbankan saya, namun ampunilah putra sulung saya, khattiyaku,
la yang dihormati dunia, yang berhati singa dalam pertempuran.”
Setelah berduka seperti itu, batinnya tidak kunjung lega, ia pergi ke Bodhisatta dan berdiri sambil menangis di sisinya, hingga ia berkata kepadanya, “Canda, selama hidup saya banyak mutiara dan batu permata telah diberikan kepada saya pada saat-saat perayaan sosial; hari ini saya memberi Anda perhiasan terakhir dari tubuh saya; mohon terimalah.”
Canda meledak dalam tangis, mengucapkan syair-syair berikut:
“Bahunya dahulu dicerahkan oleh bebungaan, yang menggelantung dari mahkotanya,
Hari ini, pedang keji nan tajam menebarkan bayangan gelap atas bahunya.
Segera pedang akan menyapu turun ke leher pangeran yang tidak bersalah itu,
Ah! Gelang besi harus mengikat hatiku, jika tidak apa yang bisa dilakukan selain hancur?
Berhias aloe dan cendana, mengenakan kain berhias dan banyak cincin,
Pergilah, Canda-Suriya, ke tumpukan pembakaran, yang sesuai untuk persembahan bagi raja.
Dengan aloe dan kayu cendana, dengan jubah sutra dan batu permata,
Pergilah, Canda-Suriya, ke tumpukan pembakaran, kurban yang layak untuk raja agung.
Bermandikan persembahan, menantikan pukulan terakhir di sana dengan mengenakan sutra dan permata,
Pergilah, Canda-Suriya, ke tumpuan pembakaran, memenuhi hati rakyat dengan kesedihan.”
Ketika ia meratap demikian, semua persiapan di lubang kurban rampung. Mereka membawa pangeran dan menempatkannya di posisi yang sesuai dengan lehernya dijulurkan ke depan. Khandahala memegang mangkuk emas erat-erat dan membawa pedang dan berdiri, seraya berucap, “Saya akan memotong lehernya.” Ketika Ratu Canda melihat ini, ia berkata ke dirinya sendiri, “Saya tidak memiliki pernaungan lain, saya akan memberkahi tuanku dengan semua kekuatan kebenaranku,” lalu ia merangkapkan tanganya, dan berjalan di tengah perkumpulan itu, ia melakukan pernyataan kebenaran dengan tulus.
Guru kemudian melukiskannya:
“Ketika semuanya telah siap untuk kurban dan Canda duduk dan menunggu penggalan,
Putri dari Raja Pancala pergi menyusuri perkumpulan ber deraj at tinggi dan rendah:
’Sama benarnya seperti brahmana di sini mencanangkan tujuan keji dengan kebohongannya,
Semoga saya sesaat lagi mendapatkan kembali junjungan saya yang sangat kucintai.
Semoga semua makhluk di tempat ini, hantu, yakkha, peri, mendengar kata-kataku,
Kabulkan permohonan saya dengan setia dan persatukan saya dengan junjungan saya.
Kalian semua para dewa yang mengisi tempat ini, lihatlah! Saya bersujud di kaki Anda,
Lindungilah saya dalam ketidakberdayaan saya, dengarkan panggilan saya dengan kewelasanan,
Sakka, penguasa para dewa, mendengarnya menangis dan melihat apa yang telah terjadi, membawa galah besi membara dan membuat raja takut, dan membubarkan perkumpulan itu. Guru menjabarkannya seperti demikian:
“Makhluk surgawi mendengar tangisan Anda dan datang ke bumi untuk menolong yang bajik,
Mengibaskan pentungan besi membara, mengisi hati penguasa dengan ketakutan,
’Ketahuilah siapa saya, wahai tangan besi: lihatlah baik-baik senjata yang kupegang,
Janganlah melukai putra Anda yang tidak bersalah, singa di medan pertempuran.
Tempat bumi telah melihat kejahatan seperti ini, putra-putra Anda, istri-istri Anda, diberikan untuk dibunuh,
Dengan semua warga Anda yang paling mulia, yang layak mengisi surga saya yang tertinggi?’
Raja dan para menterinya kemudian membebaskan para korban tak bersalah,
Dan semua kerumunan mengambil tongkat dan batu, dan dalam luapan kegembiraan
Membuat Khandahala membayar atas kekejiannya di sana dan saat itu juga.”
Ketika mereka telah membunuh menteri itu, rakyat banyak ingin membunuh raja; namun Sakka menahan dan tidak mengizinkan mereka membunuhnya. Rakyat memutuskan bahwa mereka akan mengampuni nyawanya,
“Namun kami tidak akan memberinya kekuasaan atau kediaman dalam kota, kita akan menjadikannya orang buangan dan menentukan kediamannya di luar kota ini.” Sehingga mereka melucuti pakaian kerajaannya dan membuatnya mengenakan jubah kuning, dan mengikatkan kain kuning di kepalanya, dan membuatnya menjadi orang buangan dan digiring ke pemukiman orang terbuang. Berikut juga semua orang yang membantunya dengan cara apa pun dalam upacara kurban atau menyetujuinya pergi ke neraka sesuai dengan bagian mereka.
Guru mengucapkan syair ini:
“Semua yang telah melakukan perbuatan demikian jahat langsung pergi ke neraka, tidak seorang pun yang bisa mendapatkan kelahiran ulang di surga mana pun, yang memiliki jejak noda kejahatan seperti itu.”
Rakyat banyak, setelah menyingkirkan dua pelaku kekejian besar ini, membawa barang-barang pemahkotaan dan menobatkan Pangeran Canda sebagai raja.
“Ketika semua kurban dilepaskan, berkumpul persamuhan yang besar,
Dengan kemegahan yang luhur dan perayaan mengangkat Canda menjadi raja;
Perkumpulan besar, para dewa dan manusia, mengibarkan kain dan bendera, menyanyikan pujian kepadanya,
Memulai masa pemerintahan baru dan bahagia penuh kelimpahan, kedamaian, dan zaman keemasan.
Laki-laki, perempuan, dewa, dewi, bergabung bersama dalam satu perayaan besar,
Penghiburan dan kedamaian memenuhi semua rumah dan setiap tawanan dilepaskan.”
Bodhisatta menyediakan semua kebutuhan ayahnya namun mantan raja itu tidak diizinkan memasuki ke dalam kota; dan ketika semua kebutuhannya habis, ia biasanya menemui Bodhisatta, ketika Bodhisatta sedang bergabung dalam plesiran di taman umum atau perayaan umum lainnya. Pada saat-saat ini ia tidak merangkapkan tangannya untuk memberi hormat pada putranya, karena ia berkata dalam hati, “Aku adalah raja sejati,” namun ia memanggil Raja Canda, “panjang umurlah, Guru;” dan ketika ditanyai apa yang ia inginkan, ia menyebutkannya, dan Bodhisatta memerintahkan jumlah itu diberikan kepadanya.
Ketika Guru mengakhiri pembabaran-Nya, Ia menambahkan, “Para bhikkhu, ini bukanlah pertama kalinya Devadatta ingin membunuh banyak orang hanya karena diri Saya; ia melakukan hal yang sama sebelumnya.” Kemudian Ia mempertautkan kelahiran lampau: “Saat itu Devadatta adalah Khandahala. Mahamaya adalah Ratu Gotama, Ibu Rahula adalah Canda, Rahula adalah Vasula, Uppalavanna adalah Sela, Kassapa dari keluarga Varna adalah Sura, Moggallana adalah Candasena, Sariputta adalah Pangeran Suriya, dan Saya sendiri adalah Candaraja.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com